AdSense Page Ads

Showing posts with label Great Indonesia. Show all posts
Showing posts with label Great Indonesia. Show all posts

Monday, August 18, 2014

Mimpi dalam Selembar Voucher Tiket

Saya ingin pergi. Saya tak tahu saya mau pergi kemana, tapi saya ingin pergi melihat dunia. Saya ingin melihat dengan mata kepala saya indahnya Indonesia, dan ingin merasakan seperti apa di negeri orang. Mungkin ini efek tinggal di pulau kecil dan memiliki pekerjaan yang (lumayan) monoton, mungkin ini efek tekanan keluarga atas status single saya, mungkin ini efek kesetressan saya menjadi single sekian lama, tapi saya benar-benar ingin pergi jauh. Dulu-dulu saya tidak perduli, dulu-dulu saya sudah cukup senang 'mengunjungi' tempat-tempat eksotis tersebut hanya lewat bacaan, entah kapan perasaan saya berubah dan hasrat untuk bepergian semakin menyeruak. Sayangnya mimpi hanyalah mimpi. Pelesir itu   butuh uang, dan rasanya tidak masuk akal membuang uang untuk tamasya beberapa hari saat uang tersebut bisa dialokasikan untuk hal yang lebih penting, uang sekolah adik atau cicilan motor misalnya. Paling tidak, begitulah alasan saya bila ditanya teman. Alasan yang sebenarnya adalah saya pengecut. Saya tidak berani meninggalkan zona aman saya.

Hijaunya kaki Gunung Merapi
Lalu saya memenangkan voucher tiket AirAsia senilai Rp 500,000. Saat itu saya belum pernah sekalipun naik AirAsia, walaupun tiket murah dan promo-promonya sudah melegenda. Rasanya seperti menang golden ticket-nya Willy Wonka! Hitung-hitungannya dengan voucher ini saya bisa membeli tiket PP ke destinasi wisata seperti Jogja, Makassar, bahkan Singapura atau Thailand dengan hanya menombok Rp 500,000 saja, bahkan kurang. Selama beberapa minggu setelah saya menerima voucher tersebut via e-mail, hampir tiap hari saya membuka e-mail tersebut dan tersenyum-senyum sendiri. Sumringah rasa hati ini. Sekarang saya bisa pergi, pikir saya. Saya bisa melihat dunia (atau setidaknya tempat lain selain Jakarta dan Bali). Saya bisa bertemu dan berkenalan dengan orang lain. Saya bisa menjadi petualang sejati dan bukannya wanita kantoran yang membosankan. Walau nominalnya tidak banyak, voucher ini membuat saya 'mampu' untuk melihat dunia, dan alasan ketakutan saya menjadi tidak valid sama sekali.

Hari berganti dan bulan berlalu, namun voucher tersebut masih belum juga terpakai. Berbagai alasan saya kemukakan pada diri saya sendiri: mulai dari susah mendapat cuti, banyak hari raya, sampai (lagi-lagi) biaya. Bisikan-bisikan pesimis pun muncul, “Sudah tidak usah dipikirkan, menangnya juga kebetulan dan kamu tidak rugi apa-apa. Kamu juga sudah dapat pengalaman yang menarik dan teman baru saat memenangkan tiket ini. Jangan rakuslah.” Untungnya sifat keras kepala (plus irit) saya bersikeras dan tidak mau begitu saja melewatkan kesempatan melihat dunia. “Ke Singapura saja,” kata si keras kepala. “Beli tiket PP diskon ke Singapura, cukup satu malam atau bahkan pulang hari saja. Paling tidak kamu bisa melihat bandara Changi dan jalan-jalan via MRT tanpa harus membayar hotel. Tidak seberapa memang, tapi setidaknya kamu tahu rasanya terdampar di luar zona amanmu.” Cukup masuk akal menurut saya, dan jadilah saya mulai bermimpi dan merencanakan petualangan saya.

Birunya laut Sulawesi
Kalau di buku novel, pastinya saya sudah terbang ke Singapura dan setelah itu menjadi petualang sejati dan hidup bahagia selamanya. Sayangnya ini bukan buku novel. Tiga minggu sebelum masa berlaku voucher ini berakhir saya bertemu seseorang istimewa di internet, dan dia akan ada di Jakarta hanya dua hari sebelum pulang ke negaranya, Amerika Serikat. Pertanyaannya, apakah saya sebodoh dan seputus asa itu menggunakan 'golden ticket' saya untuk bertemu pria ini? Saya baru berkenalan dengannya hanya dua hari di internet waktu ia menawarkan untuk bertemu muka, bagaimana kalau ternyata dia psikopat atau jaringan trafficking? Apakah satu-dua jam bersamanya setara dengan petualangan satu-dua hari di Singapura atau Jogjakarta? Apa iya saya akan rela membuang begitu saja kesempatan saya untuk melihat dunia, yang mungkin tidak akan bisa saya dapatkan lagi, hanya demi seseorang yang mungkin akan mematahkan hati saya lagi? Saya sudah capek berurusan dengan romansa, dan ini juga salah satu alasan kenapa saya ingin 'pergi', saya ingin bebas menjadi diri saya sendiri. Tapi saya kesepian, dan saya tak ingin melihat dunia sendirian. Saya akhirnya menggunakan voucher tersebut untuk membeli tiket ke Jakarta dan bertemu dengan prian ini hanya 4 hari setelah kami pertama kali berkenalan dan berbincang di internet. Saya tahu saya pengecut, saya tahu saya mungkin telah menutup kesempatan terakhir saya untuk melihat dunia, tapi saya telah memilih. Petualangan terbesar adalah petualangan bersama seseorang yang kita kasihi, dan saya menginginkan seorang belahan jiwa lebih daripada saya menginginkan melihat dunia.

26 bulan kemudian saya asyik memandangi gedung-gedung tinggi Singapura dari kolam renang di lantai 57 hotel Marina Bay Sands saat suami saya berseru, “Ary, smile!” dan menjepret foto selfie kami berdua. Yup, dia pria yang temui dengan menggunakan voucher AirAsia tersebut. Secara tidak langsung, voucher tersebut sudah 'menerbangkan' saya ke The Getty, Santa Monica Pier, Los Angeles, Very Large Array, Tombstone, Singapura, Malaysia, Toraja, Bromo, Pura Gunung Salak, Surabaya, Pare-pare, Makasar, Lombok, dan area-area di Bali yang belum pernah saya jamah sebelumnya. Namun itu hanyalah bonus bagi saya. Voucher tersebut memberikan saya hal yang paling saya inginkan: pasangan hidup yang mencintai saya, teman berpetualang yang super asyik, seseorang yang mengisi relung kosong di hati ini. Berkat voucher itu pula saya menemukan sahabat sehati dan keindahan Bali yang sebenarnya. Saya harus membayar Rp 10,000 dengan kartu kredit untuk menggenapi harga tiket tersebut, sementara saya tidak memiliki kartu kredit sehingga harus meminta bantuan seorang sepupu. Kami menjadi dekat setelah itu dan menemukan bahwa kami memiliki banyak kesamaan terutama dalam kecintaan kami terhadap Bali, yang akhirnya terkulminasi dalam proyek pertama kami "Journey To Bali: The Best Festivals and Events in 2014". Oh ya, dan saya pun menemukan hasrat dan cita-cita saya: saya ingin menjadi penulis.

Besarnya Very Large Array (total 27 antena satelit) di New Mexico
Berawal dari sekedar harapan untuk melihat daerah/negara lain selama satu hari, saya malah menemukan pasangan hidup, mendapatkan teman-teman sehati, berpetualang ke daerah-daerah yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya, menerbitkan buku, dan mengetahui panggilan hati saya. Semua berkat sebuah voucher tiket. Kedengarannya lebih ekstrim daripada cerita di buku novel bukan? Ternyata ada benarnya saat orang berkata “hidup manusia lebih aneh daripada fiksi.” Dan petualangan kami baru saja dimulai. Terimakasih AirAsia!

Wednesday, July 23, 2014

Si Kotaan yang Bermental Terjajah

"biasa dah kalo di indo, segala bentuk yg gratis langsung berebut, muke gretongan gak tau malu, temen2 gw yg di luar negeri gak begitu sih." - Komentar di artikel kompas.com tentang mudik gratis

Kata siapaaaaaa??? Kata siapa haaaaaaaah????

Tiap kali saya baca hal-hal seperti ini saya jadi emosi tingkat tinggi. Jangan dipelihara dong mental terjajahnya, kita sudah merdeka hampir 70 tahun loh! Yang berarti bahkan (kemungkinan) saat ayah-ibu anda lahir mereka terlahir sebagai orang merdeka dan bukan orang jajahan. Kenapa masih seperti ini sih kelakuannya??

Buat yang berpikir luar negeri itu lebih bagus, yang semua antri tertib dan beradab, sori dori stroberi anda salah. Saya memang baru tinggal di luar negeri setahun kurang, tapi yang saya lihat sejauh ini Amerika tak seindah di film, dan jelas tak seberadab yang anda pikir. Disini saat sale besar-besaran sebelum Natal dan tahun baru orang bisa desak-desakan injak-menginjak demi dapat barang diskonan. Disini banyak orang yang manipulasi dana kesejahteraan dari pemerintah, sengaja ga kerja biar bisa ngeruk itu dana kesejahteraan. Disini banyak orang ke minimart/resto fastfood bilangnya minta air putih yang gratis tapi pas dikasi gelas plastiknya mereka malah isi cola/soda [disini soda dan air putih itu boleh ambil sepuasnya/self serve]. Sama aja toh, sama-sama ga tau malunya. Dan ini bukan cuma di Amerika Serikat saja, coba iseng google berita dari berbagai negara, begini juga hasilnya. Baru-baru ini ada orang Australia mabuk dan mencoba membajak pesawat misalnya. Negara yang mungkin ga begitu-begitu amat mungkin cuma Jepang dan Singapura, itu juga karena tatanan/aturan di negara mereka ketat dan dijalankan dengan semestinya. Tapi kalau soal gratisan, soal ga tau malu, soal serakah dan mau menang sendiri, itu bukan penyakit khas suatu negara wahai sodara-sodara. Itu mah bawaan diri sendiri.

Tapi bukannya kita sadar bahwa ga tau malu itu bawaan diri sendiri, kita malah sibuk menilai orang lebih rendah atau lebih tinggi berdasarkan asal negaranya. Saya ulangi lagi, orang dimana-mana sama saja. Mau hidung mancung hidung pesek, kulit putih kuning coklat hitam, rambut pirang hitam keriting lurus, semua sama saja. Ada yang baik, ada yang egois, ada yang malu-malu, ada yang ga tahu malu, sifat-sifat yang anda lihat di tetangga dan keluarga serta teman anda ada semua di orang-orang negara lain. Gaya hidup boleh berbeda, tapi dasarnya sifat asli manusia ya sama. Itulah kenapa kita menuntut kemerdekaan kita dulu: kenapa kompeni yang sama-sama manusia (biarpun beda kulit) boleh nyuruh-nyuruh dan memeras keringat dan darah kita? Semua orang setara di dunia ini. Kalau kata suami saya (yang sering bepergian): semua orang sama, sama-sama nyebelin. Yah, dia emang anti sosial sih. Tapi serius, ketidaktahu-maluan dan keegoisan itu bukan karena si A atau si B orang Indonesia, tapi karena dia emang nyebelin aja. Ini yang harus kita camkan.

Celakanya walau kita berkoar-koar anti asing tetap saja kita 'manut' dengan pihak [baca: segala yang] asing dan mendewakannya. Coba nyalakan televisi anda dan bilang, berapa banyak artis di TV yang orang Indonesia tulen tanpa setitik pun darah bule? Atau setidaknya yang kakek nenek orang tua kandungnya benar-benar Indonesia asli (karena suku Betawi pun ada percampuran dengan Arab dan sebagainya)? Apa Ryder dan Pearce itu nama keluarga khas Indonesia? Tapi ditengah teriakan-teriakan anti asing yang kita kumandangkan, kita seolah tidak perduli bahwa kecantikan khas Indonesia tidak mendominasi layar kaca kita. Begitu pula dengan Bahasa Inggris, yang disebut-sebut sebagai kekurangan terbesar Jokowi dan disewotin oleh berbagai pihak. Padahal bisa bahasa Inggris itu suatu kemewahan, suatu privilese yang tidak bisa dicapai oleh kebanyakan rakyat Indonesia. Padahal ternyata Obama menyalami Jokowi pakai bahasa Indonesia. Kalau bisa makan ala barat di Indonesia rasanya sudah bergaya sekali, padahal masakan Indonesia jauh lebih enak dan lebih bergizi (dan barang mahal disini bo', rendang bisa seharga $10). Begitu pula dengan segala sesuatu yang ketimur-tengahan yang dibilang lebih suci dan lebih bermartabat dari yang asli Indonesia. Lalu mana Indonesia kita?? Mana??

Kata orang bijak apa yang kita tuduhkan kepada orang lain adalah proyeksi diri kita sendiri. Jadi saat anda - orang Indonesia - menuding sesama orang Indonesia dan bilang "Dasar orang Indonesia kampungan!" sebenarnya anda sendiri lah yang kampungan. Sebenarnya saya juga tidak tahu apa yang salah dengan istilah kampungan sih, orang kampung juga tetap manusia dan ada yang baik tulus egois rakus dan sebagainya. Gaya hidup mereka mungkin berbeda dengan gaya hidup yang kebetulan dibesarkan di kota, tapi isinya tetap sama. Lagi lagi kembali ke fakta itu: bahwa manusia itu sama saja isinya walau bungkus luarnya beda. Suami saya yang bule tidak bilang saya ndeso karena saya tidak becus pakai tisu toilet, dia malah memasang selang spray untuk di toilet agar urusan kebelakang saya lancar; dia tidak protes saya selalu minta sharing sepiring berdua dan/atau minta bungkus makanan sisa waktu kita makan diluar, dia mengerti saya tidak terbiasa membuang makanan; dia tidak meledek bahasa Inggris saya yang belepotan dan malah mengajarkan saya berbicara dengan grammar/tata bahasa yang benar agar saya bisa mendapat pekerjaan yang layak disini. Banyak orang di amrik sini yang menganggap saya terbelakang dan sebagainya karena dari negara dunia ketiga, tapi banyak juga yang kagum dan mengakui orang Indonesia itu tangguh dan serba bisa dan cantik (ehem...).

Bicara soal bangga jadi bangsa Indonesia, tahu tidak konsultan politik Indonesia menang melawan konsultan politik amrik yang sudah menangin presiden Mexico dan presiden Amerika? Terserah anda mau teriak-teriak Jokowi curang, tetap saja faktanya konsultan politik lokal pegangannya Jokowi (Mas Denny JA) yang menang lawan Rob Allyn (ini versi wikipedia). Amerika yang konon jawaranya demokrasi belum pernah punya presiden wanita, kita sudah. Amerika yang konon menjunjung perbedaan tidak banyak pejabat pucuk pemerintahan yang minoritas (baca: keturunan Asia), kita punya Ahok yang memegang ibukota pula. Jokowi 'cuma' lulusan UGM Fakultas Kehutanan, bukan seperti Obama yang memegang gelar Political Science dan kemudian lulus dari Harvard. Perlu 42 presiden sebelum akhirnya Amerika memilih seorang pria kulit hitam sebagai presiden mereka dan tidak berasal dari dinasti politik, yang cuma orang biasa saja; kita cuma perlu 6 presiden. Siapa yang lebih hebat coba? Ayo jawab... 

Jadi sudah ya, sudah cukup mental orang terjajahnya. Jangan lagi minder karena anda orang Indonesia, tapi minderlah dengan diri anda sendiri sebagai pribadi. Kalau masih mau ngotot bilang Indonesia jelek, silakan lho berusaha pindah ke luar negeri, buang kewarganegaraan Indonesia anda dan tinggalkan semur jengkol favorit anda; tapi tolong jangan cuma bercokol di Indonesia sembari ngedumel jelek dan katronya Indonesia dengan orang-orang yang tidak tahu malu dan kampungan. Tahu diri dikit mas dan mbak, tanah ini yang menghidupi anda dan keluarga anda dan leluhur anda dan mungkin anak cucu anda kelak kalau anda tidak bisa pindah keluar negeri, jadi hormatilah tanah dan negeri ini. Hidup Indonesia!


Thursday, July 10, 2014

Kucing Kampung Dan Momen Indonesia

"Kucing kampung dibawa ke Mekah. Pulang tetep jadi kucing kampung. Kucing Persia dimanapun berada, tetaplah kucing Persia. ADP,"

Ada pengalaman mengesankan saat saya dan suami berkunjung ke Sulawesi. Di salah satu restoran dipinggir jalan (tempat kami menikmati sop saudara yang enaaaak sekali) ada seekor kucing cantik. Kucing kampung sih, tapi terlihat terpelihara dan begitu manis. Dengan pedenya suami saya si pencinta kucing memanggil kucing itu dan berusaha mengelusnya, namun kucing itu justru 'mengaum' dengan ganas dan memperlihatkan taring. Oopsie...

Suami saya sering mencandai saya, dia sering bilang kalau kucing di Indonesia sangat tidak terawat dan liar seperti manusianya. Itu hanya candaan lho, karena dia lebih cinta Indonesia daripada negaranya sendiri. Dan setelah beberapa minggu tinggal di Indonesia dan mengamati kucing-kucing (plus anjing-anjing) yang berkeliaran dengan bebas disana si akang pun berkata: Kucing kita di Orange County ga akan bertahan 2 hari disuruh hidup liar disini. Saya pun menjawab dengan bercanda: orangnya juga nggak. Iya, kadang saya tega.

Si reseh di Amerika

Tapi serius, kucing kami di Amerika sangat high maintenance menurut saya yang orang Indonesia. Harus makan makanan kalengan/pabrikan, tapi kalau dia ngga suka sama sekali ngga mau makan. Ga cukup cerdas untuk cari makan sendiri, ga bisa cari tempat berlindung sendiri (kalau hujan), terus kalau sakit mesti dibawa ke dokter hewan alias ga bisa ngobatin diri sendiri. Saat ada tupai menggerogoti tanaman pot di teras kami, ia malah ngumpet dan bukannya mengusir tupai tersebut. Padahal ini kucing hitungannya kucing kampung disana/bukan kucing ras, dan ini juga nemu. Dia main selonong boy ke apartemen kami dan tidak mau diusir, walhasil terpaksa kami kasi tinggal di apartemen kami. Bagaimana kucing ras coba?

Sementara kucing adik saya di Indonesia, yang dipungut saat masih bayi dan korengan serta belekan dan penuh kenistaan lainnya (kucingnya, bukan adik saya), tumbuh menjadi kucing kampung yang cantik dan luar biasa cerdas. Kerjaannya cuma berjemur, jalan-jalan sesuka hati, pulang cuma untuk makan dan tidur malam. Bisa tidur dimana saja, dan protes keras saat diberi makanan kaleng/pabrikan. Saat adik saya tidak sempat kepasar untuk membelikan ikan cuek makanannya, dia lebih memilih mencuri makanan anjing peliharaan adik saya (yang juga cuma dikasi nasi sisa) daripada makan 'menu barat'nya. Saya tidak ragu kalau dia sampai terdampar di Amerika, dia pasti bisa hidup walau tanpa ada yang mengurus. Sebagaimana orang Indonesia yang gigih dan bisa hidup di mana saja, begitupula kucing (dan anjing) kampung kita.

Intinya bukan kucing ras lebih jelek dari kucing kampung, karena buat masing-masing orang preferensi berbeda toh? Ada yang suka pacar cantik/ganteng walaupun high maintenance, ada juga yang suka pacar sederhana dan bisa diajak susah. Intinya adalah jangan melihat kucing dari ras/bulunya saja...

Nanti dulu, jangan dulu berpikir saya menulis ini karena ingin membela si kerempeng dekil yang secara tak langsung disindir di tweet tersebut. Saya mah ga perduli dia dibilang kucing kampung, bagus malah menurut saya karena itu menunjukkan bahwa ia akan tetap menjadi dirinya sendiri dimanapun. Kalau kucing kampung dibawa ke luar negeri mendadak menjadi kucing persia, bukannya itu lebih bahaya karena bisa ga ingat asal aslinya? Perkucingan ini buat saya penting karena ini menunjukkan mental (banyak) orang Indonesia yang sebenarnya: yang berpikir kalau segala sesuatu yang non-Indonesia itu keren, yang berpikir kalau Indonesia itu segitu jelek dan kampungan dan ndesonya. Yang kucing persia dianggap lebih keren daripada kucing kampung, padahal kucing persia di kampung asalnya juga kucing kampung.

Si Dekil yang mandiri di Indonesia

Kita bicara tentang kedaulatan Indonesia. Kita berkoar-koar tidak mau tunduk pada bangsa asing. Kita mencurigai orang-orang yang kelihatan dekat dengan pihak asing. Tapi kita pamer iPhone dan foto liburan keluar negeri. Kita mengagumi muka-muka non-Indonesia di layar kaca dan berdandan (atau mendandani pasangan) seperti artis-artis tersebut. Kita merasa bergengsi kalau bisa duduk di kafe di mal sambil menyeruput kopi impor dan makan kue a la barat. Kita berpikir kalau orang yang bisa bahasa Inggris itu lebih berpendidikan. Kita menertawakan orang-orang yang suka dangdut dan menyebut mereka kampungan. Kita menyebut budaya kita sendiri sebagai pornografi dan pornoaksi karena tidak sesuai dengan ajaran agama yang kita anut, dan dengan efektif menghilangkan jejak leluhur kita - dan dengan demikian menghilangkan identitas diri kita sendiri. Pertanyaannya adalah: siapa kita sebenarnya, apakah kita hanya sebuah kolase dari berbagai pengaruh asing?

Kita berpikir semua yang 'asing' itu keren, walau sebenarnya tidak. Fast food ala McD yang kita anggap elit dan memang mahal, disini dianggap makanan orang miskin (dan ya, pelayanan fastfood Indonesia jauh lebih baik dari pelayanan fastfood sini. Boro-boro delivery service, dapat pesanan sesuai yang kita minta saja kadang sudah syukur). Bisa bahasa Inggris disini tidak mengagumkan, sama saja seperti anda yang orang Indonesia bisa bicara bahasa Indonesia yang alah bisa karena biasa tapi kalau ditanya grammar/rumus tenses secara mendetil mereka sama bengongnya seperti kalau anda disuruh menjelaskan apa arti imbuhan me- dan apa bedanya dengan imbuhan ber- (nah, bengong kan anda...). Mencoba memasak otak-otak disini luar biasa susah dan lebih mahal daripada membuat salmon panggang. Disini istilah kerennya detox, saat anda tidak makan apa-apa selama seharian penuh selain jus lemon-madu (atau apapun kata instruktur diet anda); di Indonesia istilahnya Mutih dan hasil akhirnya sama saja (plus lebih dekat dengan Tuhan siy). Orang luar negeri di kampungnya ya orang kampung, sama seperti kucing persia yang dikampungnya juga kucing kampung. 

Sekarang mari berpikir: mau sampai kapan kita pelihara mental terjajah kita, mental inlandeer kita, dan terus mengagumi bangsa lain? Kita sudah membangun kompleks Borobudur yang super besar dan ekstra megah semenjak abad ke-9. Nenek moyang kita mengarungi lautan dan melakukan perdagangan jauh sebelum orang Eropa memulai eksplorasinya. Di saat cikal bakal orang Amerika masih dikejar-kejar di Inggris sana, Indonesia sudah menjadi pusat perhatian dunia dengan kekayaan rempah-rempahnya. Indonesia memiliki iklim yang sempurna, kekayaan yang melimpah ruah, kecantikan alam (dan manusia) yang tak tertandingi, tapi anda masih merasa negara kita ini kampungan dan ndeso? Satu hal lagi yang Indonesia miliki: sumber daya manusia yang berlimpah! Bukan hanya dari segi jumlah, karakteristik asli orang Indonesia yang tahan banting juga sangat sesuai untuk beradaptasi di negara lain. Kita tidak manja dan (aslinya) penuh empati dan tepo selira. Kenapa oh kenapa anda masih berpikir negara kita lebih jelek dari negara lain? Bahwa si kucing kampung tidak seberharga daripada kucing persia?


Buat saya dan suami saya, makan internet (indomie telor kornet) dan pisang bakar di warkop/angkringan pinggir jalan lebih berkesan daripada waktu makan di restoran celebrity chef di Singapore. Liburan kami ke Gili dan Makassar lebih berkesan daripada waktu dia liburan di all-in resort di Jamaica. Dia lebih suka rokok rakyat seperti gudang garam dan belinya pun harus yang satuan/eceran di warung-warung kecil pinggir jalan (sekalian latihan Bahasa Indonesia). Kopi harus kopi Bali, sarapan pagi pun telor mata sapi dengan saos sambal ABC. Dia sangat menyukai budaya khas Indonesia (Sulawesi, Jawa, Bali), karena menurut dia ketiadaan budaya asli lah yang membuat negaranya seperti tidak punya identitas. Momen favorit kami di Indonesia adalah saat kami pergi ke pasar malam tradisional dan dia berjoget dangdut dengan para abang-abang (dan waria-waria) disana. Ini momen-momen Indonesia kami, dan sepulangnya kami ke Amerika kami sibuk bersedih dan bermuram durja karena memang Indonesia lebih baik (menurut kami). 

Bagaimana dengan anda? Apa 'momen Indonesia' anda? Atau lebih tepatnya, sudahkah anda memiliki 'momen Indonesia'? Atau anda masih berharap suatu saat nanti anda bisa pindah ke luar negeri dan meninggalkan negara kampungan dan ga keren ini bersama kucing persia kesayangan anda? ;)

Sunday, June 29, 2014

Ini Negaraku, Ini Bahasaku!

"Kita perlu presiden yang cerdas dan pintar berbahasa Inggris, dan bukannya yang menipu rakyat dengan pencitraan palsu!"

Darah saya mendidih membaca status diatas. Bukan soal capres jawara saya dianggap 'bodoh' dan 'penipu', tapi karena Bahasa Inggris dijadikan tolok ukur 'kemampuan' seseorang, dijadikan salah satu persyaratan untuk jadi presiden Indonesia. Saya marah karena bahasa asli kita adalah Bahasa Indonesia, dan bukan Bahasa Inggris; dan karena 'persyaratan' Bahasa Inggris ini secara efektif mengeliminasi hampir seluruh warga negara Indonesia yang tidak bisa berbahasa Inggris dengan fasih karena strata sosial dan kondisi keuangan mereka. Bisa berbahasa Inggris itu suatu privilese, suatu 'kemewahan' yang didapat karena nasib anda lebih baik dari orang lain. Serius.

Buat kita (yang konon) orang terdidik, Bahasa Inggris mungkin sudah seperti bahasa kedua kita. Saya lebih fasih berbicara Bahasa Inggris daripada bahasa Bali, dan saya rasa banyak orang seperti saya. Tapi kita tidak sadar bahwa untuk bisa belajar Bahasa Inggris dengan baik dan benar merupakan suatu 'kemewahan' tersendiri. Biaya les bahasa asing di lembaga seperti LIA, EF, IALF dan sebagainya tidak terjangkau bagi kebanyakan orang Indonesia, dan butuh kemampuan pemahaman yang super hebat untuk bisa Bahasa Inggris secara otodidak/hanya belajar dari lagu buku atau film. Dan bahkan setelah anda menghapal segala grammar/tata bahasa dan vocabulary/kosa kata yang diperlukan, anda tetap harus berlatih dan menggunakannya setiap hari agar anda fasih berkomunikasi baik lisan maupun tulisan dalam Bahasa Inggris. Buat kita yang terdidik di sekolah-sekolah (elit), ini tidak masalah. Tapi bagaimana dengan warga negara Indonesia yang tidak memiliki akses/kemudahan seperti ini?

Ini bukan lagi soal capres 2014, ini soal bangsa Indonesia dan bahasa persatuan kita.

Pengalaman saya selaku guru Bahasa Inggris selama 4 tahun membuka mata saya tentang ketimpangan kemampuan Bahasa Inggris diantara penduduk Indonesia (atau lebih tepatnya Jakarta). Dan ya, ketimpangan ini disebabkan oleh kemampuan finansial mereka. Saya dibayar 2 kali lipat lebih banyak untuk period mengajar yang sama antara kelas privat A dan kursus masal B. Di kelas privat A saya duduk dengan manis bersama 2 murid saya di kamar belajar mereka, dikelilingi buku-buku dan game/mainan-mainan dengan Bahasa Inggris; orang tua dan bahkan nanny mereka pun berbicara dengan saya dalam Bahasa Inggris walau tak sempurna. Di kursus masal B saya memiliki 15 murid yang beberapa diantaranya berpikir Bahasa Inggris itu buang-buang waktu saja, dan di dalam ruangan kursus yang kecil itu saya berusaha sebisa saya memasukkan dasar-dasar Bahasa Inggris ke dalam otak mereka hanya berbekal buku kursus yang tidak lengkap dan materi tambahan yang saya unduh dari internet dan saya print/cetak dengan menggunakan uang saya sendiri. Tebak yang mana yang sekarang mampu berkomunikasi dengan Bahasa Inggris secara lancar jaya?

Butuh bukti lagi? Buku pelajaran Bahasa Inggris yang benar-benar bagus dan lengkap (misalnya saja dari Betty Azar) harganya sekitar Rp 200,000; buku cerita berbahasa Inggris yang impor harganya paling sedikit Rp 50,000. Buku pelajaran berbahasa Inggris yang terjangkau buatan Indonesia memang bisa dicari di pasaran dan bisa didapat dengan hanya Rp 10,000, begitupula dengan buku cerita bergambar yang sudah terlihat cantik dan menarik bisa didapat dengan hanya Rp 25,000; tapi isinya lain cerita. Suami saya yang orang Amerika membeli buku-buku murah ini untuk membantunya belajar Bahasa Indonesia, tapi kemudian ia bertanya "Kenapa terjemahannya banyak salah begini ya?". Sayangnya buku murah ini yang lebih mungkin dimiliki mayoritas warga negara Indonesia, yang penuh typo/salah ketik, tata bahasa yang kurang tepat, bahkan sebutan kuno (garpu diterjemahkan sebagai 'spoon fork' alias sendok garpu di salah satu buku yang kami beli). 

Intinya: saat anda melecehkan kemampuan bahasa Inggris sesama warga negara Indonesia yang memiliki kesempatan dan sumber daya yang lebih sedikit dari anda untuk lancar berkomunikasi dalam bahasa Inggris, anda sebenarnya berkata pada orang tersebut: "Gue lebih kaya daripada loe. Hohohoho."


Pastinya ada segelintir orang yang mampu memaksimalkan sumber daya di sekitar mereka untuk belajar Bahasa Inggris secara otodidak, tapi orang-orang jenius ini tidak banyak; begitu pula orang-orang yang memiliki kesempatan untuk belajar bahasa Inggris dengan baik tanpa membayar. Dan ini yang harus kita sadari, bahwa kemampuan Bahasa Inggris yang kita miliki bukan jatuh dari langit, bahwa kemampuan Bahasa Inggris kita ini suatu privilese, suatu kemewahan; dan tidak pantas kita menilai sesama warga negara Indonesia dari kemampuan bahasa Inggrisnya saja. Saya sering sekali melihat diskriminasi ini, saya sering melihat teman-teman saya yang sebenarnya kompeten tapi sulit mendapatkan pekerjaan karena ketidakmampuan mereka berbahasa Inggris; dan sebaliknya, saya bisa semena-mena menaikkan tarif saya karena kemampuan bahasa Inggris saya. Bila anda bekerja di bidang yang memang membutuhkan bahasa Inggris, tentunya wajar bila anda dituntut bisa berbahasa Inggris sebaik mungkin; tapi apakah anda punya hak menertawakan atau menganggap remeh teman anda saat anda kongkow/nongkrong bareng hanya karena ia tidak bisa berbahasa Inggris sebaik anda?

Diskriminasi ini juga terlihat saat saya bekerja dengan klien asing, dimana klien-klien saya menganggap saya lebih baik (dan lebih berpendidikan) dari sales lain hanya karena saya bisa lancar berbahasa Inggris; sementara rekan saya seringkali tidak dianggap (padahal dia lebih bagus daripada saya). Padahal ini bukan bahasa kita lho. Serius. Coba pikir deh. 

Di Amerika Serikat sini kemampuan berbahasa Inggris makin lama makin penting karena banyaknya immigran yang tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik dan benar; hal ini menyebabkan para anti-imigran sangat vokal untuk menegaskan keharusan berbahasa Inggris disini. Sementara di Indonesia, kita malah sibuk melecehkan salah satu capres karena konon ia tidak bisa berbahasa Inggris. Capek deh. Apa ini bukan bentuk 'tunduk' terhadap kekuasaan asing? Saat kita menghargai bahasa asing lebih tinggi daripada bahasa kita sendiri? Sudah cukup kita tergila-gila dengan muka artis asing/blasteran di layar TV dengan nama-nama bule yang pasti si mbok dan mbah di kampung tidak bisa melafalkan, haruskah kita juga merelakan bahasa kita dianggap lebih rendah dari bahasa asing? (Buat yang mau komen bahwa tidak benar masyarakat Indonesia maniak muka artis blasteran, saya cuma ingin memberitahu bahwa sepanjang liburan 3 bulan kami di Indonesia yang mencakup Jawa-Bali-Lombok-Sulawesi semua orang Indonesia yang kami temui menyarankan agar saya segera punya anak dari suami bule saya agar anak saya bisa jadi 'artis').

Bila anda benar-benar tidak suka dengan si krempeng ndeso itu, monggo/silakan anda 'menyerang' dia dan membeberkan bukti betapa tidak kompetennya dia sebagai presiden nantinya. Tapi saya mohon, saya benar-benar mohon, untuk tidak berkata ia tidak pantas jadi presiden karena dia tidak bisa berbahasa Inggris; setiap warga negara Indonesia memiliki hak yang sama di mata hukum, hak yang sama untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan, hak yang sama untuk menjadi presiden terlepas dari latar belakang dan kekayaannya. Memang benar presiden Indonesia nantinya harus berkomunikasi dengan bahasa Inggris kepada pemimpin dunia lainnya, tapi bukankah beliau akan jauh lebih banyak berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dalam menjalankan pemerintahan Indonesia? Pendapat bahwa presiden Indonesia harus fasih berbahasa Inggris agar tidak memalukan di tingkat dunia melecehkan Bahasa Indonesia, karena Bahasa Indonesia tidaklah inferior/lebih rendah dari bahasa Inggris. Menyulitkan mungkin, tapi jelas tidak memalukan. Tidak ada yang memalukan dari ketidakmampuan berbicara dalam bahasa asing yang bukan bahasa nasional kita, apalagi bila anda tidak memiliki sumber daya/kesempatan untuk mempelajarinya dengan sempurna.

Suami saya menguras tabungan untuk bisa tinggal dan belajar bahasa Indonesia selama 3 bulan di Indonesia. Dia membeli berbagai buku, mulai dari yang murah sampai yang mahal; dan mengalami frustasi tingkat tinggi karena ketidakmampuannya menguasai bahasa Indonesia dengan cepat. Tapi dia tetap bertahan, walau sebenarnya bahasa Indonesia tidaklah diperlukan untuk bekerja di Amerika Serikat. Dia bertahan karena keinginannya untuk bisa berkomunikasi dengan saya menggunakan bahasa asli saya, untuk meredakan kerinduan dan kehampaan yang saya rasakan saat jauh dari keluarga di Indonesia. Ini makna bahasa Indonesia, sebagai sebuah pemersatu. Saya bisa berbincang dengan teman saya dari Padang, dari Sulawesi, dari Jawa, dari berbagai penjuru Indonesia berkat bahasa Indonesia. Dalam 'petualangan' kami pun kami cukup banyak bertemu orang Indonesia yang tidak terlalu fasih berbahasa Indonesia (hanya bisa berbicara dalam bahasa dareah mereka), namun dengan bahasa Indonesia seadanya kami mampu berkomunikasi dengan mereka. Inilah kenapa Mohammad Yamin dalam Kongres Pemuda Kedua mendeklarasikan Sumpah Pemuda dimana sumpah tersebut menjadi tonggak utama pergerakan kemerdekaan Indonesia. Inilah kenapa kita akhirnya bisa merdeka sekarang ini. Bukan karena bahasa Inggris, tapi karena bahasa Indonesia. Mari kita hargai bahasa nasional kita.

PS: Masih keukeuh/ngotot kalau tidak bisa bahasa Inggris kita bakal diejek dan dipermalukan? Saya menemukan artikel dari Washington Post dimana mereka 'meledek' batik yang dipakai pemimpin dunia saat konferensi APEC sebagai 'baju konyol'. Apa karena ini kita juga mau menghilangkan batik karena 'tidak sesuai standar dunia' dan 'malu-maluin'? Stop didikte asing lah...

Saturday, June 28, 2014

Saya Juga Punya Mimpi, Pak Martin

Martin Luther King pernah berkata: "I have a dream."

 "I have a dream that my four little children will one day live in a nation where they will not be judged by the color of their skin, but by the content of their character. I have a dream today!"

Saya juga punya mimpi, Pak Martin Luther King....

Saya punya mimpi bahwa bangsa Indonesia mau bersatu dan menghargai sesamanya, dan tidak ada lagi tunjuk-tunjukkan "Dia kan tidak seagama/sesuku/sealiran"

Saya punya mimpi bahwa bangsa Indonesia mau menghargai sejarah dan budayanya, dan tidak ada lagi penghancuran budaya asli Indonesia atas nama 'kemajuan' atau bahkan 'agama'

Saya punya mimpi bahwa setiap warga negara Indonesia mendapatkan perlakuan adil dan kesempatan yang sama, dan tidak ada lagi diskriminasi

Saya punya mimpi bahwa negara Indonesia bisa menjadi negara yang besar, yang diakui dunia dan bukan hanya menjadi sapi perahan negara maju

Saya punya mimpi bahwa warga negara Indonesia akan memiliki kebanggaan tak terperi akan Indonesia, dimana jalan-jalan ke Taman Nasional Bantimurung di Sulawesi terdengar lebih hebat dan membanggakan daripada ke Gardens by The Bay di Singapura

Saya punya mimpi bahwa anak cucu cicit dan keturunan saya bisa berkata dengan bangga: Saya orang Indonesia

Sayangnya mungkin mimpi saya masih agak lama terlaksana, Pak Martin. Melihat kebencian dan ketidaksukaan yang seperti mendarah daging diantara para pendukung capres Indonesia di 2014 ini saya jadi ragu akankah persatuan dapat terwujud dalam waktu dekat ini. Padahal siapapun presidennya, masyarakatnya yang harus maju; bukan begitu Pak Martin? Kalau memang para penduduk Indonesia sudah bertekad untuk maju, walaupun presiden terpilih ternyata kampretos (maafkan bahasa saya Pak Martin) tentunya Indonesia bisa tetap maju bukan? Sayangnya ini malah seperti saling mengacungkan parang dan siap berperang, dan bisa-bisa bila calonnya tidak terpilih mereka akan melakukan berbagai cara untuk menjegal atau mengutuk pemerintahan terpilih dan bukannya bekerja sama untuk maju seperti halnya publik Amerika dengan Obama. Menyedihkan ya Pak Martin?

Tapi saya tidak mau hilang harapan Pak Martin. Saya juga punya mimpi dan saya akan terus mengejar mimpi itu. Dan suatu hari Pak Martin, suatu hari nanti kami bangsa Indonesia akan bersatu dan mampu melihat satu sama lain sebagai 'Bangsa Indonesia'. Mungkin ini perlu waktu lama Pak Martin, karena Amerika Serikat saja sampai saat ini masih belum sampai ketahap itu walaupun sudah merdeka selama lebih dari 300 tahun. Tapi 48 tahun setelah Pak Martin mengumandangkan pidato "I Have A Dream" bapak yang terkenal, Amerika Serikat memiliki presiden kulit hitam pertama. Jadi masih ada harapan toh Pak Martin? Suatu hari nanti Pak Martin... Suatu hari nanti....

Kelenteng di Bali yang mengadopsi still/gaya Bali

Saturday, June 21, 2014

Finding Mr. Perfect - Indiana Jones Way

"She looked at the steep black sand dune below her feet and it's long way down which ended on a sprawling bed of smooth volcanic rocks. She looked up and see the same black sand dune stretched for a good way till it reached the rim of the caldera. She realized she was trapped, perched like a bird with broken wings on the steep slope of the volcano. The sand beneath her feet kept getting loose, and she could feel herself sliding down with every move she made.

"I can't do it." She said with a tremble in her voice. The only way down for her is sliding down the steep sand slope, or perhaps even rolled like a log all the way down. Standing up and walked down with dignity was no longer an option in her mind. She was scared. She was frightened.

"Ary, look at me." He said. "I am here. I won't let you go. You can do it. I will catch you and help you if you slipped or fall. I won't let you go.""

As a normal 30-something woman, I have scoured numerous articles in magazines and blogs and books on what defines a perfect man. I have also heard advices, both requested and unrequested, of what virtues "Mr. Perfect" should have. To name a few: He should be affectionate. He should be considerate. He should be thoughtful. He should give you freedom. He should be able to provide for the family. He should be able to support you emotionally. You could say that Richard Gere's character in Pretty Women (complete with the inexhaustible credit card limit) is the epitome of the perfect man.

And thus, every woman search far and wide for their Prince Charming, the Mr. Perfect of their life based on this criteria, without a stop to realize that the core values for the perfect man are how much she can trust him and how well he proved his words and feelings towards her. All the other 'virtues' are nothing but a facade. Yes, that includes the white limousine and no-limit-credit-card.

I have lived all of my adult life believing in these virtues: ending and starting a relationship based on them, wanting so bad to have the perfect man. Even after I am married, I have had heated arguments with my husband over whose turn doing the dishes and other menial tasks/petty issues. I considered my husband's reluctance and/or delay on completing these tasks a great offence and a sign that he does not honor me or think of me as an equal. I know I'm not the only one like this though, because it is such a staple for women's jokes and memes. Sad isn't it?

Yet when you are grasping for air 250 meters (760 ft) from shore with a badly functioning snorkling mask and a fear for the unknown sea without a single soul nearby those arguments don't matter anymore. Or when you find yourself in a foreign country at night with very little chance on returning to the other country you know of on the same day. Or when you found yourself stucked in the mountain slope and lost all hope for a safe (and dignified) way down. Or when you are tunelling in a cave filled with caskets and skeletons of long deceased people with. Or when you have to navigate your way on a slippery clay barely-there path that hugs a stupendous karst hill. Or when you walked and hiked over river banks, waterfall (which has taken 40 people's lives with its strong undercurrent), sharp rocks en route to an ancient cave with its fast underground rivers, battling humidity and slipperiness of tropical forest and its vicious ants just to see a secluded lake. Or when you walked in a seemingly never end vast cave and afterwards the ever exhausting climb down.

Those arguments really doesn't matter on moments like these, when all you could think of is how to get to your comfort zone ASAP, or at least to reduce the fear and agony you felt for your dear life. And when you realize that your man is the only person you can rely on (since there was only two of you in the ordeals), and not only he managed to calm you and encouraged you, he also lead you and take you back to safety, you will feel those arguments are downright foolish.

Throughout our 3 months self-finding journey in Indonesia I have been subjected to a fair share of adventures thanks to my ever-enthusiastic husband. Within these 3 months I have been pushed to my limit, both physically and mentally, more than I've ever been pushed before in my whole 30-something life. I have succumbed in fear, broke in agony, trapped in hopelessness; yet at the same time I have been told over and over again that I could do it, I have been held so tightly and guided both by words and by sheer physical strength of my husband, and I have came out victorious in all ordeals, and a better, stronger person than I was before. More importantly, I have seen undisputed evidence on how much my husband loves me and care for my well being, on how accurate he knows my mental and physical ability, on how trustworthy he is with his words. And how he never, ever let me go.

Our trip will soon come to an end, and we will have to go back to 'reality'. But my reality is, I have found my perfect man. Others will have different experiences in this matter, it may take less glamorous occasions or more extravagant events to find it, but the truth stays the same: you will know what something (or somebody) is made of under pressure. I have the luxurious experience of knowing what kind of man my husband is, and I couldn't be happier. When jealousy and insecurity attacked, when doubt and ego overwhelmed me, I would close my eyes and remembering his encouraging words in the dense forest of Indonesia, in its dark caves and sprawling oceans, in its cold mountains and steep hills; words that were laced with love and strong desire for my comfort and happiness. I would close my eyes and remembering the strong grip he had on my arms and waist as he lead and guided me to safety, and his unbroken promise that we will conquer the challenge together. With that, I'd be at peace.

This knowledge, this trust, it is a big deal for me because knowing the man my husband is strengthen our bond even tighter. I wish all the people in this world would have this epiphany about their partner, and those who have had this knowledge will forever remember it. People change, they always do; human's actions and thoughts are always tampered by their surroundings and can change accordingly. But the soul within is a different territory, and once you get a glimpse of it from a person you know it will be like that forever because a soul seldom change. Thus, if you like what you see under the pressure, you might want to make an extra effort to keep it, and more importantly, to trust it.

The night have fallen and morning will soon come. My husband has stirred in his sleep and rolled over to hug me in his sleep. I can feel his warm sweet breath on the nape of my neck and his comforting arms around my waist, spooning me in a fetal position. It is time to end this note and to be lost in dreamland with him. I took the trust fall, and we both won. People can write long complicated essays about Mr. Perfect, but I've found mine; not in the swanky city scene, not in the homey daily-life scene, but in the magical wilderness of Indonesia. I hope you will find yours too, dear readers. I hope you'll find yours too. Goodnight :)


Monday, June 9, 2014

Saatnya Bersuara

Saya tidak suka menunjukkan afiliasi politik saya. Buat saya politik itu kotor dan sama saja, masuk bagus pun ujung-ujungnya brengsek. Dulu saya ngefans habis sama Budiman Soedjatmiko, keren dan revolusioner untuk negara ini pikir saya. Sampai sekarang saya belum lihat ada kontribusi berarti darinya untuk Indonesia dari segi pemerintahan, boro-boro revolusi bikin Indonesia bersih dan nyaman untuk ditinggali. Percuma toh gontok-gontokan sama teman kalau ternyata calon yang saya pilih ga ada gunanya? Itu lagi satu yang saya malas, debat berkepanjangan sama teman dan keluarga yang afiliasi politiknya beda dengan saya. Kalau ada gunanya sih yuk mari, biar Indonesia lebih baik; tapi biasanya cerita lama terulang: pemimpin yang korup dan ga becus plus warga negara yang ga pedulian. Percuma toh?

Tapi pilpres kali ini beda.

Di blog ini saya berani buka mulut dan menulis pendapat saya tentang berbagai hal yang menurut saya bisa mengubah dunia jadi lebih baik. Saya menulis tentang anti-bullying. Saya menulis tentang persamaan hak untuk semua orang. Saya menulis tentang respect/hormat untuk semua orang (termasuk PSK). Saya menulis tentang agama di Indonesia, berusaha menyadarkan orang-orang agar tidak saling membenci atas dasar agama. Saya tahu pendapat saya bertentangan dengan banyak teman saya, dan mereka bisa balik bodi karena tidak suka dengan pendapat saya. Buat saya ini adalah risiko yang sepadan, karena saya percaya isu yang saya kemukakan penting untuk kelangsungan dan keutuhan Indonesia, dan penting untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk calon anak cucu saya nanti. Maka dari itu, untuk pilpres kali ini saya memutuskan bersuara. Saya memutuskan mendeklarasikan pilihan saya.

Tag line nya: I stand on the right side. Apakah Jokowi-JK itu "the right side" saya tidak tahu. Tapi "harapan" buat saya akan selalu menjadi "the right side", dan itu yang ada di pihak Jokowi-JK. Harapan. Saya bukan memilih Jokowi-JK karena yakin mereka bisa mengubah dan membereskan Indonesia dan semua jadi super ok. Mereka cuma manusia, yang mana terikat koalisi partai dan masuk ke dalam sistem pemerintahan yang korup dan carut marut, dimana kepentingan seorang 'saya' lebih penting daripada kepentingan segenap 'bangsa'. Naif sekali bila berpikir mereka sendirian bisa membetulkan negara ini. Tapi mereka tidak sendirian. Para pendukung Jokowi-JK percaya pada mereka, percaya bahwa Indonesia bisa jadi lebih baik. Hampir semua komentar dan dukungan terhadap Jokowi-JK yang saya baca terasa tulus dan penuh harapan akan Indonesia yang lebih baik, dan saya yakin para pendukung ini akan terus mengawal dan mengusahakan Indonesia yang lebih baik. Saya tidak percaya Jokowi-JK, tapi saya percaya sepenuhnya pada rekan-rekan sebangsa dan setanah air. Saya percaya Indonesia.

Untuk pertama kalinya Indonesia bersuara lantang, walau mungkin sebatas di kota besar. Untuk pertama kalinya Indonesia tidak cuma diam dan cuek terhadap politik dan pemimpin negara. Untuk pertama kalinya Indonesia tersadar bahwa Indonesia bisa jadi lebih baik, dan berani memilih dan mengambil langkah ke arah itu. Ini 'harapan' yang saya maksud, ini 'harapan' yang saya perjuangkan. I stand on the right side, I stand on the side of Hope. Indonesia, saatnya bersuara!

Saturday, May 31, 2014

Sebangsa vs Seiman

Seorang teman menulis status di Facebook: "Semoga masa kampanye ini cepat selesai. Prihatin melihat saudara seiman saling serang dan saling fitnah." Pikiran saya yang jahil langsung tergelitik dan bertanya: memang kalau ga seiman ga sebangsa ya??

Saya tidak prihatin melihat saudara-saudara seiman saya (Hindu Bali) saling gontok-gontokan soal capres 2014. Maksudnya, saya tidak prihatin atau khawatir akan kelangsungan agama saya. Saya pribadi yang ngejalanin kok, ga ada urusannya siapa capres yang bakal terpilih atau yang dijagokan rekan-rekan seiman saya. Siapapun itu asal bisa bikin Indonesia lebih maju kenapa nggak. Urusan kenegaraan dan urusan keagamaan itu dua hal yang berbeda, toh presiden RI harus mengayomi semua WNI walaupun yang berbeda agama dengan beliau bukan?

Yang saya prihatin adalah saudara-saudara SEBANGSA (yup, pake huruf kapital biar lebih joss) yang saling serang dan saling fitnah. Semua hal bisa dipake adu domba kok, mulai dari masalah kuat-kuatan agama, suku, kekayaan, ras, sampai muka pun bisa jadi bahan serangan (balik). Para WNI yang terpelajar (macam saya dan anda para penulis dan pembaca Kompasiana) harusnya ngeh kalau ini cerita lama. Pemilu Malaysia, pemilu Amerika, dan saya rasa pemilu-pemilu di banyak negara lain pun pasti jurkamnya sibuk saling serang karakter dan bukannya adu program. Pertanyaannya, apa gosip dan/atau fitnah ini mempengaruhi kepemimpinan mereka?

Kampanye Amerika tahun 2012 adalah salah satu yang paling "ganas" yang pernah saya lihat, dan kedua kubu sibuk menjatuhkan satu sama lain dengan berbagai fitnah dan cerita lebay, yang mana membuat publik Amerika terbelah dua. Akhirnya yang menang tetap Obama, karena memang dia yang punya program yang paling solid untuk kenyamanan hidup warga negara Amerika. Jadi buat apa sibuk saling memaki dan mencibir dan mati-matian menolak hanya karena yang satu hanya ayahnya yang Islam dan yang satu lagi konon keluarganya berantakan? Apakah ini yang akan menyejahterakan rakyat Indonesia, atau akankah program-program yang ditawarkan?

Tapi sebagus apapun presidennya, tidak banyak gunanya kalau kita masih cuma berpikir soal "seiman" dan bukan "sebangsa". Bangsa Indonesia itu luar biasa besar lho, dari Sabang sampai Merauke. Sementara kalau bicara soal seiman, Hindu saja bermacam-macam di Indonesia. Bahkan di Bali sekalipun tiap daerahnya ada sedikit perbedaan dalam menjalankan agama dan adatnya. Inilah kenapa dulu kita punya Sumpah Pemuda : Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa; karena tanpa itikad persatuan ini sulit mempersatukan tiap suku/agama/golongan di Indonesia yang masing-masing punya agenda dan egoisme sendiri. Inilah kenapa akhirnya Belanda dan Jepang bisa kita tendang dari bumi Indonesia, dan kita bisa bilang ke dunia: "Merdeka!"

Pasti banyak dari anda yang berpikir: "Buat apa saya pikirkan orang yang tidak seiman/sesuku/segolongan dengan saya?". Ini wajar, karena banyak pemuka agama (bukan agamanya lho!) yang memproklamirkan kalau orang yang tidak seiman itu akan masuk neraka atau bahkan dilarang didekati apalagi diakui. Pertanyaannya, mau dibawa kemana sikap ini? Bayangkan anda mau bikin mobil, tapi bukannya bekerja sama tiap departemen (mesin, cat, bodi, etc) malah sibuk dengan agenda masing-masing dan tidak mengakui departemen lain. Jadilah mesin yang super gede dan maha kuat yang tidak masuk di dalam bodi yang dirancang super ramping dan cepat dengan paint job yang sangat girly dan ABG-to-the-max ala JKT48. Jangankan dijual, belum tentu itu mobil bisa jalan. Atau bagaimana bila tiap departemen menolak bekerja sama sekali karena tidak seiman/sesuku/segolongan? Walhasil itu blueprint cuma jadi alas mouse, itupun syukur kalau sudah jadi blueprint dan bukan masih cuma post it/kertas tempel, ato sekedar saran di e-mail. Inilah kondisi Indonesia sekarang.

Suami saya yang orang Amerika berkali-kali mengeluh penuh frustrasi akan lemotnya internet di Indonesia, padahal kami cuma berkunjung di Jawa dan Bali yang harusnya infrastruktur dan jaringan komunikasinya lebih baik daripada daerah lain di Indonesia. "Harusnya pemerintah kamu investasi ke jaringan komunikasi dan perhubungan. Bagaimana Indonesia bisa membela diri terhadap invasi asing kalau tidak ada jalan untuk tentaranya? Bagaimana orang Indonesia bisa belajar kalau internetnya saja nyaris tidak ada? Kenapa tidak kirim orang-orang untuk belajar di Amerika atau negara maju lainnya agar bisa punya tenaga ahli di Indonesia?" Konon begitu omelan kakanda saya, dan saya cuma bisa manggut-manggut. Bagaimana mau berpikir sejauh itu, jawab batin saya, kalau jabatan menteri dibagi-bagi kaya kacang gratis ke orang yang tidak punya kompetensi. Dan kita yang orang Indonesia tidak protes, padahal kita yang paling berkepentingan.

Ini yang harusnya kita perjuangkan di pemilu ini, masa depan Indonesia. Harusnya kita bisa protes dan meminta para pejabat terpilih adalah pejabat yang punya kompetensi dan punya track record yang bagus di bidangnya, keselektifan harus diterapkan untuk semua menteri dan bukannya untuk menkes menkeu dan menlu saja (karena saya sangat ragu menteri kominfo yang sekarang punya kompetensi di bidang kominfo dengan segala celetukan doi yang ga jelas). Harusnya kita bisa berpikir lebih jauh dari cuma sekedar "Ih, dia kan tidak seagama". Harusnya kita bisa berpikir dan bertanya: "Negeri seperti apa yang nanti akan ditinggali anak cucu saya?"

Suka tidak suka, kita satu bangsa: bangsa Indonesia. Anak cucu kita pun (kecuali yang membelot ke luar negeri ya) akan tetap jadi WNI, dan tinggal di bumi Indonesia ini. Bahkan yang sudah bukan WNI pun pasti tetap ingat tanah leluhur, karena darah tidak bisa bohong. Anda boleh cari, tapi saya rasa tidak ada satu negara pun di dunia ini yang hanya dihuni secara eksklusif oleh satu agama/suku/golongan. Kita bisa main gontok-gontokan antar golongan dan agama seperti Mesir dan Thailand, saling usir-mengusir sesama warga negara seperti Myanmar, atau kita bisa menguatkan diri dan bersatu untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Sekarang saatnya kita memilih.

Monday, December 2, 2013

Jualan Kemiskinan? Yuk Mareeeee......

Waktu berita soal iklan Lifebouy tuai protes di NTT keluar, banyak yang mencibir dan mencela. Dibilang pahlawan kesiangan lah, dibilang tak tahu diri padahal memang miskin lah, dibilang minta CSR yang lebih tinggi lah, intinya: "Elu miskin! Ngaca napa?!"

Lah, emang orang miskin ga boleh punya harga diri?

Pertama-tama, mari kita menekur sejenak: apa sih 'miskin' itu? Buat anda yang punya mobil, saya yang cuma naik motor tentunya terlihat miskin. Tapi di mata rekan anda yang punya 3 mobil, anda yang cuma punya satu tentunya terlihat miskin, dan bagi teman saya yang cuma naik bis dia lebih miskin daripada saya. Jadi apakah saya miskin? Kalau anda kekeuh bilang saya miskin, ya itu urusan anda. Tapi saya ga merasa miskin tuh. Dengan kata lain: kemiskinan itu sebuah perspektif.

Bokor perak buatan Bali, karena divisi silverwarenya Tiffany ga ngeluarin produk ini
#Sarkasme #siapayangmiskincoba

Orang-orang yang saya temui di Amerika sini tercengang-cengang waktu saya bilang hal paling berkesan buat saya di Amerika adalah air keran siap minum. Saya tahu mereka pikir negara saya miskin banget dong. Tapi saya ga merasa negara saya miskin. Awal-awal saya pacaran dengan pasangan saya, kami seringkali bertengkar karena saya merasa dia menganggap remeh Indonesia. Saya bilang: "Kami memang tidak punya kemudahan yang kalian punya, tapi itu bukan berarti kami lebih rendah dari kalian". Setelah hampir 2 tahun menjalin hubungan dan 4 trip/liburan ke Indonesia,  sekarang dia lebih kangen Indonesia daripada saya. Tidak punya sesuatu yang umum dimiliki orang lain bukan berarti kita miskin atau memiliki derajat hidup yang lebih rendah dari orang lain (yang kebetulan punya). Kadang itu cuma berarti kita menjalani hidup yang berbeda.

Saya sepenuhnya mengerti protes para masyarakat NTT. Bukan mereka belagu dan ga mau dibantu ya, tapi lebih ke harga diri mereka. Eksploitasi kemiskinan itu sering kok. Di Bali saya pernah bekerja dengan LSM asing yang konon membantu masyarakat miskin di Bali. Konon membantu, tapi tiap kali minta dana yang keluar adalah Poor, Illiterate, Disadvantage dan beragam kosa kata yang intinya: "ni orang miskin, kesian dikit kenapa?". Hasilnya: vila mewah di puncak bukit milik si penggagas LSM, dan perasaan rendah diri orang-orang yang dibantu. Kebayang ga, anda merasa hidup anda baik-baik saja lalu si orang reseh ini datang dan bilang: "Aduuuuh, gaji kamu sebulan cuma setara gaji saya seminggu....!! Kasian ya, pasti kamu ngerasa kurang bangeeeeet.....!!". Pastinya anda jadi merasa minder dan kesal kan, walaupun orang itu memang benar-benar tulus prihatin terhadap anda. Kalau kita ngerasa hidup kita baik-baik saja, apa hak orang lain untuk datang dan mengupas tuntas 'kemiskinan' kita versi mereka?

Banyak cara yang bisa dilakukan untuk membantu masyarakat NTT atau daerah penuh tantangan lainnya [Ingat, bukan miskin tapi penuh tantangan!]; dan itu bisa dilakukan tanpa mengeksploitasi kemiskinan, tanpa merusak harga diri mereka.  Contoh nyata: video untuk Charity Water dibawah ini. Sama-sama menyoroti kemiskinan, namun dibuat sedemikian rupa sehingga subyeknya masih punya "harga diri' dan bukan cuma sekedar: "Mereka miskin lhoooo.....!!!". Contoh lain bisa dilihat disini, sebuah parodi tentang maraknya iklan pencarian dana yang menitikberatkan kemiskinan di Afrika. Ibaratnya kalau mau ngebantu ya ngebantu aja, jangan bikin yang dibantu ngerasa dipermalukan dan kehilangan harga diri, jangan jualan kemiskinan demi tujuan situ.



Anda-anda yang membaca ini di laptop /komputer canggih dan hape mentereng di kedai kopi dalam mall yang harga secangkir minumannya yang paling murah setara dengan 3 nasi bungkus warteg pakai ayam mungkin tidak percaya kalau Indonesia masih dianggap negara terbelakang oleh para negara (yang konon) maju dan jadi bahan olokan. Berasa 'Jlebb' banget ga sih, sama-sama minum kopi bintang-bucks dan pake i(Lele)Pon tapi dianggap ga lebih baik (atau bahkan lebih buruk) dari orang homeless negara mereka. Ini jadi semacam misi pribadi saya untuk men-counter dan mengedukasi orang-orang yang miskin informasi ini bahwa Indonesia mungkin tidak punya standar hidup yang sama dengan negara (konon) maju ini, tapi warisan budaya dan kebajikan kuno kita jauh lebih maju dari kebudayaan mereka sekarang. Bahagia rasanya kalau pas saya buka mulut saya bisa mengutarakan hal-hal yang lebih santun dan lebih beradab daripada warga negara (yang konon) maju dan membuat mereka jadi respect dengan Indonesia dan tahu Indonesia itu bukan cuma sarang teroris dan negara terbelakang seperti digambarkan media mereka. Anda marah dianggap terbelakang dan sarang teroris? Kebayang kan perasaan masyarakat NTT.

Sudah saatnya kita melihat "kemiskinan" secara berbeda, bukan sekedar 'punya' dan 'tidak punya'. Tiap daerah memiliki standar kemiskinan dan kekayaan sendiri, dan memaksakan/menyama-ratakan konsep 'kemiskinan' itu sama efektifnya dengan memaksakan nasi sebagai makanan nasional. Kalau di Papua selama berabad-abad tidak membudidayakan beras dan makan ubi sebagai makanan pokok, bukan berarti mereka miskin bila tidak makan nasi kan.  Masyarakat NTT (dan banyak pulau/daerah lainnya di Indonesia) butuh air bersih, butuh aksesibilitas, butuh pendidikan dan tenaga medis, butuh pelayanan publik yang setara dengan daerah maju di Indonesia seperti Jakarta atau Bali. Ini yang harus kita lihat dan kita fokuskan. Kenapa mereka butuh ini? Karena daerah mereka sulit mencari air bersih, karena aksesibilitas dan pelayanan publik adalah hak tiap warga negara Indonesia. Ini alasannya. Jangan sekedar mencap mereka 'miskin', jangan alasan membantu karena mereka 'miskin', jangan jual 'kemiskinan' mereka. Anda tidak tahu, bisa jadi hidup mereka lebih bermakna dari hidup anda sekarang. Bila iya, siapa yang miskin sekarang?

Tuesday, November 19, 2013

Ayo Bangkit Indonesia!!!

Tahukah anda satu kesamaan tiap kali ada artikel tentang Indonesia di media Amrik? Komentar negatif.

Baru saja saya membaca berita tentang gempa bumi di wilayah timur Indonesia. Saya bersyukur tidak ada korban jiwa ataupun efek yang signifikan. Namun yang bikin saya emosi adalah komentar-komentar pembaca yang sinis/negatif. Ada yang bilang Indonesia "muslim crap-hole", ada yang bilang Obama bakal kesini bagi-bagi duitnya Amerika (kaya kita butuh getooo). Menyebalkan banget ga sih?



Masalahnya, komentar-komentar ini selalu ada tiap kali ada artikel tentang Indonesia. Seolah-olah bagi pembaca budiman kita di Indonesia ini: 
A) Perusak lingkungan - karena nebangin hutan
B) Teman kongkow/ce-es annya Obama yang akan selalu dilindungi dan dikasi duit
C) Negara terbelakang dan amat-sangat miskin yang terus minta bantuan ke luar negeri
D) Pusat teroris

Tiap kali komentar-komentar ini muncul saya selalu berusaha mencounternya walau saya tahu tidak banyak gunanya karena orang-orang model begini tidak akan percaya atau peduli dengan pendapat saya. Tapi saya mencounter bukan dengan tujuan membalas si komentator dodol itu, saya mencounter agar pembaca lainnya mengenal Indonesia lebih baik. 

Saya ingin pembaca Amrik tahu bahwa:
A) Hutan kita ditebang dan sumber daya kita dikuras bukan karena penduduk Indonesia rakus, tapi justru untuk melayani demand/permintaan global yang mayoritas datang dari negara maju.
B) Obama bukan ce-es kita. Dia cuma pernah sekolah sebentar disini dan sejujurnya saya ga yakin dia segitu mesra/nge fans nya dengan Indonesia. Jangan nyari2 alasan cuma karena ga suka Obama terus dikait2kan dengan (konon) negara teroris
C) Hello? Situ yang butuh kita. Kearifan lokal Indonesia itu cukup untuk bertahan hidup dimanapun, dan sumber daya alam kita juga melimpah ruah. Jangan salahkan kita miskin, salahkan penanam modal yang maunya ngeruk kekayaan Indonesia saja. Dan kalau ga rela kasi bantuan ya ga usah...
D) Indonesia BUKAN negara Islam, dan Islam juga tidak identik dengan teroris. Hampir semua teman saya yang beragama Islam oke punya dan tidak mengikuti stereotip "teroris" hasil ke-parno-annya orang Barat. Dan lagi, kalau kita segitu terorisnya kenapa ga kita yang diserang duluan setelah Afganistan etc?


Demi meringankan gejala homesick saya, si Akang memasang peta Indonesia yang besar di dinding apartemen kami. Setelah dipasang dia komentar: Indonesia itu ternyata besar ya. Dan dia tidak salah. Indonesia itu memang besar. Pertanyaannya, apakah kita yang orang Indonesia sadar kalau negara kita adalah negara besar, baik dari segi ukuran maupun kemampuan/potensi? Kita cukup besar sehingga negara-negara lain ngeh (dan parno) soal kita. Kita cukup bijak dan tangguh sehingga bisa bertahan dalam kondisi ekstrim sekalipun. Kita tuh... keren. Tapi biar sekeren apapun tidak akan ada pengaruh/manfaatnya kalau kita tidak ngeh kalau kita keren, atau kalau kita tidak sadar siapa dan apa itu orang "Indonesia".

Tiap kali saya baca komentar di media Indonesia, biasanya saling nyolot/ejek mengejek masalah agama. Atau mirisnya saya saat baca "Tanya Jawab Ahok" dimana beberapa pertanyaanya berkaitan dengan rasnya. Sekarang begini ya para pembaca yang budiman, Indonesia itu bukan satu agama saja. Indonesia itu terdiri dari beragam suku bangsa dan beragam agama, dan salah satunya adalah keturunan Cina. So what gitu lho? Si Mbak ini marah-marah karena dia merasa distereotipkan sebagai keturunan Asia timur, padahal dia warga negara Amrik. Saya nggak mengerti kenapa dia harus emosi, mengingat kebanyakan orang Asia belum terlalu lama menjadi imigran disana, paling tidak yang tercatat (untuk asia timur) adalah semenjak 1778 dan abad ke 19. Wajar kalau mereka masih dianggap "asing". Sementara di Indonesia yang keturunan Cina nya sudah berabad-abad dan bergenerasi-genenrasi, beberapa keturunan kerajaan bahkan menikah dengan penguasa lokal, kenapa masih dipertanyakan dan diperdebatkan bahwa mereka warga minoritas? Bukankan Bali yang cuma pulau kecil juga hitungannya minoritas? Atau Lombok dan Sumba?

Kalau kita mau Indonesia bangkit, kalau kita mau Indonesia berjaya, kita harus berhenti berpikir "Saya!!!". Anda ya memang anda, tapi mari berpikir lebih jauh dari sekedar keberadaan anda, mari berpikir tentang keberadaan anda selaku warga negara Indonesia. Indonesia tidak dimerdekakan oleh satu golongan/agama/ras/suku saja, dan tidaklah mungkin Indonesia bisa dijalankan dan meraih potensi maksimalnya hanya dengan satu golongan/agama/ras/suku saja. Kalau mau begitu, pilihannya adalah kembali ke jaman pra-kemerdekaan dimana Indonesia terdiri dari berbagai negara-negara/kerajaan-kerajaan kecil yang dimana mudah sekali dimangsa oleh negara besar. Apa ini yang anda inginkan?

Saya ingin orang tahu hebatnya Indonesia, saya ingin orang menghormati negara dan asal-usul saya dan berhenti mengolok-oloknya. Satu-satunya cara adalah menyadarkan mereka (dan dunia plus orang Indonesia sendiri) betapa hebatnya dan kerennya Indonesia. Dan ini tidak akan tercapai bila kita sibuk bertengkar dengan penuh keparnoan terhadap sesama warga negara yang berbeda agama atau suku, dan bukannya bersatu memajukan Indonesia. Jangan mau dan jangan puas cuma jadi bahan ejekan negara lain. Ayo bangkit Indonesia!!

Thursday, October 17, 2013

Seorang Diri di Amerika

Nongkrong di pelabuhan/marina ngeliat kucing jalan-jalan

Apa rasanya tinggal di Amerika? Konon keren, apalagi kalau tinggal ga jauh dari Hollywood. Konon beradab juga, dan semua-mua terjamin dan aman. Konon katanya.

Hampir 4 bulan saya tinggal di Amerika, dan saya hampir-hampir ga ngeh kalau saya sudah bukan di Indonesia. Mungkin saya saja yang katro, yang alam bawah sadarnya menolak mengakui kalau sekarang saya di negeri orang dan butuh nyaris 24 jam untuk terbang pulang ke Indonesia, tapi buat saya benar-benar ga ada bedanya. Siang hari (dan terkadang malam) saya mendengar orang lewat berbicara dalam bahasa Inggris atau bahasa Spanyolnya Meksiko, dan rasanya itu wajar banget. Ga parno atau bingung, ibaratnya saya cuma lagi di daerah di Indonesia yang bahasanya beda. Kadang saat saya belanja ke supermarket dan ketemu orang kulit putih di parkiran mobil atau di area supermarket yang kosong/sepi saya bakalan bingung dan berpikir: ini bule ngapain disini? Atau saat-saat saya sibuk berceloteh atau bersms dengan suami saya, dan saya jadi eneg sendiri: ngapain sih gue sok bule sms an/ngomong pakai bahasa Inggris??

Saya paling sering tersadar bahwa saya bukan di Indonesia lagi kalau berhadapan dengan makanan. Saat suami memasak pasta atau sandwich untuk makan malam misalnya, atau menu barat lainnya yang isinya hampir semua karbohidrat dan daging, saya akan terbengong sedih dan meratap dalam hati: mana sayurnya? Atau saat saya menyadari saya ga bisa seenaknya menghabiskan indomie yang ada di lemari dapur, karena kalau habis susah nyarinya. Harga Indomie disini ga mahal, cuma sekitar 39 sen atawa Rp 4000 perbungkus, tapi nyari toko Indonesia disini yang susah. Atau saat menyadari kalau disini ga bisa pagi-pagi pergi ke dagang sayur dan beli bumbu masak plus daging etc, karena disini yang jual sayur tiap hari cuma di supermarket. Ibaratnya kalau mau belanja pilihannya cuma Giant Carrefour dan kawan kawan. Dan bumbu rempahnya? Jangan tanya... botolan semua.

Banyak hal yang disini lebih cihui daripada di Indonesia. Perpustakaannya, misalnya. Saya tinggal tidak jauh dari perpustakaan yang cukup besar, dan rasanya puas banget bisa kesana dan membaca berbagai buku. Selesai sudah petualangan saya nyolong-nyolong baca buku di Gramedia dan Gunung Agung. Museum-museum dan taman-tamannya juga keren habis, dan terjaga plus tertata rapi. Suami saya suka bingung kalau saya takjub melihat mainan anak-anak (ayunan, jungkat-jungkit, seluncuran, etc) yang tertata rapi di taman, modelnya seperti istana mainan di McDonald atau KFC, dan hampir tiap taman punya benda ini, kadang 2 set sekaligus atau lebih. Saya cuma terharu membayangkan apa kata keponakan kecil saya kalau melihat tempat bermain sekeren dan selengkap ini, karena di Jakarta atau Bali cuma sekolah-sekolah yang super oke saja yang punya benda-benda seperti ini. Air minum juga mudah didapat, karena hampir semua tempat publik termasuk supermarket punya pancuran air minum dan air keran disini aman untuk diminum. Selesai sudah bolak-balik mengangkat galon air ke toko atau tempat air isi ulang. Polisi disini bisa dipanggil dengan mudah via 911, dan semua lalu lintas disini tandanya jelas dan mudah dimengerti. Semua serba teratur dan nyaman.

Si Akang mo ngejar speedboat ceritanya. Yup, ini foto nikah kita :D

Tapi tidak selalu semua aman dan nyaman. Ada daerah-daerah disini yang dianggap rawan dan berbahaya, dan kecintaan orang sini terhadap senjata api juga bikin was-was. Kemarin kami melihat seorang ABG menakut-nakuti ABG lainnya dengan senapan dari jendela kamarnya. Saya dengan cueknya berjalan terus, karena kalau di Indonesia benda itu pastinya palsu; lagipula siapa pula yang berani menembak secara random, mau rumahnya dibakar massa apa? Suami saya langsung menarik saya dan menelpon 911, saat itu saya baru tersadar kalau saya bukan di Indonesia, disini orang-orang berhak menembak dengan alasan "membela diri" dan bahkan tidak ragu menembak di muka umum. 2 menit kemudia dua mobil polisi datang dengan kecepatan tinggi, plus sebuah helikopter yang berputar-putar diatas lokasi. Serasa GTA euy. Malamnya saat kami mengunjungi restoran Meksiko kami melihat segerombolan anak muda dengan Porsche kuning mereka, dan suami saya memutuskan untuk mencari tempat lain karena ia khawatir gerombolan anak muda ini anggota geng dan kita bisa terlibat baku tembak disitu. Waduh. 

Disini hukum kuat, tapi bisa dicari celahnya dengan pengacara yang pintar. Ada pengacara yang beragumen bahwa kliennya terlalu mabuk untuk menyadari dia menabrak mobil lain dan menewaskan pengendara mobil tersebut, jadi ia tidak bisa dijerat pasal pembunuhan. Ada juga yang bilang kliennya memiliki ADHD jadi tidak tahu konsekuensi jangka panjang bahwa menembak orang lain itu salah. Yang paling mengherankan: seorang pria yang mengupload pengakuan diri bahwa ia menabrak orang sampai mati saat mabuk, lalu menyatakan "tidak bersalah" di pengadilan karena secara legal ia bisa melakukan itu. Disini juga ada untouchable model di Indonesia, misalnya saja kasus perkosaan di kota Maryville yang konon tidak diusut karena pelakunya anak pejabat. Atau perkosaan oleh atlit football di Steubenville (secara garis besar atlit football mereka dianggap setengah dewa). Ada juga orang-orang buangan, yang kalau di Indonesia modelnya pengemis dan pemulung, misalnya saja kasus anak muda ini yang ditemukan mati dengan kondisi mencurigakan dan setelah otopsi organ dalamnya terbuang dan diganti dengan koran bekas. 

Apapun ras, kebangsaan, atau agamanya, saya menemukan kalau orang ya tetep orang. Sama saja semua: ada yang baik, ada yang rese, ada yang bodoh, ada yang pintar, ada yang egois, ada yang pengertian, ga ada bedanya antara orang sini dan di Indonesia. Kalaupun ada bedanya, yang paling terasa adalah kemandirian orang Indonesia secara umum. Orang sini yang mampu (dan ceritanya sadar kesehatan) lebih memilih membeli air botolan yang mahal, karena minum air keran itu ga keren. Yang kurang mampu hobi minum soda karena harganya lebih murah dari air botolan. Saya beli botol minum dan mengisinya dengan air keran, habis perkara. Air ya air menurut saya, bisa diminum saja sudah bagus. Petugas di konter daging di supermarket langganan saya terbengong saat saya membeli daging potongan besar, dia bilang jarang ada orang yang membeli daging seperti itu dan kebanyakan memilih yang sudah terpotong rapi dan dipaketkan. FYI, harga daging potongan besar dan yang terpotong siap masak itu bedanya bisa $5-$7 per pon nya (1 pon kurang lebih 1/2 kg), lebih baik repot sedikit memotong daging besar jadi beberapa bagian dan menyimpannya di freezer. Saya tidak perlu pusing lagi memkikirkan beli daging seminggu kedepan. Hal-hal kecil ini yang seringkali tidak disadari orang sini, karena terbiasa dimanja dengan berbagai kemudahan. Bayangkan saja, satu kali saya menemukan bawang putih halus yang dibekukan, benda ini disimpan dalam kotak-kotak kecil seperti dalam kotak es batu, jadi kalau mau masak tinggal dipencet keluar saja. Ya ampun, bikin pake blender juga bisa kaleee.....!!!

Menulis ini membuat saya kangen rumah saya di Indonesia. Kangen masakan ibu saya, kangen jajan di pasar atau di kaki lima saat malam hari, kangen hidup tanpa aturan yang mengekang. Disini sampai main bola saat istirahat saja dilarang di sekolah, dan beribu aturan lainnya yang konon membuat hidup orang sini lebih baik, tapi tetap saja terjadi tuntut-menuntut dimana-mana. Orang bilang saya disini adalah kesempatan hebat untuk membuat hidup saya lebih baik. Mungkin. Saya harus mengakui bahwa walau biaya hidup disini tinggi, kemungkinan saya bisa menabung lebih besar daripada saat saya tinggal dan bekerja di Indonesia. Tapi buat orang yang bilang saya hebat karena bisa tinggal di Amerika karena ini negara hebat, sori sori ya mas/mbak. Indonesia tidak kalah hebat kok dengan Amerika. Banyak hal yang Amerika lebih maju dari kita, tapi banyak juga kebijakan dan kebajikan Indonesia yang bikin kita lebih hebat daripada mereka. Indonesia tetap tanah air saya, tetap tempat yang saya cintai, sampai kapanpun jua. Yaaaaaaaaaay, Hidup Indonesia!!!

Monday, February 18, 2013

The Two Eagles

I love Indonesia. I love my country, my home land, and I believe it is the most wonderful place on earth. Other countries can brag higher income per capital or lower crime rate or a more advanced technology standard, but none can match the beauty, sheer wonder and raw richness of Indonesia. The seemingly uncivilized and corrupt officials are not to be proud of, I agree, but even so it is not enough to dimmed the lustrous shine of my homeland. That is why I am on the verge of tears when I saw in our wedding website my fiance has placed my country's eagle, the mighty Garuda, next to his famous Bald Eagle with a caption: Proud citizens of our countries.
To me, it was not just about logo placement. To me, it is his way to tell (and show!) how much he appreciate my country and thus, myself. Almost 68 years from our declaration of Independence, yet I still found foreigners who played land lord (in numerous field/line of work) and treat their Indonesian host/partner/employee as mere servants. It is such a relief to know the man I have chosen will treat me as equal, and both accept and appreciate my patriotism towards my country.
The decision to be with my fiance was both an easy yet difficult one. Easy because I know he is a wonderful man and we love each other very much, difficult because I know eventually I will have to leave my homeland to be with him. But now, I feel relieved. When the time comes for me to leave Indonesia and reside with him, I can be content and cherished my life  with the man who shared love and respect for my country, and knowing one day I will be home again in Indonesia with him. Thank you, my love...

Garuda di dadaku, Garuda di websiteku

Saya cinta Indonesia, negeri saya yang indah dan menakjubkan. Politik dan korupsinya tidak menyenangkan, tapi bahkan keresehan para [poli]tikus elit ini tidak mampu memudarkan sinar kemilau negeri saya. Itulah kenapa saya hampir menangis haru melihat tunangan saya meletakkan Garuda Indonesia bersandingan dengan lambang negaranya, dengan caption: "we are proud citizens of our countries" - (kami adalah warga negara yang bangga akan negara kami).

Bagi saya, peletakan Garuda di website kami menunjukkan betapa ia menghargai Indonesia, bahkan mungkin lebih dari [mayoritas] orang Indonesia. Di saat sekian banyak orang asing yang "menjajah" Indonesia dan memperlakukan bangsa Indonesia seperti pelayan di negerinya sendiri, tunangan saya menunjukkan bahwa saya dan ia setara, bahwa negara kami setara. Dan bukan hanya itu, ia juga menunjukkan penerimaan dan penghargaannya akan patriotisme dan rasa cinta saya pada tanah air dengan captionnya.

Keputusan saya untuk menjalin hubungan dan bertunangan dengan pasangan saya bukanlah hal yang mudah, karena saya akan harus meninggalkan Indonesia untuk bersamanya. Namun saya kini bisa bernafas lega. Saya mungkin pergi jauh, tapi saya akan bersama seseorang yang juga mencintai dan menghargai tanah air saya, dan dengan demikian dapat dipastikan menghargai saya pula seutuhnya. Kedua hal ini adalah sesuatu yang demikian berarti bagi saya, saya begitu beruntung bisa mendapatkan keduanya. Terima kasih, cintaku...

Sunday, October 14, 2012

Confession of a "Mistress"



"Once they saw you, they would think either I got a stint in a Southeast Asia country or getting a mail-order bride." - Boyfriend

Ouch. Not a very pleasant prospect.

I met and started dating my boyfriend a few months ago, and as much as I love him I found that people's reaction towards me quite annoying. From his side of the world I was labeled gold digger, from my side of the world I was labeled gold digger as well. We had Facebook comments that clearly accusing me of gold-digging activities (or to boyfriend's sarcastic retorts for the hater: greencard-digging activities); we had people calling me his "mistress" or even suggest that he's my John in Bali. It frustrates me because, well, I'm neither.

The "Mistress" labeling was disgracing for both of us. It implies I have very low goal and ability, and implies that my boyfriend was not good enough that the only one he can get is a "third-world country gold-digger" or a "green-card pursuer". As a matter of fact, I believe that we have a much better relationship than most people, albeit the 14000 km distance. We communicate daily, only interrupted if it's bed time. We would talk about our work and goals and ambitions. We encourage each other to pursue what we do best (he's an inventor, I'm a writer). We play Words with Friends constantly and actively trying to slay each other in it. We had discussions about Christianity and religious views at 7 in the morning, and Sumerian numerical base at 7 in the evening. We love each other in such a way that we compete on showing the others how much we really care and love. What's so gold-digging about that?

I can see the reason why people accusing me of using him to get a better life. Indonesia is notoriously well known for its corruptions, poor human rights equality, and low wage. The thing is (and this is what most people are not aware of, both on my side and his), Indonesia is the most beautiful and magical place to live. At least in my biased opinion. The people are friendly as we have learned to live with different sub-race and religions and beliefs for hundreds of years; I can go to the beach right after work; I can eat delicious Balinese Paella for only IDR 3000 (about 33 cents in USD); I can go praying and indulge in the exotic aroma of flowers and incense while hearing the beautiful gamelan playing. It is not a place that I would be happy to leave, and I would probably never think of leaving if Destiny didn't come calling. I have more to lose by leaving my country: my job, my family, my friends, basically every thing that I know in life. The only thing that kept me going is my desire to be with my boyfriend daily, creating a family and erase the agonizing physical distance we have now.

To be fair, the way some women act also give bad reputation. He told me about the tacky Southeast Asian women he met there with their vacant stares and ridiculous outfits who were more crass than class. Small wonder that there were slew of memes about Thai girls or other Asian, nor should I be surprised for the prospect of being thought as mail-order bride. In my part of the world I also seen so many women who, sadly, actively pursuing foreigners (especially Caucasian). Preference is preference, I have my own sets of physical preference which I hope to (and gleefully) find in a partner. It was the heavy flirting that disturbs me, the painful attempt to try to fit in in a western world (fashionably hanging at places where foreigners hang out, dressed like one, trying to look upscale and worth dating for). And when they got one, they'll try even more to fit in and be a foreigner, some even willing to go blind eye with the partners' obvious cheating or disrespect as long as they can present the foreign dude and says, "Yes, I'm with him!!"

It all boils down to ability to see a bigger picture. When the news broke that I am in a relationship with a foreigner some of the foreign-dude women reach out for me and welcome me to their "club", which I decline politely. I am not dating my boyfriend because he is white, I'm dating my boyfriend because he's wonderful (which, I hope, they will realize and follow suits. A loving respectful boyfriend of any race will make one a wife or partner instead of "mistress"). Me and my boyfriend are well educated, competent in our work, and smart enough to live a good life and make a living. You'll find a pair like us in America, a pair like us in Indonesia, in India, in Iceland, anywhere really. Two people in love, respecting others and ready to live our forever together. It's just that I'm Indonesian and he's American, I'm Malayan and he's Caucasian. Our race and nationality has nothing to do with feelings and dreams. It's about time people learn to see pass the skin [color] and tags. Well, one could hope.

UPDATE:

10 minutes after I post this article I got a spam of book called "How To Get Many Pen Pals and the Woman of Your Dreams in the Philippines, Thailand, And China" (which oddly show 2 Caucasians on the cover). I rest my case. Foreigners, Asian women are NOT only for mistresses only and we can do with proper respect. Asian women, please stop giving the retarded people fodder to disgrace you. Rise and shine, lovelies.

Search This Blog