AdSense Page Ads

Monday, December 26, 2011

Jangan Nyisain Makanan Dong....

Kalau anda seperti saya, pasti saat ini anda sedang asyik bertualang kuliner di masa liburan ini. Natal, Tahun Baru, dan pokoknya liburan panjang, apalagi alasan yang anda perlukan untuk duduk manis sambil bereksperimen di dapur atau mencoba satu stand/restoran ke stand/restoran lainya di tempat wisata anda? Cuma satu titipan saya (andai anda berkenan): Jangan nyisain makanan dong...

Buat saya, nyisain makanan itu adalah a big no-no, sesuatu yang tabu banget. Mungkin karena saya doyan makan, mungkin karena saya masih tercuci otak oleh film Unyil dulu yang nasinya menangis saat disisakan, atau mungkin hanya rasanya tidak benar membuang makanan.



Yeah, kita semua tahu argumennya, begitu banyak orang kelaparan sehingga tak baik kita membuang-buang makanan (apalagi makan berlebihan). Ini, buat beberapa orang, terdengar lumayan ga valid. Ayolah, apa artinya sisa nasi 3 sendok lagi dan ayam 2 gigit lagi di piring kita untuk anak Ethiopia, benar?? Salah. Sebagaimana diilustrasikan dengan indah oleh Matador network (read it here), sebagian besar produksi makanan didunia ditujukan untuk memenuhi permintaan para negara maju, yang mana jumlah penduduknya lebih sedikit dari negara berkembang. Jadi bila anda (dan orang-orang mampu lainnya, termasuk saya) mampu mengerem nafsu makan kita dan makan sewajarnya produksi pangan tersebut bisa dialokasikan untuk negara tidak mampu. Beberapa sendok dan beberapa potong daging anda bila dihitung-hitung jadi lumayan berharga, bukan?

Satu sisi lagi tentang membuang makanan (dan ini agak berat): hargai nyawa mereka. "Mereka" disini adalah tanaman dan hewan yang diolah menjadi menu anda. Saya bukan vegetarian (saya cenderung karnivor sebenarnya, i.love.meat), tapi bukan berarti saya ga menghargai nyawa mahluk hidup seperti yang dituduhkan oleh banyak orang pemakan-sayur-saja (dan yang mana ditolak oleh beberapa pemakan-sayur-saja lainnya). Terkadang saya ga bisa mengerti argumen beberapa vegetarian bahwa mereka mengasihani binatang, itulah kenapa mereka menolak makan daging. Tapi tumbuhan juga hidup, jamur pengikat ragi tempe juga hidup, semua yang kita makan berasal dari mahluk hidup. Dan saya menghargai itu sepenuhnya, dengan makan secukupnya dan tidak menyisakan makanan. Setiap makanan yang kita buang berarti beberapa nyawa yang terbuang sia-sia (beras, kol, ayam, etc). Agak ekstrim memang, tapi itu kenyataannya. Dan kalau, kalau anda benar-benar tidak bisa menghabiskannya (siapa tahu anda diundang dinner dan diberikan porsi yang luar biasa besar), alangkah eloknya bila anda bisa menberikan sisa makanan anda ke mahluk hidup lainnya atau memastikan diubah menjadi kompos. Ga akan selalu bisa, tetapi bila anda bisa selalu mencoba alangkah baiknya.

Saya harap tulisan saya ini ga bikin anda kehilangan selera makan. Sebaliknya, makanlah seperti biasa, dan hargailah tiap suapan yang masuk. Itu rejeki anda toh? Happy Holiday!


Photo taken from: http://littlemissredhead.wordpress.com/2010/11/03/reduce-reuse-leftovers/

Monday, December 19, 2011

Ooopsie, Bad Joke!

Dari infojakarta: Kami mohon maaf untuk sensitifitas feedback yg muncul dari tweet #jktketawa kami. terlepas dari kesalahan personal admin, management...

Well, that settles it :)

@infojakarta adalah salah satu akun twitter favorit saya yg selalu nge share info-info menarik tentang Jakarta, dan seringkali joke-joke yang bikin saya ngakak sendiri. Sayangnya salah satu joke nya kemarin kurang tepat dan (seolah) mengolok penderita bibir sumbing. Reaksi follower nya beragam: ada yang keras menegur, ada yang sinis (menyarankan buka akun baru khusus joke. Please deh oom), ada yang ekstrim dan langsung unfollow. Anyway, reaksinya beragam.

Kapan joke itu dibilang gagal/menyinggung? Saya ga terhibur dengan joke yang main fisik/ras/agama etc, namun bila kita aware itu yang selalu terjadi. Film warkop, iklan-iklan yang menegaskan kalau perempuan tidak kurus/putih maka ia tidak akan dapat pasangan, tweet-tweet agamis yang menghujat pemeluk agama lain, komentar-komentar tidak beradab di berita online, acara (ala) ketoprak di salah satu tv swasta yang penuh joke fisik dan kekerasan (saya masih ingat saat salah satu personelnya merusak simbol agama, dan jujur saat mereka minta maaf kelihatan banget mereka ga rela). Semua ini juga menyinggung orang lain yang "berbeda".

Saya menghargai para mas dan mbak yang sudah menegur akun yang menyinggung orang lain, semoga para mas dan mbak yth tersebut juga peka terhadap joke-joke atau berita miring/diskriminatif yang menyinggung orang lain. Kalau anda bisa dengan tegas membela penderita bibir sumbing atau autisme, maka anda juga bisa dengan tegas membela pemeluk agama lain yang dihujat atau gadis berkulit gelap yang digambarkan sulit dapat pasangan. Just try to be easy saat negur, siapa tahu mereka ga bermaksud jahat dan cuma ga peka atau kepleset :)

Saturday, December 10, 2011

Disentri Menular, Ke-bule-an Tidak

Malam ini saat berjalan-jalan di Facebook teman, mari kita sebut dia mr.X, saya jadi tersadar: ada hal hal yang menular, dan ada yang tidak. Disentri jelas menular, tapi ketenaran dan kebulean tidak.

Dasar pemikirannya: seorang teman FB mr.X yang bergaya sok bule berat krn berada di negeri bule. Hohoho. Saya jadi bertanya-tanya, mereka pada ngeh ga sih kalau ke-bule-an itu kodrat lahir/hasil didikan, dan ga bisa menular secepat virus flu atau kuman disentri? Anda mungkin menuduh saya sentimen, tapi bila anda membaca orang dengan baik anda akan bisa membedakan orang yang memang bule alias asli atau ori (terlahir/terdidik ala bule) dan yang sok bule alias fake alias KW (ahem, cintya loora anyone?).

Hal yang sama berlaku untuk ketenaran, juga kekayaan. Seseorang bisa nempel dengan orang tenar atau orang kaya, tapi ketenaran dan kekayaan tersebut ga akan menempel secara permanen. Herannya fakta ini tidak menghentikan orang-orang berusaha tertular tenar, tertular kaya, tertular bule (yang ini so inlander deh bo'. Menyedihkan.).

Saya pernah menulis status di FB: "Yang membedakan orang yang unik dan pengikut adalah ke-originalitas-an kami.". Saya percaya setiap orang unik, namun tergantung kita sendiri untuk menonjolkannya. Ga perlu repot-repot nebeng dan berharap tertular kelebihan orang, jadilah diri sendiri ;). Lagipula, cuma disentri, flu, dan sakit mata yg menular secepat itu :p.

Tuesday, November 29, 2011

Sama dan (tidak!) Berbeda

Pagi ini dimulai dengan membaca berita menyedihkan dari Amerika, dimana seorang calon konselor sekolah menyatakan dia akan sulit bekerja dengan para gay dikarenakan kepercayaan yang dia anut. Kenapa menyedihkan? Sebab saya percaya bahwa tiap manusia memiliki hak untuk diperlakukan sama. Tiap manusia itu setara.

Secara teknis, dunia menjadi begitu dekat sekarang. Kita bisa dengan mudah menghubungi orang-orang atau bahkan bepergian ke seluruh penjuru dunia. 80 days around the world bisa diganti dengan 80 minutes around the world dengan telepon lama, atau bahkan 80 seconds around the world pakai Skype. Tapi bukannya meluas, hati orang-orang malah cenderung mengecil. Bukannya menghilangkan label, malah justru menambah label: "homo", "wanita", "teroris", "radikal", "hippie ga jelas*, dan masih banyak lagi. Penganut agama A menolak berkumpul dengan penganut B, suku A menolak membantu suku B, si warga negara C menolak adanya warga negara D di negaranya. Kenapa malah kebencian yang dipelihara?



Apakah saya homosexual? Bukan. Saya masih cinta lekong-lekong yang sexy menawan. Apakah saya menyetujui homosexualitas? Ga bisa dibilang iya. Karena saya masih percaya kalau Tuhan memang mentakdirkan pria dengan pria Ia akan membuat Adam 1 dan Adam 2 di Taman Eden, begitu pula dengan Eve/Hawa 1 dan Eve/Hawa2. Tapi apapun yang anda lakukan di tempat tidur jelas bukan urusan saya, kecuali bila pasangan saya yang anda ajak berkencan ;).

Alasan klise bahwa pria harus dengan wanita dan sebagainya itu crap buat saya. Kata siapa wanita lebih bahagia bersama pria, atau pria lebih bahagia bersama wanita? Banyak hubungan pria-wanita hancur karena sang pria atau sang wanita atau keduanya tidak ma(mp)u menjaga hubungan mereka, ga ma(mp)u menghargai pasangannya. Tapi jangan salah, hubungan pria-pria atau wanita-wanita juga bisa hancur karena alasan-alasan di atas. So it's not about who you love, but about how you love.

Saya tahu setelah saya publish artikel ini isi komen saya mungkin akan dibombardir orang-orang yang menentang homoseksualitas, dan link artikel saya akan RT berulangkali di twitter dengan tulisan "Kafir!" "penentang Tuhan" dan seterusnya. I don't care. I don't support them, but I'm not bothered either*. Ada orang-orang yang obsesinya (menurut saya) lebih kacau: beberapa kenalan saya terobsesi dengan uang, yang lain terobsesi dengan kekuasaan, dan benda-benda lain yang tidak berguna untuk kehidupan manusia secara keseluruhan plus ga bisa dibawa mati. Better go fix them, love. Leave the dudes and dudettes alone.

* Yes, I have to admit that the "count-me-in!" dudes and dudettes ANNOYS me. I imagine it's hard enough for the gay people to spread their message and love across without being sabotage by those silly people who just join just because of the Fad, not because of their true nature. And if you want to look like a girl, go all in and get a boobs job, otherwise please leave your skin-tight-leotard at home. Please.

Photo taken from: http://heikoandsweechan.blogspot.com/2010/08/behind-holding-hands.html

Monday, November 7, 2011

Bersikap Dewasalah!

"emang kenapa punya ibu tiri and adik tiri??? trus berasumnsi nasibnya kek bawang putih?? emang dgn alasan gitu dibolehin ngerokok n minum miras di rumahnya????" - Komentar di forum detik soal Maia dan Al, putranya.

Walau miris membacanya, memang benar ada banyak orang sukses yang sebenarnya kondisi hidupnya saat kecil seolah pasti menjadi orang gagal (paling tidak menurut norma/pandangan masyarakat umum). Lihat saja Steve Jobs yang anak diluar nikah dan sekaligus anak adopsi, saat dia meninggal dunia jauh lebih berduka daripada kematian pemimpin dunia manapun. Namun itu bukan berarti bahwa wajar bila anak-anak dipaksa mengalami kondisi sulit karena orang tua. Hanya karena mereka cukup kuat untuk bertahan hidup bukan berarti tindakan orang tua mereka benar.



Kadang saya merasa kehebatan manusia itu overrated, terlalu dilebih-lebihkan. Manusia memang hebat dan kuat, namun hebat dan kuatnya manusia datang dari sesamanya. Bayi manusia yang baru lahir namun tak diurus memiliki kans hidup nol besar, tak seperti spesies lainnya. Entah kenapa kita sering tidak menyadari ini. Manusia butuh sesamanya untuk bertahan hidup, dan lebih dari apapun, mereka butuh orang tua mereka. Kita menggembar-gemborkan keajaiban cinta, dan memang benar sampai saat ini hanya Manusia yang terbukti bisa merasakan cinta, namun kita sering kali melupakan cinta dan kebaikan terhadap anak kita.

Apa yang akan anak anda pelajari dengan melihat perang mulut diantara orang tua? Dengan melihat siksaan verbal atau bahkan fisik terhadap salah satu orang tua mereka? Apa yang akan mereka pelajari dengan melihat kebencian diantara orang tua, ketidakmampuan untuk bersikap dewasa? Apa yang akan mereka pelajari dari pandangan dingin di mata anda, dan pemikiran anda (entah tersirat ataupun tersurat) bahwa anda menyesal melahirkan mereka? Semua yang saya sebut diatas akan melunturkan harga diri mereka, menumbuhkan rasa tidak percaya diri, menumpulkan suara hati dan kebaikan alami, dan memperuncing amarah dan emosi negatif mereka. Ini yang mereka pelajari, ini yang mereka ketahui.



Manusia adalah satu-satunya spesies yang mampu mengubah sesamanya secara negatif. Anda membuat anak anda menjadi monster negatif, ia akan pergi dan melukai orang lain, orang lain itu kemudian akan melukai orang lain lagi, dan seterusnya. Kebaikan itu menular, namun tidak semenular emosi negatif. Saat anda menyakiti anak anda, melukai hatinya secara tidak perlu, berarti anda bertanggung jawab terhadap sekian banyak lainnya orang yang tersakiti, yang terluka. Anda tidak perduli? berarti mungkin memang anda tidak seharusnya memiliki anak. Jangan pernah memutuskan melahirkan dan menbesarkan seorang anak tanpa berpikir panjang.

Stop berangan-angan mengubah dunia menjadi tempat yang lebih indah, surga di dunia. Bila anda ingin mengubah dunia menjadi lebih baik, mulai lah dari diri anda sendiri. Manusia hebat, manusia kuat, namun tak ada seorang anak pun, seorang manusia dewasa pun yang boleh diperlakukan sekejam ini. Berhenti menyakiti anak anda. Bersikap dewasalah.

Thursday, November 3, 2011

Kuta Karnival 2011

It’s the sun, It’s the sea, it’s the wind that breeze and the huge kites that flew (and some huge beer-bottle balloons that I just adore), it’s Kuta Karnival 2011 in full spirit!!



Yup, one of my favorite event of the year has return, and it returns with such full throttle, no less than the OktoberFest as its theme!! Okay, the official theme was: Light Up The World. But still, with all those Carlsberg, Heineken, Storm and Bintang (and along numerous other import/local beer that I just only knew at the event, including the fabled Kuda Putih), it’s difficult to remember the original theme was not about beer festival. Anyway, it was anything but boring ;)





Kuta Karnival (along with Sanur Festival on November and Denpasar Heritage Festival on December) is definitely my favorite Bali event. This laid-back style carnival/festival allows yours truly to wander along all day long on the beach, relieving my thirst and hunger from various drink and food stall (not many food stall this year though, shame), run and play with the cold water/wave when I felt bored (or slightly intoxicated), and just sit dumbfounded watching the majestic sunset. Best parts: nobody cares what you did during the event as there are so many people loitering around anyway. Oh yeah, I got to dress whatever I want (I choose “polite” clothes this time, as I’m in the “age self-conscious” period) and get to see some really nice guys. Mmmm…. This is what girls should do in their free time… Having fun, that is. What else? What are you thinking about??



Some friends of mine, a delightful couple from South Africa, came on the last day. We talk and laugh and basically just chatting away (a bit nonsense-ly I presume) and the next thing I know we’ve been hanging around there since 2 – 8 pm. Wowie! When I visit the event on the first day, they have an opening parade, and it was pure beauty. Especially as it is set against the setting sun, it was both breathtaking and most memorable. On the last day, however, my friends and I get to see the closing band parade. Some are good (especially the metal ones, and my friend manage to get a picture with the lead singer), some are so so, but one strikes gold: A children band (local Bali children, yeaaah!!) who just know how to swagger, how to pluck the guitar, and how to leave me and my friends dancing and clapping feverishly for them. Yup, they’re THAT good!!



I was more than a bit upset when it ended, I felt like Cinderella at 11.55 pm (or something similar). But no worries, I still have Sanur Festival to look forward to in another 2 weeks or so, and Denpasar Festival in less than 2 months, and of course, Kuta Karnival next year :). Love Love Love Bali!!!



View the Parade Video here, And more photos here.

Mbak Kim Kardashian dan Thank-You-Note

Saya ingin tahu apakah Kim Kardashian dan/atau suaminya sempat menulis thank-you note untuk fotografernya...

Pikiran itu tercetus di benak saya siang ini, saat saya sibuk menata 400-an testimonial klien kantor saya. Percaya tidak percaya, orang-orang yang menulis testimonial untuk kami secara global tampak lebih bahagia dengan pasangannya, lebih menikmati hidup, dan memiliki tingkat perceraian lebih rendah. Okay, data ini jelas tidak 100% akurat, karena saya hanya mengobservasi via Facebook; dan tingkat perceraian klien kami memang amat-sangat rendah. Tapi tetap saja saya jadi kepikiran.

Testimonial bisa dibilang thank-you note: Klien mengakui (dan memuji) hasil kerja kita. Biarpun hanya sebaris-dua, rasanya menyenangkan sekali diapresiasi. Untuk klien pun ada benefitnya lho, karena kalau lain kali ia menggunakan company/perusahaan yang sama pasti ia akan diperlakukan lebih baik lagi. Siapa sih yang tidak suka dipuji? Siapa sih yang tidak suka dapat perlakuan ekstra baik?

Masalahnya hanya satu, tidak semua orang memiliki kerendahan hati untuk bilang “Terima Kasih”. Walaupun 100% gratis untuk mengucapkan kata “Terima Kasih” itu. Jadi wajar saja kalau orang yang menulis testimonial dan/atau tidak pelit mengucapkan “Terima Kasih” (tampaknya) hidup lebih bahagia, mereka sudah mengerti esensi hidup : saling menghargai. Yeah, anda memang membayar si mbok untuk bebersih rumah anda, atau untuk perawatan lengkap di Rumah sakit, atau untuk service total di rumah makan mewah; tapi tidak ada salahnya kan untuk tetap tersenyum dan mengucap, “Terima Kasih”. Perkataan itu membuat orang yang membantu anda (dan anda sendiri) merasa sebagai “Manusia”.

Balik lagi ke Mbak Kim itu, saya rasa walaupun dia menulis surat thank-you pribadi berlembar-lembar pun kemungkinan dia tetap akan cerai, maklum seleb. Anyway, konon dia dapat $7.5 juta Dollar dari pernikahannya selama 72 hari. Itu berkali lipat dari jumlah yang didapat rata-rata wanita, padahal sudah nikah berpuluh tahun. She might not be nice, but she sure is smart.

Putusnya Kebencian

Somewhere along the line, it stopped.

Saya berjumpa dengan seorang kenalan saya kemarin. Saya benar-benar tidak ingat siapa dia, dan dia berusaha keras mengingatkan saya. Padahal dari penuturannya dia salah satu kenalan dari “periode gelap” saya. Beberapa waktu yang lampau saya bertemu dengan gang kampus yang amat saya benci, namun saya malah terlongo bego menatap mereka sementara mereka berusaha membuat percakapan yang, ehm, beradab. Begitu pula dengan orang-orang yang menyapa saya di Facebook, yang dulunya mendengar namanya saja bikin saya merinding. Seperti cerita orang Skinhead diatas yang memutuskan untuk bertobat, entah dimana dan entah kapan, kebencian itu tiba-tiba berakhir.

Buat yang kenal saya pasti tahu, saya orangnya ekstrim. Kerja untuk/bareng saya itu bisa amat menyebalkan, tapi hasilnya (paling tidak menurut saya, bos-bos saya, dank klien-klien saya) benar-benar bagus. Adu mulut dengan cowok senior saya, mengobar perang dengan organisasi kampus, sampai memarahi ketua organisasi besar di Jakarta sambil menangis. Di depan semua orang. Wajar sekali saya punya musuh dimana-mana, wajar sekali saya pun banyak memusuhi orang.

Tahu kan rasanya? Mulut rasanya pahit, dada berdebar kencang, napas tak teratur, siap untuk menyerang, untuk mempertahankan diri. Dan itu cuma karena mendengar nama mereka atau cerita tentang mereka. Saya sampai harus meminum segelas wine sebelum berangkat reuni gank kampus itu (yang ternyata batal), karena begitu emosionalnya saya. Tak berapa lama kemudian mereka tiba-tiba muncul di kehidupan saya. Lalu lebih banyak lagi “musuh” saya muncul kembali. Harusnya rasanya seperti “rise of the dead” atau film zombie lainnya, tapi saya justru tidak merasakan apa-apa. Saya tidak peduli lagi.

Ada pepatah, “Time heals what reason cannot”. Waktu akan menyembuhkan apa yang tak bisa disembuhkan oleh alasan/penjelasan. Masuk akal, hidup manusia adalah seri cobaan tiada akhir, dan cobaan yang satu lebih besar dan lebih berat dari sebelumnya. Kita tidak memiliki kemampuan untuk membenci sedemikian lama, ada banyak hal lain yang harus dipikirkan. Dan tiba-tiba, tanpa kita sadari, kebencian/amarah kita sudah tidak berarti lagi, karena kita menemukan hal lain yang lebih penting. Bisa saja anda mempertahankan kebencian/amarah itu, namun dengan risiko anda terjebak di masa lalu dan tak mampu melangkah kedepan, dan jelas, kehilangan sesuatu yang lebih penting dalam hidup anda.

Bila saat ini anda masih terjebak kebencian masa lampau, jangan takut. Waktu akan menyembuhkannya, namun hanya bila anda mengijinkannya ☺.

Monday, October 31, 2011

I'm sorry. But I hate you. A lot.

I hate you. I hate all of you.

Sometimes I just don't understand why you come tromping down like bunch of trolls to my country, and bitch about us afterwards as you did here. Sure, we're not perfect; sure, we're a developing country; sure, we're a bit backward on so-called-proper (western) civilization; heck, like it matters?

Have you ever stop to think that those cringe hotels and hawkers and pushy transportation were there exactly because you supply them with demands? Have you ever try to even ask your boarding/accommodation whether they have the proper permit to build there and run the business? Why call us corrupt when you gleefully take advantage of our corruption (and by the way, what did you call Maddoff then? Ha ha)? Why cursing our corrupt police men for nailing you with traffic ticket and drugs, when we are in danger of even more severe penalty for that "simple" offense in your home country?

I revise my statement. I hate you if you come here just to be a bitch in my land (men included). I welcome you as a civilized guest though, one that manage to be polite the entire time they are visiting, and even after. You don't want someone to come and bitch at your house, why do it in ours? Think I'm alone in this? Hell no. Read it here, uncivilized guests are a disgrace to their own kin. My friend from South Africa shudder in disgust when he got a pat in the back with a drunken guy, which said to him, "Hullo, mate!".

He and his wife treat me equal, treat me like a human being, and I am very much looking forward for their annual visit. If you are not capable to treat people on the country you're visiting humanely and equally, if you are not capable to honor and respect the country your visiting (and regard it as someone else's home), then by all means stay in your country. You're just not civilized enough to see the world.

Stop Lebay, Mas...

"...and to be honest I don't like crowded places especially that I'm a photographer, you'll not be able to take a decent photographs without someone disturbing you." - Komentar di sebuah artikel mengenai air terjun di Bali (e-mail saya untuk link lengkapnya).

Oke, noted! Seorang "photographer" perlu spot yang tenang, yang tak terganggu oleh orang-orang demi mendapatkan hasil yang bagus. Tapi bukankah spot-spot tersebut biasanya, erm... , milik umum, yang berarti orang lain punya hak untuk nongkrong di sana??

Yes, I'm being a bitch. Komentar di atas bisa saja diartikan bahwa dia lebih suka lokasi foto yang tenang (coba ke Kuburan Jeruk Purut barangkali?), dan saya saja yang lebay. Namun saya selalu merasa tergelitik (kesal) kalau mendengar orang flaunting/memamerkan, "yeah, berhubung gue fotografer..." atau " wajar kan, secara gue blogger..." atau "sori aja ya, gue tuh dokter..." etc. Oh God....

Yup, saya tahu anda berprofesi sebagai apapun itu namun maaf, entah mengapa saya ga impress atau terkesan. Ingat ilmu padi? Semakin berisi semakin merunduk. Kayanya semua maestro dunia (atau orang-orang yang hebat di bidangnya) ga ada yang mamerin what they're good at. They're just so damn good with what they do (Bill gates, Steve Jobs, Donald Trump, etc), mereka ga perlu menjelaskan kepada dunia tentang kebisaan mereka. Dunia sudah tahu. Sebaliknya, yang repot-repot pamer biasanya mengikuti pepatah lainnya: "tong kosong nyaring bunyinya". Anda yang mana?

Monday, October 24, 2011

Hidup Menu Indonesia!

Menu monster. Es krim yogurt dengan selai stroberi, honey star, rice crispies, mochi stroberi, dan potongan kiwi (satu-satunya yang tampak agak ‘sehat’ di campuran ini. Saya benci kalorinya, saya benci harganya, saya cinta rasanya. I. LOVE. IT.

Saya tidak pernah bisa mengerti istilah “diet”. Buat saya makan ya makan. Selama menu yang boleh dimakan, dan selama ga bikin susah orang, I’ll eat anything. Kalau pakaian sudah mulai sempit dan dompet sudah mulai kosong, sudah saatnya ngerem. Semudah itu. Dan cara lain yang paling jitu? Stop semua makanan ‘bule’ dan hanya makan menu asli Indonesia. Sehat bo’!

Lucu banget,paling tidak buat saya, melihat berbagai tulisan tentang “pola makan yang sehat”. Bukan pola makannya yang lucu, namun menu dan informasi yang ditulis jelas-jelas copy-paste dari artikel luar. Saya pernah menemukan artikel “Mudik Sehat”, yang intinya menyarankan para pemudik untuk makan apel dan keju. Hmm, ini kita membicarakan pemudik yang sama yang naik motor ber-3 dalam 1 motor kan? Lalu artikel “Penganan sehat” yang isinya antara lain popcorn, seledri + dipping, apel + selai kacang. Serius benda-benda ini adalah makanan umum di Indonesia??

Nope, saya ga anti makanan asing. I eat anything, remember? Saya cuma ingin mengkampanyekan enak dan sehatnya makanan asli Indonesia. Saya percaya penuh dengan teori evolusinya Charles Darwin, bahwa mahluk hidup menyesuaikan diri dengan sekitarnya, termasuk soal makanan. Secara logika buat saya tidak masuk akal bahwa menu makan orang asing lebih baik dari menu tradisional kita; karena bagaimanapun juga tubuh kita sudah terbiasa dengan menu tersebut selama entah berapa ratus atau bahkan ribu tahun. Gado-gado (yang variasinya antara lain pecel, ketoprak, tahu tek, tipat cantok), ikan asin, tahu-tempe, urap, dan masih banyak lagi. Teman saya dari South Africa sampai repot-repot berusaha mengimpor tempe karena begitu sukanya dia dengan menu ini.

Ini baru dari segi bahan baku, apalagi dari segi porsi. Sampai saat ini saya belum pernah melihat menu Indonesia yang dagingnya disajikan utuh layaknya steak. Rendang yang terkenal saja hanya disajikan dalam potongan-potongan kecil. Bila anda pernah mencermati menu nasi campur anda, isinya adalah sedikit-sedikit dari semua menu. Pernah ada yang iseng menghitung kalorinya? Saya yakin ga akan seheboh menu Barat yang penuh daging dan sebagainya.

So yeah, menu kita menyehatkan (dari segi bahan baku dan cara pemasakan), rendah kalori (saya ga punya bukti sayangnya, namun kalau saya melihat kecenderungan rendahnya tingkat obesitas di masyarakat Indonesia dahulu harusnya menu ini sesuai dengan kebutuhan kalori kita), dan….. (ini yang paling penting) Ramah lingkungan! Ayolah, masuk akal kan? Sementara menu barat isinya “daging 200 gr” untuk 1 porsi, saya yakin ibu-ibu Indonesia bisa dengan mudah menggunakan daging itu untuk 4 porsi, atau bahkan 5. Jadi sebenarnya kita makan lebih sedikit daging, dan dengan begitu lebih sedikit berperan dalam kerusakan lingkungan. Hidup makanan tradisional!

Saya pernah hidup di kota besar, dan saya tahu sulitnya mencari makanan asli Indonesia yang dimasak dengan benar, bukan yang dimasak sembarangan dan dengan pengawet berlimpah. Kalau boleh saya sarankan, ambil sedikit waktu anda dan coba memasak saat akhir minggu; ajak rekan-rekan anda untuk mengkonsumsi penganan tradisional dan bukan hanya pastry gurih. Biarkan menu tradisional ini terus hidup lewat dapur anda, lewat kesadaran anda. Bagaimanapun juga, menu kita sehat dan irit beib. Selamat bersenang-senang!

Foto-foto beragam menu makanan saya

Saturday, October 15, 2011

Mind your Business, Mr. Save The Earth, Sir.


http://news.yahoo.com/greenpeace-condemns-indonesia-deportation-115529212.html
"Greenpeace on Friday accused Indonesia of waging a vendetta against the environmental group, after the head of its British branch was denied entry to Jakarta to campaign against deforestation.
In recent years, Greenpeace has run several campaigns against Indonesia-based Sinar Mas, a privately owned paper and palm oil giant which environmental groups accuse of illegally logging swathes of carbon-rich and biodiverse forests.
Greenpeace campaigns have seen the likes of Unilever, Kraft, Burger King and Barbie maker Mattel cut supply chains from Sinar Mas companies, including Asia Pulp & Paper, one of the world's largest paper makers."
Remind me again why this "brutal" Sinar Mas Group is doing so many deforestation? Oh right, to supply palm oil for s0-called western-standard products which were then being distributed and heavily advertised to poor under-develop or undeveloped countries as a "you-are-not-civilized-if-you-do-not-use-this-product". You know, items like lab-prepared burgers, cheesy snacks, dolls that makes you wish you lost a few ribs to look like her, all the essential items in life. You know, countries like Indonesia. Oh wait, isn't that the country which the people and "Sinar Mas" savagely deforested their ancient forest and which Greenpeace comes to rescue? Such twisted delight.
Yeah, I confess I may have a grudge towards the organization ever since their fundraiser haggles me for funds. Appreciate that what's fundraiser do, but it leaves a bitter taste as she somehow makes me think that I'm not saving the world by not donating for the group. I did try to, as a matter of fact, in my own way. And now this news makes me even more bitter.
Thank you for trying to save the world, oh great organization. But how about cleaning up your backyard's first before you harass other people's patio? As I pointed out above, we're (the so-called-undeveloped-countries) are merely the supplier. The world hasn't change, the slavery is still live and thriving; back then we got measly food but no salary, now we have salary enough only to buy that measly food. Back then we are forced to destroy our forest for sugar-cane plantation, now we are forced to destroy our forest for palm plantation you so hate about. The old ways of living in Indonesia does not need that many sugar cane, nor that many palm oil. You asked us to.
At this point I know someone would argue, "The Indonesian should know the danger of global warming, Indonesian should take action!". You know, NO Indonesian (or any right-mind person) interested in destroying the forest. The locals love the forest so. And beside, we have better things to do. Yes, we're doing it for the money, but before you argue I would love dearly to see other organizations that fights back deforestation to be in our shoe. Our so-called uncivilized people earn money from it. Not ridiculous amount of money that literally makes you able to swim in it like Scrooge McDuck, but only enough to make ends meet and prevent death from hunger. The ones that made real money are our corporate dudes, not unlike your own corporate dudes which you were so busy protesting now in Wall Street. I have strong suspicion that they are related, perhaps even tied by blood. Our sweat and blood, that is. Go haggle them instead. It's so easy to talk and shout and condemn people for not taking action when you don't have 5, 6 hungry children plus a malnourished wife you love so dearly waiting for your to bring some food home.
Get this. You want to save the planet, you go and negotiates with the consumers instead of go haggling the suppliers. Demand stops, supply stops. Simple and clear. It's not fair that you force us to leave (perhaps) the only way for us to make money, just because several million or so "educated people" can't live a day without their daily dose of burgers. Facts that un(der)developed countries are the biggest consumer? Well yeah, you kinda force feed us. Just like a toddler that has absolutely no clues of the "joy" of junk food, until their parents give it to them (or keep feeding them,to be exact). Junk food makes toddler happy and parents' doesn't need to cook, your items makes us happy and make loads of money for the sales. We've been free for 66 years, Developed countries such as USA have been free for 300-something years. Guess who's the parents.
By the way, have you tried browsing our traditional way of life? Just like the oh-so-precious yoga you'll find them environmentally friendly, sustainable, dirt cheap, and overall awesome. The famous Rendang, for instance, is made by beef but we only ate very little per portion compared to the heavy steaks or even deluxe burgers people so fond of wolfing down. Any prestige on chowing down a piece of rendang? Nope. Any prestige on sporting a massive submarine? Hell yeah. Instead of chaining your self to a tree or chasing down a whale boat you might want to stop and ponder on the marvel of traditional way of life. You might want to focus on advertising the goodness of the traditional way of life. You might want to, you know, perhaps (and a very big perhaps it is), think of what our people should do to make ends meet other than destroying the forest for some measly cents. And then, perhaps, we might save the world.

Tuesday, October 11, 2011

Going in circle? Make it stop.

Diskusi saya malam ini berubah menjadi ajang curhat online saat teman saya dengan emosi menceritakan pacar sepupunya yang masih SMA datang bertandang sampai larut malam. "Mereka masih SMA gitu lho," ceritanya dengan semangat, "emang orangtua perempuan itu ga ngeliatin apa anaknya, main kerumah lelaki malam-malam??". Dengan polos saya bertanya, "Bukannya kamu juga sering bawa Aa mu kerumah sampai malam?" - rumah dia dan sepupunya kebetulan berdekatan - namun ia menjawab, "Dia juga sering lihat ipar-iparku dan sepupunya bawa pacar mereka ke rumah malam-malam, kenapa aku yang disalahin???". Errm, terus kenapa marah, batin saya. Namun saya cuma bisa melongo sampai rokok saya padam.

Ada pepatah dalam bahasa Inggris: "two wrongs don't make a right". Dua kesalahan tidak akan membuat satu kebaikan, salah ya salah sebenarnya (walaupun saya percaya tidak ada benar-salah yang mutlak kecuali dari Tuhan). Dalam kasus teman saya, dia tahu tindakan saudara-saudaranya salah, namun dia tetap melakukannya dengan alasan 'yang lain juga!', dan akhirnya saudaranya yg lain juga ikutan. Ganti 'pacar' dengan 'alkohol', 'obat bius', 'putus sekolah', atau apapun yg anda suka; intinya tetap sama : bila anda tahu sesuatu itu salah, mengapa anda tidak berubah dan memutuskan lingkaran itu, dan bukan malah membuat lingkaran baru?

Rasanya jawabannya karena lebih mudah menyalahkan seseorang, jadi kenapa repot-repot? Ini jawaban yang tidak valid sebenarnya. Kalau anda melihat orang didepan anda jatuh ke lobang, namun anda tetap mengambil jalan yang sama dan akhirnya masuk ke lobang yang sama, anda tidak berhak menyalahkan dia karena memberi jalan yg salah atau tidak menginfokan adanya lubang. Lho anda sudah lihat sendiri toh?

Tidak seperti species lain dalam kingdom animalia, manusia memiliki kemampuan imajinasi, yang bisa diaplikasikan sebagai kemampuan untuk membayangkan masa depan. Jadi kenapa tidak digunakan dan malah ikut sesuatu yang hasilnya buruk cuma dengan alasan, "habis yang lain juga...!" Gazelle afrika saja jadi lebih hati-hati minum disungai setelah rekannya diterkam buaya, masakan manusia tidak lebih cerdas daripada gazelle dan dengan pedenya terus terjerumus/menjerumuskan diri?

Pikiran manusia adalah tempat favorit saya untuk berjalan-jalan, tiap manusia memiliki pikiran yang unik dan beragam, yang saya nikmati apa adanya tanpa berusaha terlalu jauh mengerti (saya saja masih sering tidak mengerti pikiran saya sendiri). Atas dasar itulah saya tidak terlalu peduli akan teman saya yang kekeh menjalani lingkaran setan-nya. Suka-suka dia lah. Namun demi ketentraman sesi diskusi saya malam-malam, saya berharap anda yang membaca ini akan lebih pandai dan mampu memutus lingkaran setan anda, apapun permasalahannya, dan bukan hanya sanggup dan/atau maunya membeo : "habis yang lain juga...!"

Salam!

Tuesday, October 4, 2011

In the name of God

At darkest moments like this, where sea of emotion swept me away and misery engulf me, towering like contemptous wall of darkness around me, at moments like this I can feel Him next to me.

I can feel Him stroking my hair lovingly; lift my chin up and kiss my forehead gently. I can feel Him put His arms around my shoulders protectively, look me in the eye and as He wipe my tears He smile and say: "You are with me, my child. Fear not, distress not, as I love you. I always do." And with that, I found peace.

In the name of God I shall prevail; I shall not fail His test, his task. In the name of God I will make it; will break free from this hatred emotion and bathe in His love instead. In the name of God I shall walk, for I am His child, as all things dead or alive in this universe. I love you, God.

Sunday, September 25, 2011

Thank You Love

Thank you for being here for me.
For wiping my tears,
For sharing my burden,
For loving my family and things that matter most for me.

Thank you for keep on reminding me i'm not that awful,
Thank you for making sure i didn't get that awful,
Thank you for seeing me as worthy,
Thank you for not thinking me as a liability.

Thank you for seeing me and accepting me for who i am,
Cherished my virtue and (trying to) understand my flaws,
And thank you for always commiting in that decision all the way.

Accomplishment is not always in title or medal or wealth,
Accomplishment is when you succeed making someone feel human.
Like you did for me.

Thank you love,
For making me feel precious,
For making me feel happy,
For making me taste the glory of love.
I love you.

Wednesday, September 21, 2011

SMA6 vs Wartawan: Fisiologis Semata. Santai bro!

Buat yang masih berdebat mana yang salah mana yang benar dalam cerita SMA 6 vs Wartawan, biarkan saya mengatakan 2 kata: Temporary Blindness. Kebutaan Sementara.

One of the really interesting facts about police work is that an officer behaves much better—makes better decisions, fires his gun less frequently, has fewer complaints filed against him—when he is by himself than when he is paired with a partner. Officers on their own are far more cautious. - Blink by Malcolm Gladwell

Salah satu fakta yang sangat menarik tentang pekerjaan polisi adalah bahwa seorang petugas berperilaku jauh lebih baik (membuat keputusan yang lebih baik, menembakkan senjatanya lebih jarang; memiliki lebih sedikit total keluhan yang diajukan terhadap dirinya) ketika ia bertugas sendiri daripada ketika dia dipasangkan dengan orang lain. Petugas yang bekerja sendiri jauh lebih berhati-hati. - Blink oleh Malcolm Gladwell

Blink adalah sebuah buku tentang snap decision, pengambilan keputusan secara cepat/sekejap. Di buku ini dijelaskan bahwa ada faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi pengambilan keputusan kita. Ada sebuah contoh di buku itu dimana seorang terduga pelaku kejahatan (Rodney King) mati dipukuli polisi setelah pengejaran berkecepatan tinggi di jalan raya. Hari berikutnya ada kerusuhan di LA karena masyarakat menganggap polisi rasis (Rodney is black). Buku ini menjelaskan bahwa bukan masalah rasisme, namun para polisi ini tak mampu berpikir jernih karena terbawa arus adrenalin mereka. Mereka mengalami kebutaan sesaat, judgement akal sehat mereka tidak beroperasi dan seolah digantikan oleh insting dasar mereka untuk memburu mangsa (we're human, we have that instinct). Dan bila saat pengejaran hanya ada 1 polisi terlibat maka sudah pasti Rodney King tidak mati.

Gantilah pelaku cerita diatas dengan anak SMA 6 sebagai Rodney King dan Wartawan sebagai Polisi yang terlibat, atau sebaliknya. Gantilah pelaku cerita diatas dengan Mahasiswa pendemo tahun 98 sebagai Rodney King dan Tentara sebagai polisi. Masuk kan? Kalau saja hanya ada 1 anak SMA 6 atau 1 saja wartawan, ga akan ada kerusuhan riang gembira di SMA 6. Saya berharap semua orang berhenti ikutan main sinetron dan menyadari bahwa tidak ada yang salah, itu cuma reaksi normal saat adrenalin terpacu dan memiliki, ahem, teman banyak di sekeliling kita. Mau hal ini tidak terjadi lagi? Jangan datang ramai ramai, jangan berkumpul rama-ramai. Kita memiliki keberanian semu saat bergerombol, dan bila ditambah dengan adrenalin yang terpacu hasilnya bisa fatal.

Satu hal lagi: bad news is good news in media. Kalau kebetulan bad news nya tentang sesuatu yang tersohor, it's even better. Harusnya tidak ada yang heran dengan banyaknya wartawan yang meliput tawuran di SMA 6, karena setelah terjadi keributan dengan wartawan tiap kali saya buka linimasa/timeline twitter saya ceritanya melulu tentang SMA 6. Ini berita yang bisa dijual. Tawuran (sekolah) di daerah ga terkenal jelas tidak bisa dijual walau secara rutin menewaskan pelajar/masyarakat sekitar, paling cuma ditayangkan sekali lalu selesai. Mau tidak diliput? Boikot media, paksa mereka meminimalisir bad (but juicy) news, tolak eksposure-eksposure pihak-pihak yang nebeng beken (entah kenapa KPAI tidak pernah kelihatan aktif melawan tawuran di tempat lain, padahal anak-anak yang tidak ikut tawuran tapi jadi korban juga berhak dilindungi hak-haknya), tolak membaca/meretweet/mengekspose bad news. Sudah saatnya kita belajar jadi lebih beradab.

Tuesday, September 20, 2011

Tersihir Suara Masa Lalu

Hari ini saya mendapat kebahagiaan (yup, anda tidak salah baca. KEBAHAGIAAN.) untuk mengunjungi Grya Sangket di Singaraja. It's awesome and inspiring.

Buat yang belum familiar, Grya adalah istilah rumah keluarga di Bali yang biasanya secara spesifik digunakan untuk menyebut rumah tinggal Pedanda (Pendeta di Bali). Seorang kenalan saya (yang Grya nya ternyata hanya 3rumah dari tempat yang saya kunjungi) pernah bercerita tentang Grya nya: luas, lengang, terpencil. Ok, mungkin bukan kata-kata itu yang ia pakai, namun itulah yang ada dalam benak saya: rumah kuno dengan tanah yang luas, hamparan debu dan pepohonan/ rerumputan tak terawat. Saya. Salah. Besar. (Atau to be fair, kenalan saya 'mungkin' menjelaskan kurang akurat. Yeah, saya ngeles).

Dalam buku Blink Malcolm Gladwell menceritakan tentang kurator seni yang mengandalkan kesan pertama (atau tepatnya kata pertama) yang ia rasakan saat melihat sebuah karya seni. Kata pertama saya saat tiba di sana dan melihat kori/gapuranya adalah: Majestic. Megah. Luas, benar; namun juga indah dan unik, bahkan cenderung antik. Saat acara berlangsung (kami menghadiri upacara pernikahan) saya malah sibuk melihat kanan kiri, menikmati suasana yang demikian berbeda. Pada awalnya saya tidak tahu apa yang membuat Grya ini berbeda, namun saya menyadari tata letak rumah-rumah dan kamar-kamar berbeda dari tempat lain yang saya pernah kunjungi. Tampak kuno, tapi tidak setua arca-arca dan candi-candi; namun juga tidak terlalu modern seperti bangunan masa kini. Langit-langit ruangan yang saya lihat tampak rendah, mengingatkan saya pada bangunan kuno jaman Belanda, dan memang menurut kabar Grya-grya di Sukasada termasuk grya kuno. Bukan hanya dari segi arsitektur,
namun juga dari segi suasana. Saya sangat bersemangat, seolah suara masa lalu menyapa saya.

Saya tahu mengelola tempat seluas itu tidaklah mudah, apalagi sambil mengayomi umat (God knows how many 'sacred' events Balinese have!). Tapi saya jatuh cinta dengan tempat ini, dengan ke'antik'an dan pesona masa lalunya. Mungkin orang berpendapat masa lalu itu tidak cihui, tidak keren. Buat saya masa lalu itu penting, bukan untuk dikenang ga jelas namun untuk lebih mengerti diri kita, dan bila kita bisa memahami diri kita sendiri kita akan bisa maju lebih baik.

Apalagi yang bisa diceritakan dari tempat semacam ini, yang berhasil mempertahankan keasliannya justru karena terisolasi dari dunia luar? Kisah perjuangan penjajahan, atau bahkan lebih tua dari itu? Berbagai studi telah dilakukan mengenai istana/kerajaan di Bali, sementara tidak ada (setahu saya) tentang Grya di seluruh Bali. Mungkinkah karena jumlahnya yang terlalu banyak? Padahal menurut pandangan saya Grya selaku tempat tinggal pemuka agama memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, bahkan politik (konon kakek saya dibuang berkali-kali oleh Belanda karena mereka takut akan banyaknya umat beliau). Saya rasa banyak (atau mungkin semua) jawaban dari masalah yang ada di Bali saat ini terletak pada suara masa lalu. Kegalauan kasta (lakukan tugasmu sebelum menuntut hakmu ya mas/mbak); kehilangan jati diri; sampai pengrusakan Bali. Bila kita bisa mengerti bagaimana tatanan dulu dan evolusinya hingga kini saya yakin kita akan mampu
bertindak lebih bijak di masa depan.

Saya yakin besok saya akan sulit berkonsentrasi di kantor. Yang ingin saya lakukan hanyalah berkendara saat senja melewati lebatnya hutan bedugul, dengan kabut yang perlahan turun sementara semburat mentari bermain laksana api dibalik perbukitan bagaikan adegan film Lord of The Ring. Saya ingin menuju sebuah oase masa lalu, menyandarkan punggung saya yang lelah di bangunannya. Dan mungkin, mungkin bila diijinkan, saya ingin mengeluarkan recorder saya dan meminta seorang tetua bercerita: tentang asal usul, tentang kejayaan masa lalu, tentang hikayat dan nasehat. Punyakah anda sebuah oase masa lalu, terutama dalam bentuk Grya di Bali? Bila ya, sudilah membagi cerita anda pada saya. Saya tersihir suara masa lalu.

Saturday, September 17, 2011

Putih vs Tinggi: Sebuah Prasangka

Saya baru saja menghadiri sebuah acara lamaran. Semua berlangsung baik sampai saya melihat pengantin wanitanya yang putih menawan. Saya iri, saya marah, saya merasa didiskriminasikan. Apa iya (batin saya) kalau tidak sesuai standar sekarang yang "putih bening" maka tidak masuk kategori bisa dinikahi? Bagaimana nasib yang tidak sesuai kriteria seperti saya, montok-gelap-tidak cantik?

Saya bisa menulis berbagai alasan yang menghujat orang yang melihat/menilai dari luarnya saja. Tapi apa iya saya lebih baik dari mereka? Bukankah saya begitu cepat terpikat oleh pria-pria berkaki panjang; oleh pria lokal (batak dan bali favorit saya) berkulit gelap yang tampak kuat dan gagah; oleh pria dengan tatapan tajam namun senyumannya ramah? Sama saja toh. Para pria mengejar gadis Po*d's, saya mengincar Indiana Jones. Idem ditto, sama-sama melihat dari luar saja.

Kalau anda mengartikan tulisan saya bahwa "tidak atraktif" adalah jalan buntu, saya rasa itu tidak tepat. Tidak ada yang salah dengan menjadi berbeda. Sure, it sucks. Terkadang saya pun ingin menjadi sama, ingin menjadi "atraktif". Yang tidak atraktif memang tampaknya hanya bisa menunggu sampai orang yang tepat menemukan "nilai" mereka yang sebenarnya Namun seperti halnya barang unik apapun, seorang penggemar yang jatuh hati pada keunikannya dan mampu menakar nilainya akan menyimpan, merawat, dan menghargainya selamanya. Mungkin ia akan datang besok, atau lusa, atau entah kapan, sementara rasanya kita berdebu di rak menunggunya. Tapi ia akan datang, ia pasti datang. Sementara menunggu, jalanilah hidup semaksimal mungkin. Itulah yang membuat anda unik, bukan?

Monday, September 12, 2011

Sorry, No Lap Dancing Today

Pagi ini rasanya hitam sehitam-hitamnya. Saya marah, saya sedih, saya putus asa. Rasanya saya tersapu dan tenggelam dalam emosi negatif. Lebay? Nggak juga, saya cuma benar-benar terluka oleh suatu hal.

Orang-orang memiliki mekanisme sendiri dalam menghadapi keterpurukan. Ada yang bengong ga karuan, ada yang mengunci diri di kamar dan menangis seharian, ada yang berusaha memblok rasa sakit itu dengan melakukan kegiatan yang berguna (jarang) ataupun tidak berguna (lebih mungkin). Saya? Rasanya pagi itu saya ingin dance seharian dengan music R&B dan Hiphop favorit saya bersama teman-teman yang asyik, lengkap dengan minuman dan keriangan; atau bahkan lap dancing dengan orang yang saya sukai. Karena masih jam kantor, saya mendengarkan music sekencang-kencangnya melalui earphone, bertepuk tangan dan berdansa dengan kertas-kertas kerja saya. Bos saya (bless his soul) lewat dengan cangkir kopinya,mengangkat alis, dan berlalu sambil pura-pura tidak melihat (I love you boss). Walau hanya sebentar, saya cuma ingin melupakan masalah saya.

Pemakaian alkohol atau obat hanya karena “keren” jelas sebuah kebodohan, namun saya bisa mengerti kenapa orang lari ke obat-obatan atau minuman keras saat terpuruk. Ataupun melakukan tindakan-tindakan yang konyol. Mereka mengalihkan rasa sakit kita, membuat kita tak mampu merasakannya walau hanya sebentar. Dan bila masalah yang anda hadapi benar-benar berat, ketenangan “sebentar” yang ditawarkan oleh kebodohan sesa(a)t itu benar-benar terasa seperti suatu anugrah. Seperti kata Dr. Taub dalam serial House, M.D: “You got your Vicodin [pil penenang] to block your pain, I got my affairs.”

Tapi apa benar kita cuma sekedar mencari ketenangan sesaat, melarikan diri dari masalah? Saya rasa lebih dari itu. Saya selalu berpikir bahwa tindakan-tindakan bodoh yang saya (hendak) lakukan saat terpuruk bukan hanya sebuah pelarian,namun juga pencarian. Pencarian perhatian. Pada dasarnya kita semua adalah kanak-kanak: kita butuh ditenangkan, butuh dipeluk dan diyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja, butuh sesuatu untuk berpegang. Saya pribadi akan dengan senang hati menukar kegilaan (impian) saya diatas dengan pelukan hangat dan tangan yang membelai lembut rambut saya, dan kata-kata: “It’s okay Yoges… I’m here…”. Saya rasa bahkan teroris tersangar pun sebenarnya butuh hal ini, mereka hanya terlalu terluka dan terlalu “rusak” untuk menyadarinya.

Walau hanya sementara, jauh lebih mudah untuk menghilangkan sakit kita dengan melakukan hal-hal yang negatif dan bodoh. Saat kita terbawa dalam emosi yang negatif, ada suatu perasaan suicidal/ingin bunuh diri, ingin melakukan hal-hal yang merusak, dan pikiran-pikiran menantang: “Terus kenapa?? Toh tidak ada artinya lagi!! Suka-suka saya dong!!”. Padahal sebenarnya bukan hidup anda yang ingin anda rusak, bukan hidup anda yang ingin anda tantang, melainkan masalah anda. Yang amat mungkin terjadi berikutnya adalah hal-hal buruk berkat kebodohan eh petualangan anda, lalu anda akan terpuruk lebih dalam, lalu anda akan melakukan hal-hal yang lebih bodoh lagi, dan lingkaran setan ini terus berputar.

Bandingkan dengan bila anda menahan diri: saat saya marah saya memaksa diri saya diam di rumah dan bermain Harvest Moon atau membaca buku petualangan favorit saya, pokoknya mencegah saya melakukan tindakan bodoh atau melampiaskan kekesalan saya pada orang lain. Rasanya menyebalkan dan membuat frustasi, seperti dipaksa berpuasa atau makan sayuran mentah selama berminggu-minggu. Sehari, dua hari, tak terasa anda sudah bisa bersikap cuek terhadap masalah anda karena masalah selalu ada, dan anda sudah belajar untuk menghadapi (atau bahkan menyelesaikan) masalah anda. Perbandingannya seperti main game dengan cheat (yang mudah tapi entah kenapa tidak tamat-tamat) atau main game tanpa cheat. Adu ketahanan ini jauh lebih mudah bila anda memiliki sesuatu atau seseorang yang berarti buat anda. Seperti pendapat saya diatas: bukan hanya mencari pelarian namun juga mencari perhatian. Itulah kenapa saya sibuk “mengganggu orang” saat saya terpuruk, hanya mendengar suara mereka di telepon atau membaca komen di dunia maya membuat saya yakin Tuhan tidak meninggalkan saya, Ia berbicara melalui teman-teman saya. Teman saya berfokus pada latihan silatnya, yang lain pada tulisannya. Apapun itu, ada cara yang lebih baik dan lebih permanen (dan bukannya singkat tapi temporer) untuk menghadapi masalah anda.

Tak terasa jam makan siang pun tiba. Mama saya tiba-tiba menelepon untuk makan siang. Teman saya dari Jakarta meng-SMS saya. Kenalan dari Surabaya menelepon saya. Tuhan sudah mengirimkan malaikat-malaikatNya. Sorry guys, no lap dancing today. I’m saved.

Adik Kecil, Apa yang Kau Lihat?

Teman saya, seorang pembaca non-fiksi, mengernyitkan kening saat mendengar tipe buku yang saya baca. Saya rasa wajar saja sih, tidak umum seseorang yang hampir memasuki usia kepala tiga masih membaca segmen buku young adult alias dewasa muda. Dan bukan hanya itu, saya spesifik membaca segala sesuatu yang berhubungan dengan magic dan buku-buku fantasi lainnya; walau saya tetap menyukai buku klasik seperti Little Princess, Secret Garden, dan semacamnya.

Apa yang saya lihat dalam buku-buku itu? Saya melihat keberanian untuk memulai petualangan, saya melihat gairah dan semangat hidup, suatu kepercayaan terhadap diri sendiri dan masa depan. Saya melihat dari mata kanak-kanak. Dan mengapa tidak? Kanak-kanak memiliki pola pandang yang amat positif terhadap hidup, mereka tidak takut mencoba dan tidak takut terluka, dan kemampuan mereka untuk bangkit lagi/recovery sangat cepat. Saat mereka merasa nyaman dengan seseorang atau sesuatu, mereka akan terikat; tanpa banyak pertimbangan apakah orang tersebut akan berfaedah bagi mereka dikemudian hari atau apa kata teman-teman yang lain mengenai keterikatan mereka. Kalau mereka bermusuhan, tak akan lama sebelum mereka bermain bersama tanpa dendam sedikitpun. They get to do whatever they want to do, and be confident with it.

Saya yakin pasti diantara pembaca ada yang nyeletuk: “Itu sih karena mereka naïf, belum tahu apa-apa…”; Mungkin benar, namun saya tetap penasaran apa yang bisa kita capai dengan menggabungkan kenaifan dan kepercayaan diri seorang kanak-kanak dengan pertimbangan seorang dewasa. Bayangkan, kemampuan untuk get excited/menjadi bersemangat akan berbagai hal , kemampuan untuk melihat dunia dari segi yang positif, digabungkan dengan kekuatan tekad seorang dewasa dan kematangan berpikir. Bayangkan apa yang bisa kita raih.

Saya tidak belajar untuk bersikap positif dari buku-buku MLM, saya belajar hal itu dari Roald Dahl. Saya tidak belajar etika dan bersikap baik dari buku-buku etiket di pasaran, saya belajar hal itu dari Enid Blyton. Saya tidak belajar tentang menghargai bumi dari website Greenpeace, saya belajar tentang itu dari Eoin Colfer. Saya tidak belajar tentang trik politik di kantor dari majalah “In The Office” (atau semacamnya), saya belajar dari Jonathan Stroud. Dan semua itu berfungsi dengan baik, amat baik.

Tiap orang memiliki selera berbeda. Mungkin anda benar, bahwa saya bisa saja terkena Peter Pan syndrome yang menolak beranjak dewasa. Namun cobalah bersantai sejenak, cobalah lupakan bahwa anda adalah seorang dewasa dengan beribu beban dan tanggung jawab, dan lihatlah dunia dari mata seorang kanak-kanak: Dunia itu begitu besar, dunia ini begitu indah, dunia ini begitu menjanjikan.

Catatan tambahan:

Buat para calon orangtua/orangtua/kakak/paman/bibi dan sebagainya yang ingin memberikan hadiah terbaik untuk si kecil, saya sangat menyarankan sesi membaca bersama buku-buku Enid Blyton dan Roald Dahl, atau cerita-cerita Disney era sebelum Mulan dan cerita Bobo keluaran tahun 80-an dan sebelumnya. Sampai saat ini saya masih tidak bisa membuang sampah sembarangan, masih tidak bisa tidak mengatakan “Terimakasih” pada orang yang membantu saya seberapapun sebalnya saya pada orang tersebut, dan masih percaya bahwa niat baik kita akan diganjar sepantasnya. Bisa dibilang saya masih si anak baik yang pertama kali di brain-wash oleh buku-buku tersebut di kala SD. Sangat recommended J

Sunday, September 11, 2011

A Night at La Lucciola

There was something that night at La Lucciola. I would've dearly blame glasses of wine I drank or other quite classy excuses, but alas I only drank a bottle of bear, clearly not enough to make me "influenced".
I was never the one to hit such fancy places for dining. My trade is local joints where I can relax and get loose of my self, or fast-food kind of place where I can grab a meal and run like crazy to my latest appointment (which can range from meeting with clients to sunset seclusion over the beach). The idea of dining in a place where rules apply is somewhat frightening for a carefree beast such myself, but alas, the promise of delightful delicacies and a new dining experience won me over, and off I went with the media team and AirAsia HSBC team after their delightful bike tour.

We have come there in the magical sunset hour, the lights and candles are newly lit but the last remnants of sun light still painted the sky with beautiful orange colors. The wooden bridge in which we use to pass to the restaurant creaks delightfully as we pass. As we sat in our table, the view of neatly manicured lawn which ends in small stretching mound greet us, and afar you can see the ocean waves crashing. Not too near that we were bothered with the wind and sounds of waves, but no too distanced that we can't see a thing. It was perfect. And all a while the soft fragrance of tuberose which placed neatly in our napkins and around the candles on the table (which were protectively covered by banana trunk, thinly sliced and shaped into a cylinder) tantalize our olfactory sense; and the music played tantalize our auditory sense.

For some, this restaurant might not attract them. Yet for a sensualist like me, it was a very pleasurable experience. All my senses were invoked, triggered. The candle lighting leaves everything warm and hazy, the ocean breeze makes its perfect companion; the tuberose fragrance muddled with my brain, and when the food came their aroma overpowered me as well; and the food was perfectly made: such creamy mashed potato with delicious pork tenderloin and currant sauce, and with garlic cooked whole which add a burst of flavor in my mouth, deliciously sweet and only a bit garlicky; the music plays ever so cozy; all the while with the waiter move silently to fill in our glasses and assist us. I lean a little bit closer than I should to the man next to me, listening intently to his lengthy explanation about travel writing (I am indeed interested, but in normal condition certainly I can do it in a more civilized way. Or at least I think so. Okay, I hope so. Happy?) When we walk out of the restaurant and await our car, the spell broke.
People may have other opinion about dining here (or places like this), but for me it was a really delightful experience. If you wish to dine here, apart from choosing the right clothes (as it was quite a well-known place) and preparing a hefty budget (as it was definitely not cheap), I'd recommend to carefully choose who you're dining with. As one reviewer wrote in BaliEats: Just be careful who you take as your guest, or you may finish up by proposing marriage over coffee. But then again if that is your actually intention, by all means go get 'em tiger.

Acknowledgement:
- Tons of thanks to Triski Nurani for allowing me use her beautiful photos!
- Also for everyone at the dinner, for not professing undying love to each other over dinner. That would be awkward.
- Most importantly, to the team of AirAsia HSBC for the treat. Such a delightful event indeed!!

Saturday, September 10, 2011

Bike Tour Kuta Style: A day like no other

Excitement was mounting. I gaze warily to Kuta Bex parking lot, where numbers of bike are parked neatly, ready to be used by AirAsia HSBC bike tour. Cameras were flashing, we grin and smile and took turns to capture our each other in camera and videos, and not a glimpse of anxiousness to be seen though deep down I was rather nervous. After a short warm ups, we were told to get the bicycle we feel comfortable with. Fingers were brushing against the bikes, hands firmly set upon the handles as we’re trying to make ourselves comfortable with the saddle. And what seems to be just a fraction of a second later our guides give orders, and off we go!
When I was contacted by AirAsia HSBC to join their bike tour, I was ecstatic. The promise of seeing to all-too-well-known Kuta, Legian, and Seminyak in different point of view (i.e. bike) leaves me so excited I can barely work straight days before the event. It was when seeing all those bikes that realization suddenly hit me: It’s been years since I took a full blown bicycle ride, and I’m not talking about 4 or 5 years, the last one I took was approximately in my elementary school. Of course, being a motorcycle driver for the last 3 years help with my balance, but even so I’m still having difficulties in navigating through the traffic. Luckily it only lasted a while. A tour companion drove past me gracefully, videoing us while he’s still on bike (a feat that if done on motorcycles and/or cars will earn you some well-deserve shouts and regal middle-finger salutes, not to mention some heavy bruises if you happen to hit other vehicles while doing this stunt; where as on bike, people will just smile and the only thing that might get heavily damaged if accident happen is your ego and self-esteem); the traffic congestion dissolve at certain point of our route (5 minutes later to be exact); and the best of the area began to unravel. I broke a smile. This is gonna be fun.
 

As promised in their tagline (Experience Bali Like No Other), the tour provides us with satisfying view and ample surprises when we discover the unknown area along the route. The first area was the beach in front of Padma Hotel and even my companions, the seasoned-tourists that claimed they had seen enough of Kuta-Legian-Seminyak, was surprised to see such well-kept pedestrian along the Padma hotel and beyond, stretching all the way till the Double Six Street. It was in fact, close for public and only opened upon request for the tour and during the last 2 Kuta Karnival (but it’s covered with booths and people, so even though I know the road exist I had no idea how gorgeous it is during the day). Cheers and laughter was heavy on the crowd when we pass this area, as it was the first time most of them ever saw the famous night club area during the day (party on fellas;)). But on we continue our journey to the Champlung Tanduk beach (though some of us seriously considered to take a break at Cocoon… Just kidding :D). During our few minutes break there we take group shots, and several journalists that joins us takes loads of shots because the location was just so good. Pillows mounting for a nearby beach bar, also a small stage and neatly rows of chairs and tables for their crowds. Hawker sells beautiful beads and small Balinese kites (and other knick-knack you could think of). And throughout the break time my fellow journalist, a contributor for Jakarta Post, keeps saying: “I don’t know Kuta has this kind of beach!”
Leisurely strolling on the beach with our bikes was definitely a refreshing experience, but to stroll along the cool yet quiet Seminyak was another thing altogether. The route through Drupadi Street that we took on our way to Kayu Aya Street was filled with nice shops and restaurant and quiet villas, but without the vivid display. This is where you go if you want to spend some cool and quiet shopping time. Trees and ivy on the wall poking out and pleases our eyes, and also some patches of rice fields. People might not notice how beautifully quiet the area is, but on bike, we can almost smell the sweet frangipani fragrance en route, and can see the details in the leaves and flowers. The quietness was almost magical, I got into semi-shock when we hit Kayu Aya Street where it was filled with cars and motorcycles. Here the display was more edgy and tantalizing, and I spend some precious second absorbing the details of a certain white lace dress from the window display (which I can never did on motorcycles), and spend some precious minutes reminding myself to not de-tour to the shop and purchase the said dress (hey, I get to park wherever I want or even carried my bicycle in front of the shop’s door instead of trying to park through the jungle of vehicles, a true advantage indeed!). I was already filled with all the beautiful and unique details of the shops and restaurants (which some considered finest in Bali) when we stop at Seminyak Square for refreshment and shopping time. The media team sat together at Aviary Restaurant, sipping our cold drinks while getting to know each other; needless to say I am saved from shopping madness though I have to confess they kinda wrestled me out from Periplus afterwards. No worries, I already got my copy of Bartimaeus by Jonathan Stroud by then.
But cycling does not only give the opportunity to view everything in more details; it also gives opportunity to get to know each other during the trip. Not long after we depart to Petitenget beach I already engrossed with conversation (on our bikes) with a member of AirAsia HSBC team, and find ourselves talking about everything: my writing, his thoughts, the AirAsia HSBC program, should we make that de-tour to Ku De Ta (which I’m sorely tempted, even though it’s just to annoy the security guard). It’s a thing that we probably won’t do when we just sat in a café or in a car. And to my heart’s annoyance (and my legs’ euphoria) we arrive at Petitenget beach. Being Sunday and almost sunset, the beach was crowded with Balinese. I am quite used to it, but it was really nice to see my tour companion excited about the local view. Jagung Bakar (Grilled corn on the cob), Balinese kelepon, musculous men in tattoo and Sarong, and even a number of people who practice Falun Dafa. When we were gathered back to the parking lot a few minutes later, the draw for the souvenir and surprise gifts was on. I have never really believe on this kind of drawing, and am never tempted to join events just for the door prize because I think they are all rigged. But when I saw that iPhone 4 being handed to a lucky contestant as the main door prize from AirAsia HSBC tour I vowed to myself: I definitely going to join another event.
I did hear snippets that AirAsia HSBC will do more bike tours like this in another area. If it’s near your area, by all means join it. Cycling is really an excellent way to view things differently, and if you’re already a seasoned biker, getting to know more people is quite fun actually ;). Now all I wish is that iPhone 4… (joking, I already got AirAsia voucher during quiz time at Champlung Tanduk Beach, so I shouldn’t grudge over the iPhone LOL). All I wish is travel organizers starts to think and arrange more bike tours in the future. Us city dwellers really enjoy the trip, and with more bikes and less motored vehicle we can minimize the traffic congestion and the pollution as well. Besides, everyone wave cheery hands during our pass, so it is fun for everyone. In Bali right now? Go bug your travel organizer to arrange a bike tour through Kuta-Legian-Seminyak. Have fun!

Note:
- Many thanks to Lukman Simbah from HiFatLoBrain Travel Institute for allowing me embed their fun video!
- Another great story (and more photos) of the event can be found at Triski Nurani's blog
- And yeah, thanks to AirAsia HSBC for the invitation and the doorprize. I'll fly away soon!!!

Tuesday, September 6, 2011

My Best Friend's Wedding

My best friend was married last week. And I’m so happy forher. I envy her too, but that’s another story.

We went to the same college and attend almost the same classas well, but it takes us 3-4 years to get acquainted with each other. I thinkshe’s a vicious “It Girl” that uses her looks to manipulate people; she thinksI’m the thoughtless beast that stamps on people for my pleasure. How wrong we bothare. Over the days and months to follow, our “acquaintance” turns into a much closerrelationships. Secrets are being told, sleepovers become a regular, and laughterand tears comes on daily basis. It doesn’t take long to realize how dependent Iam to her, how delightful it is to have her near me.

Due to her quiet nature, countless of times I wonder whethershe really cares about me. But on times where I need her most, she was alwaysthere for me. She wasn’t the one to calm you up or run to the rescue, in factonce when I was crying over my boyfriend she began to cry too and said shehates to see me broke down like that, that I’m a much better person than that.I stop crying instantly. A selfish girl? Not at all, that’s how she shows heraffection to me. No unnecessary kind words which we don’t believe, no falsehope that we both loath, we speak with each other with utter bluntness, and werejoice in that.

If you see her, you would think she’s an innocent littlegirl, dying to be rescued and protected. She’s not. To me she is always thelittle girl, though crying bitterly with her every step along the harsh andtreacherous road she needs  to gothrough, still walks along that damned road and will eventually get there tothe end. And it takes strength to do all that. Me? I’ll simply run through thatdamn road, better bled to death quickly than enduring a slow agonizing ordealsuch that. That’s why even though both our college life is hellish and both ourlove relationship is somewhat “tragedy-certified”, she’s the only one of usthat become both a doctor and a Mrs. to somebody she loved dearly. I couldn’tbe more proud of her.

I envy her for her strength to endure such ordeal, for thefeat that she accomplished. That is why I sincerely grateful that to news of herwedding come to me at such a perfect time, when I was all flushed out withexcitement after a surprise rafting trip. If I receive it on the peak of myboredom and utter worries of being single and almost 30, no doubt I’d be a morethan little suicidal. But that’s her life, that’s her feat, and I’m so happyfor her. Though long and difficult the road winds, I believe she will make it.She’s living the life that I wish years ago, a picture of happily marrieddoctor, a life that I will never have. What’s left for me is living the best ofthe life that she’ll never had: a carefree and adventurous life, with allpossible pleasure life gets to offer. We both gonna make it really good. Congratulationsdearest, I love you J

Wednesday, August 31, 2011

Selamat Lebaran, Ibu penjual kelapa parut

Apa makna lebaran bagi anda? Pagi ini saya belajar makna lebaran dari seorang ibu penjual kelapa parut di pasar.

Ibu tua ini mengenakan busana muslim tertutup, celana panjang longgar, dan sejenis topi penutup kepala (bukan jilbab). Pokoknya beliau terlihat rapi di hari raya ini, namun beliau tidak berada di rumah/masjid yang bersih dan meriah. Beliau berada di dalam los kelapa parut di pasar, diantara sabut kelapa dan beceknya air, melayani pembeli dengan senyum ramah. Ibu ini mungkin tetap berjualan karena sudah ikut lebaran di hari sebelumnya, mungkin juga saudara-saudaranya baru datang sore hari, atau bisa jadi ibu ini memutuskan untuk tetap berjualan (kelapa adalah bahan penting dalam kehidupan orang Bali, mereka memakai kelapa setiap hari). Apapun alasannya, inilah yang membuat saya kagum.

Bayangkan, ada berapa banyak umat muslim lainnya yang tidak berlebaran karena harus menjalani profesinya: polisi, dokter, wartawan, pelayan rumah makan, atau berbagai profesi lainnya di negara-negara yang tidak merayakan lebaran. Namun saya yakin sepenuhnya mereka menjalaninya dengan ikhlas. Begitu pula dengan puasa. Konon puasa di Rusia bisa mencapai 19jam. Walau sudah sarapan, biasanya jam 10 saya sudah gelisah mencari cemilan. Saat saya puasa 24jam di hari Nyepi pun (yang amat sangat jarang berhasil sampai tuntas) itu dalam kondisi libur, bukan bekerja. 14 jam puasa tanpa makan dan minum selama 1 bulan dengan tetap beraktivitas benar-benar sesuatu yang luar biasa buat saya.

Kalau saya diminta mendeskripsikan Islam, maka kata-kata yang akan saya pakai adalah: ketabahan, keteguhan, kekuatan. Hanya orang-orang yang demikian tabah, teguh, dan kuat imannya yang mampu menjalankan ibadah yang demikian fantastis ini. Saya kesulitan mengasosiasikan Islam dengan orang-orang yang menghancurkan klub malam, yang melakukan
teror bom, yang menyerang kelompok minoritas/berbeda. Islam buat saya adalah teman-teman SMA saya yang menyempatkan diri sholat dhuha di saat istirahat sekolah, namun tetap menyapa saya ramah (atau bahkan langsung menarik saya untuk mengobrol di mesjid kalau saya terlihat nganggur ga jelas); teman kuliah saya yang sholat saat mendapat cobaan, dan setelahnya mampu mengangkat kepala dengan tinggi dan berkata "Insya Allah, gw pasti bisa!"; teman-teman nongkrong yang demikian gila dan asyik, tapi tetap ingat jam sholat, ga peduli seberapa rusuhnya saat itu; orang-orang yang tetap menjalankan profesinya semaksimal mungkin dengan senyuman di bibir walau sedang menahan lapar dan haus (plus emosi); orang-orang yang mengucap "Alhamdulilah" dengan penuh syukur saat berbuka dan saat lebaran, karena demikian bahagianya mereka telah berhasil menjalankan ibadahnya. Ada yang pernah bilang, Islam adalah cahaya Ilahi. Saya rasa itu benar, karena saya melihat cahaya-Nya dalam diri orang-orang ini.

Berdasarkan aturan (yang konon ada), saya selaku umat non-muslim tidak boleh memberikan ucapan selamat pada umat muslim, dan mereka pun tidak boleh menerima ucapan selamat dari saya. Terserah anda mau menerima atau tidak, terserah anda memutuskan ingin tersinggung atau tidak, saya hanya ingin menyampaikan kegembiraan saya akan hari kemenangan anda. Selamat Idul Fitri ibu penjual kelapa parut, selamat Idul Fitri bagi semua yang merayakan. Semoga Tuhan selalu memberkati.

Monday, August 29, 2011

Bike tour in Kuta: Enjoy the other side of Bali



It's holiday time, you're in Bali, and you have no idea what to do next (or first!). Why not grab a bike and explore other side of Bali? And when I say Bike, I mean the old version bike, the delightful human-powered ones as opposed to the gas-guzzling motor bikes with (what seemingly) drivers who didn't pass the diving test. Unwind and let loose of yourself, get some fresh air (and a nice exercise while you're at it), and enjoy Bali at its best :).

AirAsia HSBC will be having a bike tour in Kuta this Sunday, September 4 2011, and the route covers Kuta Beach, Legian Beach, Seminyak area, and ends during sunset at Petitenget Beach and Temple. Thinks you already know these area like the back of your hand? Think again, as visiting it on bike is way nicer (and cooler) than visiting it inside a closed air-conditioned vehicle or on loud motorbikes with people swearing around you. You wont have to deal with the traffic, that's for sure, as the route takes shortcuts along the beach so you get to see the gorgeous beach and delightful shops, even some patches of rice field (Yeah, we still got some in Seminyak. Don't believe it? Join the tour then).



I think this is the first time anyone do a bike tour in Kuta, though it's a regular in Ubud, and that's why I'm so excited about it. It costs a mere IDR 300,000 (that's more or less USD 36/AUD 33), and it already includes bike for the tour, snack, and a nice t-shirt. The tour team includes mechanic, medic, guide, even a car to bring your shopping bags. Didn't I mention? They have special photo and shopping session in the route, one of Bali's best area to shop (and eat!). So get your camera and cards ready ;).

You can get more info and registered for this tour in AirAsia HSBC booth at KutaBex (just before the Kuta's McDonald by the beach). If you are in Bali and happened to stay around the area, I think you really should come and join the tour. Hopefully the tour can be a good start for other biking tours to come in the bustling Kuta Area. Biking is so much greener and so less noisier than other mode of transportation; we're not so alienated as when we're in cars or motorbikes, yet not too "involved" as one might feel when traveling on foot; it offers a different point of view;it's just perfect. Being the first to experience this new and unique side of Bali doesn't hurt either :). Hope to see you this Sunday with your bikes and gears on!

UPDATE: read the whole review and story here!!!

Tur Sepeda - Kuta Style: Sisi asyik lain dari Bali



Pernah dengar tentang indahnya Legian? Atau asyiknya Kuta? Atau kerennya Seminyak? Buat yang pernah (apalagi sering) ke Bali pasti sudah akrab dengan ketiga daerah tersebut. Tapi pernahkah anda mengunjungi daerah tersebut dengan sepeda? Yup, it's gonna be fun!!

Beberapa hari lalu saya mendapat telepon yang mengajak saya ikutan tur sepeda di daerah Kuta dan sekitarnya. Pada awalnya saya cukup garuk-garuk kepala, memang ada yang menarik di sana? Kalau tur sepeda di Ubud saya sering dengar, tapi tur sepeda di kuta benar-benar baru pertama saya dengar. Namun rasa penasaran saya tergelitik, dan jadilah saya mencari tahu lebih banyak.

Info resminya: tur ini diselenggarakan oleh AirAsia HSBC, dan akan dilangsungkan pada tanggal 4 September 2011 dengan starting point mall KutaBex, dan menempuh rute Kuta > Legian > Seminyak > Petitenget. Info tidak resminya (dari saya): rute (dan acara) ini asyik banget. Benar-benar asyik.



Sesuai tag linenya: Experience Bali Like No Other, tur ini diselenggarakan agar wisatawan bisa melihat Bali dari sisi lain. Yeah,pasti kebanyakan wisatawan sudah pernah ke daerah-daerah tersebut, tapi sensasi mengunjungi rute tersebut diatas sepeda pastilah berbeda. Saat saya ikut mengecek rute, imajinasi saya langsung menggila.

Bayangkan mengendarai sepeda di sepanjang jalan pantai Kuta, namun kali ini anda tidak akan terjebak dalam kemacetannya; lalu beralih ke pedestrial/jalan setapak di dekat pantai Legian, bersepeda sambil menikmati deburan ombak dan luasnya lautan di kejauhan; pemandangan kemudian beralih ke toko-toko dan restoran hip di Seminyak, beserta sepetak-dua sawah yang memberikan kontras yang indah dari segenap gemerlap modernitas; sampai akhirnya anda sampai di poin terakhir, menikmati sunset di Pantai Petitenget, yang juga memiliki bangunan Pura yang kuno dan indah. Wow.

Tentu saja, rute ini bisa dengan mudah anda tempuh dengan kendaraan bermotor (plus semua kemacetan dan emosi jiwa nya ya), namun bersepeda membuka sisi lain. Anda tidak terlalu "terpisah" sebagaimana bila anda di kendaraan bermotor, namun anda juga tidak terlalu "terlibat" sebagaimana bila anda berjalan kaki. Biking is just perfect.



Info lebih lanjut dan pendaftaran bisa dilakukan di booth AirAsia HSBC di KutaBex. Jangan khawatir, ini terbuka untuk umum lho. Pendaftaran Rp 300ribu sudah include sepeda saat tur, kaos, pin, dan snack. Kalau kebetulan anda pengguna AirAsia HSBC yang akan terbang ke Bali tanggal 27 Agustus - 3 September 2011, maka bisa jadi anda termasuk yang beruntung untuk mengikuti tur ini secara gratis. Tim yang dipersiapkan sudah termasuk mekanik, paramedis, bahkan special car yang dialokasikan untuk barang belanjaan anda. Yup, di rute tur ini bakal ada sesi belanja plus sesi foto, so get your camera and cards ready!

Bali itu indah banget dan banyak banget sisi menariknya yang mungkin anda belum tahu, bukan cuma tarian pendet/kebudayaannya atau resort-resort mewahnya atau lokasi hiburan seperti klub malam-waterbom-bali safari-dan kawan-kawan. Take a chance, get to know it more, and flaunt it like crazy! Sampai bertemu hari minggu tanggal 4 September!!

UPDATE: baca cerita serunya disini!!!

Monday, August 8, 2011

Salam Bunga Sepasang....


Waktu saya pulang di hari Sabtu lalu saya melihat billboard ini. Maka masuklah saya dan duduk manis menonton. How I miss Perisai Diri.

Pertandingan yang sedang berlangsung adalah tarung, dimana kedua pesilat bertarung menggunakan teknik Perisai Diri. Tenang, pakai body protector kok dan ada batas waktunya (sekitar 5 menit), dan poinnya bukan melumpuhkan lawan tapi bagaimana mengumpulkan skor terbanyak. Saya juga ga ngerti detail perhitungannya, tapi saya merasa sangat enjoy. Ini bukan Tinju atau Kick boxing yang dengan ganasnya mengincar lawan. Perisai Diri memiliki teknik yang elegan, sehingga menonton pertarungan pun rasanya jadi terus terucap, "wow, Keren!!".



Berbagai teknik Perisai Diri semuanya dapat dipergunakan dalam berbagai situasi. Silat dengan trisula atau toya/tombak mungkin sudah biasa, namun bila memakai payung atau kipas? Yup, saya pernah melihatnya and he looks so awesome... Atau anda bisa juga melihatnya dibawah ;). Yang jelas, Perisai Diri bukan hanya teknik yang enak dipandang namun juga sebuah jalan hidup. "Membaca" orang, menghindari "serangan" bos, efisiensi waktu, ini adalah sedikit yang saya pelajari dari Perisai Diri, walau saya terlalu dodol untuk ikut ujian (plus terlalu malas). Bayangkan bila saya tidak terlalu malas, mungkin lebih banyak yang bisa saya dapatkan.



Sayangnya hanya 1 jam kemudian seluruh acara sudah selesai, dan saya duduk sendiri menatap lapangan kosong. Saya merindukan Perisai Diri Trisakti.



Saya mengenal Perisai Diri semasa kuliah, walau saya tidak tahu apakah saya suka Perisai Diri karena orang-orang yang saya kasihi menyukainya atau saya memang suka saja. Yang jelas dari pertama saya melihat mereka demo, saya terbengong-bengong dan takjub melihatnya. Selain teknik yang memang tampak keren, saya suka fakta bahwa semua orang bisa mengikutinya tanpa membayar terlalu mahal (kecuali bila anda kebetulan di luar negeri), dan bahwa olahraga ini bisa dilakukan oleh segala kalangan. Dan saya juga suka cara mereka support rekan-rekan mereka, karena kekeluargaan mereka yang erat. Di era penuh serbuan budaya bangsa asing, ada suatu kedamaian dan kebanggaan tersendiri melihat loyalitas anak Perisai Diri dan elegannya teknik mereka yang sangat Indonesia.

Bila anda bukan anak Perisai Diri, coba deh main dan melihat sebuah pertandingan atau sesi Perisai Diri. Bila anda tidak suka tidak apa-apa, tapi saya cukup yakin anda akan tertarik. It really is an amazing sport :).






Search This Blog