AdSense Page Ads

Wednesday, July 23, 2014

Si Kotaan yang Bermental Terjajah

"biasa dah kalo di indo, segala bentuk yg gratis langsung berebut, muke gretongan gak tau malu, temen2 gw yg di luar negeri gak begitu sih." - Komentar di artikel kompas.com tentang mudik gratis

Kata siapaaaaaa??? Kata siapa haaaaaaaah????

Tiap kali saya baca hal-hal seperti ini saya jadi emosi tingkat tinggi. Jangan dipelihara dong mental terjajahnya, kita sudah merdeka hampir 70 tahun loh! Yang berarti bahkan (kemungkinan) saat ayah-ibu anda lahir mereka terlahir sebagai orang merdeka dan bukan orang jajahan. Kenapa masih seperti ini sih kelakuannya??

Buat yang berpikir luar negeri itu lebih bagus, yang semua antri tertib dan beradab, sori dori stroberi anda salah. Saya memang baru tinggal di luar negeri setahun kurang, tapi yang saya lihat sejauh ini Amerika tak seindah di film, dan jelas tak seberadab yang anda pikir. Disini saat sale besar-besaran sebelum Natal dan tahun baru orang bisa desak-desakan injak-menginjak demi dapat barang diskonan. Disini banyak orang yang manipulasi dana kesejahteraan dari pemerintah, sengaja ga kerja biar bisa ngeruk itu dana kesejahteraan. Disini banyak orang ke minimart/resto fastfood bilangnya minta air putih yang gratis tapi pas dikasi gelas plastiknya mereka malah isi cola/soda [disini soda dan air putih itu boleh ambil sepuasnya/self serve]. Sama aja toh, sama-sama ga tau malunya. Dan ini bukan cuma di Amerika Serikat saja, coba iseng google berita dari berbagai negara, begini juga hasilnya. Baru-baru ini ada orang Australia mabuk dan mencoba membajak pesawat misalnya. Negara yang mungkin ga begitu-begitu amat mungkin cuma Jepang dan Singapura, itu juga karena tatanan/aturan di negara mereka ketat dan dijalankan dengan semestinya. Tapi kalau soal gratisan, soal ga tau malu, soal serakah dan mau menang sendiri, itu bukan penyakit khas suatu negara wahai sodara-sodara. Itu mah bawaan diri sendiri.

Tapi bukannya kita sadar bahwa ga tau malu itu bawaan diri sendiri, kita malah sibuk menilai orang lebih rendah atau lebih tinggi berdasarkan asal negaranya. Saya ulangi lagi, orang dimana-mana sama saja. Mau hidung mancung hidung pesek, kulit putih kuning coklat hitam, rambut pirang hitam keriting lurus, semua sama saja. Ada yang baik, ada yang egois, ada yang malu-malu, ada yang ga tahu malu, sifat-sifat yang anda lihat di tetangga dan keluarga serta teman anda ada semua di orang-orang negara lain. Gaya hidup boleh berbeda, tapi dasarnya sifat asli manusia ya sama. Itulah kenapa kita menuntut kemerdekaan kita dulu: kenapa kompeni yang sama-sama manusia (biarpun beda kulit) boleh nyuruh-nyuruh dan memeras keringat dan darah kita? Semua orang setara di dunia ini. Kalau kata suami saya (yang sering bepergian): semua orang sama, sama-sama nyebelin. Yah, dia emang anti sosial sih. Tapi serius, ketidaktahu-maluan dan keegoisan itu bukan karena si A atau si B orang Indonesia, tapi karena dia emang nyebelin aja. Ini yang harus kita camkan.

Celakanya walau kita berkoar-koar anti asing tetap saja kita 'manut' dengan pihak [baca: segala yang] asing dan mendewakannya. Coba nyalakan televisi anda dan bilang, berapa banyak artis di TV yang orang Indonesia tulen tanpa setitik pun darah bule? Atau setidaknya yang kakek nenek orang tua kandungnya benar-benar Indonesia asli (karena suku Betawi pun ada percampuran dengan Arab dan sebagainya)? Apa Ryder dan Pearce itu nama keluarga khas Indonesia? Tapi ditengah teriakan-teriakan anti asing yang kita kumandangkan, kita seolah tidak perduli bahwa kecantikan khas Indonesia tidak mendominasi layar kaca kita. Begitu pula dengan Bahasa Inggris, yang disebut-sebut sebagai kekurangan terbesar Jokowi dan disewotin oleh berbagai pihak. Padahal bisa bahasa Inggris itu suatu kemewahan, suatu privilese yang tidak bisa dicapai oleh kebanyakan rakyat Indonesia. Padahal ternyata Obama menyalami Jokowi pakai bahasa Indonesia. Kalau bisa makan ala barat di Indonesia rasanya sudah bergaya sekali, padahal masakan Indonesia jauh lebih enak dan lebih bergizi (dan barang mahal disini bo', rendang bisa seharga $10). Begitu pula dengan segala sesuatu yang ketimur-tengahan yang dibilang lebih suci dan lebih bermartabat dari yang asli Indonesia. Lalu mana Indonesia kita?? Mana??

Kata orang bijak apa yang kita tuduhkan kepada orang lain adalah proyeksi diri kita sendiri. Jadi saat anda - orang Indonesia - menuding sesama orang Indonesia dan bilang "Dasar orang Indonesia kampungan!" sebenarnya anda sendiri lah yang kampungan. Sebenarnya saya juga tidak tahu apa yang salah dengan istilah kampungan sih, orang kampung juga tetap manusia dan ada yang baik tulus egois rakus dan sebagainya. Gaya hidup mereka mungkin berbeda dengan gaya hidup yang kebetulan dibesarkan di kota, tapi isinya tetap sama. Lagi lagi kembali ke fakta itu: bahwa manusia itu sama saja isinya walau bungkus luarnya beda. Suami saya yang bule tidak bilang saya ndeso karena saya tidak becus pakai tisu toilet, dia malah memasang selang spray untuk di toilet agar urusan kebelakang saya lancar; dia tidak protes saya selalu minta sharing sepiring berdua dan/atau minta bungkus makanan sisa waktu kita makan diluar, dia mengerti saya tidak terbiasa membuang makanan; dia tidak meledek bahasa Inggris saya yang belepotan dan malah mengajarkan saya berbicara dengan grammar/tata bahasa yang benar agar saya bisa mendapat pekerjaan yang layak disini. Banyak orang di amrik sini yang menganggap saya terbelakang dan sebagainya karena dari negara dunia ketiga, tapi banyak juga yang kagum dan mengakui orang Indonesia itu tangguh dan serba bisa dan cantik (ehem...).

Bicara soal bangga jadi bangsa Indonesia, tahu tidak konsultan politik Indonesia menang melawan konsultan politik amrik yang sudah menangin presiden Mexico dan presiden Amerika? Terserah anda mau teriak-teriak Jokowi curang, tetap saja faktanya konsultan politik lokal pegangannya Jokowi (Mas Denny JA) yang menang lawan Rob Allyn (ini versi wikipedia). Amerika yang konon jawaranya demokrasi belum pernah punya presiden wanita, kita sudah. Amerika yang konon menjunjung perbedaan tidak banyak pejabat pucuk pemerintahan yang minoritas (baca: keturunan Asia), kita punya Ahok yang memegang ibukota pula. Jokowi 'cuma' lulusan UGM Fakultas Kehutanan, bukan seperti Obama yang memegang gelar Political Science dan kemudian lulus dari Harvard. Perlu 42 presiden sebelum akhirnya Amerika memilih seorang pria kulit hitam sebagai presiden mereka dan tidak berasal dari dinasti politik, yang cuma orang biasa saja; kita cuma perlu 6 presiden. Siapa yang lebih hebat coba? Ayo jawab... 

Jadi sudah ya, sudah cukup mental orang terjajahnya. Jangan lagi minder karena anda orang Indonesia, tapi minderlah dengan diri anda sendiri sebagai pribadi. Kalau masih mau ngotot bilang Indonesia jelek, silakan lho berusaha pindah ke luar negeri, buang kewarganegaraan Indonesia anda dan tinggalkan semur jengkol favorit anda; tapi tolong jangan cuma bercokol di Indonesia sembari ngedumel jelek dan katronya Indonesia dengan orang-orang yang tidak tahu malu dan kampungan. Tahu diri dikit mas dan mbak, tanah ini yang menghidupi anda dan keluarga anda dan leluhur anda dan mungkin anak cucu anda kelak kalau anda tidak bisa pindah keluar negeri, jadi hormatilah tanah dan negeri ini. Hidup Indonesia!


Tuesday, July 15, 2014

The Happily Ever After Theory

It was the little moments that keep us afloat. Not a full-length of blissfulness that one so often compacted into a single phrase: "live happily ever after", but oh-so-many surreal moments. Moments that bring smile to our lips and twinkle to our eyes, moments that made us hold each other's hand a little bit stronger and secretly thankful that we have each other. It is about consciously living our lives and delighting in the smallest thing, it's about realizing who we are and our effort to be better, it's about having fun - lots and lots of fun. 

The first time we drove together in his car.

Sitting close to watch the sunrise at a beach in Bali.

The first time we met, when we did not know what to expect (or even if we will ever meet).

Our first home-made dinner. 

Our Knott's Berry Farm X-cellerator ride.

Summer concert in the park.

Watching Adventure Time before bedtime.

Dining on his home-made gumbo. And Italian Beef Sandwich. And cherry pie.

Feeling his stubble on my cheek, or any skin contact with each other.

Every time we say 'I love you' to one another.

Driving in the rain and see all the raindrops splash to our car windows.

Driving in the rain on our scooter and get soaking wet.

Fall asleep in each other's arm.

Waking up and found ourselves away from each other, proceed to hold each other once again and fall asleep in each other's arm.

Watching 1980's movies.

Listening to 1980's songs.

Telling terrible jokes and puns to each other.

Each kisses we share.

Cuddling on the sofa with each other and debating at what point of the movie I will fall asleep.

Sharing a meal.

Watching funny videos or silly pictures on the internet.

Saying our wedding vow.

Waking up in the morning and knowing we have each other for one more day, and feeling very thankful for it.

And for me, personally, writing about the many ways he love me and how much he means to me. With every word I realize how lucky I am to have him in my life, and this indeed is my happily ever after. 

These are the moments. These are our moments. And with each new day new possibilities are unfolding, new surreal moments that we can share together and endless adventures that await us. It was more than just God's gifts though, it's a way of living (and loving). We could spend our lives thinking none of those moments matter, and lamented the boring and empty life we have; yet we can choose not to, and revel in even the simplest thing in life (summer cherries, rabbit on the yard, a calming rain). Life is but a blink of an eye; cherish it, enjoy it, live it. 


Sunday, July 13, 2014

Menanti Terbuktinya Kecurangan Jokowi

Iya. Anda tidak salah baca. Saya benar-benar menanti terbuktinya kecurangan Jokowi dari penghitungan KPU ini. Tahu kan maksud saya: form-form C1 yang kelihatan angkanya dirubah demi memenangkan satu pihak, suara yang hilang (disini dan disini), jumlah suara Jokowi yang lebih besar dari lawannya tapi hanya ada tanda tangan saksi dari pihak Jokowi, kertas kosongan yang hanya ada tanda tangan saksi dari pihak Jokowi, [indikasi] kecurangan seperti itulah yang saya masih tunggu-tunggu. Dan bukan hanya satu dua ya, tapi buanyak. Setidaknya harus sama jumlahnya dengan [dugaan] kecurangan yang menguntungkan lawannya, dan kalau bisa malah jauh lebih banyak. 9 hari menuju pengumuman KPU, namun pantauan saya di tumblr C1 yang Aneh kebanyakan masih cuma 'kejanggalan' yang menguntungkan pihak Bow-wow, belum ada indikasi 'kejanggalan' yang menguntungkan Jokowi; dan begitupula di sosial media. Tapi 9 hari adalah waktu yang lumayan panjang. Saya masih berharap.

Kenapa saya berharap kecurangan Jokowi terbukti? Simpel saja, saya ingin meyakinkan diri saya bahwa sekian banyak rakyat Indonesia yang menuduh Jokowi brengsek itu ada benarnya; bahwa mereka - yang merupakan saudara-saudari saya sebangsa setanah air - tidak hanya mengucapkan tuduhan itu cuma karena dasar ketidaksukaan dan ketakutan yang tidak rasional, bahwa mereka memang benar-benar memiliki alasan kuat untuk melontarkan seluruh tuduhan tersebut. Pemimpin brengsek toh lebih mudah dihadapi dan 'diakali', kita sudah latihan selama lebih 40 tahun lebih. Kalau punya pemimpin brengsek kita tinggal demo toh, dan menyatakan mosi tidak percaya kalau memang ia membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau memang dia benar-benar bikin susah, PBB juga ga akan tinggal diam. Terlalu banyak yang dipertaruhkan dunia kalau Indonesia sampai guncang. Jadi punya pemimpin brengsek justru aman. Sebaliknya, punya rakyat brengsek yang bakalan susah. Itulah kenapa saya berharap Jokowi ketahuan curang, karena kalau ternyata dia tidak curang (atau pihak lawan jelas-jelas ketahuan lebih curang daripada dia) maka 'musuh' Indonesia bukanlah satu orang kampret yang bisa dikudeta, melainkan banyak saudara-saudari kita sendiri yang bersikeras hidup dalam kebencian. Saya ga minat ada dalam perang saudara. Bukan untuk ini dulu para pahlawan kita mengorbankan jiwa dan raga mereka.

Saya dulu ikut klub ilmiah di SMA, diajari mencari data dan berdebat. Dua hal yang saya ingat dari klub itu adalah: Tidak boleh memanipulasi data atau hanya mengambil data yang cocok dengan apa yang kita hipotesakan; Bila memang ternyata kesimpulan kita salah, jangan berdebat memaksakan kesimpulan kita yang salah itu namun akuilah. Istilahnya main yang anggun gitu. Ini pegangan hidup saya selama ini, dan buat saya siapapun yang berpendidikan harusnya mengerti hal ini; namun pilpres ini membuka mata saya bahwa berpendidikan tidak berarti mampu secara adil menganalisa data dan mengakui kesalahan, berpendidikan tidak sama dengan berpikiran terbuka.

Contoh paling nyata adalah artikel terbaru yang beredar tentang bagaimana SMRC 'mengakali' quick count mereka. Seperti anda baca, orang-orang di Kaskus langsung menunjukkan mosi tidak percaya pada orang ini karena berasal dari pkspiyungan yang terkenal tidak netral (ya, saya mencoba sopan), namun pendukung artikel ini berkeras bahwa datanya valid walau sumbernya tidak netral. Buat saya logis saja, kalau memang valid kenapa tidak semua dikupas? Kenapa tidak seluruh penyelenggara QC yang diselidiki dengan adil dan berimbang? Kalau memang salah ya salah dan bukan dicari-cari kesalahannya. Sayangnya banyak orang Indonesia tidak mengerti hal ini dan menelan mentah-mentah apa yang ada di media, bukannya teliti dan membandingkan apakah isi berita itu benar adanya dan apakah pihak penyebar berita bersih dari 'dosa'. Jokowi boneka karena didukung PDI-P, tapi Prabowo didukung lebih banyak lagi pihak. Jokowi ke-Islamannya diragukan, tapi Prabowo punya lebih banyak sanak-saudara non-muslim dibandingkan Jokowi. Jokowi haus kekuasaan dan meninggalkan mandat, padahal HaRa juga meninggalkan mandatnya selaku menteri untuk jadi cawapres. Pertanyaan-pertanyaan ini tidak pernah terjawab secara elegan oleh pembenci Jokowi, dan biasanya mereka mengulang cerita terus dan terus seperti beo: Jokowi itu akan merusak ke-Islaman Indonesia, Jokowi itu boneka, Jokowi itu koruptor, Jokowi itu PKI, Jokowi itu Cina, dan seterusnya tanpa bisa memberikan fakta konkrit asal mula tuduhan itu dan apakah memang kadar kesalahan Jokowi sedemikian beratnya sehingga hanya dia yang dicecar. Maksud saya, apa iya gubernur Jakarta yang lain tidak korup dan bersih suci? Tapi yang namanya ketidaksukaan ternyata lebih kuat daripada akal sehat, dan bukannya melihat secara objektif yang dilihat cuma jeleknya Jokowi yang belum tentu benar.

Ingat dulu MUI mencoba menghentikan acara infotainment karena dianggap gosip dan tidak mendidik/ berbahaya? Pilpres 2014 ini adalah ajang gosip dan rumor dan 'katanya' tingkat tinggi, dan tidak ada yang menghentikan. Dan yang berusaha menghentikan/membantah rumor tentang Jokowi dicap fanatik. Sebaliknya, tidak ada yang bisa menjawab kenapa HaRa yang anaknya bebas setelah (tak sengaja) membuat seseorang meninggal dianggap pantas menjadi wakil presiden. Inilah ketelanjangan masyarakat Indonesia yang terungkap saat pilpres ini: mana yang penuh harap, mana yang penuh benci, mana yang mau berpikiran luas, mana yang masih berpikiran sempit, mana yang munafik dan mana yang jujur. Inilah kenapa saya berharap Jokowi terbukti curang atau kalah secara fair dalam pemilu (tapi bukan 'dikalahkan'), karena setidaknya mereka tidak bisa lagi menghambat saya dan warga negara Indonesia yang berusaha memajukan Indonesia. Jagoan mereka sudah menang toh, apa lagi yang diinginkan? Tapi ini cuma harapan kosong belaka. Orang yang mau begitu saja percaya dengan fitnah selama itu 'cocok' dengan dirinya, orang yang hanya mau mendengar apa yang ingin ia dengar, orang-orang ini hanya akan menjadi boneka dan berkoar lantang sebagaimana apa yang dimaklumatkan sang dalang. Kalaupun Jokowi ketahuan curang dan/atau kalah secara sebetul-betulnya, akan ada isu-isu lain yang selalu bisa dihembuskan untuk pengalihan perhatian bilamana masyarakat sudah terlalu kritis, dan orang-orang ini lagi-lagi akan memakan fitnah ini dan berbuat sebagaimana diharapkan sang dalang. Tidak akan ada yang berubah. Dan ini, ini adalah musuh Indonesia yang sebenar-benarnya. 

Jangan anggap Indonesia unik dalam hal ini. Orang picik itu tak terpengaruh pendidikan dan negara, dimanapun selalu ada orang picik dan negatif, yang mementingkan diri sendiri. Saya bisa bilang demikian karena semua tuduhan terhadap Jokowi intinya 'dia bukan kita' dan/atau 'dia tidak sepaham'. Buat saya, bagus dia tidak sepaham. Selaku kaum minoritas bila Jokowi mendekatkan atau mengafiliasikan diri dengan kaum mayoritas (apalagi yang berbahaya seperti FPI) maka saya dan golongan saya harus siap-siap 'ditekan' lagi. Ya, Indonesia bukan cuma terdiri dari satu agama, atau lebih tepatnya satu aliran agama. Islam banyak alirannya, dan selama mereka tunduk kepada satu Tuhan (sebagaimana tercantum di Pancasila) tiap aliran ini dan berbagai agama non-Islam lainnya berhak ada dan beribadah di Indonesia. Begitu pula dengan tuduhan bahwa ia Cina, yang buat saya bukan tuduhan sama sekali. Bangsa Cina sudah berdagang dan berasimilasi dengan orang Indonesia semenjak ratusan tahun yang lalu, dan mereka sudah menjadi bagian dari Indonesia sebagaimana Arab dan Portugis. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama, dan etnis; dan kemerdekaan kita pun didapat dengan perjuangan dan tumpah darah semua orang ini, bukan hanya dari satu golongan (agama) saja. Sah dan wajar saja bila saya sewot saat mendengar anda mewek/ngambek karena si capres ini 'bukan golongan' anda, atau akan tidak berpihak pada anda. Presiden seharusnya tidak berpihak pada satu golongan, karena dia pemimpin negara yang tanggung jawabnya ke seluruh rakyat Indonesia dan bukan golongan anda saja.

Artikel ini tentunya akan tidak mengena di pembenci Jokowi, yang hanya akan me-skim/membaca cepat dan mencari keyword sebelum menjatuhkan sanksi: Artikel tidak bermutu, isinya cuma sampah dan puja-puji terhadap Jokowi. Walaupun saya tidak ada memuji Jokowi. Walaupun isu yang saya pertanyakan itu sah dan bukan buatan. Tapi artikel ini memang bukan untuk mereka. Artikel ini adalah untuk anda yang masih berpikiran terbuka, anda yang berani berpikir bahwa Indonesia bisa lebih baik. Artikel ini berusaha mengingatkan anda akan bahaya laten kebencian dan keegoisan (yang buat saya lebih berbahaya dari bahaya laten komunis) yang berpotensi menghancurkan Indonesia: karena Indonesia hanya bisa maju dan menjadi lebih baik bila kita bisa bersatu, bila kita mampu melihat sesama warga negara Indonesia sebagai 'saudara' dan bukannya musuh/ancaman, bila kita mau berpikir jernih sebelum berpihak agar tidak disetir oleh dalang-dalang yang haus kekuasaan, bila kita tidak sibuk menghujat dan menghakimi orang lain hanya karena tidak sepaham atau segolongan dengan kita. 

Indonesia itu besar, besar sekali. Sudah saatnya kita maju dan menjadi lebih baik. Sudah saatnya kita menjadi dewasa dan mampu mencerna informasi secara jernih dan adil, dan dengan demikian mampu membagikan informasi yang benar dan berdasar kepada saudara-saudara kita, lagi-lagi demi Indonesia yang lebih baik. Sudah saatnya kita berhenti berpikir sebagai "saya" dan "kamu", dan mulai berpikir sebagai "kita". Siapapun presidennya, harapan itu sudah muncul. Keinginan untuk maju itu sudah terbit. Jangan biarkan semangat perubahan ini padam begitu saja.

Hidup Indonesia!

Thursday, July 10, 2014

Kucing Kampung Dan Momen Indonesia

"Kucing kampung dibawa ke Mekah. Pulang tetep jadi kucing kampung. Kucing Persia dimanapun berada, tetaplah kucing Persia. ADP,"

Ada pengalaman mengesankan saat saya dan suami berkunjung ke Sulawesi. Di salah satu restoran dipinggir jalan (tempat kami menikmati sop saudara yang enaaaak sekali) ada seekor kucing cantik. Kucing kampung sih, tapi terlihat terpelihara dan begitu manis. Dengan pedenya suami saya si pencinta kucing memanggil kucing itu dan berusaha mengelusnya, namun kucing itu justru 'mengaum' dengan ganas dan memperlihatkan taring. Oopsie...

Suami saya sering mencandai saya, dia sering bilang kalau kucing di Indonesia sangat tidak terawat dan liar seperti manusianya. Itu hanya candaan lho, karena dia lebih cinta Indonesia daripada negaranya sendiri. Dan setelah beberapa minggu tinggal di Indonesia dan mengamati kucing-kucing (plus anjing-anjing) yang berkeliaran dengan bebas disana si akang pun berkata: Kucing kita di Orange County ga akan bertahan 2 hari disuruh hidup liar disini. Saya pun menjawab dengan bercanda: orangnya juga nggak. Iya, kadang saya tega.

Si reseh di Amerika

Tapi serius, kucing kami di Amerika sangat high maintenance menurut saya yang orang Indonesia. Harus makan makanan kalengan/pabrikan, tapi kalau dia ngga suka sama sekali ngga mau makan. Ga cukup cerdas untuk cari makan sendiri, ga bisa cari tempat berlindung sendiri (kalau hujan), terus kalau sakit mesti dibawa ke dokter hewan alias ga bisa ngobatin diri sendiri. Saat ada tupai menggerogoti tanaman pot di teras kami, ia malah ngumpet dan bukannya mengusir tupai tersebut. Padahal ini kucing hitungannya kucing kampung disana/bukan kucing ras, dan ini juga nemu. Dia main selonong boy ke apartemen kami dan tidak mau diusir, walhasil terpaksa kami kasi tinggal di apartemen kami. Bagaimana kucing ras coba?

Sementara kucing adik saya di Indonesia, yang dipungut saat masih bayi dan korengan serta belekan dan penuh kenistaan lainnya (kucingnya, bukan adik saya), tumbuh menjadi kucing kampung yang cantik dan luar biasa cerdas. Kerjaannya cuma berjemur, jalan-jalan sesuka hati, pulang cuma untuk makan dan tidur malam. Bisa tidur dimana saja, dan protes keras saat diberi makanan kaleng/pabrikan. Saat adik saya tidak sempat kepasar untuk membelikan ikan cuek makanannya, dia lebih memilih mencuri makanan anjing peliharaan adik saya (yang juga cuma dikasi nasi sisa) daripada makan 'menu barat'nya. Saya tidak ragu kalau dia sampai terdampar di Amerika, dia pasti bisa hidup walau tanpa ada yang mengurus. Sebagaimana orang Indonesia yang gigih dan bisa hidup di mana saja, begitupula kucing (dan anjing) kampung kita.

Intinya bukan kucing ras lebih jelek dari kucing kampung, karena buat masing-masing orang preferensi berbeda toh? Ada yang suka pacar cantik/ganteng walaupun high maintenance, ada juga yang suka pacar sederhana dan bisa diajak susah. Intinya adalah jangan melihat kucing dari ras/bulunya saja...

Nanti dulu, jangan dulu berpikir saya menulis ini karena ingin membela si kerempeng dekil yang secara tak langsung disindir di tweet tersebut. Saya mah ga perduli dia dibilang kucing kampung, bagus malah menurut saya karena itu menunjukkan bahwa ia akan tetap menjadi dirinya sendiri dimanapun. Kalau kucing kampung dibawa ke luar negeri mendadak menjadi kucing persia, bukannya itu lebih bahaya karena bisa ga ingat asal aslinya? Perkucingan ini buat saya penting karena ini menunjukkan mental (banyak) orang Indonesia yang sebenarnya: yang berpikir kalau segala sesuatu yang non-Indonesia itu keren, yang berpikir kalau Indonesia itu segitu jelek dan kampungan dan ndesonya. Yang kucing persia dianggap lebih keren daripada kucing kampung, padahal kucing persia di kampung asalnya juga kucing kampung.

Si Dekil yang mandiri di Indonesia

Kita bicara tentang kedaulatan Indonesia. Kita berkoar-koar tidak mau tunduk pada bangsa asing. Kita mencurigai orang-orang yang kelihatan dekat dengan pihak asing. Tapi kita pamer iPhone dan foto liburan keluar negeri. Kita mengagumi muka-muka non-Indonesia di layar kaca dan berdandan (atau mendandani pasangan) seperti artis-artis tersebut. Kita merasa bergengsi kalau bisa duduk di kafe di mal sambil menyeruput kopi impor dan makan kue a la barat. Kita berpikir kalau orang yang bisa bahasa Inggris itu lebih berpendidikan. Kita menertawakan orang-orang yang suka dangdut dan menyebut mereka kampungan. Kita menyebut budaya kita sendiri sebagai pornografi dan pornoaksi karena tidak sesuai dengan ajaran agama yang kita anut, dan dengan efektif menghilangkan jejak leluhur kita - dan dengan demikian menghilangkan identitas diri kita sendiri. Pertanyaannya adalah: siapa kita sebenarnya, apakah kita hanya sebuah kolase dari berbagai pengaruh asing?

Kita berpikir semua yang 'asing' itu keren, walau sebenarnya tidak. Fast food ala McD yang kita anggap elit dan memang mahal, disini dianggap makanan orang miskin (dan ya, pelayanan fastfood Indonesia jauh lebih baik dari pelayanan fastfood sini. Boro-boro delivery service, dapat pesanan sesuai yang kita minta saja kadang sudah syukur). Bisa bahasa Inggris disini tidak mengagumkan, sama saja seperti anda yang orang Indonesia bisa bicara bahasa Indonesia yang alah bisa karena biasa tapi kalau ditanya grammar/rumus tenses secara mendetil mereka sama bengongnya seperti kalau anda disuruh menjelaskan apa arti imbuhan me- dan apa bedanya dengan imbuhan ber- (nah, bengong kan anda...). Mencoba memasak otak-otak disini luar biasa susah dan lebih mahal daripada membuat salmon panggang. Disini istilah kerennya detox, saat anda tidak makan apa-apa selama seharian penuh selain jus lemon-madu (atau apapun kata instruktur diet anda); di Indonesia istilahnya Mutih dan hasil akhirnya sama saja (plus lebih dekat dengan Tuhan siy). Orang luar negeri di kampungnya ya orang kampung, sama seperti kucing persia yang dikampungnya juga kucing kampung. 

Sekarang mari berpikir: mau sampai kapan kita pelihara mental terjajah kita, mental inlandeer kita, dan terus mengagumi bangsa lain? Kita sudah membangun kompleks Borobudur yang super besar dan ekstra megah semenjak abad ke-9. Nenek moyang kita mengarungi lautan dan melakukan perdagangan jauh sebelum orang Eropa memulai eksplorasinya. Di saat cikal bakal orang Amerika masih dikejar-kejar di Inggris sana, Indonesia sudah menjadi pusat perhatian dunia dengan kekayaan rempah-rempahnya. Indonesia memiliki iklim yang sempurna, kekayaan yang melimpah ruah, kecantikan alam (dan manusia) yang tak tertandingi, tapi anda masih merasa negara kita ini kampungan dan ndeso? Satu hal lagi yang Indonesia miliki: sumber daya manusia yang berlimpah! Bukan hanya dari segi jumlah, karakteristik asli orang Indonesia yang tahan banting juga sangat sesuai untuk beradaptasi di negara lain. Kita tidak manja dan (aslinya) penuh empati dan tepo selira. Kenapa oh kenapa anda masih berpikir negara kita lebih jelek dari negara lain? Bahwa si kucing kampung tidak seberharga daripada kucing persia?


Buat saya dan suami saya, makan internet (indomie telor kornet) dan pisang bakar di warkop/angkringan pinggir jalan lebih berkesan daripada waktu makan di restoran celebrity chef di Singapore. Liburan kami ke Gili dan Makassar lebih berkesan daripada waktu dia liburan di all-in resort di Jamaica. Dia lebih suka rokok rakyat seperti gudang garam dan belinya pun harus yang satuan/eceran di warung-warung kecil pinggir jalan (sekalian latihan Bahasa Indonesia). Kopi harus kopi Bali, sarapan pagi pun telor mata sapi dengan saos sambal ABC. Dia sangat menyukai budaya khas Indonesia (Sulawesi, Jawa, Bali), karena menurut dia ketiadaan budaya asli lah yang membuat negaranya seperti tidak punya identitas. Momen favorit kami di Indonesia adalah saat kami pergi ke pasar malam tradisional dan dia berjoget dangdut dengan para abang-abang (dan waria-waria) disana. Ini momen-momen Indonesia kami, dan sepulangnya kami ke Amerika kami sibuk bersedih dan bermuram durja karena memang Indonesia lebih baik (menurut kami). 

Bagaimana dengan anda? Apa 'momen Indonesia' anda? Atau lebih tepatnya, sudahkah anda memiliki 'momen Indonesia'? Atau anda masih berharap suatu saat nanti anda bisa pindah ke luar negeri dan meninggalkan negara kampungan dan ga keren ini bersama kucing persia kesayangan anda? ;)

Teman Saya yang Tidak Suci

Teman saya tidak suci. 

Dia muslim tapi tidak pakai jilbab. Dia bisa saya bujuk untuk menemani saya ke klab malam. Dia kadang genit dan flirty. Dia pernah punya pasangan bule (dan awet selama bertahun-tahun). Dia tidak malu berbikini ria di pantai di Bali. Dia tidak ragu meraih apa yang ia inginkan. Dengan kata lain, dia sama sekali bukan tipikal wanita muslimah yang sering digambarkan oleh Ustad-ustad dan Kyai-kyai dan Habib-habib di Indonesia: yang menutup diri, yang kalem, yang menjalankan agamanya sampai pol. Dia wanita modern dengan pikiran yang sudah rusak oleh pengaruh bangsa asing, konon katanya.

Tapi si wanita yang tidak suci ini, si wanita 'kafir' ini yang pertama kali memposting penggalangan dana untuk Gaza di newsfeed Facebook saya. Banyak teman saya (yang ibu-ibu atau bapak-bapak terhormat) me-like atau share gambar atau status yang berkaitan dengan tragedi kemanusiaan ini, namun teman saya yang pertama kali saya lihat di FB dengan aktif menggalang dana bersama klub arisannya. Yup. Teman saya yang tidak suci. 

Di pilpres 2014 ini banyak sekali orang yang 'mendadak suci'. Kenapa mendadak? Karena sibuk menilai dan menghakimi (plus berusaha menjatuhkan) capres yang tidak mereka sukai hanya berdasarkan 'kadar agama' mereka. Capres A kurang beragama karena ini dan itu, Capres B jelek karena ini dan itu; padahal kalau dipikir, apa hak mereka untuk menilai dan menghakimi? Bukankah hanya Tuhan yang berhak menilai dan menghakimi ciptaan-Nya? Sayangnya saling tuduh dan saling menghakimi ini bukanlah suatu hal baru, walau memang sangat kentara di pilpres kali ini. Seberapa sering kita melihat postingan sosial media seseorang dan dengan cepat berkomentar "Ih dia emang ga bener...", atau berpikir kita lebih baik dari seseorang karena kita menjalankan agama kita dengan 'lebih baik' (baca: lebih by the book) daripada dia? Dan ini mencakup semua agama lho: Orang kristen di Amerika yang mendukung gay/pasangan sesama jenis dicap bukan Kristen sejati, saya yang dicibir dan disindir karena saya tetap makan daging sapi walaupun saya Hindu, teman saya (yang lain) yang teman baiknya memutuskan tali persahabatan dan berlagak tidak kenal hanya karena teman saya menikah dengan seseorang yang bukan muslim. 

Saat anda berpikir anda lebih baik daripada orang lain, apapun alasannya, disanalah kejatuhan anda. Kebanggaan (atau mungkin lebih tepatnya kesombongan) adalah buah terlarang yang bila dimakan akan membuat anda terusir dari Taman Eden; karena tidak lagi anda bisa melihat dan menghargai indahnya dunia dengan segala isinya, sebaliknya anda terperangkap dalam pikiran 'benar'-'salah' dan menghabiskan energi anda menganalisa dunia walaupun tugas anda hanyalah menjalani hidup dan menjadi lebih baik, bukan menghakimi dan mengurusi urusan orang lain.

Saya sering melihat teman saya yang tidak suci ini mendermakan recehan atau uang yang ia punya kepada ibu-ibu tua atau bapak-bapak renta yang mengemis di jalan. Dia selalu ada untuk saya kapanpun saya butuh seseorang, atau lebih tepatnya dia selalu ada untuk temannya yang membutuhkan - karena saya juga melihat betapa ia perduli dan mau membantu temannya yang lain, kapanpun dan dimanapun. Dia tidak mau membicarakan hal buruk tentang orang lain atau bergosip tanpa fakta. Dia sangat menyayangi dan menghormati kedua orangtuanya. Dia tidak suci. Dia bukan ustadzah atau santo, dia bukan orang yang anda inginkan untuk pasangan anak anda yang super suci dan bersih sebagaimana 'anak Tuhan'; tapi kalau malaikat menanyakan saya siapa yang saya rekomendasikan untuk masuk surga, dengan senang hati saya akan merekomendasikan teman saya yang tidak suci ini. Suci di mata kita belum tentu suci di mata Tuhan, dan saya yakin Tuhan kita yang Maha Pengasih akan lebih menghargai umatnya yang perduli dan mengasihi sesamanya (sebagaimana diri-Nya sendiri) daripada yang meng-klaim suci dan oke tapi hanya perduli dirinya sendiri. 

Agamamu, agamamu. Agamaku, agamaku. Tidak ada yang berhak menilai seseorang apalagi atas dasar agama kecuali Sang Pencipta. Agama itu urusan seorang manusia dengan penciptanya, dengan Tuhannya, dan jelas bukan urusan anda. Sudah saatnya kita mengerti hal sedasar ini dan berhenti menghakimi orang lain. 

Biar pada adem...

Saturday, July 5, 2014

Haru di Dada untuk Indonesia Tercinta

Karena satu dan lain hal, saya tidak bisa memilih hari ini. Dulu-dulu saya tidak perduli, tapi kali ini saya sedih sekali. Untuk pertama kalinya saya perduli siapa presiden saya. Untuk pertama kalinya saya percaya dan berani berharap pada calon presiden saya. Untuk pertama kalinya saya bisa melihat Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang melebihi semua negara 'keren', Indonesia yang sebenarnya. Tapi saya tidak bisa memilih.

Saya sedih. Saya kecewa. Sepertinya semua 'keaktifan' saya di sosmed dan blog percuma, semua usaha saya untuk mengingatkan orang-orang tentang pentingnya dan hebatnya pilpres kali ini tidak ada artinya, karena ternyata saya tidak bisa memilih. Rasanya seperti ikut maraton tapi berhenti persis sebelum garis finish. Atau ikut ospek OSIS tapi berhenti persis sebelum inagurasi. Buat apa semua ini, batin saya, buat apa.

Lalu teman saya mengirimkan link youtube ini.

Dada saya rasanya ingin meledak, air mata nyaris tak terbendung. Di meja makan hotel mewah tempat kami merayakan hari kemerdekaan Amerika Serikat bersama keluarga suami saya, diantara beragam makanan a la barat dan pisau garpu (yang masih berusaha saya kuasai), diantara suara orang berbicara dengan bahasa Inggris membicarakan asyiknya acara kembang api kemerdekaan kemarin malam, saya terdiam. Tercekat. Terharu. Saya ingin meneriakkan perasaan saya di tengah ruang makan tersebut dengan lantang: "Negara gue. Asli. Keren."

Kemarin malam saat kami ikut acara 4th of July (hari kemerdekaan), saya terpikir: Kok Indonesia tidak bisa begini ya? Makanan yang disajikan adalah makanan khas Amerika, burger hotdog barbekyu dan sebagainya; lalu dilanjutkan dengan acara kembang api dengan background musik lagu-lagu patriotis dimana para saudara suami saya (dan pengunjung lain) ikut bernyanyi dengan lantang; dan semua ini dilakukan dengan dekorasi merah putih biru yang merupakan warna nasional mereka. Di Indonesia saya jarang melihat orang yang semangat 45 merayakan 17 Agustus, apalagi kaum menengah atas.

Tapi kedepan akan beda. Saya yakin itu. Video youtube diatas adalah buktinya. Dan saya bangga, saya bangga luar biasa bahwa saya ada di dalam pergerakan ini, saya bangga tak terperi menjadi bagian dari sejarah ini. Walaupun saya tak bisa memilih, tapi saya tetap bagian dari pergolakan dan perubahan ini. Saya bangga. Amat sangat bangga.

Karena pilpres ini bukan sekadar memilih 'presiden' untuk 5 tahun kedepan seperti yang banyak orang masih percayai (kalimat klise: siapa pun presidennya sama aja, siapa pun presidennya masih kudu kerja banting tulang juga); pilpres ini adalah memilih Perubahan, memilih Harapan. Untuk pertama kalinya kita bangsa Indonesia punya pilihan, mau berubah, bisa berharap. Untuk pertama kalinya kita tidak lagi bersikap seperti bayi yang menunggu disuapi dan pasrah mau diapain saja, untuk pertama kalinya kita bersikap seperti orang dewasa dan berkata: ini pilihan saya.

Bila anda masih ingin golput atau memilih asal, sekarang saatnya anda tersadar, tersentak, terbangun. Pilpres ini adalah tonggak sejarah Indonesia dan buat saya sama pentingnya dengan deklarasi Sumpah Pemuda dan Kemerdekaan Indonesia, karena seperti halnya peristiwa-peristiwa diatas pilpres kali ini adalah saat dimana bangsa Indonesia berdaulat sepenuhnya, dimana pilihan kita menentukan nasib bangsa Indonesia bukan hanya 5 tahun kedepan namun jauh setelahnya. Sudah terlalu lama kita tidak memiliki kedaulatan ini, sudah sekian lama kita terpuruk tanpa harapan akan perubahan dan hanya menjadi boneka hidup. Sekarang kita memiliki kedaulatan tersebut, memiliki keeksklusifan untuk memilih, memiliki harapan dan kedewasaan untuk mempertanggungjawabkan pilihan kita. Sekarang saatnya sejarah tercipta. Indonesia, saatnya kita bersuara!!!

Search This Blog