AdSense Page Ads

Tuesday, March 26, 2019

The Bad Woman



I am that kid in school that jokes around and said I haven't study for the test, and still aced it. The one that you secretly loath because I am 'so lucky', but I am actually just better at studying without showing it off. 

My joke about being broke? Not really. I am series 6 (securities) licensed. There aren't that many of us in the US. Combined with the fact that I manage to walk out of my marriage and survive on my own in the US after working for barely a year, and yes, I am quite capable of handling my finance.

Me posting about splurges and 'regrettable purchases'? Not really. Each is calculated carefully and in no way I ended up on things that I will absolutely regret, or ending up having to stuck paying for it bitterly for years to come. 

Even in morality, when I know for certain I look questionable with all my sexual openness, I held it pretty high. There is a reason why I am still on good term with my exes, and despite whatever I posted, there really are only a handful of them.

Why am I damaging myself with such a portrayal? I could portray myself as the perfect Stepford wife, an elegant demure lady who people can run to or at least be proud to be friend with. No. I am portraying myself as the mistress from hell who are lewd and crass and dangerous. Why?
 
Maybe because it's fun. Maybe because meek people got trampled instead. Maybe because I will leave a stronger impression when being dominant. Maybe because I want to ensure those who stick with me accept me and love me for who I am, and not for what I could be for them.

A part of me thinks I really should change. Maybe I'll get more clients, more friends if I am more approachable. A part of me resist those urges. I like who I am, and it's honestly too rewarding to see the sheer shock on someone's face when they realize I am better than what I choose to show to the world.

Come sit with me and talk about your woes, your finances, your hopes and dreams. Tell me things that you won't, or can't, tell anyone else. I won't judge because I know how it feels to be judged. I am here to empower and nurture, not to bash and attack.

Because life is lonely, and façade are not easy to keep. Because it gets tiring to hide who we are in order to be socially accepted in society. So come and sit with me for a bit. Let your own self shine and love that version of you. I am not as bad as I like to portray myself, and who knows, maybe you are too.

Monday, March 25, 2019

Saat Iman Bertemu



"Assalamualaikum," kata bapak tua itu sambil tersenyum. Saya pun terpana.

Sudah seminggu terakhir ini saya pakai pashmina saat keluar rumah. Suhu di Los Angeles sedang galau soalnya. Terlalu panas untuk pakai jaket winter, terlalu dingin untuk pakai jaket biasa. Jadilah pashmina sang penengah. 

Kalau mau jujur sama diri sendiri, saya memang cari masalah sih. Pashmina dipakai ala kerudung kan memang karena untuk menutupi telinga dan leher agar tidak dingin. Ya kalau disangka Muslim bonus lah. Begitulah alasan ngeles saya.

Karena saya marah akan penembakan di New Zealand, dan saya ingin orang-orang yang diam-diam ekstrimis di kota Los Angeles melihat bahwa seorang wanita tidak takut akan teror dan kebencian mereka.

Karena saya sedih akan ketakutan dan kecurigaan yang dimiliki orang-orang yang hanya tahu Islam dari media yang bombastis, dan saya ingin mereka melihat ada keramahan dan ketulusan dalam Islam, sebuah sisi teduh yang tak terdengar.

Karena saya emosi dengan orang-orang di Indonesia yang memuji Will Connolly tanpa tergerak melakukan hal yang sama untuk kaum minoritas di Indonesia, dan saya ingin mengingatkan bahwa nggak perlu se SARA untuk membela yang tertindas.

Seminggu berlalu tanpa insiden, walau saya sudah sangat siap beradu argumen bila ada yang menyerang saya karena disangka Muslim. Lalu bapak itu berpapasan dengan saya, dan sambil tersenyum berkata, "Assalamualaikum."

Rasanya seperti masuk ke pancuran mata air alami: bersih, tenang, damai. Iman bapak ini menyapa iman saya dan segala hal lain yang saya rasakan seolah tak berarti lagi, melebur dalam persatuan jiwa kita dengan satu salam tersebut.

Kalau ditanya agama buat apa, mungkin ini jawabannya. Bukan untuk menentukan identitas kita  keluar, namun menemukan Tuhan di dalam. Menemukan damai dan cinta kasih. Menemukan siapa kita tanpa pengaruh luar.

Setelah salam bapak itu, rasanya apapun yang terjadi karena efek kerudung pashmina itu saya nggak perduli lagi. Terserahlah orang mau bagaimana. Kita kan nggak bisa merubah orang lain.  Kerinduan akan kedamaian ini lebih bermakna.

Saat bapak itu menyapa, saya hanya bisa terpana sebelum akhirnya melempar senyum termanis saya. Walaikumsalam, bapak. Mungkin bapak nggak tahu kita beda agama, tapi terima kasih iman bapak sudah menyapa iman saya. Sehat dan damai terus ya pak.

Friday, March 22, 2019

Kelakuan



Datang ke acara KJRI saya duduk di belakang satu grup anak muda yang terlihat lumayan gahool. Saya sengaja ngumpet di belakang yang rusuh biar ga kefoto pas lagi makan. Sayangnya nggak lama mereka pergi, meninggalkan botol air mineral berserakan di lantai.

Dan saya pikir saya udik karena melacurkan diri ke KJRI demi baceman gratis.

Jangan suudzon, batin saya. Walau posisi botol-botol berserakan itu persis mengikuti kursi mereka, siapa tahu itu punya yang duduk sebelumnya. Namun tak lama kemudian mereka kembali...dan minum dari botol-botol itu. Duh kelakuan.

Nggak tahu harus marah bagaimana. Masalahnya botol-botol itu super mungil dan nggak kelihatan. Ibu-ibu cantik berkebaya bisa tersandung. Anak-anak manis dengan es teler bisa tergelincir. Bapak-bapak macho nan gagah bisa terserimpet.

Ini bukan sekedar kegagalan kita bersikap tertib. Ini adalah bukti kegagalan kita untuk mengerti bahwa tindakan kita ada konsekuensinya, bukti kegagalan kita untuk memikirkan orang lain di sekitar kita.

Padahal tinggal dipungut saja kok. Ukuran per botol hanya segenggaman tangan. Bukan punya kita pun bisa dipungut. Punya kita apalagi. Kalau ternyata masih mau diminum tinggal taruh di kursi atau bawa di jaket agar tidak membahayakan orang lain.

Sementara linimasa/timeline Facebook saya penuh puja-puji terhadap Will Connolly. "Di didik bagaimana ya oleh orangtua dan lingkungannya sehingga ia yang berkulit putih dan non-Islam mau membela umat Islam?" 

Yang jelas nggak dididik untuk bersikap semau gue karena toh bakal ada jongos yang ngeberesin and I am too good for my sampah and derita loe kalo loe kenapa-kenapa karena sampah gue. Boro-boro jadi pahlawan dunia kalau ngurus sampah sendiri aja nggak becus.

Fckbois and Pizza



I hate fckbois. I really do. They are the squatters that took over your property, and you let them stay long enough they somewhat become a tenant that, based on US law, you can't kick out just like that. In lieu of proper rent (i.e. whatever you were supposed to get from a relationship) you get nothing. Just sex, and that's about it.

Wait. That's me. That's what I've been doing. Huh. I guess I hate myself then. 

My next custom made shirt should say: "Will travel for dick". Because it's kinda true. Despite the fact that I do not own a car nor do I drive, it's not a big deal for me to go a long way in search for good food and/or good times. Swing dancing/board gaming included, dicks not excluded.

Despite the empowerment I felt, despite my grin whenever I was told I am a total dude when it comes to sex, eventually it wears off. I love intimacy, with or without the little guy popping off from the pants (not so little, though. I have standard). Yet it's like eating frozen pizza, you just got sick with it.

Maybe it's because I don't want only the pizza. Anyone can make an edible thin bread with gooey cheese and tomato sauce. I want the experience. I want the quaint café with the romantic ambiance. I want the cute server who pull up a chair for me to sit in and take care of me throughout the night. I want the dastardly pizza on an antique pizza stone, made with fresh and best ingredients, and taste like heaven.

I can get more than frozen pizza. I just need to learn to compromise. Chain store pizza vs the hole-in-the-wall one. Really good pizza but only to-go and the server sucks. Instagrammable and blog-worthy restaurant but you rather eat a toasted two-weeks old bread than finishing the pizza.

I also have to pay the price. As someone who is naturally submissive and painfully loyal (I still talk and is still in good term with all of my exes), commitment is not something that I can take lightly if I want to stay sane. Thus, how much can I afford to pay for the kind of pizza experience I want?

I don't want to spend my emotion in a pizza place that will only be open for a short time. I don't want to spend it in a pizza place that doesn't care if I am there or not, as well. I want it to be memorable. I want it to be beautiful. I don't want to be taken for granted. I want a pizza place who will invest in me as their valued customer just as I will invest in them for the experience they give me.
 
I can, and I should, just compromise and get whatever solid pizza offered to me. It'll be better and healthier than frozen pizza. However, at least I know the cost and risk associated with frozen pizza. I don't know for sure what's in store with this new pizza place and if I can afford the (mental) bill in the end. So yeah. Amazon? One delivery of frozen pizza for the weekend, please.

Monday, March 4, 2019

Esek Esek



"Ya gitu deh," kata teman saya, "Banyak yang japri bilang kamu pasti cewek nggak benar karena gayamu begitu." Saya melihat celana saya yang super pendek dan ngakak sejadi-jadinya.

Untuk ukuran negara yang konon religius dan kuat moralnya, penduduk Indonesia terlihat sibuk mengurusi selangkangan orang. Mulai dari Luna Maya sampai kasus sabu politik, ujung-ujungnya ya selangkangan.

Yang lebih parah, seks dianggap sesuatu yang tabu tapi sekaligus bumbu sedap dan bahan utama pergunjingan. Grup WA bapak-bapak isinya dada dan paha, grup WA ibu-ibu isinya siapa berhubungan badan dengan siapa.

Padahal kalau dipikir, harusnya sebaliknya. Seks harusnya nggak tabu dan bisa dibicarakan secara sehat. Toh memang ini alami bukan? Bikin anak ya dengan berhubungan badan.

Dan alih-alih dianggap kotor dan nista, kita harusnya melihat seks sebagai sesuatu yang personal. Kita harusnya nggak perlu ngomongin kebiasaan orang lain kecuali itu ekstrim dan mengganggu hidup kita. Urusan ranjang orang apa urusannya sama kita?

Kita dianggap nakal bila kita vokal akan seksualitas kita. Ngerti sih. Seks itu bila dilakukan dengan benar dan dengan orang yang tepat memang serasa surgawi, tapi kalau nggak maka bisa serasa tersiksa dan terhantam emosionalnya. Jadi jangan promosi sembarangan.

Tapi di sisi lain, keterbukaan seksual itu penting. Ada banyak rumah tangga yang bisa lebih harmonis dan bahagia bila pasangan mampu mengkomunikasikan kebutuhan seksualnya tanpa merasa hina dan kotor.

Kalau dilihat per gender, keterbukaan seksual sebenarnya melindungi wanita. Saat pembicaraan tentang seks menjadi normal, wanita tidak lagi dilihat hanya sebagai obyek penderita atau sekedar penghangat ranjang lelaki.

Wanita pun menjadi tahu hak mereka saat berhubungan intim, dan apa yang bisa mereka dapatkan. Kesetaraan hak di tempat tidur akan memberikan wanita hasrat dan kekuatan untuk meraih kesetaraan hak dan kebahagiaan di area lain, yang ajan ditularkan ke anak-anak mereka.

Untuk para lelaki, ya lelaki ga bisa lagi sok hebat cari mangsa kanan kiri. Kalau tahu ukuran dan kinerjanya akan menjadi topik bahasan, saya yakin para buaya pikir-pikir. Dan jelas wajib memuaskan si wanita bila ingin tetap dapat jatah. Enak kan?

Idealis? Mungkin. Terlalu liberal dan kebarat-baratan? Nggak juga. Kita semua ingin Indonesia yang maju dan gemilang, tapi kita tidak mau mengurusi pondasinya: kesetaraan hak pria dan wanita. 

Karena ibu yang bahagia dan kuat akan membesarkan anak-anak yang bahagia dan kuat juga. Yang mana akan menjadi pilar Indonesia yang bahagia dan kuat. Semua bermulai dari wanita, bukan? 

Saya ingin bisa membuka tabir ini. Saya ingin wanita bisa menjadi ratu dalam rumah tangganya dan bukan hanya sekedar budak belian atau lubang pemuas. Kalau kamu raja, kamu berlaku agung selayak raja, bukan?

Salam ganas dari Bali.

Search This Blog