AdSense Page Ads

Saturday, November 21, 2015

Zara vs Jilbab: Sebuah Perenungan

Ini wara-wiri di timeline saya, dan ini MISINFORMASI. Kejadiannya cuma di satu toko saja dan manager+security guard yang terlibat langsung dipecat. Zara pun langsung minta maaf dan mengeluarkan statement di Facebook.

Stop mensharing berita yang tidak berdasar atau misinformasi. Stop membuat perusahaan terlihat begitu jahat hanya karena perbuatan satu dua pegawainya (sounds familiar?). Kecuali ada bukti tertulis bahwa memang peraturan mereka diskriminatif, tolong jangan menyebarkan kebohongan.

FYI, Muslim di dunia berjumlah banyak dan merupakan kekuatan ekonomi yang harus diperhitungkan. Bodoh sekali berpikir perusahaan seperti Zara nekat menetapkan aturan diskriminatif anti Muslim padahal mereka berani punya toko di Indonesia. Kalaupun iya, hukuman sosial masyarakat akan jauh lebih dahsyat karena masyarakat Barat tidak menyetujui diskriminasi. Sebuah salon di Inggris yang pemiliknya terang-terangan menyatakan tidak mau melayani umat Islam langsung dihujani negative review dan diciduk polisi karena dianggap menebar kebencian. Itu masuk berita dan salonnya pun tutup.

Mungkin banyak dari kita sudah lupa bahwa pada awalnya pun kita orang Indonesia risih dan gerah melihat orang berjilbab. Saya ingat pada waktu saya SD beredar isu bahwa wanita berjilbab berlengan panjang itu suka menaburkan bubuk narkotik/racun ke gelas minum anak-anak. Padahal saya tinggal di daerah Bekasi yang semuanya Muslim. Saat SMA pun teman-teman sering berkelakar, menertawai teman lain yang berjilbab. Kita sindir kadar keimanan tergantung panjang jilbab. Ini yang bilang yang Muslim juga ya dan in good humour, nggak ada tuh benci2an agama lain seperti sekarang.

Dari curiga dan waswas sekarang kita cuek dan bahkan merangkul Jilbab. Semua butuh waktu. Dan sebagaimana jaman dulu, bukan Jilbabnya yang dicurigai tapi perbedaannya. Sama seperti kalau kulit anda gelap/wajah anda lokal plus terlihat kere, banyak bar/nightclub di Bali yang tidak bisa anda kunjungi. Atau dilihatin dan diikutin satpam saat masuk ke gerai baju mahal di Jakarta. Kenapa didiskriminasi begitu? Karena terlihat berbeda. Karena dicurigai akan melakukan tindakan tidak pantas. Karena pengunjung asli yang dasarnya orang-orang ignorant yang tidak mau bersentuhan dengan kelas bawah macam anda.

Kita bisa dengan tegas menolak diskriminasi, dan kita harus menolak diskriminasi apapun bentuknya. Namun kita juga harus berhenti sejenak dan berpikir, apa dasar diskriminasi itu. Dasar diskriminasi adalah ketidaktahuan dan perbedaan. Saat anda ditolak masuk karena Jilbab anda, bukan jilbab dan agama anda yang diserang, namun perbedaan anda. Saat anda ditolak masuk karena terlihat Timur Tengah, bukan agama anda yang diserang, tapi fisik anda. Agama mah nggak ada urusannya. Apa iya orang akan menolak masuk Muhammad Ali sang juara dunia tinju? Nggak mungkin, dia terlihat seperti orang barat kulit hitam lainnya kok. Nggak berbeda. Padahal dia pemeluk Islam. Fyi cuma di Indonesia yang rempong nanyain agama orang apa.

Mau tetap berkeras Islam diserang, didiskriminasi etc ya silakan. Tapi itu cuma menambah minyak ke api. Pihak 'lawan' anda pun mengatakan hal yang serupa tentang Islam. Donald Trump mengusulkan #muslimid, nanti di negara yang mayoritas Muslim akan mengusulkan #christianid dan seterusnya. Teruslah kita berperang sampai akhir jaman.

The world is changing, makin banyak orang yang simpatik pada orang lain, yang anti diskriminasi dan membela orang-orang yang tertindas. Mereka-mereka ini adalah orang-orang yang mampu melihat manusia lain sebagaimana adanya, terlepas dari kepercayaan atau penampilan fisik mereka. Bagaimana mungkin, menurut mereka, saya bisa menyakiti anda kalau saya dan anda sama, kalau saya bisa merasakan sakit yang anda rasakan?

You can stay in the hateful mode, fueled by hatred poured by people who just want to use you to gain power and control; or you can be the breeze that soothes this ailing world with your understanding. Choose wisely.

Monday, November 16, 2015

Video Penyerangan Wanita Berjilbab di London

Apakah anda mengklik blog saya karena baca judulnya? Bagus, berarti click bait saya berhasil. Dibawah ini saya posting foto dari click bait awal yang sukses dengan isi yang menuduh dan bikin panas, dan ujung-ujungnya jualan. FYI ini kejadian bulan September dan pelakunya ditangkap plus dihukum. Yang mau Google monggo, ada kok link beritanya di laman pertama Google. Sekarang mari kita telaah 'tuduhan-tuduhan' tersirat dan tersurat dari postingan tersebut:

1. Klaim media barat tidak memberitakan --> apa iya media harus memberitakan setiap kejadian kekerasan terhadap muslim? Kalau hitungannya cuma tindak kriminal biasa, diberitakannya ya memang secukupnya saja. Ini ekualitas/persamaan derajat yang sebenarnya, karena tindakan kekerasan lain juga tidak diberitakan besar-besaran kecuali yang heboh. Sisanya tergantung media Indonesia yang menemukan lalu menentukan apakah info ini perlu diteruskan ke Indonesia apa tidak. Bukan hanya berita buruk, berita baik pun sering kali tidak sampai.

Apakah anda tahu New York adalah kota pertama di Amerika yang menetapkan Idul Fitri sebagai hari libur bersama? Apakah anda tahu ada seorang Muslim yang meninggalkan pekerjaannya untuk berkeliling menjadi Imam di masjid-masjid 50 negara bagian Amerika? Apakah anda tahu ada salon di Inggris yang tutup dan pemiliknya dihukum karena memposting tulisan menolak Muslim setelah kejadian Paris?

Media butuh anda sebagai pembaca. Berita yang ada pun tergantung rating berita apa yang laku. Kalau anda hanya membaca berita yang ingin anda baca, kalau anda malas aktif mencari tahu tentang dunia luar dan membaca media luar, jelas saja terlihat seperti 'Media tidak memberitakan'.

Kalau masih mau berkeras bilang Media tidak memberitakan, seberapa sering anda baca berita tentang kekerasan di pelosok nusantara? Maksud saya yang benar-benar pelosok, di daerah yang anda bahkan tidak tahu bagian dari Indonesia? Atau berita apapun yang bukan dari kota besar di Indonesia. Jarang kan? Bukan karena media sensi dengan orang pelosok, tapi karena mereka butuh sesuatu yang bisa dijual, yang heboh dan mampu membuat anda pembaca membeli berita mereka. Apa iya anda yang di Sumatera pedulu siapa yang menang pemilihan gubernur di Bali dan sampai masuk koran lokal di kampung anda? Begitu analoginya.

2. Klaim pelaku tidak dihukum --> saya tinggal di Amerika baru 2 tahun dan saya melihat sendiri betapa ketatnya Amerika menjalankan hukum anti-diskriminasi. Diskriminasi terjadi, tapi bukan Muslim saja yang menjadi korban. Semua bisa didiskriminasi, bahkan anak balita cowok yang kebetulan bermain masak-masakan bisa dicap gay di internet. Kenapa? Karena banyak manusia yang hobi berprasangka buruk dan tidak simpatik pada orang lain.

Bedanya adalah, anda bisa menuntut kalau anda didiskriminasi, dan akan ada banyak orang yang mendukung dan bersimpati pada anda. Pernah ada orang yang didiskriminasi pramugari dalam pesawat dan semua penumpang menentang tindakan itu. Anak cowok yang main masak-masakan diatas pun menerima dukungan luar biasa di internet.

Ya, tidak semua diskriminasi terselesaikan, dan akan lebih sulit menuntut perlakuan yang adil bila anda minoritas. Tapi ini lebih dikarenakan anda minoritas dan bukan karena anti-Islam. Kalau saya yang Hindu membuka warung Babi Guling di daerah yang penuh umat Islam apa saya tidak diusir? Dan bukankah pengusiran saya tindakan diskriminatif? Tingkat pendidikan dan keragaman penduduk juga merupakan faktor. Daerah dengan banyak imigran/keragaman akan lebih bersimpati pada kaum minoritas daripada daerah yang homogen. Jadi jangan cuma melihat Islam vs anti-Islam, lihat juga karakter daerah dan karakter manusianya.

3. Klaim Islam tertindas dan orang benci Islam --> saya tahu ada banyak orang di Amerika yang benci dan menganggap Islam itu buruk. Sayangnya, tidak ada obat yang bisa menyembuhkan kebodohan seperti ini kecuali keinginan dari dasar hati untuk mau mengerti tentang sesuatu yang berbeda dengan kita, untuk mau keluar dari comfort zone kita. Pertanyaannya, sudahkah kita melakukan itu?

Isi timeline saya belakangan ini tentang sesatnya Syiah. Trending topic banget, padahal sebelumnya nggak pernah kesebut. Sampai bus Primajasa yang pasang stiker SHIA pun dituduh pro-Syiah, padahal itu singkatan Soekarno-Hatta International Airport, trayek doi. Perlakuan ini sama dengan perlakuan orang Amerika sini terhadap Islam. Syiah merasa itu hak mereka beragama, tapi Islam mayoritas menganggap mereka sesat. Baca deh berita-berita tentang Syiah sesat dan lihat komen-komen nya. Ganti Syiah dengan Islam dan ganti nama orang-orang yang komen dengan  nama berbau barat, itulah gambaran persis apa yang terjadi dengan Islam di negara Barat.

Begitu pula dengan orang sini yang tersinggung karena melihat pegawai toko berjilbab, apa kita tidak emosi jiwa dan menuntut larangan pegawai toko Muslim memakai atribut Natal (topi santa merah) walaupun sebenarnya 'atribut natal' itu buatan kapitalisme untuk jualan dan  bahkan tidak ada kaitannya dengan Alkitab atau Kristen yang sebenarnya? Orang sini yang menolak berdekatan dengan terduga Muslim, apakah kita tidak membuat keeksklusifan yang sama tiap menjelang Natal dengan posting dan sharing himbauan 'Jangan mengucapkan Selamat Natal!!'?

4. Klaim Dunia tidak peduli Islam --> Apa iya anda peduli? Islam bukan hanya di Timur Tengah lho. Islam juga ada di Afrika dan benua lainnya. Apa iya anda pernah sharing berita kekerasan terhadap umst Islam di Afrika, para korban Boko Haram? Seberapa sering anda baca tentang kehidupan orang Islam di Papua atau pelosok Indonesia lainnya? Bila anda sendiri tidak mampu perduli, bagaimana bisa anda menuntut orang lain untuk perduli?

Dan disaat dunia perduli (Ahmed yang ditangkap karena dituduh membawa bom ke sekolah mendapat dukungan luar biasa besar), apakah anda menyebarkan kabar baik ini? Atau masihkah anda setia dengan artikel click bait anda yang meneriakkan "Islam terjajah!!!" dan penuh dengan gambar dan video grafis dari perang Timur Tengah, atau video-video 'religi' yang harus anda "ketik Amin" agar masuk Surga? [Padahal jelas-jelas itu page jualan barang dan/atau pagenya dijual setelah dapat follower dan like yang banyak]


You are what you read. Anda adalah apa yang anda baca, dan kemudian apa yang mau anda percayai. Tolong cerdas sedikit.

Sunday, October 18, 2015

Till We Meet Again, Caroline

Dear Caroline,

The three little toy dogs from you sat nicely on top of my computer. My blazer and the office drawer smelled like the potpourri sachets that you gave me for my birthday. It is funny how those last gifts are the ones that somehow stayed with me. We kept all your letters and greeting cards, and I still kept the necklaces that you made for me when we were first introduced to each other, but those last gifts accompanied me in daily basis. What were you thinking when you made it? Did you know your time has almost come? What thoughts did you have when you made the potpourri? Alas, I will never know.

I said "Alas", but I'm not even sure that you can answer it yourself. What I am certain, what I remember, is the memory of you presenting the gift to me. I was so proud of you, Caroline. The potpourri looked really nice and smelled subtle yet wonderful. And most importantly, you gave it to me with care for my birthday. That moment I felt like everything is going to be just fine. It was a tipping point for both you and me. We had our ups and downs, but that moment I knew it's going to be smooth sailing for both of us. Then you passed away a few weeks later. Just like that.

I never really knew you, Caroline. Except for the bits and pieces people told about you or what your son had shared with me, I barely knew you. But if, if people's reaction to someone else's death is a true reflection of who the deceased really was, then you are really something special. You are truly loved. 

We went to your church to attend the mass on your behalf. Everybody was smiling and was happy when they know we were your children. At that time they didn't know you've passed away. The mass was fun, joyful, meaningful. We were so glad to be there, to know that you were surrounded by these good people. Little did they know that the sermon that day about letting go of possession would come true. They have lost a member and a friend. A son has lost a mother. Family parted once again by the hand of death. And we all need to learn to let go. 

When we break the news, Caroline, the whole congregation fell into a deep hush. Father Richard, your priest, sat in disbelief and sadness was palpable in his face, in everyone's face. Help was asked and offered, and we manage to conclude the logistical details in record time. You are loved. I won't say "were", because they still love you. They still care about you. And when we went to your house your neighbour greeted us warmly and again, help was offered. Your son and I keep wondering why, why were you taken away from us when it seemed so many people here on earth love and care about you? But then again, maybe God loves you even more and that's all there is to it.

As always, there are many "Ifs" and "I wish" from people who love you; the all-too-common feeling of regret for not doing more, as if negotiation would bring you back. It wont. Death is not for the deceased, it is for the living. The dark shroud of death did not descend on you, it descended on us, the survivors; blinding us with grief, maddening us with the unknown answers, stupefied us with fear and loss. Even I who barely knew you felt a piece of myself missing. I felt alone and vulnerable knowing you will not be here anymore, knowing that a person that sincerely care about me is gone. But you won't come back. All the 'ifs' and 'I wish' are nothing. It is time for us to let you go.

I don't want to dwell on your death, Caroline. You deserve so much more. Let us celebrate your life instead. The pretty woman you once were, the kind soul you once had, all your dreams and hopes and passions. I want to remember you as the gorgeous young woman laughing gaily on a sailboat in one of your old pictures. I want to remember you as the doting grandmother that sat elegantly on your sofa, offering us cheese and pepperoni and olives. I want to remember us as the happy family that sat together eating breakfast after the thanksgiving day: you and your son and your granddaughter and I. 

If anything, I only need to look at your son to remember and cherish you. He was kind, he was caring, he was adventurous and inquisitive. Traits are passed with genes, but personality is taught and/or copied from the ones closest to them. And yes, his beautiful soul is a mirror of your own soul. I can look at your son and his children and see you through them, they are your legacy. How I wish more people could see this before you passed away, to see who you really are! Alas, here I go again denying and negotiating. How do I know that people don't already see your beautiful soul? This "I wish" wont change anything anyway. Had you still be alive we will still be living in oblivion because we never realize what we've got until it's gone. The boon of man.

Your ashes will rest very soon in that peaceful patch of land at your church. But even then the grief will not be fully eradicated from the heart of the people who loved you. Time heals what reason cannot. And to some, it will be a long and painful journey. Yet we rejoice to think that your trial is gone. No more sadness or grief, no more pain or anguish, no more loneliness for you Caroline. You are free. We will shed our tears now, we will be drawn and drowned in grief now, but when we are ready we will smile again. And we know you will smile with us.

Rest in peace, dearest Caroline. Till we meet again.


Sunday, August 30, 2015

The Day The Glass Slippers Break

Today I cried. It was not the sad, little whimpering cry that griefs you. It was not the lengthy sobs that breaks your heart. It was a full blown cry, cried from the top of my lungs with the intensity that will disturb you. A cry that will unnerves you, that will shatter your soul. It was a pained cry of love that is lost and hope that is destroyed.


To some, I was as bright as the sunshine. Always smiling, always giving out a helping hand. A rare post in Facebook I made about how sad I am, regardless how cryptic it was, will definitely garnered comments. My latest feel-good post about myself garnered tons of likes and comments. People actually care about me. People actually smiled at me and I have rarely seen hostility towards me, even in Los Angeles. I am loved by all, by God, by world. And in return, I love them all too. Yet the only thing I wanted the most is the one thing that I cannot get.


I have always dreamed about acceptance. Being nice is great, you get to be a part of somebody's life, in a nice way. Yet from my end, it also means that I don't exactly have someone that fully shared his life with me, and vice versa. I wanted my own special someone. Someone who will accept me for who I am, and can see me past the baggage that I carry: the low self-confidence that I have in regards to my look, and the curse of being 'a nice friend'. Nice enough to keep around, but not striking enough to be kept forever and jealously guarded against others. I wanted someone that wanted me.


My husband called it co-dependence. That I am too scared to live by myself. Yet I always wonder, is it wrong to want to love someone and be loved back?


He was my dream come true. I showered him with attention, spoiled him with love. Flowers on special days, special gifts and surprises now and then, always striving to make his life comfortable. It is not hard to see how much I adore him. And yes, he loved me too. Yet the love slowly wanes. Throughout the short time we're together, I can see his interest in me fade like the spring that turned into winter. I was there, a comfort for him, but not an apple in his eyes anymore. I don't even know what he sees in me anymore, but judging from the fights we have, apparently not much.


To sums up some of his opinion on me: I am a disgrace for sleeping so casually (before I even met him) with a man that has ball-bearing in his penis, and with a known American playboy that prey on the women in my hometown; I disappointed him for doing nothing for the first two years I moved to US; I am stupid, selfish, and have no understanding in life of whatsoever because I came from a simple country and have not experience the things he experienced like divorced, owned and lost a house, travel to a few countries, and having kids.


To every friends that I have, I am usually looked with the highest regards. And for a good reason too, because I will strive for their happiness. I am smart, witty, fun, kind. Yet within my apartment, I am just a stupid woman that doesn't worth a single respect. There is love, sure. But it was given only when he wants to. The thought that I too need love was absurd, because haven't he gave me enough by taking me to US and allow me to leech off of him for the last 2 years? I should be more considerate of him. After all, I didn't do anything for the family. At least, that's how it seemed to be, even though the joy on his children's face whenever they saw me tells different story. 


The fights, the insults, the degrading replies are not new. I have experienced it since we started dating. The lost of love in his eyes, however, was too much to bear. It is the realization that I will never be good enough for hin that broke me down, the realization that my love, my effort had been counted for nothing. It was the finality when you tried to fix your relationship, and all you get was "Well, I have felt disconnected and disappointed in you since day one when you told me you fucked the guy you met online, the one with balls in his penis."


Not only did it happen way before I met him, I also given him that information because he asked for it. Anything I say will and has been used against me.


After today's fight, I packed my backpack with a blanket, a change of clothes for tomorrow's work, and some snacks. I was ready to spend the night, and the remainder of the nights I have to go through until I can get an appartment for myself, at the 24 hours Korean Spa near where we live. It has special women's section with showers and hot tubs and lounge room where I can spend the night(s) safely. He did not kicked me away, but I feel I can't live with him anymore.


As I sat there with my backpack, I couldn't helped but laugh at my current situation. I agreed to leave my life, my family, everything I have behind just to be with him. Yet I am the one who have to be thankful. With all his harsh words, his indifference towards me, his pursuit for a life of pleasure, with all the loneliness I have to bear, and I am the one that has to be considerate towards him. I effectively being taken away from my roots, only to be told repeatedly how low I am and left to fend off myself, and now pretty much homeless in LA.


I ended up staying at the apartment for today. I was too exhausted to go anywhere else. I don't owe him this privilege though, because I paid this month's rent and because by law he is required to provide for me since he is my visa sponsor. I have made necessary arrangement and looking forward to move out, something that he claimed "couldn't be done" because of my non-existent credit score. What do I care? If I can't get an apartment here I can always go back to Bali.


Surprisingly, I don't feel anything except deep, dark, debilitating sadness. I am not angry nor do I hate him. He is what he is. He would tell you a different story, but that's just because how he perceive things. It was the lost of my dream that saddened me: The notion that his acceptance had merely been an illusion, and I have (and always) been on my own. It's the broken wings of hopes, and now I have to walk barefoot in the cold, harsh earth. All I wanted is to love and be loved in return, and that simple hope was lit beyond my expectation only to be destroyed mercilessly. A child may not aware that he/she is killing the bug by crushing it under hi/her hands, but does the intention matter to the bug in the state that it's in?


A little over two years has passed since I first donned that glass slippers, and now it had been destroyed beyond repair. The dress turned into rag once more, and I have to walked home with shards still on my bloodied feet, wherever home is. It will be a long and lonely journey, but I am not alone. I still have you, all of you. Thanks for being with me, dear readers. Thank you so much.

Wednesday, August 26, 2015

Diutamakan Selain Hindu: Cerita 'Diskriminasi' dari Bali

Sore-sore begini ketemu foto begini di Facebook saya. Rasanya jelas campur aduk: marah, malu, kesal, dan kelegaan bahwa saya tinggal jauh dari segala diskriminasi tidak beralasan ini. Tapi apa iya ini tidak beralasan?

Reaksi yang pertama timbul saat melihat foto ini pastinya cukup kuat. Yang fanatik agamanya (dan non-Hindu) pasti mengucap syukur tak terkira, yang kebetulan beragama Hindu pastinya misuh-misuh nggak karuan. Dan menurut komentar di foto tersebut mereka memang marah, menganggap disepelekan di tanah sendiri. Apa iya?

Di Amerika sini nggak ada itu ceritanya diskriminasi begini. Ada sih ada, tapi yang terang-terangan begini bisa dipidanakan. Kirim CV aja nggak nulis umur atau tanggal lahir kok, apalagi agama. Efeknya jelas, semua punya hak yang sama. Tapi juga pubya kewajiban yang sama. Dengan kata lain, nggak ada ceritanya kita bilang perusahaan nggak fair karena nggak ngasi libur Lebaran misalnya, atau libur Galungan. Disini libur sekolah akhir tahun saja disebutnya winter holiday dan bukan lagi Christmas Holiday kok. Agamamu ya agamamu, nggak ada urusannya minta libur diluar jatah libur kenegaraan untuk beribadah. Kalau mau ya ambil jatah cuti, dan kalau memang kondisi nggak memungkinkan ya nggak bisa cuti. That's life bro.

Balik ke Indonesia, orang bisa marah dan mengamuk kalau dirasa ibadahnya tidak diakomodir. Orang Islam yang harus kerja pas lebaran, orang Kristen yang harus kerja saat Natal, orang Hindu Bali yang harus bekerja saat Galungan (cuma di Bali lho, yang kebetulan di luar Bali mah cuma bisa gigit jari). Dulu kerja di Bali pun, bos saya sempat dengan spesifik minta HR saya untuk mencari karyawan yang non-Bali. Alasannya sederhana: biar saat hari raya Hindu Bali nggak semua karyawan libur, jadi perusahaan bisa tetap jalan. Masuk akal toh?

"Tapi itu kan hak kita beribadah!!" sergah beberapa dari anda. Gimana ya, ibadah itu relatif lho. Saya yang Hindu Bali tinggal di Jakarta jelas nggak mungkin minta 3 hari berturut-turut libur untuk merayakan Galungan. Kalaupun bisa berarti rekan kerja kita yang ketiban pulung. Sebaliknya, saat kantor tutup saat Lebaran pun saya yang nggak Lebaran jadi ikutan libur. Fair/adil? Jelas nggak. Tapi lebih nggak adil lagi kalau saya memaksa semua orang mengakomodir saya. Di Amerika sini nggak ada dikasi waktu Sholat seperti di Indonesia. Bukan karena benci Islam ya, tapi karena nggak adil buat yang non-Islam kalau yang Islam boleh pakai jam kerja untuk sholat sementara yang lain nggak dikasi waktu break tambahan yang sama.

Balik lagi ke pengumuman di foto itu. Semua yang Bali komennya marah dan emosi, padahal belum tentu juga agama Hindunya jalan. Kalau sembahyang ke Pura masih ngeberatin pemilihan baju/kebaya yang paling necis, kalau mulutnya masih sibuk menjilat dan mencerca dan sama sekali nggak ingat prinsip Tri Kaya Parisudha, kalau Nyepi cuma jadi alasan buat maceki/main kartu dan minum tuak seharian, nggak usah meledak saat dengar berita begini lah. Pemilihan katanya pun perlu dicermati: diutamakan selain Hindu. Bisa jadi seperti kantor saya dulu yang memerlukan pegawai dari berbagai agama agar perusahaannya bisa tetap jalan walau libur apapun dan bukannya benci agama tertentu. Kalau dibilang diutamakan non-Bali barulah berhak marah, karena ras nggak ada urusannya dengan pekerjaan.

Intinya nggak usah sensi. Nggak usah parno dan berseru orang Bali dijajah di negeri sendiri. Suka atau tidak, orang Bali memang harus bekerja keras untuk mengembalikan citra mereka (baca: kita). Sekian lama kita dimanja oleh manisnya pariwisata, dari semenjak jaman Belanda lho. Konsep 'duit gampang' itu yang harus dihilangkan, dan sebaliknya mulai bersikap profesional. Bukan berarti lantas meninggalkan kewajiban beribadah lho ya. Indahnya Bali ya segala upacara itu yang mana masyarakat Hindu Bali adalah bagian di dalamnya. Kalau nggak ada segala upacara itu apa lebihnya Bali? Sekalian aja ke Thailand. Profesional disini berarti meyakinkan si bos bahwa kerjaan bisa tetap kelar walau ada hari raya. Apalagi kalau kerjanya di tempat yang tidak terikat hari raya seperti hotel atau spa. Walau demikian, perusahaan di Bali yang saya tahu kebanyakan sudah 'menyerah' dan beradaptasi dengan BAnyak LIburnya Bali. Kompensasinya Lebaran nggak libur panjang hihihi.

Profesional juga berarti ya itu, nggak manja. Nggak berpikir bahwa anda-anda berhak dibayar dengan tinggi karena sebelumnya bule membayar anda tinggi. Entah berapa banyak sopir dan pembantu yang diinterview teman saya di HR yang dengan konyolnya minta gaji tinggi atau bahkan menolak kerja saat tahu bosnya bukan bule. Orang luar Bali juga banyak yang konyol begini ya, tapi yang lahir besar di Bali jelas lebih terdidik (baca: brainwash) bahwa bule sama dengan uang, dan kerja asal juga tetap dibayar. Saya kawin sama bule and we're still broke as shit lol. Happy, tapi nggak berlimpah harta seperti yang dibayangkan orang saat saya bilang suami saya bule. Harga nasi goreng disini $ 8 bo'. Indomie 50 cent. Kita kaya cuma pas balik ke Indonesia aja, bisa foya-foya makan soto ayam seharga parkir 30 menit disini hahaha. Eh, kok ngelantur.

Alasan lain kenapa orang Bali nggak 'laku' juga karena kurangnya kompetensi. Di Jakarta semua orang berbondong-bondong ikut LIA demi secarik ijazah yang membuktikan bisa berbahasa Inggris. Les-les penuh sesak dan semua orang berlomba untuk bisa komputer demi mendapatkan pekerjaan yang layak. Di Bali animo masyarakatnya nggak setinggi itu. Kalau saya punya usaha di Bali dan disuruh memilih antara karyawan luar Bali yang lancar MS Office dan karyawan Bali yang alamat e-mailnya masih memakai alamat e-mail pacarnya, jelas saya pilih yang becus kerja. Belum lagi sakit kepala menghadapi sesama orang Bali yang menuduh tugas-tugas yang diberikan kepada mereka adalah tindakan sok kuasa saya karena saya Dayu. Mau nama saya Bejo juga kalau itu tugas mereka ya harus mereka kerjakan. 

Apakah semua orang Bali seperti itu? Jelas tidak. Makin banyak orang-orang Bali yang sadar bahwa we are not alone. Bahwa dunia nggak cuma selebar pulau Bali saja. Bahwa kita orang Bali mampu menunjukkan kompetensi kita tanpa mengorbankan jati diri dan adat istiadat kita. Suatu saat nanti, kata-kata 'Diutamakan non-Hindu' tidak perlu lagi dipakai dalam lowongan pekerjaan karena kita mampu menciptakan sistem dimana profesionalisme tetap jalan dan adat istiadat tetap oke. Sekarang tergantung kitanya bukan? Salam!!!

Ps: sebagai perbandingan tambahan, kalau tempat pemotongan hewan buka lowongan pekerjaan dengan syarat 'Diutamakan Non-Muslim' karena mereka juga memotong babi masuk akal toh? Atau pengacara perceraian mencari pegawai yang non-Katolik karena di Katolik tidak boleh bercerai. Yeah, they are stupid examples, tapi semoga anda bisa mengerti bahwa terkadang 'diskriminasi' itu bisa terjadi bukan karena anti agama tertentu, melainkan karena sifat pekerjaannya. Anda yang kurang tinggi atau kurang menarik sulit diterima jadi pramugari/pramugara misalnya, atau anda yang buta warna jelas tidak bisa masuk FK. Jadi jangan pada cepat emosi ya... :-) 

Sunday, August 16, 2015

Elanto dan Internet: Hadiah Terbaik Dirgahayu Indonesia yang ke 70

Mungkin 'hadiah' paling berharga untuk Indonesia di ulang tahunnya yang ke-70 adalah penduduknya yang mulai 'melek' internet dan berani 'bersuara'. Setelah sekian lama kita cuma diam mengiyakan apa kata TVRI dan cuma bisa berspekulasi apakah ikan tangkapan pak Harto hanya trik biasa atau memang dia jago, sekarang ini kita bisa mengutarakan pikiran kita dengan lebih bebas. Yang mana munculnya Elanto-Elanto yang berani menghadang konvoi MoGe. Mampunya kita menekan polisi untuk mengusut tuntas kasus Angeline. Didengarnya suara rakyat yang menolak dana-dana tidak jelas DPR. Ini semua berkat internet dan psy-war pemilu 2014.

Pastinya para penggagas psy-war pemilu tahun lalu tidak menyangka efeknya akan sebesar ini. Atau sebelumnya, penggagas kampanye via internet yang sukses (seperti tim Jokowi-Ahok) pastinya tidak menyangka akan seperti ini. Attack, counter-attack, apapun dilakukan dan dihalalkan untuk menarik perhatian ke satu kubu dan mencoreng kubu lainnya, elegan atau tidak itu bukan masalah. Kubu tandingan tentunya tidak mau berdiam diri dan ikut dalam perang tersebut. Masyarakat jadi terbagi, terbelah. Saya sendiri sampai kehilangan teman gara-gara dukung-mendukung tersebut. Sampai sekarang, yang pemilu sudah selesai dari kapan tahu, masih saja ada sisa-sisa yang sibuk berantem sendiri di dunia maya. Walau kedengarannya sedih, namun sebenarnya ada silver lining/berkah yang timbul dari peperangan ini: kita jadi berani bersikap.

Dulu-dulu boro-boro. Gaya kita dulu mah, pemerintah urusan pemerintah, rakyat urusan rakyat. Nggak ada yang repot buka mulut karena tahu tidak ada yang membela, karena pikiran kebanyakan orang adalah “ngapain mati konyol”. Pemerintah mau apa juga kita cuma bisa ngelengos, seolah bukan urusan kita walau sebenarnya kita yang memilih mereka. Sekarang lain, dan adik-adik pengguna internet yang masih 20an tahun kebawah mungkin tidak ingat masa-masa itu. Bahkan teman-teman sejawat yang seumuran dengan saya (30an keatas) mungkin sudah lupa masa tanpa Facebook dan BBM dan media sosial lainnya, saking seringnya kita menggunakan internet: Masa dimana koran Kompas dan tabloid Tempo adalah andalan dalam mencari berita, masa dimana TV-TV masih belum berpihak tapi juga disensor sehingga pemerintah selalu terlihat baik, masa dimana saat frustasi menghadapi pemerintah cuma bisa disalurkan dengan ngomel-ngomel saat arisan atau di tempat kerja. Sekarang jangan ditanya, cukup buka media sosial pun kita sudah tahu berita hari ini (baik diinginkan atau tidak). Dunia dan pengetahuan benar-benar diujung jari kita, dan untuk beberapa tipe hape, diujung jempol kita.

Kemudahan untuk membagi apa yang kita percayai (i.e. berita) dan kemudahan untuk melihat seberapa banyak orang yang se-ide dengan kita membuat kita berani berdiri dan mengambil sikap. Ini bukan hal yang sepele lho. Pengetahuan bahwa ada sejumlah orang yang se-ide dengan kita membuat kita lebih yakin dengan apa yang kita percayai. Kalau sembilan dari sepuluh orang bilang mendengar meongan kucing sementara anda sendiri mendengar gonggongan anjing, pastinya anda pikir anda yang salah. Tapi kalau paling tidak tiga atau bahkan empat orang bilang mendengar gonggongan anjing, pastinya anda akan lebih pede dengan pengamatan anda, bukan? Walau bisa saja sebenarnya anda yang salah dengar. Konon katanya “ducks go together, eagle soar alone”, bebek perginya ramai-ramai tapi elang terbang sendiri. Tapi jangan lupa, terbang sendirian berarti lebih mudah ditembak jatuh pemburu, sementara kalau beramai-ramai walau mungkin ada satu-dua yang tertembak namun mayoritas bisa selamat. Inilah kemampuan internet yang sebenarnya.

Sayangnya kemampuan ini memiliki kelemahan fatal: Penggunaannya dan hasil akhirnya tergantung manusianya. Sebagaimana pisau, klewang, keris, senapan, atau senjata lainnya, tanpa manusia yang menggunakannya mereka hanya benda mati. Namun ditangan manusia mereka bisa jadi benda mematikan. Menggunakan internet sama seperti menggunakan sebilah pisau: anda bisa menggunakannya untuk membuat sesuatu yang bisa membantu orang lain, anda bisa menggunakannya untuk melukai orang lain, anda bisa menggunakannya untuk hal-hal sepele hingga tumpul. Berita-berita hoax atau yang penuh opini yang menggiring/bernada kemarahan dan memecah belah tidak bisa dihindari. Buat apa repot-repot bayar artis untuk kampanye/mengumpulkan pendukung kalau berita di Internet sudah cukup. Begitupula dengan pencari uang dari artikel bombastis tersebut, yang tidak segan menulis sedemikian rupa hanya demi jumlah rating atau like dan share. Masalah rakyat terpecah urusan belakangan, duit nomor satu. Tinggal kita sebagai pengguna internet yang harus mampu memilah mana  yang baik dan mana yang tidak. Masalahnya kita tidak selalu bisa. Ditambah dengan keanoniman internet, jadilah seringkali kita malah membuka buruknya kita sendiri. 

Tanpa kita sadari, berita yang kita share atau like itu mencerminkan siapa kita, apa yang kita baca dan apa yang kita percayai. Kalau dulu kita pikir-pikir sebelum buka mulut karena takut menyinggung orang lain, sekarang kita 'terlindungi' oleh keanoniman internet dan merasa banyak dukungan dari like dan share orang-orang. Pokoknya hak kita untuk bersuara, bersikap. Maju terus pantang mundur. Padahal orang-orang yang lebih pintar memperlakukan internet layaknya sang juara catur, tidak sembarangan mengambil sikap apalagi mencaci. Orang yang terlihat baik di Internet tidak selalu baik lho, tapi sayangnya orang yang dengan buas mencaci di internet biasanya memang lumayan 'bermasalah'. Sikap ini yang dipakai orang-orang pintar untuk memanfaatkan yang kurang pintar/seksama. Jadilah kita pion yang bisa diatur sekehendak hati demi profit dan kekuasaan, sementara kita sibuk percaya bahwa apa yang kita percayai benar adanya. Bukannya “Gajah bertempur Pelanduk mati ditengah-tengah”, tapi “Pelanduk bertempur gajah asik menonton”.

Ini tidak terjadi di Indonesia saja lho. Di Amerika sini juga seperti itu. Penggiringan opini dirasa lebih menguntungkan dan lebih mudah daripada harus mengakomodasi seluruh pihak. Kalau di kelas sejarah dulu disebutnya Divide et Empera, dan inilah yang terjadi saat ini. Media pun tidak bisa diminta pertanggungjawabannya karena mereka pun hanya badan bisnis: mereka akan memberitakan apa yang layak jual, apa yang akan laris. Dengan kata lain, kita selaku konsumen lah yang menentukan. Kalau anda tidak percaya, coba hitung seberapa banyak postingan ilmiah yang mampir ke lini masa medsos anda. Bandingkan dengan postingan yang edgy atau bombastis yang menyangkut seks atau SARA atau selebriti termasuk selebriti religi. Ilmiah itu berat bo', sulit dicerna. Walau tahu bahwa akan ada hujan meteor itu akan membantu pemahaman kita akan betapa indahnya dunia dan betapa kecilnya manusia, tapi tas Hermes Syahrini dan memaki tokoh politik lebih gampang dilakukan. Ketemu berita 'baik' seperti orang membantu orang lain biasanya kita cuma senyum kecil dan bilang, “Oh that's nice” atau “Ih keren ya”, tapi ketemu berita 'buruk' apalagi menyangkut apa yang kita percayai, dan langsung deh kita dengan emosinya komen dan share sembari meluapkan emosi jiwa. Media dibuat oleh manusia, oleh saya dan anda yang mau repot membaca. Isi beritanya juga anda yang memilih. Sejarah sudah membuktikan bahwa kebenaran tak bisa dibungkam, mau disensor seperti apa juga pasti yang benar akan keluar.

Kenapa penting buat kita bangsa Indonesia untuk mengerti ini? Karena sumber daya manusia kita yang amat sangat besar. Kita sudah masuk peringkat utama pengguna Facebook di dunia, padahal jaringan internet yang bisa diandalkan cuma di pulau-pulau besar saja dan itupun seringkali hanya terbatas di kota besar/kota utama. Dan itu dengan tanpa mengetahui bahwa Facebook itu pakai internet. Serius ini. Banyak pengguna Facebook di Indonesia yang bilang kalau mereka tidak pernah pakai internet, karena mereka tidak mengasosiasikan Facebook dengan Internet. Kebayang nggak kalau semua melek internet dan akses internet lancar jaya? Dan bukan cuma melek internet ya, namun juga mampu menggunakannya dengan maksimal dan objektif. Karakteristik orang Indonesia yang tahan banting itu aset banget di masa sekarang, dan dengan jumlah orang saja kita bisa memastikan suara kita didengar dunia. Jargon Indonesia macan Asia atau raksasa dunia buat saya amat sangat mungkin. Dari sekian negara di dunia mungkin cuma Indonesia yang paling terlatih soal menghargai perbedaan dan kesantunan yang didapat dari adat istiadat suku masing-masing, yang mana merupakan barang yang amat sangat langka di arena global masa sekarang. Tapi ya itu, bukan hanya kendala akses, kita juga masih terkendala kemauan dan kemampuan berpikir objektif. 

Apa kita harus menyerah? Tentu tidak. Saya tidak terbayang di jaman dulu bagaimana perasaan para pendahulu kita yang belajar di STOVIA: jauh dari keluarga, berbeda dari mahasiswa lainnya, namun penuh harapan dan ma(mp)u melihat secara keseluruhan dan bukan cuma tentang mereka saja. Anda dan saya adalah bagian dari Indonesia. Apapun yang terjadi, saat mentari bersinar besok kemungkinan besar anda dan saya masih tetap bagian dari Indonesia. Ini rumah kita, tanah air kita. Sudah saatnya kita  berpikir sebagai keseluruhan, bukan hanya kelompok saya dan kelompok anda. Sudah saatnya kita bersatu dan menjadi sapu lidi yang mambu membereskan dan membuang kotoran yang ada, dan bukan hanya menjadi batangan lidi yang dipatah-patahkan oleh anak kecil yang sudah bosan. Internet bisa memecah kita, namun internet juga bisa mempersatukan kita, dan memberikan kita suara yang sepantasnya didengar dunia. Bangkitlah Indonesia, doa kami besertamu!!!

Wednesday, August 5, 2015

Manusia vs Tuhan: Sebuah Perjalanan

Kalau dipikir2 ya, Tuhan menciptakan manusia serupa satu sama lain. Cetakannya sama persis gitu lho, adonannya juga. Terus apa hak kita songong banget ngebeda2in satu sama lain? Kalau dibilang Tuhannya beda ya gimana ya. Samsung sama Apple yang produknya mirip2 (dari jauh) juga nggak 100% sama toh. Kalau pake nalar juga semua manusia sama, sejenis dan satu species. Buktinya bisa menghasilkan keturunan bukan, terlepas dari ras atau agama atau status sosialnya? Tuhan yang Maha Pencipta dan Maha Kuasa pastinya bisa dong menciptakan jenis manusia yang berbeda-beda dan eksklusif. Kodok aja spesiesnya banyak bener. 

Ini bukan berarti anda harus percaya atau nerima agama/kepercayaan orang lain ya. Yang anda percayai ya hak anda. Urusan sama Tuhan/kata hati itu urusan paling asasi menurut saya. Paling mendasar. Yang nggak boleh itu memakai alasan agama/kepercayaan untuk ngebedain orang lain. Bukan apa-apa, Tuhan aja nggak rempong kok. Kenapa situ yang repot? Kalau Tuhan mau rempong, semua manusia diciptakan jelek dan buruk rupa lalu hanya yang mengikuti ajaranNya yang benar yang perlahan-lahan jadi tambah mendingan, tambah berkilau. Hmmm.... Sebenarnya ini udah kejadian bukan? Yang benar-benar orang baik mengasihi sesama etc biasanya terlihat lebih gimana gitu, yang kita ngeliatnya jadi adem. Bukan cantik fisik, tapi cantik hati.

Lain kali anda melihat seseorang, lihat kedalam matanya. Ingatkan diri anda bahwa orang tersebut bernafas seperti anda, perlu makanan dan minuman seperti anda, punya kebutuhan fisik untuk bisa bertahan hidup sama seperti anda. Ingatkan diri anda bahwa orang tersebut juga bisa marah, sedih, gembira, dan terikat berbagai ikatan emosi lainnya seperti anda. Lihat orang tersebut sebagai seorang manusia, sama seperti anda. Ini juga berlaku online ya. Kenapa harus begini? Karena metode jualan masa kini adalah penggiringan opini dan pengkotak-kotakkan. Anda vs Saya itu lebih menjual dan lebih gampang disetir daripada Kita dan/atau Kami. Kita yang memang dasarnya punya sifat kompetitif dengan mudahnya terjual dan percaya. Padahal seperti kata pepatah soal perang: menang jadi arang kalah jadi abu.

Sekali lagi, melihat seseorang sebagai manusia tidak berarti anda harus mendadak mengiyakan/menyetujui perbedaan. Anda tidak nyaman dengan LGBT? Tidak apa-apa. Itu hak anda. Anda sebal melihat perempuan pamer bodi? Tidak apa-apa. Itu hak anda. Anda berpikir agama anda yang paling benar? Tidak apa-apa. Itu hak anda. Tapi jangan semerta-merta mengambil sikap "Saya Benar Kamu Salah". Percaya deh, Tuhan lebih dari mampu untuk menghukum orang yang bersalah padaNya. Jangan menyepelekan Tuhan apalagi meninggikan diri dengan berpikir anda perpanjangan tangan Tuhan. Perpanjangan tangan Tuhan yang valid itu cuma saat anda memberi dan menolong, karena Tuhan Maha Pemurah dan Penyayang bukan?

Kalau masih bingung kapan harus bersikap, lihat secara objektif kondisi keseluruhan: apakah ada yang tertindas atau haknya dirampas? Saat ada ibu-ibu dijambret reaksi anda tentunya langsung mengejar jambret itu bukan? Atau pura-pura bego sih. Yang jelas reaksi anda pastinya bukan klarifikasi dulu si ibu agamanya apa. Contoh lain: apa iya pura disamping masjid anda membuat anda tertindas, misalnya. Kalau jawabannya ya karena mereka potong babi tiap hari, ini masuk akal. Tapi harus dilihat juga, siapa yang duluan ada. Jangan kayak orang sini yang pindah ke dekat airport lalu menuntut airportnya karena terlalu bising. Kalau jawabannya ya karena menurut buku suci mereka orang berdosa, monggo dipikirkan lagi: siapa anda mengatur-atur siapa yang dosa atau tidak? Anda aja mungkin nggak bisa nebak siapa yang korup dan yang tidak, atau bahkan siapa yang masih perawan, boro-boro nebak hitung-hitungan doa dan dosa. Lagian seperti buka toko, walau banyak saingan tapi toko yang paling bagus dan paling berfaedah untuk konsumennya biasanya paling laku. Percaya sama 'toko' anda sendirilah.

Semua agama menjanjikan nirwana, surga, dan apapun namanya. Pokoknya tempat yang aman damai indah dan sebagainya setelah kita mati nanti. Syaratnya gampang, jadi orang baik dan taat aturan Tuhan. Nah, yang orang banyak nggak tahu itu sebenarnya surga bisa diraih saat masih hidup. Kalau semua orang hidup damai dan menghargai satu sama lain apa bukan surga namanya? Seberat-beratnya hidup, pasti perasaan anda akan sedikit terangkat/legaan saat mendengar sapaan ramah atau senyuman tulus. Ini target yang harus anda capai, jadi pelita untuk orang lain agar dunia semakin cerah. Jangan tunggu surga pas meninggal bo', masih lama itu. Apalagi dengan ilmu kesehatan yang makin canggih. Kalau nantinya masuk Surga yang beneran anggap aja bonus gitu. Tapi ini cuma bisa dicapai dengan kerendahan hati yang mengakui bahwa Tuhan Maha Pencipta, dan kekaguman akan ke Maha Kuasaan Tuhan, serta keterbukaan hati+pikiran bahwa kita tidak tahu rencana Tuhan. Dengan kata lain, tahu diri gitu lho. Jangan rempong mengklasifikasikan dan mengkotak-kotakkan orang, cukup sarung saja yang motifnya kotak-kotak.

Tuesday, July 14, 2015

Home at last. For now.



Somehow, I got stuck in life.

A friend from the other side of US went visiting, and I should have met her. Or at least explained why I could not meet her. But I didn't. The day come and go, I should have texted her and informed her way before that it wasn't possible to meet because of my new job. But I didn't. On her last day here I should have told her how sorry I was that I couldn't see her. But I didn't. I wanted to tell her the craziest work day that happened on the day we were supposed to meet. I got locked in in the bathroom, I was late for the bus and spend an hour waiting for the next bus while crying and cussing over my situation, and by the time I got home I convinced my husband to take me back to the office because I was certain that I did not lock the door properly. My friend and I would have had a good laugh over it, but we didn't. Because I didn't tell her anything.

The next day passed, and she returned home. I should have texted her by then. But I didn't. I kept on telling myself that I will text her the next day. But I didn't. A whole week passed and I still didn't contact her. Just as I choose to ignore other messages from my friends. I couldn't deal with them. It was too emotionally taxating. Life was too much for me. Even before I got the job I was already retreating into myself, slowly but sure shunning the world. I don't even know why. Life is good. It has always been. So why the sorrow? Why the lethargic indifference?

Then we decided to buy a Durga statue on a whim. As I decorated it with flowers as offering I realized what was missing from my life.

In a land where everything is within my reach, I have lost myself. Where before I live almost solely for survival, now I am spoiled with choices and options. It had become "whatever I want", and no longer "whatever I need". As with the junk processed food that is easily in my reach and saturated my body with the dangerous chemical, so does the choices available to pleasure myself. Like a glutton I rejoice in all, even though deep down inside I knew what was happening. I no longer live for myself, for what I believe. I had become a creature of desire, greedily wanting everything and thus stuck in the mirage that was made for someone else's profit. I have lost my simple life. My meaningful life. 

No more I rejoice the morning sun. No more simple guilty pleasure to splurge myself once in a while, and how proud and happy it made me feel. No more saving up for a treat, and the delight it made me feel. No more driving in the rain and singing "I'm Only Happy When it Rains". No more smug and the feel of living on the edge when drinking a can of beer. And worst of all, the utter loneliness inside. My heart slowly but sure turned into a black hole that wants everything, sucks everything without any consideration. It was no longer a battle to prove myself, a daily effort to keep existing in this life. It was "I". "I" that is entitled to everything simply because of the fact that he/she exist. And with every wants and demands that got fulfilled with minimal effort my "I" grew bigger and more loathsome, until I can't take it anymore. I hated her. I hated me.

The statue, the flower offering, the incense and the prayer reminded of who I was before. In a book that I read, the main character said that God is in the man's heart. In Hinduism we believe that our soul is actually a fraction of Himself. That night I prayed. That night I found a tiny sliver of my old self. The one with dreams and empathy. The one that looked at the world full of wonder and love. The one that was truly alive.

If words and thoughts have weight, which I am sure they have, it is not difficult to imagine the power of praying. The first time I visited the temple in LA's Chinatown I was overwhelmed with the feeling inside it. It was as if every nook and crane of the temple was filled with incense smoke and thoughts and prayer. I almost wept, swamped by emotions inside me. Now imagine a land, a country so big where prayers were said daily. A place where beliefs about spirits and nature as a living thing is the norm. Imagine living your life surrounded by those thoughts, those hopes, those prayers. Imagine living knowing fully well that you are a mere insignificant cog in this giant mechanism called Universe, yet you are substantial enough to change the life of people around you. Wouldn't you want to be there?

It was easy enough in Bali, a true fairyland where the impossible can come to life and the old wives tale came true. In an island so steeped in ancient belief to an extent that it pretty much dictate people's daily life, in an island where old temples still exist and people dutifully came to pray (which provides fresh batch of thoughts and prayers, thus prolonged its existence), I was no longer human. I was just a thing in this beautiful universe, and I was happy for my existence. But even in the capital city Jakarta, a sprawling metropolis larger than Los Angeles, I never felt alone nor lost. The prayers were abundant thanks to the Muslim's daily prayers, and the belief for spirits and nature as a complex being was still there too albeit minimum. To add, the struggle was real, and you either end up feeling thankful for what you have, or feeling genuinely sorry for what other people don't have. It was not just about thoughts and prayers, it was also about willingness to live and brute determination to make every day counts. 

My existence is not measured on what "I" have achieved or what "I" have owned. My existence lies on my ability to work with all aspects, all the cogs both seen and unseen in the complex machinery called Universe. Every little thoughts count. Every little prayers count. Every little respects count. It was simple, and I have forgotten about it.

I yearned to rest myself once again in that magical land where spirits roam and human live. I dreamed of the day where I would once again knelt and prayed at Puras, humbled and honored to be there to give my respect. I hoped to spend my life surrounded with prayers and hopes and dreams, none too small or irrelevant as every thoughts count. I longed to be alive once more, to be a complete human once more. Alas, I am not there. I am so far away to where I belong, and slowly but sure I feel myself sinking further into non-existence. Trapped like ice age mammals in tar pits thousands of years ago. I feel myself hating me more each day, and the disappointment spread like a bad bruise on an apple that eventually will left it inedible. I hate myself even though I don't know who myself anymore. Such an irony. I feel like I am beyond salvation. I am too far away from home.

Tonight we prayed to Durga and Shiva, and a brief calmness bloomed in my heart. This is home. A small, very small part; but this is the home that I know. A place where we looked up and surrender our hopes and dreams to the universe, yet continue to fight for them. A place where prayers is abundance and respect for life and the universe is flowing. I touched the feet of the little Durga statue with my finger tip and lovingly put that finger tip on my forehead, lips, and my heart. I missed Her. I missed my home. Then I opened my eyes and saw my husband gazing lovingly yet full of respect to the Durga statue. He looked at me and our eyes met. We smiled and took each other's hand. We will return one day to our magical land, and we will be human, complete human again. But that would wait. We both looked at beautiful Durga and honorable Shiva on the makeshift altar, and sighed in relief. This is home. For now.

Friday, June 26, 2015

Pencurian Pencapaian: Beranikah Kita Bersikap?

"The images are copyrighted and should not be posted online. Can you please provide me with the website, etc., where you found the images, so I can forward to my attorney? Thank you!"

Ack... Kok jadi rempong begini??

Jadi ceritanya saya menemukan gambar berlisensi di album Facebook orang lain. Pada tahu kan kalau di Facebook sekarang lagi gencar banget posting album foto? Tujuannya jelas, anda harus ngeshare album tersebut agar bisa anda simpan linknya di Facebook anda, yang mana meningkatkan traffic si empunya album tersebut. Sangat berguna kalau anda kebetulan jualan barang online, mau dapat tambahan penghasilan dari iklan, atau memang cuma haus kasih sayang eh perhatian. Sayangnya kebanyakan foto/gambar tersebut nyolong dari punya orang lain. Walau nggak ada watermark/logo yang punya pun kelihatan kok kalau itu album ngambil dari sumber yang berbeda karena pengambilan gambarnya pun berbeda. Beberapa yang jelas-jelas ada watermarknya pun dengan ceria dicuekin dan tidak ada credit untuk pembuat aslinya sama sekali. Pas saya ketemu gambar yang berlisensi ini saya iseng mengontak empunya, saya pikir dia cuma akan report ke Facebook agar gambar tersebut dicabut, eh ternyata mau bawa-bawa attorney segala. Waduh!!

Pasti anda berpikir, "Lagian iseng banget sih!" dan "Ga kasian sama orang lain!!" Percaya deh, waktu saya mendapat respon bahwa mereka mau pake attorney saya pun langsung menyesali keputusan saya untuk iseng. Paling tidak selama lima menitan lah. Saya pun berusaha 'membetulkan' keputusan saya dengan menginfokan mereka kalau orang ini nggak bermaksud jahat, dan cukup diinfo ke Facebook juga itu gambar bakal dicabut sama Facebook. Saya juga bilang gambar-gambar tersebut mungkin sudah dishare beribu kali jadi kalau memang mau memberantasnya pakai program seperti TinEye dan sekalian ngejar semua yang ngeshare agar tidak cuma orang ini aja yang kena. Hmm... Kalau dipikir-pikir sebenarnya saya memperparah ya. 

Kayaknya munafik banget ya, saya yang masih rajin beli DVD bajakan dan mengunduh buku/program yang gratisan kok malah ngaduin orang lain soal hak cipta. Dulu pas kuliah juga buku kuliah banyak beli fotokopian. Nggak sopan dong sekarang saya ngaduin orang lain kalau saya juga berbuat. Saya merenungkan ini seharian penuh. Kenapa saya merasa tidak apa-apa kalau pakai barang bajakan, tapi saya marah saat orang lain juga membajak? Apa bedanya barang bajakan yang saya pakai dan pembajakan foto/karya di fesbuk? Ini juga bukan sekali dua atau baru-baru ini ya. Dari dulu saya paling benci plagiarisme dan pencolongan karya orang lain, tapi ya itu tadi, beli DVD bajakan dan baca komik online gratisan jalan terus. Bingung kan?

Mungkin yang paling berasa adalah pencurian pencapaian. Setelah (mencoba) menjadi full time writer, saya berasa banget akan susahnya membuat sesuatu. Menulis blog seperti ini saja harus berpikir keras, karena sangat penting menarik pembaca dan membuat mereka menyukai karya saya ini. Nggak cuma ketik-ketik kelar. Sudah begitu masih harus diamankan dari orang-orang yang mungkin klepto dan suka copas seenaknya. Dari sewaktu saya masih kerja di Indonesia pun saya akan berusaha sebisa mungkin mengamankan hasil kerja saya, nggak apa-apa disharing dan dipakai selama saya masih bisa bilang "itu punyaku lho!". Paling tidak hasil karya saya dihargai, nggak tiba-tiba saya yang buat setengah mati lalu ada yang mengaku-ngaku. Itulah yang mendasari kesebelan saya terhadap orang-orang yang main posting gambar yang nyolong dari Internet, karena tanpa kredit/penulisan sumber yang sepantasnya seolah mereka (pembuat album) yang kreatif sekali dan mendapat segala puja-puji (dan iklan etc), sementara si pembuat aslinya hilang entah kemana.

"Tapi kan mencari gambar tersebut juga usaha!" Lah iya, terus apa susahnya sedikit lagi diteruskan usahanya dengan memberi link dimana gambar tersebut didapatkan? Apalagi kalau didapat dari website yang mungkin hitnya juga tidak banyak. Jujur, kalau DVD atau buku kuliah buatan perusahaan besar nurani saya tidak terlalu resah karena biasanya si penulis/pembuat film dan aktor/aktrisnya beserta segala yang terlibat sudah dibayar full. Apalagi di Indonesia yang menonton film dan beli buku itu mahal dan sulit. Kalau disini yang cuma bayar $8 perbulan bisa menonton film di Netflix sampai mampus sih beli DVD bajakan yang $5 dapat 3 itu rasanya rugi. Streaming film HighDef pun cuma $2.99 di Vudu, dan itu udah pasti nggak ada kepala orang yang lewat-lewat dan gambar yang goyang syalala. Buku disini bisa pinjam di perpustakaan, atau beli buku bekas cuma 50 sen ($0.50), jadi namanya mengunduh buku gratisan juga nyaris nggak perlu. Ayo pemerintah Indonesia perbaiki infrastruktur, kasihanilah kami yang ingin maju!! Lho, kok jadi melenceng hohoho...

Tapi baik di Indonesia maupun di Amrik sini, lain cerita kalau soal karya dari penulis/artis yang self-publish atau masih berusaha menjual namanya sendiri. Saya pernah mendapat pekerjaan sebagai penulis blog disini, tapi baru 5 artikel saya sudah keok karena tidak sanggup membuat karya secepat itu. Ceritanya kan saya idealis, pokoknya target pribadi 2 artikel seminggu dan nggak boleh nyontek karya orang lain! Ternyata nggak semudah itu lho mencari ide baru dan menuliskannya. Waktu iseng membaca situs berita/informasi Indonesia, ternyata banyak yang cuma copas dan translate dari artikel sini. Gubrak. Nggak pakai mencantumkan itu sumbernya dari mana pula. Dobel gubrak. Makanya banyak artikel yang menganjurkan makan Celery biar sehat (padahal saya jarang banget lihat celery di supermarket Indonesia, dan itu barang mahal pula), bikin kue pake nutella (siapa sih yang sanggup beli nutella tiap hari di Indonesia, kenapa nggak pake meses aja gitu), dan segenap info 'bermanfaat' lainnya. 'Bermanfaat' tanda kutip, karena mungkin nggak bisa dipakai di Indonesia. Penulis dan pekarya idealis macam saya berusaha membuat karya orisinal untuk menampilkan siapa kami, bikin website pun sekedar ingin berusaha dikenal agar orang mau membeli karya kami; kalau anda seenaknya copas atau mengambil karya kami tanpa ijin (dan mengaku karya anda), kasihan kami dong.

Sebenarnya mau penulis/pekarya pemula atau yang sudah ternama, pencurian seperti ini tidak bisa dibenarkan. Saya bilang pencurian karena memang ini pencurian ya, anda tidak bisa menjustifikasi/membenarkan hal ini dengan hanya "Cuma gambar/artikel, apa sih masalahnya?". Waktu anda memfotokopi buku kuliah atau membeli DVD bajakan (yang tetap salah, btw), si penjual tidak bilang bahwa mereka yang membuat buku/film/program komputer tersebut; hak cipta dan pencapaiannya tetap milik si pembuat karya. Waktu anda copy paste artikel/gambar dan menggunakannya untuk kepentingan anda sendiri tanpa memberi kredit yang sepantasnya, anda menghilangkan pencapaian si pembuat karya dan merampas hak cipta mereka. Cuma menulis "dari berbagai sumber" itu tidak membantu lho. Siapa pembuat aslinya tetap tidak diketahui. Bahkan di Amerika sini pun yang bisa menuntut dengan riang gembira, tidak selalu mudah menuntut hak cipta anda. Walau 'attorney'/pengacara itu terdengar horor, tapi kemungkinan mereka bisa menuntut orang ini (yang dari negara lain juga) dan sukses mendapatkan bayaran dari orang ini sangat kecil.

Mungkin hal ini terlihat sepele, tapi pencurian pencapaian ini menunjukkan siapa anda. Apalagi saat anda tahu tidak ada konsekuensi yang berarti, jadi tindakan yang anda lakukan murni keputusan anda sendiri. Kalau anda tetap mencuri karya orang, itu menandakan anda tidak mampu menghargai orang lain. Anda-anda yang main like dan share walaupun ada watermark/logo yang jelas-jelas menunjukkan itu milik orang lain juga terlihat ceroboh dan (lagi-lagi) tidak mau repot-repot menghargai hasil karya orang lain. Ironisnya banyak yang dengan sopannya komen "Ijin share ya..." padahal itu album foto isinya kompilasi dari berbagai sumber, yang mana tidak ada link ke sumber aslinya. Jreng jreng.

Karena saya sendiri pekarya dan punya banyak teman yang juga pekarya saya sangat tahu nilai sebuah karya. Mau masterpiece atau produk gagal, membuat suatu karya orisinal yang mencerminkan siapa kita itu susah sekali lho. Coba saja anda lihat, film (Hollywood) sekarang hampir semuanya sequel atau franchise atau adaptasi buku/serial TV, cuma sedikit yang benar-benar karya asli. Kalau anda masih menganggap saya mengada-ngada dan lebay, coba bayangkan kalau anda pergi arisan membawa kue senampan, lalu si empunya arisan mengaku kue itu dia yang buat. Atau saat anda kongkow bersama geng anda dan teman baik anda bilang bahwa modifikasi mobil barunya yang keren itu murni ide dan karyanya, padahal anda yang membantu membuatnya dan sampai disemprot yayang karena keasikan memodif sampai lupa jadwal kencan. Sakit dan ngeselin nggak sih? 

Iya, iya. Pasti banyak diantara anda yang sabar dan rela saja diambil hak dan pencapaiannya. Tapi bukan berarti orang lain harus ikutan pasrah seperti anda dong? Mungkin anda berpikir kalau melaporkan ke Facebook atau mengingatkan si pembuat album via komentar itu "ikut campur" dan "kurang pantas", apalagi kalau kebetulan album foto (colongan) tersebut membantu anda. Itu pilihan anda, tapi itu ibaratnya seperti anda melihat orang dirampok di depan warung makan anda, lalu mengamini karena toh uang rampokannya dipakai untuk beli makan di warung anda. Kita tidak bisa hanya berdoa dan berserah pada Tuhan untuk dunia yang lebih baik, kita juga harus berani bersikap dan berusaha sebisa mungkin. Salah satunya ya dengan membantu mempertahankan hak orang lain. Empati dan Simpati itu tidak harus cuma untuk kasus ekstrim yang mencucurkan air mata, empati dan simpati itu juga bisa timbul dari hal kecil, sekecil mengingatkan orang lain untuk tidak mencuri hak orang lain, seberapapun kecilnya. Jadi, siap mengambil sikap?

Dear Little Turtle

I hate you. Or, at least I did. 

I still remember the first time I met you: so petite and dainty like a fresh spring rose, with a smile so sweet it almost give me diabetes. In my mind you are toxic, dangerous, loathsome. Yet people surrounded you with adoration, and the combination between their awe and your aura of beauty hurt me and burned me like the sunlight turned the vampire into ashes. Looking at you from a distance hurt me. Being with you in the same room hurt me. Your existence in this world hurt me. I envied you, can't you tell? I can be as witty and as gaily as possible, yet the eyes will still be on you. I was the kind of people that others will easily stepped on just to be a tad bit closer to people like you. As if your glamour would spread. Diarrhea spread, glamour not so much.

Then we're somehow stuck together. I still hated you that time. A tiny part of me was still insecure, but I have grown to love myself too. I had someone who love me. I had a good job. I was invincible in my own way. And most of all, I know for a fact my boyfriend couldn't care less on how you look. Which is a big plus. I was still uncomfortable with you, and still loathed the fact that you probably sailed through life thanks to your looks alone while I have to strive and pull myself out from the bottom of the abyss just to where I was at that point. Which is not entirely true. I have had many helps too along the way. But still, I was not as good looking as you are. So we're stuck together. Big deal. I care only about getting out of there ASAP, and I really don't care about your existence.

Then we talk about work. You said you wish you could get a job like mine, I told you how to apply. Me and my big mouth. There is a good, a really good chance that you could end up taking my position. You, after all, got all the necessary requirement for most Indonesian job: soft spoken, cute, a total darling. Yet I still told you how to apply, because, you know, I'm careless like that. When it worked out, I thought I gained a colleague. Which is really cool, because then I can use you as my sub when I can't go to work, and I can get more hours as your sub when you can't go to work. I maybe honest but I am not dumb. Everything has its worth. We didn't stay colleague for long though. Somewhere along the way, with the speed that match a viral disease (or it seemed like it), we ended up being closer and closer to each other. The next thing I know, we were friends.

Even then, sometimes I didn't know if I was really your friends or if you were just using me, as a diva would use her entourage. I have people shamelessly called themselves your best of best friends, and even as I teased you about it I can't help thinking, "What if it's true? What if they are really her BFF and I am nothing but a bystander?". But at that point, I like you so much that I really don't care. It was too much fun to be with you. You exasperated me every time you got sad and just hide in your little house like a good little turtle. I would knock on your house and wave a little cucumber (read: invitation to have a good time) and hope you will take the bait and let me have fun with you, because I really do enjoy your company. We laughed together, eat together, cry together. Description ceased to exist, what we are to each other is unimportant, all I know is that I had fun when I was with you.

When I have to move out, it seemed that our friendship would not last. Our conversation got shorter and shorter and, combined with your tendency to retreat to your 'house' when the world is too much for you, at times I thought that was the end. You didn't care. I started to forget. Of course, none of it was true. A good friendship is the one that will stay forever and you will never forget the how-to, just like riding a bike. Ours was equivalent with a super-solar-powered-with-extra-booster-back-to-the-future-bicycle. Pretty rad and much amazing. You were the one I called when I broke up with my boyfriend. I was the one you told when you got married. I dished out how I was going to meet this man out of nowhere from a dating site, and you enthusiastically cheered me up because you know I can, all while chowing down a big plate of Tuna Satay. Some things never changed.

And here we are. Both married, both with kid(s). And I still envy you at times. I even wanted your kid marrying someone from my side of the family, just to have your good look in the family. I know, I love you so much. The only reason why I keep doing what I have to do, braving myself and trying to be good and successful is just because I don't want to fail you. I think highly of you, and you might not know this. You stick to your gun, take the risk, defied all odds just to have your dream. Just to have what you wanted. And that is awesome. You might do it because you felt you don't have any other choice, but you still did it and sticking to it. And that is still awesome. I don't think I've ever done something that brave or that gutsy. Well, I could get crazy at times, but it is different. I don't really fear anything, so whatever crazy things that I did are not me being brave, it's just me being crazy (and reckless). And this is why I adore you so much. You got beaten in life, and you cry and you pout and you're sad, but you still got up and live your life. That's called endurance. That's called gutsy. That's called taking the life by its balls. No, for real.

Living in US taught me a lot of things. Being so far from my friends and family allowed me to see more things objectively. Most importantly, I learned that a$$holes are not race-related or geographically-bounded. The translation is: A$$holes are everywhere. The realization came to me almost like the Sixth Sense scene where the kid whispered: "I can see a$$holes..." Oops. I mean, "I can see dead people." Living in US helped me prove my theory: people are people. There are nice people, there are kind people, there are assholes and narrow minded people that would go hell-bent on trying to make you live the life that they think is correct. And knowing that they're a$$holes still doesn't help. It still hurts when you are subjected to such a$$holery, or to see someone subjected to it. Ideal world would be a place where people actually care on what other feels, regardless of their race/religion/whatever worldly attribute they choose to identify with themselves. For instance, I do not think I should adhere to "How To Properly Eat Sushi Without Insulting The Japanese" which includes the proportion on Wasabi vs soy sauce that I can use in my sushi and the angle on dipping the said sushi plus how long I should dip it for. At least not when I only ate $3 supermarket sushi that I bought on sale. My motto is: live your life the way you wanted to, but leave mine alone.

[To be fair, that motto is kinda f*cked up since I've been trying to make people good about themselves and be more sympathetic and caring to other people A.K.A changing people's life, all to achieve my own goal for peace on earth and the day where I don't have to say "What dafuq is this sh*t??!". Each to it's own I guess.]

Of course, knowing what's happening is not the same as managing your feeling. And so, little turtle, you have all the right to be grumpy, to be sad, to cry, to be mad. People can be evil, and there's no change in that. You would think you know someone, just to have that person turn into beast in front of your eyes, or in your computer/phone screen. You get the gist. When that happens, don't look into them. Look into you. You are kind, you are sweet, you are full of love. You are brave, you are strong, you are precious. You reached out to me and keep me close unconditionally, and that alone shows how special you are. Whenever the world seemed to be against you, read this letter again and have faith in yourself. Look around you and think, think hard, will you change any aspect of yourself just to accommodate what people say? And then look deeper and remember yourself as I see you: my darling little turtle, so brave and so gutsy. I would call you an armadillo, but a turtle seemed cuter. So there. 

We live, we learn. Unfortunately some people doesn't. You can't change a person's heart, nobody can, not even themselves unless they have a strong reason to (and a great self control to boost). But you, you're something else. Everybody is something else, to be exact; but we're not talking about everybody else, we're talking about you. You love, is special. Don't let anyone else talked you out of it. Don't let anyone else convinced you otherwise. Don't let anyone else made you feel shitty. And if they do, kick 'em in the balls. I love you, my little turtle. Now go and kick some balls.

Thursday, June 18, 2015

Konon Katanya.... (A.K.A Iseng Menepis Mitos Tentang Amerika)

Hari ini mari berpikir yang agak ringan saja. Konon katanya, tinggal di Amerika itu enak. Konon katanya ya hohoho. Kalau dipikir-pikir, kita hidup sering sekali mendengar "Konon katanya". Masalah benar atau tidak mah urusan belakangan. Jaman dulu kita sih percaya-percaya saja kalau kita dengar "konon katanya", sebab tidak ada cara untuk memklarifikasi. Tapi jaman sekarang yang bisa konsultasi dengan mbah Google tetap saja cepat percaya "konon katanya", tapi kalau yang ini karena malas saja. Ayo ngaku hehehehe. Berikut "konon katanya" yang sering saya dengar tentang Amerika. Jangan kaget ya kalau tahu aslinya...

Konon Katanya.... Kalau tinggal di Amerika duitnya banyak

Hmmpf, asal tahu saja harga sewa disini sama mencekiknya seperti di Indonesia. Belum lagi wajib punya asuransi kesehatan (yang muahal) dan asuransi berkendara. Lihat saja contoh diatas. FYI, 411 square feet itu kurang lebih cuma sekitar 38 meter persegi atau kurang lebih 6x6 m, seukuran kamar kos-kosan gitu deh atau paling nggak sebesar kamar hotel yang super mungil. Kejualnya $465,000 atau sekitar Rp 6.2 milyar rupiah, walau didaerah yang kurang baik. Atau mungkin justru 'cuma' kejual segitu karena di daerah kurang baik. 

Sama seperti Jakarta (dan daerah manapun) disini harga sewa/beli properti sangat tergantung daerahnya. Di apartemen kami yang sangat tidak elit dan didaerah yang terkenal 'seram', untuk apartemen yang ukurannya sedikit lebih besar dari ukuran apartemen diatas harga sewanya sekitar $775 perbulan. Jalan cuma sekitar 5-10 menitan ke kompleks apartemen lain yang lebih dekat downtown (dan ceritanya agak elit) ukuran sama dibanderol $1700 perbulan. Sakit bo'. Sebagai perbandingan, $1125 cuma cukup untuk sewa apartemen yang tidak terlalu elit (500 square feet/46.5 meter persegi) di kawasan Orange County yang terkenal muahal, dan $1500 sudah bisa menyewa rumah luas dengan 4 kamar tidur dan 2 garasi dikawasan Arizona. Tapi penghasilan di Arizona jelas lebih kecil dari penghasilan di kota besar macam LA dan daerah Orange County. Sama lah seperti di Indonesia.

Konon Katanya... Kan sanggup tinggal di LA, sanggup dong hura-hura tiap malam. 

Jelas bisa, tapi cuma sanggup ngelakuin itu maksimal 3-4 hari, terus nggak bisa makan/beli bensin sampai akhir bulan. Hidup juga mesti pake budget disini hahaha. Tapi bukan berarti nggak ada jalan keluar ya. Foto diatas diambil dari stasiun dekat apartemen saya. Lihat kan payung warna-warni yang mirip payung tukang es/rujak di Indonesia? Yup, mereka itu juga jualan makanan dipinggir jalan. Lalu kalau weekend/akhir minggu itu sepanjang trotoar isinya penuh orang jualan: jualan makanan/minuman, baju, celana jeans, barang bekas, obat-obatan/parfum, segala macam deh. Persis seperti di Tanah Abang/pasar kaget, bedanya bahasa yang dipakai bahasa Spanyol. Makanya saya senang main disini, berasa pulang ke rumah hihihi. Karena tidak berijin, barang-barang yang dijual harganya murah. Tapi kebersihan tidak dijamin ya, atau kalau beli barang juga sangat mungkin itu barang colongan. Berhubung sudah 'terlatih' di Jakarta, saya sih oke-oke saja beli makan disini. Sebagai perbandingan, $4 disini bisa dapat nasi+kacang+iga babi/ayam bakar+tortilla, yang cukup buat sharing berdua. Sadis nggak tuh.

Kalau mau elit pun ada caranya. Di LA sini banyak tempat yang terlihat elit, tapi masuknya gratisan. Grand Park di LA misalnya, atau seperti saya yang nongkrong di atap Mal bersama suami. Beli makan di foodcourt mall atau supermarket biar murah, lalu duduk saja disitu bercengkerama menikmati lampu kota. Enaknya orang sini tidak reseh. Kalau terlihat 'bersih' biasanya nggak diusir-usir sama satpamnya. Terlihat homeless/gembel pun selama dilihat nggak mengganggu ketentraman orang lain mereka nggak berhak mengusir sembarangan. Nggak kayak di Indonesia yang satpam di mal elit lebih sadis ngejudgenya daripada ibu mertua. Mau berdandan rapi pun nggak harus berduit. Belanja online disini diskon bisa 40%, ongkir gratis, nge-return pun kalau tidak cocok gampang. Pas lagi semi annual sale di H&M kaos cuma $3, rok cuma $7, dress dan blazer cuma $10. Saya juga bisa beli kemeja dan rok kerja di GAP dan Old Navy (anak perusahaan GAP) cuma sekitar $10an. Padahal dulu mah takut banget belanja baju kerja di Indonesia, harganya bikin sakit! Padahal orang-orang ini juga mengimpor barangnya dari Indonesia, nggak masuk akal banget kalau kita nggak bisa bikin yang lebih murah dengan kualitas yang sama. Ayo UKM Indonesia, semangatttt!!!

Konon Katanya... Umat Islam itu ditekan dan dizolimi di Amerika!! 

Kemarin ada yang nanya ke saya, "Mbak, aku kan Islam. Nanti dipersusah nggak cari kerja disana?". Buat saya ini salah kaprahnya orang Indonesia pada umumnya ya. Islam itu nggak cuma yang dari Timur Tengah atau Indonesia/Melayu lho. Disini ada Islam yang dari India dan sekitarnya, yang dari Afrika, macam-macam deh. Teman suami saya yang berkulit hitam ternyata seorang Muslimah dan sibuk nanya-nanya ke saya soal tren jilbab modern di Indonesia yang dirasanya menarik (ayo UKM Indonesia bergerakkk!!). Saya sampai kaget, karena dia tinggal di Detroit yang terkenal kotanya kaum kulit hitam. Dan karena dilarang nanya-nanya soal agama dan kepercayaan disini saat mencari pegawai, nggak ada yang tahu agama anda apa kecuali anda mengenakan atribut agama. Sama teman juga nggak sopan lho nanya agama dan kepercayaannya apa. Agama anda urusan anda, titik. Tapi biar begitu kalau anda merasa didiskriminasi anda tetap bisa menuntut lho, dan bisa menang. Teman saya yang berjilbab bisa kerja di perusahaan bergengsi dengan gaji yang tinggi walau baru disini setahun. Tidak ada limitnya deh kalau anda mengerti aturan mainnya.

Yang suka mereka sensi-in disini dan sampai bentrok masuk berita itu biasanya terhadap umat Islam keturunan Timur Tengah. Maklum, disamakan dengan grupnya ISIS dkk. Walau begitu, saya melihatnya lebih ke arah konflik pendatang dan bukan karena benci terhadap Islam (atau istilah trendingnya di Indonesia: Kristenisasi). Situasinya hampir sama dengan orang Indonesia yang kayaknya sebal dan anti sekali dengan keturunan Cina. Konon Cina itu rakus lah, eksklusif nggak jelas lah, main kasar lah. Ya begitu juga pandangan orang sini ke umat Muslim [keturunan Timur Tengah]. Sialnya mereka dodol dan pernah ada kejadian penyerangan di kuil Sikh karena disangka itu masjid. Jreng jreng. Jangan salah lho, biasanya yang sampai masuk berita dan bentrok berkepanjangan itu adalah Muslim yang lama tinggal/lahir di Amrik karena mereka terbawa sifat "gue Gue GUE!!"-nya orang Amerika yang selalu ribut menuntut hak mereka. Karena ini bukan Indonesia, jelas akan ada keterbatasan-keterbatasan, misalnya saja tidak ada waktu Sholat. Ini lagi-lagi bukan karena anti-Islam ya, tapi demi produktivitas. Suami saya makan siang saja diatur kok: harus 1 jam, tidak dibayar dan tidak didepan komputer. Kalau diberikan waktu tambahan sekian menit untuk sholat pegawai yang lain bisa sirik dan merasa tidak adil dong. Patokannya seperti umat Hindu Bali yang bisa mendapat libur 3 hari saat hari raya Galungan di Bali, tapi kalau kerja di luar Bali ya gigit jari.

Konon Katanya... Biar gimana, namanya hidup di luar negeri pasti lebih enak dan lebih terjamin dari hidup di Indonesia. 

Ini salah satu "Konon Katanya" yang paling saya sukai, dan tiap kali ada yang main ke LA pasti kami ajak ke Skidrow. Ekspresi mereka saat melihat kenyataan yang sebenarnya itu priceless banget deh. Kayaknya saya kejam banget ya, tapi gimana lagi, ini contoh nyata bahwa negara maju pun tetap punya daerah gembel nan kumuh. Saya selalu gerah tiap kali mendengar/ membaca komentar yang bilang, "Nggak kayak di Indonesia, mereka semua kan terpelajar dan tahu untuk tidak membuang sampah sembarangan!" Nggak juga kali, yang terpelajar pun disini masih hobi coba-coba melanggar aturan demi kepentingan mereka sendiri. 

Kalau di Indonesia pakainya gerobak untuk bawa barang mereka kemana-mana, disini mereka pakai kereta dorong supermarket. Kalau di Indonesia mereka memulung, disini juga tapi cuma buat tambahan saja, karena mereka biasanya dapat bantuan makanan dari yayasan kemanusiaan (baca: keagamaan). Mereka mengemis juga, tapi nggak pakai anak kecil seperti di Indonesia karena hukum perlindungan anak disini sangat ketat. Mengemis juga cuma nanya, "Do you have a change?" atau terjemahannya "Punya uang kecil nggak?". Biasanya kalau kita bilang nggak pun mereka cuma akan bilang, "Ok. God Bless You." Yang ngamen pun ada kok, bahkan ada satu jalan di Santa Monica isinya tukang ngamen semua. Seru deh, soalnya yang kebanyakan yang ngamen disini benar-benar usaha, jadi memang terhibur melihatnya. Seperti biasa, banyak juga dari mereka yang memang kasar dan angka kriminalitas disini pun tinggi jadi memang harus selalu waspada. Sama toh dengan di Indonesia?

Konon Katanya... Orang sana kan pintar-pintar nggak kayak di Indonesia yang kampung dan katro! 

Ini juga salah persepsi ya. Orang mah dimana-mana sama. Ada kok yang kampungan dan katro disini, banyak juga yang bikin gemas saking dodolnya. Tapi satu hal yang pasti, disini fasilitasnya memang jauh lebih menunjang. Perpustakaan ada dimana-mana, dan tiap perpustakaan memang diarahkan untuk berusaha mengakomodir orang-orang disekitarnya semaksimal mungkin. Sampai saat ini saya belum pernah ketemu perpustakaan yang fasilitasnya amat-sangat tidak memadai. Perpustakaan disini pakai AC, wifi gratis, ada acara baca buku bersama untuk yang kecil atau buat prakarya dan latihan bahasa untuk remaja, sampai bantuan latihan komputer/mencari kerja pun ada. Pokoknya memberdayakan warga sekitarnya sebisa mungkin deh.

Tapi masalah ada bendanya dan dipakai atau nggak kan beda cerita huhuhu. Walau perpustakaan banyak dan lengkap isinya, tidak semua orang lantas berbondong-bondong ke perpustakaan. Sama seperti di Indonesia, banyak yang lebih senang cukup nonton Reality show (baca: sinetron) dan fesbuk/medsosan. Apalagi disini (menurut saya) tuntutan terhadap anak yang harus juara dan sebagainya tidak seberat di Indonesia. Jadilah mereka tetap suka-suka saja. Sebaliknya, saya yang tinggal disini jadi kalap. Bagaimana tidak, semua buku diatas plus 2 buku lagi saya dapat cuma $5. 14 buku cuma $5 lho, dan ini termasuk edisi hardcover dua ensiklopedi dan 3 buku cerita. Sementara di Indonesia satu komik bisa sampai $2an, dan jangan tanya harga novel. Disini novel bekas yang dibeli di perpustakaan cuma 50 sen/Rp 6 ribuan, di Bali yang novel Inggris tinggal mungut sisa turis aja harganya minimal Rp 35ribu. Kalau ada yang sangat saya siriki dan sangat saya inginkan terwujud di Indonesia ya kemudahan mendapat buku ini, karena orang yang membaca adalah orang yang berpikir.

Konon Katanya..... Makanannya keju semua, bikin gemuk dan nggak sehat plus nggak halal!! 

Kalau yang ini ada benarnya juga sih sebenarnya hahaha. Tapi untungnya karena saya tinggal di Los Angeles yang banyak imigrannya, nyari makan nggak segitu susahnya. Apalagi karena makanan Amerika Latin itu hampir sama dengan makanan Indonesia. Benar lho, nggak bohong. Itu yang pojok kiri atas menu makanan Guatemala: Ayam goreng (mirip ayam goreng kunyit/kuning di Indonesia), tumis sawi pedas (tapi karena disini nggak ada sawi maka pakenya Kale), semur/gule iga, dan tortilla. Sadisss... Di kanan atas itu buah potong ala Meksiko, disini nggak pake cabe garam tapi, cuma disiram air jeruk nipis dan bubuk cabe yang super pedas. Nyammm... Pojok kanan bawah itu menu lengkap dari Colombia: nasi, telur ceplok, pisang goreng, sosis (sejenis Urutan Bali) sayur kacang, kerupuk kulit babi (dekatnya sayur kacang), alpukat, keripik singkong (dekatnya alpukat), dan daging bakar. Ini kita makan berdua kok hohoho. Dan jelas, yang pinggir kiri bawah itu Starbucks yang tetap nggak kebeli biar di Amerika juga huahahaha. Itu belinya pas diskon Frappucino 50% dan pake gift card hadiah natal dari perusahaan suami saya pula. Kalau nggak mah nggak rela ngeluarin $5 lebih cuma buat minuman....

Untuk sehari-harinya, masak sendiri sebenarnya lebih mudah, apalagi kalau memang harus yang halal. Kalau kebetulan tinggal di kota besar/banyak imigran timur tengahnya, mencari toko yang menjual daging halal pun masih memungkinkan. Paling sial tinggal cari produk Kosher di supermarket. Produk Kosher ini sebenarnya untuk para Yahudi (jreng-jreng-jreng!!!), tapi definisi Kosher ini menurut saya sama seperti Halalnya Islam: Tidak mengandung Babi dan hewan potong harus disembelih lehernya hingga darahnya keluar. Mungkin bisa jadi kajian/pertanyaan saat diskusi setelah berbuka puasa? Tapi menu lain yang seperti tuna kalengan dan bahkan sarden seperti sarden ABC juga banyak disini. Kalau masih tidak yakin juga, yang paling aman adalah cari menu vegetarian bila harus beli makan diluar/diundang makan malam. Vegetarian disini terkenal sadis hahaha, jadi peralatan yang dipakai pun khusus untuk menyiapkan menu vegetarian ini/tidak boleh bercampur daging. Pasti halal kan kalau begitu?

Dan yang terakhir...

Hollywoodnya mana?? Mana?? Saya kan mau lihat bintang pelem!!!


Ini Hollywood. Udah lho, emang cuma seginian aja hahaha. TCL (ex Grauman's) Chinese Theatre itu tempat mereka menyelenggarakan Academy Award. Tapi jangan berharap banyak ya, pas acara Academy Award stasiun kereta persis didepan sini (plus jalannya) ditutup, jadi nggak bisa main selonong untuk melihat bintang film. Seperti yang anda lihat, hari biasa itu isinya turis semua kanan kiri hohoho. Bintang film aslinya mah nggak nongkrong disini, mereka biasanya tinggal di daerah eksklusif yang penjagaannya ketat. Studio film juga nggak disini tempatnya. Kalau orang bilang mau main ke Hollywood, ya ini dia tempat mainnya di sepanjang Hollywood Boulevard. Ada walk of famenya dengan nama bintang film/artis terkenal, ada Wax Museum dan musium lainnya, dan percaya atau nggak, ini tempat paling afdol untuk belanja oleh-oleh untuk orang rumah karena harganya terjangkau. Jangan lupa beli patung Oscar imitasi untuk si nyinyir teman kantor, cari yang tulisannya Drama Queen. Pasti berkesan deh.

Semoga tulisan ini bisa mencerahkan hari anda :) . Kalau ada lagi yang ingin anda ketahui/tanyakan kebenarannya silakan komen lho ya. Salam dari Los Angeles!!

Search This Blog