AdSense Page Ads

Thursday, June 25, 2020

7 Years and Counting



Dear America,

Thank you for letting me find my voice
Thank you for giving me a chance to find who I am
Thank you for allowing me to grow
I have blossomed like a patch of wild poppies
Simple and bright, and thriving in your land

Thank you for the equality you've shown me
Thank you for the safe feeling you've given me
Thank you for making me feel more human 
It is not perfect, I know
But it's much, much more than anywhere else

Thank you for the shoulders to cry on
Thank you for the dicks to ride on
Thank you for the friendship and love that cannot be replaced
I came here as a lost child
And now I have found my home

I await for the time where I can again stand in awe
When the Star Spangled Banner is sung again
Tears in my eyes, joy in my heart
For a country that has given me so much
For the people who make this country so great

Thank you for everything, America.
7 years and counting.

Wednesday, June 17, 2020

Kok Kamu Item Sih?



Tiap saya mendapat pertanyaan tentang kondisi rasisme di Amerika saya selalu terbego-bego. Apalagi kalau yang bertanya benar prihatin dan ketakutan.

Sisi saya yang tega terkadang tertawa, "Kenapa? Baru terpikir ya kalau dipersekusi itu tidak enak?" Sisi saya yang lain berharap mereka sekarang mengerti rasanya jadi kaum minoritas di Indonesia. Siapa tahu ini jadi pelajaran yang bagus.

Di Indonesia rasisme ini dikaitkan dengan masyarakat dari Papua. Ini sebenarnya sedih lho. Kita baru mau melihat adanya diskriminasi terhadap seseorang yang sangat berbeda dengan kita, padahal sehari-hari kita juga melakukannya. Racism terhadap orang-orang yang nggak satu suku dengan kita, serta colorism terhadap masyarakat secara general.

Beda Racism dan colorism adalah dasar diskriminasinya. Racism itu biasanya keluar, dan kita pro kedalam. Colorism itu bisa terjadi bahkan didalam grup kita sendiri. Racism adalah saat anda nggak sudi duduk semeja dengan orang Cina, colorism adalah saat anda mencibir mbak-mbak muka lokal yang kulitnya gelap.

Inilah kenapa tiap arisan keluarga yang diomongin "Aduh itu nggak bisa ya si A ganteng begitu cari istri yang putihan sedikit?" Atau cetusan nggak bertanggung jawab dari teman, keluarga, atau (jlebb) teman kencan: "Kok kamu item(an) sih??"

Bahkan kosakata nya pun berbeda. Yang berkulit gelap biasanya dibilang "eksotis" atau "manis". Kalau tega "muka babu". Tapi jarang banget dibilang 'Cantik'. Apalagi bagi yang pribumi total, nggak 'terselamatkan' dengan campuran Cina Arab Belanda etc.

Kedengarannya ga penting ya. Tapi kalau kita pikirkan seberapa besar kerugian mental yang dirasakan serta kesempatan yang hilang, itu lumayan banget lho.

Kita bicara soal nggak bisa dapat pekerjaan atau promosi karena bos lebih suka yang 'bening'. Kita bicara soal tekanan mental dan resiko siksaan dari pasangan yang harus kita terima karena "Udah bagus ada yang mau". Kita bicara soal kehilangan kepercayaan diri sehingga kita tak mampu meraih hal-hal yang lebih baik.

Dari segi finansial, berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk ke salon, untuk produk kecantikan? Belum lagi bila produk tersebut mengandung zat kimia yang berbahaya. Tak sedikit yang wajib menutup diri serapat-rapatnya dari atas kebawah agar matahari tak merusak kulit. Di Indonesia yang panas lembab gila ini sesuatu yang nggak masuk akal.

Untuk apa? Untuk dianggap cantik. Untuk bisa diterima di masyarakat, dan syukur-syukur mendapatkan perlakuan lebih baik.

Ngerasa nggak sih ini absurd banget? Bukannya kita punya base/dasar perlakuan ke sesama manusia dengan baik yang berkurang berdasarkan seberapa kampretnya mereka terhadap manusia lain (kriminal, koruptor), kita justru punya base/dasar yang rendah dan naik berdasarkan seberapa putih kulitnya. Yang bukan pilihan mereka lho. Saya rasa Tuhan nggak terima order "Tuhan saya mau lahir sebagai ras A di negara B".

Karena orang Indonesia yang hidup di negara tropis wajar banget kulitnya gelap. Yang berkulit putih justru sedikit. Kalau kita pake sistem racism, harusnya yang berkulit putih justru dicurigai sebagaimana dulu orang Bali dan orang Jepang menggambarkan orang bule seperti setan.

Ada bedanya lho antara preferensi dan diskriminasi. Kalau memang lebih suka yang 'bening' ya monggo. Tapi jangan langsung "Ih ngaca dong loe!" kalau ada yang pdkt dan kebetulan nggak sesuai tipe. Saya suka yang minimal 8 inci lebih, tapi saya ga galak kan sama yang nggak segitu. Sepatu hak. Saya ngomongin sepatu hak sayang.

Untuk masalah pertemanan, apalagi profesional seperti edukasi dan pekerjaan, warna kulit harusnya nggak berpengaruh. Memangnya gradasi warna berhubungan langsung dengan kemampuan MS Office atau Mac OS kalian? Atau ada relasinya dengan seberapa lama kalian akan mendengarkan curhatan teman kalian yang (lagi-lagi) diselingkuhi?

Sudah nggak jaman kita melihat orang dari warna kulit, karena diluar sana warna memang sama sekali nggak dilihat. Rasisme masih mungkin terjadi, karena persepsi dan stereotip bahwa kita yang 'ndeso nggak tahu apa-apa (uhuk uhuk orang Papua dan Sumba), tapi orang luar nggak tahu bedanya bila kita sedikit lebih 'bening' dari yang lain. Disini ada yang jauh lebih gelap lagi kulitnya kok. Ada juga yang sebegitu putihnya sampai silau melihatnya.

Dan dunia luar akan segera merangsek. Di era post-Covid19 yang tanpa sengaja mengoptimalkan work-from-home, pekerjaan virtual akan menjadi lebih umum. Batas dunia akan semakin menghilang. Kita melihat masa depan dimana sangat mungkin bos kita berada di negara lain dan kita di Indonesia, semua lewat virtual. Apa iya kita tetap hanya mau memikirkan seberapa gelap warna kulit orang lain?

Friday, June 12, 2020

Gaslighting



Dan dia pun datang lagi. Lagi. Lagi. Lagi.

Kata orang saya cari masalah. Kata orang kalau saya terus mention mantan saya secara publik maka wajar kalau dia terus menghubungi. Saya yang memberikan dia kekuasaan. Saya yang nggak bisa let him go.

Di Indonesia yang hal seperti ini dianggap tabu, wajar kalau saya disuruh hush hush. Kita nggak bisa speak up karena "jangan cari masalah". Diamkan saja, nanti juga dia bosan dan pergi. Tapi apa iya? Apa iya dia akan pergi? Lalu bagaimana diam ini akan membantu menyembuhkan kita yang hancur berantakan.

Taktik favorit abuser adalah gaslighting. Abuser akan membuat kita percaya bahwa kita buruk, kita jelek. Ia akan membuat kita percaya bahwa apapun yang ia bilang benar, dan apapun yang kita pikir tentang diri kita itu salah. Ini adalah cara merantai yang efektif, karena bukan hanya ia bisa memuaskan diri melihat kita hancur berantakan namun kita juga tak akan mampu keluar dari kekejaman ini.

Untuk gaslighting bisa dilakukan secara efektif, penting untuk memutus koneksi ke dunia luar. Kalau kita punya sedikit saja kepercayaan diri, ini bisa dipupuk oleh perhatian dari orang-orang sekitar kita. Lama kelamaan kita bisa kabur. Namun saat lingkungan sekitar menolak mendengar karena "Sudah, jangan ngomongin jemuran kotor", pintu keluar itu tertutup bagi korban bahkan bila ia siap untuk pergi.

Perasaan itu… luar biasa mengerikan. 4 tahun berlalu dan saya masih menggigil ketakutan saat ia menyerang saya walau hanya lewat tulisan. Bahwa saya sampah. Bahwa semua hal buruk yang ia lakukan (pada saya) adalah karena saya sendiri. Bahwa ia adalah hal terbaik yang bisa saya dapatkan dan semua lelaki lain hanya mempergunakan saya. 

Saya biasanya membalas dan menjelaskan bahwa yang ia katakan itu tidak benar, apalagi tentang orang-orang dekat seperti Kangmas dan teman-teman saya. Tapi kemarin saya diam. Balasan yang sudah setengah jalan itu saya hapus. Saya nggak berhutang padanya untuk menjelaskan diri saya. Kalau dia mau menganggap semua tentang saya itu jelek, itu derita err hak dia. Tidak ada faedahnya bagi saya untuk terus beradu pantun.

Tapi saya nggak akan membiarkan suara saya dirampas. Saya menolak untuk hidup dalam ketakutan akan orang ini. Karena faktanya kalau dia akan tetap menghubungi saya, apapun yang saya lakukan. Abuser nggak akan melepaskan korban yang melarikan diri darinya. Bagi abuser seperti ini, saya miliknya apapun yang terjadi. Diam saya nggak akan mengubah pemikirannya.

Saya juga nggak mau diam karena saya tahu saya beruntung. Kepercayaan diri saya boleh jeblok, tapi harga diri saya selangit. Siapa elu beraninya menyakiti gue? Kalau saya nggak sesombong ini, saya nggak akan bisa keluar dari jeratannya. Saya pun beruntung karena lingkaran sekitar saya disini sepenuhnya mengagumi dan menyayangi saya, walau saya hanyalah anak hilang di negeri orang. 

Tapi yang lain, terutama di Indonesia, harus hidup dengan suara itu di kepalanya. Mereka harus hidup dengan selalu mempertanyakan, "Apa iya gue sejelek itu?". Tanpa perbandingan dengan orang lain yang juga merasakan, terlalu mudah bagi kita untuk percaya 100% bahwa abuser kita benar. Bahwa kita sampah. Bahwa kita nggak berguna. Bahwa kita nggak pantas dicintai.

Bagi kalian yang berada dalam jeratan kekerasan (verbal) rumah tangga seperti ini, bagi kalian yang menjadi sansak emosional pasangan kalian: kalian valid.
Perasaan kalian valid.
Ketakutan kalian valid.
Nilai kalian valid.

Setelah nyawa, hal terburuk yang bisa dirampas seseorang dari diri orang lain adalah kepercayaan dan nilai diri. Kerusakannya pun bisa sangat dramatis, dan pemulihannya tidak berbanding proporsional dengan waktu paparan. 1 tahun di gaslighting dan di abuse bisa butuh 1 dekade penyembuhan, atau bahkan seumur hidup.

Inilah kenapa saya terus menulis. Inilah kenapa saya menjelaskan perasaan saya, ketakutan saya. Saya tidak mau ada orang yang terus berpikir bahwa ia pantas di-abuse. Bahwa pasangan/teman/orang dekatnya benar dan ia pantas diperlakukan dengan buruk. Saya nggak mau lagi ada orang yang mengalami apa yang saya pernah rasakan.

Dan ia akan terus datang, bahkan tanpa saya memprovokasinya. Karena ia akan terus berpikir saya miliknya bahkan saat saya sudah bahagia bersama Kangmas. Ia akan terus membuat saya merasa tak pantas, membuat saya merasa apa yang saya miliki sampah. Dan anda tahu, itu hak dia dan derita dia. Kalau saya sampah, ngapain balik lagi toh? Kenapa nggak hidup bahagia aman damai dengan istrinya yang sekarang?

Saya ingin para korban lain menyadari, ini nggak pernah tentang kita. Ini bukan karena ia sebegitu cintanya sama kita. Bukan pula karena kita yang pantas diperlakukan seperti ini, karena kita 'cari gara-gara'. Ini tentang kontrol. Mereka adalah orang-orang sakit yang menggunakan kontrol untuk memuaskan kebutuhan dirinya sendiri, untuk merasa mereka 'sesuatu'. Dan ya, mereka juga sangat rendah diri sehingga membuat kita merasa lebih rendah lagi memberikan kepuasan dan justifikasi diri bagi mereka.

Saya tahu perjuangan ini nggak mudah. 4 tahun berpisah dan saya masih gemetar dan seolah hilang akal tiap ia menyerang saya. Saya sudah jauh lebih baik sekarang, tapi saya masih belum sepenuhnya lepas dari trauma saya. Saya tahu ada banyak orang diluar sana yang juga berjuang dengan PTSD (post traumatic stress disorder) seperti ini. Jangan menyerah. Anda nggak sendiri.

Wednesday, June 10, 2020

Cancel Culture



I think the scariest part about the last 4 months (March to present June) is the absolutism of everything. You cannot deviate. Ever.

How dare you thinking that the lockdown is awful. You valued profit more than human life.
How dare you thinking that the riot and looting is unnecessary. You valued big companies more than human rights.
How dare you not denouncing the police. You valued your own privilege more than systemic injustice.
How dare you not speak up with the predetermined hashtag and show us your ignorance for the cause. You valued your lily white ass more than those who are in need.

For the record, my ass is what Indonesian called as burik (mottled) and langu (bluish black). It is still pretty, but definitely not lily white.

It is most visible in social media and the news. You say something against the grain and you got swamped, schooled and made as if you are the worst person alive. Hashtag cancel culture. You delete the comment, apologize, and all is well again. One more person finally understand the gravity of the situation. Yay!

The problem is, they don't. Just because they delete the post and apologize doesn't mean they changed their mind. Just because they don't speak their opinion publicly doesn't mean they didn't share their opinion or news that reinforced their opinion with trustworthy like-minded people. Just because they are publicly banned for their belief, that doesn't mean they will stop believing it.

If you take away the context and see it as it is, what does it tell you? It is the lost of free speech. The argument is you can say what you want to say but others have the right to feel a certain way about it, and thus your free speech is not without consequence. But where does that consequence start? For attacking other people or for having different opinion?

It reminds me of the time where Indonesia was ruled by the tyrant Soeharto. We can only whisper among ourselves of the injustice he did, while the government-controlled media keep blasting how great the country condition was when it actually wasn't. Or the current time when the religious majority keep forcing us the religious minority to feel a certain way and government backed them up.

The penalty for speaking against these ruling parties could be severe. It could cost you your job, your family, and even your life. We've had police chief made to beg for forgiveness to a religious leader for breaking up non-sanctioned mass prayer activity during the Covid-19 pandemic. When the threat of 'consequence' such as this is hanged on top of your head, is it really free speech?

US and its cancel culture have moved steadfastly towards this. A single comment against the mass and woosh, there goes your life. This is not only reserved for celebrities or public persona. I have seen friends, all commoners, who have to delete their social media posts because the backlash they received. I have seen friends who got unfriended and branded as 'Bad Person™ ' because they questioned the general beliefs.

This absolutism does not educate. If anything, it is pushing people away further from your cause. If somebody in real life is yelling at your face about what you should do and how you should feel, you will most likely just shrug your shoulder and walked away. What's in it for you to stay and be yelled at?

Worse, you will start gathering evidence to justify your belief to defend yourself, and without a proper check and balance (why should you, people don't bother check and balance their cause without yelling it at you) you can easily turned into another absolutism. This time for your own belief.

You can't make someone believe in your cause, in your belief, by telling them it is wrong to not believe it. If you really want to convert someone to your cause, you listen. You talk to them and allow them to tell you what they think, their fear and worry. Then you use that knowledge to see if your belief actually fits to their perspective, and if yes, tailor-made your explanation to ease their fear and worry.

This is true across the board. Whatever party you choose. Whatever belief you have. It can be as simple as why pineapple shouldn't be on pizza or why you need to show support for a cause. It also, however, requires us to be humble yet in full understanding of our cause. If you don't want to talk about it for fear of being challenged, then you are an issue.

It is easier to brand somebody as 'Bad Person™ ' than to do all this. But why would you? If the issue is something that is important to you, won't it make more sense to gather more ally than to dismissed it as We vs You? I know that it will make you feel like you are in the right, and thus a sense of control. But is this about your cause or is it about your ego?

It also reminds me of the phrase "Let him who is without sin cast the first stone". How do you know that you did not do the same sin or act the same way to other people? I have seen people who despise people that are against LGBTQ and honestly they are acting more hateful than the actual people who, well, against LGBTQ. You have people who are "Well, I don't agree with it but I won't treat them differently" and people who are "BOYCOTT THIS ANTI-LGBTQ PERSON AND LET US NEVER SPEAK OF THEIR NAME AGAIN".

We have gone so far as a species. We want equality. We want justice. We want all of this even when we are not the ones that are hurting. This shows how much compassion we have for others, something that most species can't comprehend. We just need to make sure our ego does not take us away from our cause and learn to respect other people's opinion. And yes, we can agree to disagree.

Saturday, June 6, 2020

Support Team

Saat diskusi tentang rasisme, saya bertanya pada Kangmas yang lahir besar disini kenapa orang Cina/Asia (timur) dibenci? Karena disini memang ada sejarah orang Asia (timur) dipersekusi. Bahkan saat rusuh begini kita orang Asia cenderung dicuekin. You are on your own lah istilahnya.

Kangmas cerita karena imigran Asia disini, terutama Cina dan India, begitu mampu disini langsung menarik kerabatnya. Inilah asal mula Chinese food ala Amrik, sebenarnya. Imigran Cina sempat di-banned masuk, hingga di tahun 1915 mereka boleh masuk dengan visa pedagang. Jadilah mereka buka restoran agar sanak saudara mereka bisa berimigrasi ke Amrik dengan alasan membantu restoran.

India terkenal dengan membuka SevEl alias 7-11. Makanya di kartun The Simpsons yang punya grocery storennya distereotipkan orang India. Kangmas cerita, pemilik SevEl dekat tempatnya mengajak kerabatnya datang, sekeluarga bekerja bersama, uang keluarga dikumpulkan untuk beli SevEl berikutnya, dan seterusnya.

Tapi orang kan nggak melihat itu. Yang dilihat mereka berusaha mendominasi ekonomi, jadi yang lain merasa terancam. Yang dilihat sukses, punya duit, sementara ras lain seperti yang kulit hitam dan hispanik hidupnya nggak sesukses itu karena kulturnya bukan whole family first. Yang kulit putih pun terancam karena etos kerja Asia yang terkenal ga ada matinya. Kanan kiri kena kan?

Saya membayangkan sih, apa jadinya kalau kita Indonesia setokcer itu, sebegitu kuatnya untuk (whole) family first? Apa jadinya kalau kita mengesampingkan ego kita untuk menjadi the best dan mau rendah hati membantu membangun sesama tanpa perlu bayaran eksistensi?

Karena buka bisnis di Indonesia bukan hanya perlu modal uang dan energi, tapi juga mental. Harus siap disirikin bahkan oleh orang dekat, dinyinyirin, dan pastinya dimintai sample gratis atau diskon super miring. Atau yang paling stres, sengaja dicuekin seolah bisnis kita nggak ada.

Sebaliknya, kalau kebetulan orang yang dianggap the star of the show walau barang/jasanya jelek pun akan dikejar. Balik lagi ke soal eksistensi diri, kita butuh pengakuan bahwa kita teman baik atau setidaknya berpartisipasi bersama si orang kaya/sukses/seleb ini.

Contohnya di salah satu WA grup saya. Sesama minoritas padahal, tapi saat yang promo yang bukan "approved list" heningnya mengalahkan kuburan. Saat yang promo yang dianggap wokeh semua saling bersahutan. Padahal ketiga orang ini produknya beda-beda, apa susahnya sih saling mengangkat?

Indonesia itu negara berpenduduk terbesar ke 4 di dunia. Kita juga terus diingatkan betapa kayanya Indonesia, baik dari segi sumber daya alam, posisi geografis, dan juga sumber daya manusia. Kebayang nggak apa yang bisa kita raih kalau kita maju bersama? Susah ya.

Ada rasisme dan sukuisme yang mendarah daging, yang kita hanya percaya suku kita. Di sisi lain, ada juga ketakutan nanti kita kalah beken dari orang ini, yang lagi-lagi wajar karena bawaan jaman dulu kala dimana mobilisasi status sosial terbatas sehingga naiknya status sosial orang lain bisa membahayakan status sosial kita.

Tapi sekali lagi, itu kan dulu. Di era dimana dunia seolah tak berbatas ketakutan ini tidak lagi valid. Orang Papua yang anda anggap kasar dan anda tak sudi berbisnis mungkin punya e-business sukses dengan klien dari Eropa. Mas-mas rumah seadanya di desa bisa saja programmers handal yang juga punya berbagai homestay di daerah turis.

Anda nggak bisa lagi menjegal pesatnya seseorang hanya dengan tidak mendukungnya atau bahkan berusaha menjatuhkannya. Dan kalaupun bisa, buat apa? Mobilisasi status sosial sekarang tak terbatas. Nggak usah takut nggak kebagian.

Yang harus anda lakukan hanya jadi support team. Kalau barangnya masih terjangkau dan kita memang perlu ya ga kenapa bantu beli. Kalau nggak perlu atau nggak terjangkau setidaknya bantu menyemangati. Jangan pura-pura nggak lihat. Support mental itu penting banget lho.

Dunia sudah berubah. Kita yang masih kekurangan empati dan simpati malah akan dianggap kuno, dianggap kampungan dan terbelakang. Mungkin tidak sekarang tapi pasti kedepannya. Katanya kita mau maju. Atau masihkah kita mau bertahan di masa lalu?


Thursday, June 4, 2020

Api dan Airmata



"Hey, ditempatmu aman?" tanya teman saya pada mantan istrinya di telepon. "Ok, tetap pantau kondisi ya. Kalau ada apa-apa langsung angkut anak-anak dan bawa ke tempatku. Kamu masih ada handgun pacarmu kan? Satu tembakan ke udara sudah cukup harusnya untuk membuat mereka berpikir."

Saat itu saya terdampar di tempatnya setelah nongkrong main board game. Malam sebelumnya LA sudah menerapkan jam malam pukul 8, namun ternyata hari itu jam malam dimajukan ke jam 6 sore. Saat makan malam bersamanya kami melihat tayangan TV dimana orang-orang sibuk menjarah. Memori Mei 1998 pun terbangun.

Kalau ditanya apakah saya takut, mungkin nggak ya. Saya rasa saya lebih takut waktu Mei 1998 daripada sekarang. Ini kan ceritanya people of color yang teraniaya, jadi saya yang juga dianggap person of color (bukan kulit putih) logikanya nggak akan diapa-apain. Sementara waktu Mei 1998 saya yang Hindu ditanya apakah saya Muslim. Nah.

Alih-alih merasa takut, saya justru merasa sedih. Sedih melihat kota saya jadi arang. Sedih mengetahui ada sekian banyak bisnis yang akan tutup, dan bukan hanya pemilik namun pekerjanya juga akan kehilangan mata pencaharian. Sedih mengetahui ada sekian banyak orang diluar sana yang terdampar karena semua bus berhenti beroperasi saat jam malam dilaksanakan.

Saya juga sedih mengetahui akan ada banyak orang yang justru berbalik membenci protes ini dan bukannya mendukungnya. Akan ada banyak orang yang mengasosiasikan orang kulit hitam dengan kekerasan karena penjarahan yang terjadi. Akan ada orang-orang yang setelah terkena dampak kerusuhan malah menjadi (makin) rasis.

Seperti biasa hater berpesta-pora, dan saya juga sedih. Orang-orang yang nggak suka Amerika mulai pamer postingan "Lihat Amerika jatuh. Ha ha ha." Atau yang berpikir betapa ganasnya para polisi di Amerika dan betapa tak beradabnya mereka. Padahal ada lho daerah-daerah yang saya orang kulit berwarna pun nggak berani lewatin, atau kalau harus di daerah itu rasanya deg degan terus. Compton, Watts, South LA. Kalah jauh deh terminal Grogol.

Tapi wajar ya. Indonesia pun mendapat perlakuan yang sama saat ada kejadian besar. "Maklum, negara dunia ketiga." "Untung gue nggak tinggal disana." Atau yang lebih parah, "Muslim hellhole. Syukurin." Eits nggak boleh marah. Seberapa banyak dari kita yang akan bilang wajar Amerika sengsara karena "sarang setan LGBTQ"?

Lebih mudah menghina, mencela saat kita jauh; juga saat kita sudah tidak suka saja titik nggak pakai koma. Lebih mudah juga menggunjing saat kita nggak perlu berkaca. Miris saja sih mau ngatain Amerika rasis biadab sementara tiap ada komen soal Cina jawaban standarnya "Elu Cina mau gue jarah perkosa lagi kayak Mei 98?" Atau yang "Maaf, kamu agamanya apa?" karena kalau nggak seagama nggak usah diajak bicara. Atau yang melecehkan saat fisiknya nggak sempurna. Bukan hanya kaum difabel, tapi juga yang terlihat unik seperti orang Papua atau orang Sumba.

Ngelihat orang-orang Indonesia disini protes pun rasanya campur aduk. Di satu sisi sedih karena tahu di Indonesia kekerasan pada minoritas masih umum, jadi kok kelihatan munafik. Di sisi lain senang karena paling nggak disini mereka bisa protes tanpa takut dibacok. Di Indonesia protes anti kekerasan pada minoritas mana ada yang berani. 

Dan itu sih bedanya dengan Amerika. Mau berita seganas apapun tapi faktanya tetap lho semua orang ikut protes, bukan cuma yang teraniaya. Bahkan movementnya disini sampai pada tahap kalau kita nggak ikut tergerak kita yang orang jahat. Kebayang nggak kalau di Indonesia semua orang seperti ini membela Jamaah Ahmadiyah atau melawan pembubaran Gereja? Atau rusuh di Ibukota karena orang Papua/Kalimantan/Pedalaman ditembak polisi (sewaan) pembuka lahan/pengusaha tambang?

Bukan berarti disini nggak ada rasisme. Rasa tidak suka antar ras itu ada. Saya yang kemana-mana naik bis melihat (dan mengalami) rasisme dari berbagai ras. Tapi lebih banyak orang yang baik sama saya tanpa melihat ras saya daripada orang yang brengsek. Dan ini yang saya harap akan lebih menjamur di Indonesia bagai panu di orang yang nggak mandi berhari-hari: orang-orang yang melihat orang lain sebagai sesama manusia, serta berani berdiri menentang kezholiman walau bukan mereka yang dizholimi dan walau tahu mereka bisa sengsara karenanya.

Api yang sekarang membara nantinya akan padam, begitu pula toko-toko yang dihancurkan akan dibangun kembali. Saya hanya bisa menanti dan melihat apakah ada perbaikan akan ketidakadilan yang dilakukan terhadap kaum kulit hitam, akan perubahan di kepolisian untuk memastikan mereka tidak bisa semena-mena. Saya yakin akan ada perbaikan, karena masyarakat memang menginginkan itu. Indonesia bagaimana? Belajar apa dari Amerika?

Wednesday, June 3, 2020

Blackout Tuesday



Black Out Tuesday

A fellow Asian immigrant confessed that she doesn't understand about Black Lives Matter. I told her neither do I. 

We don't care what your color is, to us you are all strangers. It is also very confusing. Black has their own groups that no other race can join (so does Asian and pretty much every race/ethnicities), so why would you want to be in the white people's group? And why only blacklivesmatter? I am not black, so I don't matter? I don't understand what it's like being black, but I don't think anyone other than ourselves know what it's like to become an Asian immigrant.

But I still put that black profile pic up. #BlackOutTuesday

This is for the people I met on my commute to work in Los Angeles, the homeless and the vagrant who are disproportionately black. That one man whom I met several time and asked for a hug. That one woman whom I was annoyed with because of the body odor, which quickly turned into horror seeing the diabetic gangrene on both of her legs. The people who has to try to sleep on the bus and on the train to keep themselves from the element out there.

This is for the people I met in my apartment. The old man and his wife who called us and gave my stepson banana every time they hear his voice down the corridor. The young man with his pretty little daughter that stays with him every weekend. The prostitute (?) who made me blush when she said earnestly, "You are very beautiful" and I wished the night won't be so rough on her.

This is for the man I went on a date with, probably one of the most well-spoken and well-mannered men I have ever known. The partner of my ex-husband's coworker who put it bluntly to him during dinner "You are disrespecting your wife" when my ex-husband was busy flirting and making sexist remark during our casual dinner. The opera singer that made me squeal with joy when I saw his name on the cast.

This is for all the feel-good stories, all the overcoming-challenges stories that I have read. Stories like HONY's Mott Hall Bridges Academy. Stories like the teen that got a wrong text invitation for Thanksgiving dinner and it becomes their tradition, still going strong after fourth years. Stories that shows a true character of a person and how well their parents and/or community taught them. Stories that should be applauded regardless of the skin color of the do-gooder.

I don't know much about being black, but I know much about being privileged. I know the privilege of having a smart brain and a stable household that allow me to develop the said brain. I know the privilege of going to a swanky nerd school and was able to hone my social skill to the max. I know the privilege of looking attractive enough to let people lower their guard down (this feature only work in select countries). I know the privilege of knowing that come what may, I will survive.

Am I oppressed? Oh yes. I was oppressed, but not the "They all will come to get us!" oppressed. An ex of my ex told me that he is hurting us because of his white supremacist mentality. I just think he is predator and will prey on people who are weaker than him, regardless of their skin color. Yet what a horrible way to have to feel or think that way all the time, to be chained to where you are and unable to be free.

Black lives matter because, well, it matters. Because the people I met matters. They deserve a life without fearing prosecution. They deserve to be able to hope and dream, to be someone instead of just number in the statistic. They deserve to be themselves and not seen based on their skin color. We all do.

Someone posted what happens after this. That's a good question. Realistically, no amount of scholarship or preferred hiring will help if we don't give a chance for the kids to grow. No matter how much fertilizer you put the chance of a rose garden blooming from a patch of asphalt is pretty darn low. What they need is what we have right now: access to good education, access to financial services (bank instead of check cashing or loansharks), access to a safe community where children can be adult and realizing plus utilizing the options they have.

And it's a team effort. There is so much others can do if the other party does not help. We have reached this fork on the road where we need to ask ourselves: what can we do for ourselves and for others. Because this circle of violence has to stop, and smiles and hashtags are just not enough. They need hope. They need a way out. 

A way to do this is to vote. Vote for people who actually care. Vote for people who have the right goal in mind and able to tell you steps to achieve that goal. Vote for people who will fight for those in need without fearing losing their seat/position. And if your champion can't or don't have what you want, tell them what you want to be done. 

Remember we need structural changes, access to opportunity and safe community. We need to make what is available to others available for them too. Because after the fire dies down, we still need to build that way out, that stepladder for equality. We've got a long way to go, so roll up your sleeve and let's do this.

Search This Blog