AdSense Page Ads

Tuesday, August 29, 2017

Hello World

Hello world,
Haven't seen you in a while. I know, I know. Stupid remarks. You are there. Always. It's a question on whether or not I notice you. I haven't. Not since the last several weeks.
 
I've seen you around (pun intended), and kinda know what's happening with you. Yet what happened in my world, in my own little mind, was proved to be more distracting than you. My book is officially published. Yay! I met a good friend for the first time ever. I discover LA is even more interesting than what I have known. I learn to say no. I learn to be selfish. I learn to not trust people, ever. I smile and love more. I have been happy. Much too happy.
 
Yet around me, within the big old world, chaos ensued. Monsoon in Southeast Asia that killed thousands. Flood in Texas that hurt so many people. Lies. Treachery. Distrust. Greed. Evil. Like the blood that seeps into the white gown, there is no way to get it off. I saw it spread like black oil in the water, slowly but sure making its way across the water with nothing to stop it. Doesn't mean that nobody tries, a lot of people are knee deep in the water, the black pollution dripping all the way from their elbows and dripping from their hairs, as they tried hard to stop it. But it still goes on. Pandora opened the box and we are f*cked.
 
But that was not why I turned my gaze off you. At least not consciously. You are still beautiful than ever, world. You are still mine, and I am still yours. Sometimes we need a break from reality. Sometimes we need to turn blind eye to find our happiness, and consequently, find a reason to hope. Yet oftentimes, the break went on a little longer than we said it will take. Say, like forever or so. And there you are, ravaged by everything that happened, and here we are, hiding in our perfect little world inside our head.
 
I know you think it's ok. I know you'd say "I'll be fine". And I know you will. I know you know I am scared, that I feel like I can't take it anymore. The sadness, the pain, the misery, I know you know I wanted it to end. But I am a part of you too, am I not? Let me shoulder what I can take. Let me say my prayers and whisper my faith. Let me be the little candlelight that shines us through these dark days, one in many. Let me offer what I can give: smile and happiness. It's not much, but what I can give, I shall give.
 
And when the last song is sung, when the last dance is danced, when you stop existing, be it good or bad, I will still be here. Whether it takes thousands of millennia or a quick few hours, I will still be here. I might dance happily and laugh gaily, but I will not look away from the sorrow in you, and I will still be here. Your pain is etched in my body, yet my smile I will give for free. For you are mine, and I am yours.
 
Hello world, I miss you.

Friday, August 25, 2017

Jangan Silau Oleh Dunia

Lama-lama ngeliat berita tentang bos FT gerah dan muak juga. Jadi sekarang setelah ketahuan uangnya uang nasabah habis dicaci maki? Lah, salah siapa dong dulunya silau melihat gaya doski-doski ini? Melihat bos FT dibandingkan dengan istri bos fesbuk juga bikin eneg. Lu pikir bakal lu bakal ngelirik orang yang dandanannya ala istri bos fesbuk?
 
Let's face it. Jujur aja. Kita tuh cepat banget silau. Melihat orang pakai tas bagus dikit, pakai henpon kinclong dikit, pakai mobil mulus dikit, langsung yang "Oh la la". Coba yang biasa aja, ditoleh juga nggak. Yang kenal sama siapa dan pakai 'benda'nya apa lebih penting daripada isi dalam orangnya. Ayolah, seberapa sering sih kita yang menggunjingkan orang dengan "Tapi dia sih sabar dan baik banget lho, saya kagum sama dia" dibandingkan yang "Lihat nggak tas/jam tangannya??"
 
Kisah nyata: Adik saya yang lagi ngetren di instagramnya RioMotret sebagai model brand campaign untuk NY Fashion Week (iya, adik kandung. Adonannya pas bagus hahaha), waktu dia menang Miss Charm di ajang Miss Tourism Queen International di tahun 2008 nggak ada yang nyapa. Ada juga ditanya: "Siapa yang bawa?" (terjemahan: siapa yang mensponsori); dan bahkan satu Horang Kayah saudara jauh kami dengan manisnya bersabda: "Mana sini, suruh ketemu saya." Umm… Siapa elu coba? Sponsorin atau bahkan tahu dia berangkat juga kagak. Waktu wajahnya terpampang di billboard raksasa persis depan bandara Ngurah Rai dan di pintu masuk taman rekreasi di Bali tetap pada biasa saja. Bolak-balik runway untuk jualan baju malam mewah, tetap nggak dilirik karena keseharian cuek bebek bajunya.
 
Saya pun merasakan hal yang sama, yang kayanya semua achievement/pencapaian kami nggak ada artinya karena kami bukan horang kayah. Padahal menurut saya, saya keren banget lho. Nggak banyak orang yang datang ke Amerika dengan modal nol, dan bisa hidup sestabil saya dalam jangka waktu hanya 3 tahun. Bisa kerja kantoran pula. Anda tahu susahnya mencari kerja kantoran disini? Tapi tetap lho, acara keluarga atau jalan ke mal bisa dilihatin dan dinilai dari kepala sampai kaki. Seolah: "gini ya, pencapaian lu boleh keren, tapi kalo 'barang' lu nggak mentereng, jangan harap…"
 
Saya yakin bukan saya saja yang seperti ini. Ayolah, siapa sih yang nggak heboh sendiri saat harus datang ke kondangan? Berapa kali sih anda berpikir atau ditegur "Masa pakai yang itu, jelek sekali kelihatannya"? Seberapa sering anda mendengar orang menilai orang lain dari apa yang ia pakai di acara publik? Kita beli barang karena ingin dilihat, karena ingin menunjukkan siapa kita dan status kita, dimana posisi kita di kancah sosial. Kenapa? Karena kita sendiri melihat orang dari itu. We see what we want to see. Kita melihat apa yang ingin kita lihat. Kita mengasosiasikan 'barang' dengan 'status'. Bos FT ya kelewatan karena membeli 'barang' dengan uang orang (bila terbukti), tapi kita yang mengagungkan 'barang' juga bersalah.
 
Bukan berarti nggak boleh punya 'barang' ya. Mau beli tas semahal pesawat jet pribadi, asal uang sendiri dan sanggup, yuk sana. Menilai orang dari kapasitas 'barang' yang ia miliki juga nggak selalu buruk. Saya kalau diajak kencan, misalnya, juga lihat-lihat apa yang dia miliki. Kita boleh kok (dan harus) memiliki standar ekonomi. Kalau kita terbiasa makan di resto bintang lima dan (calon) pasangan terbiasa makan di warteg, kedepannya sulit karena hubungan yang ideal adalah yang bisa sama-sama nyaman. Salah satu masalah utama dalam hubungan adalah finansial lho. Susah untuk hepi kalau kepikiran uang (dan utang) melulu. Dan ya, kalau mau memanjakan diri sendiri, kenapa tidak? Apa salahnya? Toh hasil keringat sendiri.
 
Yang nggak boleh adalah silau saat melihat 'barang', yang langsung beranggapan seseorang 'Wah' bila memakai benda-benda bermerk, yang menilai seseorang berdasarkan apa yang ia pakai dan bukan dari siapa dia. Ok cowok ini bawa henpon iPhone 8 (yang bahkan belum keluar di pasaran), atau cewek ini bawa tas Hermes, tapi dia gimana ke orang lain? Baik nggak? Ramah nggak? Mau membantu nggak? Bisa dipercaya nggak? Atau anda nggak mau tahu? Yang penting total 'barang' yang dipakai seharga xx juta rupiah, maka dia otomatis lolos jadi best pren anda?
 
Saya suka disini karena nggak ada yang ngelirik dari atas sampai bawah mencoba menghitung total harga barang yang saya pakai sebelum mengobrol dengan saya. Biasanya (apalagi cowok) berhenti sampai di bagian wajah sebelum tersenyum sumringah. [Siapa itu yang bilang muka asli Indonesia kulit gelap itu nggak cakep, heh??]. Saya suka disini karena disini lebih penting bagaimana tampilan saya dan bukannya merk baju yang saya pakai. Saya suka disini karena orang yang walau baru kenal bisa bahagia banget saat saya sapa dengan manisnya, dan bukannya melengos pura-pura nggak kenal. Saya suka disini karena saya bisa menjadi saya, dan saya dilihat sebagai siapa saya dan bukan apa yang saya pakai. Sebaliknya, saya juga nggak silau.
 
Jangan salah, disini ada juga yang minta disambit sandal jepit. Teman yang datang ke acara di KJRI sekali waktu berkata dengan syoknya: "gila, lagi foto bareng bisa-bisanya tetap ngomongin kekayaan orang lain". Teman lain (bule) pernah diusir secara halus dari supermarket di kawasan 'elit' karena disangka gelandangan dengan baju gym buluk dan celana pendeknya. Dia dengan tenangnya menyuruh si manajer membawakan belanjaannya ke mobilnya, dan manajer ini bengong melihat mobil mewahnya. "That's… a really nice car," kata manajer reseh ini, "It is," kata teman saya dengan pedenya.
 
Pertanyaannya sekarang adalah, apa sih yang menurut anda penting? Ingat lho, memiliki suatu 'barang' bukan tanda kemampuan diri seseorang. Ingat juga, dekat-dekat orang kaya/beken nggak akan membuat anda ketularan kaya/beken. Semahal-mahalnya barang, akan ada yang lebih mahal lagi. Sampai kapan ini akan berlangsung? Kita menulis, menshare, membagikan tentang bagaimana mendidik anak berahlak mulia, tapi kita sendiri silau dengan hal-hal duniawi. Kita merasa harus memiliki suatu benda untuk menjustifikasi nilai kita, dan sebaliknya, kita menilai orang dari benda yang ia pakai. Apa hasilnya? Hasilnya ya bos FT. Jangan hanya menyalahkan mereka akan jalan yang mereka tempuh, karena secara tidak langsung kita pun menciptakan tekanan lingkungan/peer pressure hingga mereka memilih jalan itu.
 
Apa manusia akan bisa berubah? Susah ya hahahaha. Sekali lagi, nggak cuma di Indonesia lho. Seleb-seleb sini juga sering diagung-agungkan karena 'barang' yang mereka punyai. Tapi merubah dunia kan dimulai dari diri kita sendiri. Sanggup nggak kita tersenyum ramah dan menawarkan apa yang kita punya, terlepas dari sandal jepitnya merk Swallow ato merk Havaianas? Pede nggak kita duduk dan ngobrol sama si Mbak manis atau Mas lugu saat kondangan/acara walau kita tahu itu baju yang sama yang mereka pakai ke kondangan sebelumnya? Dan ini bukan karena kita kasihan atau sok baik, tapi benar-benar karena kita nggak perduli sama apa yang mereka pakai.
 
Membuka mata hati itu susah, tapi lebih sulit lagi menutup mata duniawi. Menutup mata duniawi kita membutuhkan kepercayaan-diri, membutuhkan rasa aman terhadap diri kita sendiri, membutuhkan kita mengerti lebih dalam mengenai manusia dan mampu berkata, "So what gitu?" Menutup mata duniawi membutuhkan usaha yang tidak sedikit, karena jauh lebih mudah menilai seseorang secara duniawi daripada secara pribadi. Ibaratnya mengerjakan soal pilihan ganda atau Benar/Salah lebih gampang kan daripada soal "Terangkan mengenai…"
 
Sekali lagi, kagum itu boleh. Punya impian itu nggak kenapa. Saya ingin sekali punya Google Phone, misalnya, ya boleh dong saya bermimpi dan berusaha mengejarnya. Tapi saya nggak ingin (dan semoga nggak akan) menjadikan diri saya sebagai "Si Ary Yang Pakai Google Phone". Apa yang saya pakai tidak mendefinisikan saya. Sebaliknya kalau saya lihat orang pakai Google Phone saya pasti sirik dan heboh berat, tapi bukan berarti mereka mendadak jadi super keren karenanya. It takes more than that to win me over, butuh lebih dari itu untuk membuat saya terkesan.
 
Dunia nggak butuh lebih banyak barang mahal, apalagi yang dibuat dengan mengeksploitasi negara miskin dan dengan buruh yang dibayar tidak selayaknya. Dunia butuh lebih banyak kehangatan dan gelak tawa, butuh lebih banyak penerimaaan dan pengertian. Semua yang kinclong itu indah, tapi pada akhirnya, apa sih yang sebenarnya berharga untuk anda? Apa yang anda inginkan, dan yang lebih penting lagi, apa yang anda butuhkan? Jangan lupakan itu. Jangan silau oleh dunia.

Tuesday, August 22, 2017

Sekedar Tipuan

Duduk melamun di kafe, memandangi foto kue yang diblow up indah untuk mempercantik dinding kafe, sambil merenungi cerita terbaru tentang motivator kondang yang mempidanakan penulis status fesbuk. Ya iya dong, biar bengong tetep mesti updet.

Masalah sama si penulis status ini adalah dia mencari tahu motivator ini siapa, tapi hasil telusuran di gugel nggak sesuai dengan apa yang diaku motivator ini. Ditulislah hasil penelusurannya di fesbuk, dan marahlah si motivator ini. Pake dipidanakan segala si penulis status. Maklum, susah kalau sudah menyangkut urusan dapur.

Terlepas dari urusan pidana ria ini, masih banyak lho orang Indonesia yang nggak paham cara pakai mesin pencari seperti Google, Bing, dan kawan-kawan. Padahal Indonesia dengan jumlah penduduk yang termasuk salah satu terbesar di dunia pastinya juga memiliki pengguna internet yang seabrek.

Banyak alasannya sih kenapa gugel dkk ga laku: koneksi yang nggak stabil, sumber informasi yang kebanyakan Bahasa Inggris, sampai soal malas. Jadilah yang dipakai dan ditelan info dari wassap bbm etc yang nggak bisa dipertanggungjawabkan. Masih ingat kan soal manfaat pete yang ternyata salah terjemahan dari iklan kolagen Purtier? Gagalnya total euy...

Padahal gugel itu teman baik kita lho. Apalagi yang hobi stalking hahaha. Dari semenjak saya di Indonesia, kalau mau ketemuan orang dari online dating pasti saya gugel habis-habisan. Disini apalagi, yang serial killernya horor-horor. Saya nggak mau ketemuan kalau saya merasa orang ini bukan seperti apa yang dia tulis di profilnya. Gini ya, perusahaan aja disini ada yang minta nama akun sosial media biar bisa dicek, apalagi yang mau kencan cuma berdua. Safety first. Utamakan Selamat. Bukan pak Slamet.

Gugel itu juga penting biar anda nggak dikadalin. Diajak investasi? Gugel aja perusahaan investasinya, cari link yang resmi dan kredibel. Sekali lagi, RESMI dan KREDIBEL. Nggak susah mendaftar jadi penulis tamu di situs-situs, apalagi sekedar bikin website dengan tampilan wah. Saya misalnya, bisa aja ngaku saya pemilik perusahaan jasa penulis lepas Yogezwary Words. Masalah benar atau nggak, emangnya ada yang mau ngecek?

Ada pula soal masalah hukum. Sering banget saya lihat di forum imigrasi atau kawin campur orang bertanya pertanyaan yang sebenarnya ada jawabannya di website resmi imigrasi. FYI, disini resminya nggak boleh lho mengisi formulir [imigrasi] dibantu orang lain. Di bagian akhir harus tanda tangan bahwa kita mengerti apa yang ditanyakan, plus nama orang yang membantu kita (kalau ada). Kenapa? Karena kita harus mengerti apa yang ditanyakan dan bukan ho oh-ho oh aja.

Anda pikir bagaimana saya bisa bertahan hidup disini? Gugel itu best pren saya banget. Mungkin 80% yang saya tahu disini itu berkat gugel. Waktu kita pindah ke Los Angeles, saya kok yang mengajarkan si Akang sistem bis/kereta disini. Padahal dia yang punya negara. Gugel juga yang mengajarkan apa hak dan kewajiban saya. Waktu si Akang mengumumkan bisa membuat saya dideportasi kapan saja setelah saya meninggalkan dia, respon saya cuma satu: Try me. Coba aja.

Gimana terus cara ngegugel yang baik dan benar? Latihan, latihan, latihan. Terus terbitkan rasa penasaran dan rasa kritis. Tetap objektif dan jangan cuma memilih apa yang ingin kita baca/ketahui, karena kebenaran itu nggak selalu indah ataupun nyaman. Si A dan B penulis di website 789 misalnya, cari tahu bagaimana bisa menjadi penulis disitu. Jangan telan mentah-mentah semua klaim yang ada di internet. 

Kalau anda baca portfolio online saya misalnya, semua perusahaan tempat saya pernah bekerja terlihat begitu keren dan glamor [#kibasrambut]. Ini saya nggak pake bohong lho, cuma pemilihan kata-katanya saja yang bagus. Mana berani saya bohong di internet, gampang banget soalnya ketahuannya hahaha. Tapi nggak berarti saya nggak bisa memolesnya. Tergantung si pembaca yang mau bersusah-payah mengecek dan cross check apakah yang saya tulis sesuai dengan apa yang ia pikirkan.

Jangan ditanya soal scam. Setelah tulisan saya viral, banyak banget yang ngaku-ngaku jadi saya, bikin akun palsu, ngajak chat mesum. Stress nggak sih? Ada juga yang cerita dimintain uang sama pacar gantengnya yang nemu di internet. Saya pernah diajak chat oleh orang yang foto fesbuknya nyolong foto gubernur Moskow. Kayanya semua yang di internet itu sekedar tipuan gitu.

Balik lagi sih, kitanya mau belajar pintar nggak? Dulu kita nggih ndoro iya baginda raja selama berabad-abad, lalu iya meneer 350 tahun, masa nggak capek hidup terus diatur orang lain? Bersikap kritis itu penting untuk menemukan jati diri kita, untuk menentukan siapa kita. Sekali lagi, kritis yang objektif ya. Kalau kritis yang subjektif alias cuma mau menerima info dan ide yang sesuai, ya sama saja tetap di dalam tempurung.

Pulsa internet di Indonesia sayangnya memang mahal, dan koneksinya pun bikin stres. Percaya deh, nggak heran banyak bule yang mencari orang Indonesia. Kita sudah terlatih sabar dan nrimo oleh koneksi internet hahaha. Tapi jangan menyerah untuk menjadi cerdas, untuk tetap kritis. Batas-batas dunia telah luruh dengan keberadaan internet. Kita bukan lagi hanya warga negara Indonesia, kita pun bagian dari warga dunia alias global citizen. Sudah siap menerima peran ini? Kita bisa kok. Jangan takut.

Selamat ngegugel...

The Little Gnarly Creature

I glanced at the bar tab and cringe a little bit. It has been a great weekend, but it comes with a price. Ouch. Mind you, I am not the one who's paying it all. My contribution is minimum and only when I was able to whipped out my card faster than him. Which, in my mind, what makes me cringe.

I'm worthy. I know this. I keep telling myself this fact over and over again. In a world filled with suspicion and fear, having someone who's unafraid to smile is priceless. Having someone who wont judge, someone who'll listen, someone who actually care is worth that someone's weight in gold. And yes, I am not so bad looking myself.

Yet I keep refusing 'payments'. Good things happened to me and I thank my lucky stars. Better things happened to me and I freaked out. I can't tell you how many times my friends and best friend roll their eyes in exaspiration, "because you deserve it", "because you work hard for it", "it's not good fortune, it's good karma". But the bar tab was still etched in my mind.

People think I am being humble. I am not. I am being a coward. It's easier to give than it is to receive. 'Giving' gives you the control of the situation, you get to dictate the term and how you feel about the whole exchange. 'Receiving' puts you in the mercy of the person who gives it to you. You don't have a say when you choose to receive something, your power is limited to either accept it or reject it. It is scary. It debilitates you.

But I give freely. I do things without thinking what I can gain from it. I want people to be happy. I want people to know they are not alone, that even though life is hard it is also beautiful and fun. I don't go around calculating life, who owes me what or whom should I 'invest' to. Why is it so difficult for me to think other people feels the same way too? Why is it incomprehensible for me that it is people just want to see me happy, no strings attached?

Beneath the bright and bubbly exterior, the little ball of sunshine, beneath the teddy bear appearance that ready for a hug anytime or to give comfort against the scary darkness of the night, deep down inside lies a little gnarly looking creature tightly hidden by a mass of knobbed thorny black roots. It looks at the world through the slits of the thick, suffocating roots that protect it. It keeps on looking at the world, longing to be there. But it can't.

The world is a scary place and human is not to be trusted. Deception and lies come in abudance. There is no shortage of greed and selfishness. The hand that feeds you may be the hand that hits you next. Expectation is beyond foolish. Why bother to hope when the only one you can rely on is yourself?

"But they are not giving it for free," the voice in my head reprimanded me. She was right. Didn't I show my gratitude and appreciation to people who help and care about me by showering them with love and affection? The food I cook, silly little surprises, never ending supply of hugs and kisses. And by them graciously accepting it, haven't I feel the surge of joy and a sense of accomplishment?

I am not Belle, the smart Stockholm-syndrome survivor who turn the table on her capturer. I am not Aurora, a damsel in such distress she'd rather sleep on it and still manage to snag a prince. I am not Cinderella, a house cleaning OCD that satiate the king's son's feet fetish. But that doesn't mean I don't have my merit. That doesn't mean people shouldn't love me for who I am, nor should I forbid them to. They are allowed to give, and I should be brave enough to receive.

Under the purple light of the cantina I glanced at the bar tab once again. A young Jedi walked past our booth. Behind the bar, the bartender with crazy contact lenses photobombed somebody's photo. Some people put glowsticks on their hair, one for every drink they purchased. My date looked at me and smiled. "Ready?" he asked. I took a deep breath, swallowed my fear, and nodded with a smile.

Deep inside a tiny piece of the knobbed thorny black root fell, and the little gnarly creature can see ever so slightly a bit more of the world. It frightens it, it hurts the little gnarly creature. Close it down, it begged, block it up! But the world outside is so beautiful. Its eyes lit with wonder over the tiniest sliver of the view from the world outside. The fear coiling up around it like a black boa, yet it still fixed its gaze on the little slit that showed it the world. It took a deep breath. We will be fine. I will be fine.

Monday, August 21, 2017

Meneror Si Pelakor

Saya masih nggak ngerti kenapa tiap ada cerita heboh baru soal pelakor saya masih kena tag (#sambitsendal) . Tahu sih, biar gimana juga cerita saya yang viral itu kan memang tentang si Mbak selingkuhan suami saya. Tapi yang sekarang sibuk ikutan ngeshare info pribadi soal selingkuhan masing-masing (bahasa kerennya: pelakor), yuk sabar dulu…
 
Waktu saya tulis soal selingkuhan suami saya, saya cuma ingin dia tahu kalau jalan yang dia pilih itu salah. Bukan cuma dia saja, namun juga sekian banyak orang lainnya yang sedang terpikat bujuk rayu untuk melakukan perselingkuhan. Si Cah Ayu ini (dan calon-calon selingkuhan lainnya), harus mengerti bahwa bahasa semanis madu orang yang sudah berpasangan itu belum tentu benar, dan cerita asli pasangan yang diselingkuhi mungkin jauh berbeda. Sudah, itu saja. Bukan balas dendam, tapi pembelajaran. Ada lho yang SMS saya bilang mereka sudah selesai jadi selingkuhan setelah membaca artikel itu. Ini yang saya harapkan.
 
Lalu Ibu-ibu dan mbak-mbak yang sampai sebar foto pribadi, alamat kantor, alamat rumah, dan data pribadi lainnya itu mengharapkan apa?
 
Nggak banyak yang tahu kalau saya mati-matian berusaha melindungi Cah Ayu ini. Saya punya kok data pribadinya dia, lengkap kap kap. Semua nama akun sosial media dia, sampai nomor induk mahasiswa, alamat rumah, dan nomor telepon saya punya. Semua foto dia bersama si akang tersayangnya pun ada. Tinggal posting di sosial media saya, lalu selamat tinggal bye bye Cah Ayu… Tapi terus saya dapat apa? Suami saya nggak akan balik, saya juga nggak sudi balik sama dia. Lalu apa yang saya capai dengan amarah saya?
 
Waktu tulisan saya jadi viral, mantan suami saya menghubungi saya dengan penuh kemarahan, bilang bahwa Cah Ayu ini habis dikejar-kejar dan dimaki-maki semua orang, walau saya nggak pernah menginfokan namanya. Saya ingat membaca e-mail itu dengan tangan gemetar, karena bukan niat saya menyakiti Cah Ayu ini sampai dia diteror seperti itu. Bahkan saat ada blogger yang berhasil menemukan dan menulis info plus foto Cah Ayu ini (berkat ketololan mantan suami saya), saya memohon-mohon blogger cantik ini untuk menghapus tulisannya. Sampai sekarang pun saya nggak sembarangan nge-add orang di Facebook, takut mereka cuma kepo dan penasaran siapa sih mantan suami saya dan Cah Ayu nya.
 
Kenapa? Karena bukan saya korbannya disini. Kalau bukan sama Cah Ayu ini, mantan suami saya akan dapat orang lain kok. Saya yang beruntung, bukan dia. Saya yang bisa lepas dari seseorang yang nggak bisa menghargai saya. Saya yang bisa menemukan orang-orang yang benar-benar sayang dan peduli pada saya. Saya yang bisa melihat diri saya di cermin dan berkata: "Loe keren. Gue bangga sama elu." Tuhan memberi saya kesempatan untuk menguatkan diri saya, dan saya rasa saya berhasil melaksanakan ujian-Nya. Bagus di saya kan?
 
Tahu kok kalau ada yang memang predator diluar sana, yang semangat '45 memangsa pasangan orang. Tapi mau predator atau korban buaya, tetap nggak ada urusannya nyebarin data pribadi mereka. Selingkuh itu bukan soal yang lama vs yang baru. Selingkuh itu soal perasaan kita dan perasaan pasangan kita. Kalau memang pasangan khilaf, kita harus fokus ke bagaimana memperbaiki hubungan yang ada. Kalau memang pasangan doyan, kita harus fokus ke bagaimana mengatasi atau bahkan menerimanya. Sama sekali nggak ada urusan dengan selingkuhannya.
 
Lain cerita kalau selingkuhannya nyolot ya, yang sengaja cari gara-gara. Tapi tetap lho nggak berarti karena kita sensi diajak berantem langsung semua data diri dipublish. Apa yang sudah ada di internet itu nyaris mustahil dihapus. Bayangkan bila itu terjadi pada anda, yang harus tiarap dan mungkin selamanya nggak bisa menggunakan sosial media karena suatu kesalahan yang anda perbuat. Coba deh anda off sosial media seminggu saja, off terima telepon atau sms teman-teman seminggu saja, dan pikirkan betapa nggak enaknya. Saya jujur sampai saat ini masih merasa bersalah kepada Cah Ayu ini, walau yang terjadi di luar control saya dan saya sudah berusaha melindunginya.
 
Kita juga cepat sekali menyerang para pelakor, layaknya mengeroyok copet atau maling mangga. Tahu urusannya juga nggak, yang penting bogem duluan melayang. Susah kan kalau begini? Sekali lagi, ada memang yang karirnya mengejar pasangan orang, tapi ada juga yang cuma korban, yang karena lelakinya yang gatal syalalala. Kenapa kita lebih menghakimi perempuan (baca: pelakor) daripada pelaku perselingkuhan (baca: si lakor)? Yang semua membanjiri SMS inbox dan sebagainya meneror si pelakor, sementara si lakor dibiarkan bebas. Ada juga harusnya si lakor yang diteror bukan? Apalagi yang memang track recordnya nggak setia.
 
Selingkuh itu bukan seperti Jack dan Pohon Kacang, yang bim salabim biji kacang ditebar menjadi pohon raksasa. Selingkuh itu adalah hasil dari kondisi dan perasaan si pelaku, si pasangan resmi, dan si selingkuhan. Di buku "Dear, Mantan Tersayang" saya tulis berbagai penyebab kenapa perselingkuhan itu terjadi. Selingkuh itu bukan cuma sekali lirik lalu jatuh cinta dan lupa semuanya, dan kalau iya, mungkin ada yang salah dengan hubungan yang sudah ada. Mempersekusi pelakor itu tidak akan mereparasi hubungan anda, nggak akan mendadak membuat pasangan kembali kepada anda. Jadi buat apa?
 
Kata-kata paling terkenal Michelle Obama, istrinya Barack Obama, adalah: "When they go low, we go high", terjemahan bebasnya: "Saat mereka bermain kasar, kita bermain cantik". Kalau anda merasa perlu menulis soal apa yang anda alami, bila anda merasa terbantu dengan bercerita dan membagikannya (atau lebih penting lagi: orang lain bisa terbantu!), silakan lho. Tapi jangan lagi berfokus pada orang lain. Fokuslah pada diri anda, fokuslah pada memperbaiki dan mendorong diri anda menjadi lebih baik. Jangan biarkan amarah dan rasa ingin balas dendam merongrong anda. Anda sudah kehilangan hal yang berharga, jangan sampai anda kehilangan diri dan nurani anda juga.
 
Pada akhirnya, ini semua adalah tentang anda: tangisan anda, kepedihan anda, remuknya hati anda, hancurnya harapan anda. Tapi bukan hanya itu. Ini juga tentang kekuatan anda, ketegaran anda, anugrah dan dukungan yang diberikan pada anda, kemampuan anda untuk berdiri kuat di penghujung hari dengan rasa syukur telah bisa melewati ujian-Nya. Menangislah bila anda ingin menangis, namun jangan pernah lupa badai pasti berlalu, bahwa Tuhan tidak tidur, bahwa Ia tahu yang terbaik untuk kita. Dan jangan, sekali-kali jangan menjadi iblis yang terbakar api amarah. Kita lebih baik daripada itu. Angkat dagumu, sayangku, jangan sampai mahkotanya jatuh.

Monday, August 14, 2017

Halo Hari Senin

Sekian malam pergi berdansa
Baik weekend atau hari biasa
Sekian banyak partner dansa
Baik yang tua maupun yang muda
Sekian banyak board game yang dimainkan
Baik yang sulit maupun yang mudah
Sekian banyak riuh gelak tawa
Sekian banyak senyuman bahagia
Sekian banyak lirik-lirikan manja
Sekian banyak kencan pertama
Sekian banyak petualangan
Sekian banyak pengalaman
Sekian banyak teman baru
Sekian banyak pengetahuan baru
Sekian banyak kesendirian yang tenang
Sekian banyak keseruan yang meriah
Sekian banyak anugrah dalam hidup
Sekian banyak cinta yang diterima
Dan masih air mata mengalir
Masih ketakutan merajam
Masih rasa perih menghujam
Masih kesedihan mencekam
Masih luka hati menganga
Masih paras hati binasa
Masih ku terpuruk disini
Masih ku terhempas ke bumi
Masih kepingan hatiku berserak
Melukai setiap gerak langkahku
Ini akan berakhir, pasti
Ini akan selesai, pasti
Ini akan menjadi bekas luka nanar
Yang ada namun tak terasa
Perasaan ini akan menghilang
Terganti dengan penerimaan
Tertutupi dengan kebahagiaan
Tergerus oleh masa sekarang
Tapi kini biar ku termenung sejenak
Biarku terhenyak sebentar
Biarku terpekur sepintas
Biarku terdiam sesaat
Halo hari Senin
Aku membencimu.

~"Dear, Mantan Tersayang" tersedia di Gramedia tanggal 28 Agustus 2017. Deg-degan ih!!!!~

Wednesday, August 9, 2017

Woman and The City

Taking a long drag from the cigarette
The answering machine is blinking
The city below unfurling in the evening rush
Smog around me in the balcony
Still the answering machine is blinking

What will it be this time?
A liar, a cheater, a faker, a tramp?
Heartless words to disguise broken heart
Words that even my bracelets can't stop
Piercing deep into my soul

Another drag of the cigarette
The full moon is rising
I pulled out the cord from the machine
Now it has stopped blinking
Need to remember to reset it later

And why can't I reset?
Why can't I erase memories and feelings?
Why can't I be careful with my loyalty
What's the point of being honorable?
Why can't I just reset?

The memories live by, the feeling unforgotten
No matter how much I said to let it go
The Invisible Plane could take me anywhere
But nowhere is far enough to escape this feeling
So here I am, smoking my cigarette

A million lives are saved
But I am too much of a hassle
An army of enemy defeated
But I am not strong enough
Am I even ever good enough for them?

Another drag of cigarette
Then another, and another
Wondering is Catty up for fun tonight
Or go tinkering with Ivy
Or maybe just stay here and ponder

Not my fault they can't handle me
And maybe I should stop preying the weak
They are so nice and helpless and lovable
But they have such nasty bites and venom
Avoid, Diana. Avoid.

I am the princess of the Amazons
The fighter of justice
I am the one whom evil run from
The one people hope for
And here I am lighting another cigarette

Mortals and their woes, so petty
I should wait till I find someone stronger than me
Skip the drama, skip the heartache
Skip the loyalty neither one deserves
And no need to pretend I'm the secretary anymore

Till then, this cigarette is ok
I am immortal anyway, what's the fuss?
The cars are busy, the people are scrambling
The answering machine is unplugged
It's a long, long night

Tuesday, August 8, 2017

The Kaleidoscope

My life is a kaleidoscope of minuscule things, woven together to form a breathtaking display every time I look. Today it's porn stars and strippers and Peace Corps' volunteers, Google employees and homeless people and a massive crocodile from down under. Today is also Star Wars flats and homemade piquillo cream cheese spread and Aristocats, as well as Donut Man and Halal Guys and various LA food haven. Then there's the swing and the ballet and the theatres, there's the music and songs and the lyrics. It is a mismatched plethora of things that graced my day, and my life.

The moon shone upon me last night, as I lay quietly on my bed. It was a full moon, bright as the day itself. I could feel the blanket against my naked skin and my hair rustled on my pillow. The little fan running a little noisily on the corner of my room, perched on a makeshift bed sheet container made from cleaned kitty food bucket. I stared at the moon, and it looks back at me. I was home. I was loved.

I don't need a medal or an award to tell me how far I have gone. I don't need a round of applause or a standing ovation to understand the magnitude of my accomplishment. No, I did not do anything 'special'. I did not do anything to deserve a front-page headline or a click bait article. I did not do anything 'live changing' or 'awe inspiring'. I live. That is all. And what an achievement it is.

We like to imagine romantic tales and wondrous stories, the underdog saga that defies odds. How's this for defying odds? Every second, maybe even a nanosecond, our body cells are dying. A part of us, our skin, died so quickly that our house and place of living is littered with our dead skin cells. We are powerhouses that convert energy from other living beings into energy to power ourselves by means of devouring it. And how we grow. How our conscience and soul grow so beautifully. Like looking at a seed of crystal that grows and grows until it was a sight to behold, and still it grows.

We're frail and weak. We're hopeless and useless. We are savages and heartless. Yet we prevailed. Even in the darkest night we still look forward to the light of day. Else we make our own light of day. Even in the most rock-bottom moment, we can still tell ourselves: It will be ok. And we effing believe that. We simply refused to be snuffed out. We simply refuse to give up and be broken. Every heartache, every broken trust, every lie and malicious words and horrid action that suffocates us, that renders us to pieces, shattered us like a broken china, yet still, we smile. Still, we hope. Still, we refuse to lay down and die.

Not everyone has this strength, but for those who don't, there are others who will reach out to them. "Stay with me." "You will be fine." "It's okay." Sometimes we lost our own battle. Sometimes we win. Sometimes, a simple smile or a tender hug, a feeling of skin among skin through handshakes or high fives, it's enough to rouse even the weariest soldier to march to battle one more time. Now tell me Human is not amazing. Tell me Human is not resilient. Tell me Human does not deserve a chance.

For each the dying flowers, there will be million that bloom as beautifully. We are just too stupid to understand when to quit, too stubborn to know when to give up. And we lived on because of our stupidity and stubbornness. We lived on because of our persistence. Even when there is no 'Hope', we will make one. Oftentimes we do not call it hope, we simply trudge along to continue to live. And that insistence that we will live, that insistence to see another day despite the pain and suffering that we experience, what is that if not hope?

I wrote this thinking of the darkest moment of human history: the wars, the killing fields, the gas chambers, the plagues, the slavery both old and new, the prosecuted people. I wrote this thinking about people who did not have a better chance in life, people who got trapped in a degrading circle of life and unable to release themselves. I wrote this thinking about ordinary people and privileged people, one that thinks they have no accomplishment and one that got their accomplishment belittle because of their upbringing. I wrote this thinking about all of you who shared this Earth with me.

You, you did good. You did splendid. You are magnificent, wonderful, amazing. We all have our own battle inside us, and the fact that you are still alive right now, reading this or hearing this if you can't read it, is a great accomplishment. Be proud of yourself. Each of us has a war within us, some are more violent than others. By living you are a work of wonder because you survive the war in you, as well as the external assault of the world. Don't forget that. You. Are. Awesome. And if you are in a better place, if you can feel good about yourself, look around you and try to help others who staggered under their burden, who felt despair over their wars. A simple smile, an easy laugh, a hug, a caring hand and tender eyes, a heart that love, that's all the backup they need.

My world is a beautiful kaleidoscope of mismatch minuscule things, a special kaleidoscope that only I can see. What's in your world? I bet it's as beautiful as mine. As we sat here together holding (virtual) hands, you enjoy your kaleidoscope and I enjoy mine, let us savor our beautiful differences while embracing our souls. We are not alone. We are never alone. Come, and take my hand.

Monday, August 7, 2017

Makan Gengsi

Baca tulisan orang soal beli makan di Sol*ria, ngeri-ngeri sedap rasanya hahaha. Tulisan itu memprotes kenapa harga makanan di restoran itu mahal banget, belum lagi minumnya; dan porsi yang diberikan nggak seberapa pula. Derita dunia deh pokoknya. Saya mengerti perasaanmu mas, saya mengerti…
 
Jangan salah lho, harga-harga restoran di Indonesia itu muahal. Ingat banget dulu jaman kuliah kerjaannya kalau nge-mal sebelum kesana sudah harus makan dulu biar nggak tergoda jajan, atau kalau terpaksa sekali, cari resto fast food dan beli cemilan paling murah (baca: burger goceng/Rp 5,000). Food court juga nggak menjamin keberadaan makanan yang walau terjangkau namun masih beradab. Sengsara mode on kadang.
 
Itu cerita jaman kuliah dulu, sekarang gaji dollar lain cerita dong. Iya kan? Anda salahhhh….. Terakhir pulang ke Jakarta/Bali November 2016, rasanya syok syalala. Bahkan untuk saya yang gajinya dollar, seminggu di Jakarta terkuras lumayan banget. Sekali makan berdua bersama teman di Pizza Hut misalnya, habis sampai Rp 250rb. Kita sih emang makannya agak kalap, semua dipesan. Tapi misalnya gaji saya Rp 5jt, makan sekali sudah 1/20 gaji. Lumayan banget kan? Belum lagi tiap ketemu biasanya di Starbucks atau tempat kopi lainnya, padahal saya disini ke Starbucks kalau lagi diskon atau buy one get one free xixixi.
 
Kadang-kadang, saya bisa mengerti kenapa harganya syalala. Kedai-kedai kopi ternama misalnya, karena mereka menjual pengalaman. Duduk santai sambil menyesap kopi, diiringi alunan music yang chill/bikin adem; baik kerja, ketemu klien, atau bahkan sekedar relaksasi, rasanya jadi pol banget. Dulu waktu kerja dibawa bos saya makan di restoran Indonesia di Kebayoran Baru yang harganya bikin sakit hati, tapi masih bisa ngerti juga. Rasanya memang enak dan kondisinya asik banget, walau untung bukan saya yang bayar. Bisa nggak bayar kos-kosan kalau saya yang harus bayar.
 
Di sisi lain, saya ngemil di gerai restoran Indonesia di Atrium Senen November lalu, harganya mahal, porsi sedikit, nggak enak, dan disajikan di piring Styrofoam. Err…. Agak marah rasanya, karena bagi banyak orang yang lidahnya masih lebih suka makanan Indonesia, pilihannya nggak banyak. Seperti kata si penulis status fesbuk itu, bisa kan sedikit manusiawi gitu porsi dan pelayanannya, jangan rakus nggak jelas.
 
Nah, disini yang agak saru/kurang jelas sih. "Rakus". Bikin restoran itu mahal lho. Ijin usahanya, bayar franchise nya, renovasi ruangan, alat-alat restoran (mulai dari alat masak sampai meja kursi). Mas penulis ini bilang harga markup nya bisa sampai sekian kali lipat. Yah iya sih kalau dihitung dari bahan bakunya saja, tapi kan ada bayar gaji pegawainya, sewa toko, belum pemulusan kanan kiri biar nggak diresehin. Wajar banget kalau kadang restoran 'menggetok' harga agar cepat balik modal. Apalagi kadang buat orang Indonesia, harga mahal dianggap jaminan mutu. Kalau nggak mahal jangan-jangan nggak okehhh. Kalau nggak mahal ngapain juga disamperin. Dari sekian banyak yang komplen soal harga seperti mas penulis ini, masih banyak orang-orang yang menganggap keluar uang segitu adalah bentuk pencapaian.
 
Tapi ini Indonesia, dan nggak ada aturan kalau restoran/usaha apapun semena-mena terhadap pelanggan. Itulah kenapa di tempat hiburan, sebiji kelapa muda bisa seharga Rp 25rb atau bahkan lebih. Atau di daerah turis seperti Malioboro yang makan rame-rame bisa kena hingga hitungan juta, bukan lagi ratusan ribu. Di Amrik sini pemerintahnya juga nggak ngurusin lho. Yang diurus kalau tempatnya nggak bersih, atau kalau nggak sesuai iklan. Kalau bilangnya daging sapi impor tapi yang dipakai daging sapi lokal, pemerintah bisa bertindak. Nah kalau restorannya aja yang nggak cihui? Konsumen dong yang bertindak hehehe.
 
Sudah biasa restoran disini jadi ngehits atau gulung tikar berkat review orang. Orang bisa meninggalkan review di aplikasi Yelp, misalnya. Yelp itu seru karena cukup search/cari apa yang kita mau, lalu akan keluar sekian banyak opsi yang skornya berdasarkan rating pengunjung. Semakin hokehhh tempatnya, semakin tinggi ratingnya. Reviewnya pun biasanya yang lengkap, apa menu yang oke dan apa yang tidak oke, harga, pelayanan, sampai foto menu segala ada, jadi nggak yang deg-degan mau kesana. Yang ngereviewnya ngasal, entah ekstra bagus (karena teman ownernya) atau ekstra jelek (karena ada yang mereka nggak suka) biasanya ketahuan. Singkat cerita cukup terjamin lah.
 
Tapi di Indonesia kan belum ada. Ada baru Qraved, dan itu juga masih baru Jakarta-Bali. Ngeliat review appnya di fesbuk juga sakit hati hahaha. Ada yang numpang jualan (online), ada yang protes kenapa babi mulu yang direview, ada yang protes kenapa ada artikel tentang kenapa babi haram yang ditayangkan, ada pula yang protes kenapa artikelnya tentang restoran semua. Duh Mbakyu, itu logonya saja garpu, masa ngereview bioskop? Ini baru appnya ya yang direview, belum kalau beneran sistem review publik seperti di Yelp. Ampun DiJe…..
 
Satu-satunya cara ya kita yang jadi konsumen yang cerdas. Semua dimulai dari kita, kan? Es teh tawar Rp. 20rb di restoran kelas menengah. Mengantri sekian jam untuk snack kekinian. Yang harus selalu ditanyakan adalah: worth it nggak sih? Sepadan dengan harga dan usahanya nggak sih? Penasaran sih boleh, tapi terjebak latah atau merasa 'harus' sebagai status sosial, mending jangan. Nggak apa-apa kok kalau nggak termasuk kloter pertama untuk beli kue yang paling gres. Nggak usah juga maksain ke resto di mal demi update social media kalau rasa warteg samping rumah lebih enak. Bukan tanggung jawab yang punya usaha kalau harga dan rasanya nggak karuan, tapi jelas tanggung jawab kita untuk memilih apa yang kita rasa baik dan sesuai untuk kita.
 
Masih bingung? Pakai kurs St*rbux deh. Disini harga segelas kopi rasa-rasa (pake susu, krim, etc) itu sekitar ½ gaji per jam. Jadi kalau gaji Rp 2.5 juta sebulan, kerja 25 hari @ 8 jam, upah per jam Rp 12.500, harga kopi wajar itu Rp 6,250. Eitttt…. Ntar dulu. Jangan buru-buru saya disambit pake bon restoran, atau buru-buru menghakimi kalau ada yang gaji sekian makan sekian. Bukan urusan saya atau anda menghakimi siapa beli apa. Poin disini adalah jangan merasa terpaksa demi gengsi. Kalau memang doyan sih nggak apa-apa, tapi jangan karena gengsi. Jangan juga kebangetan kalau ada teman yang menolak dengan sopan ajakan kongkow anda, "Ih, pasti karena nggak sanggup deh, dasar miskin!". Siapa tahu dia bukan nggak mampu, tapi karena ngerasa tempat itu nggak worth it, nggak sepadan dengan harga.
 
Selaku negara dengan daya beli yang (menurut saya) lumayan kuat, sudah waktunya masyarakat Indonesia lebih cerdas dalam memilih pelayanan. Jangan mau lah kita terus dibego-begoin, dibilang 'ini Keren!', langsung kita nurut seperti bebek yang sedang diangon. Kalau ngerasa nggak oke, walau di mal mentereng atau didukung seleb tercihui, ya nggak apa-apa berani bilang nggak oke. Bukan berarti boleh nge-bully ya. Bedain sekedar berpendapat nggak oke dan menolak untuk datang lagi, dengan memaki-maki ria yang sampai cucu sepupu tetangga depan tokonya kena maki juga. Tahu diri juga sih, jangan ngebandingin harga teh tawar di restoran di Mal mentereng yang sewanya berapa milyar dengan harga teh tawar warkop depan rumah. Cerdas, bukan bablas. Biar gimana, mereka butuh pelanggan lho, dan pelanggan juga butuh mereka. Yuk, jadi konsumen yang pintar :)

Thursday, August 3, 2017

Why Did You Smile

"Why did you smile?"
She looked at her questioningly
The woman in the mirror looked back
And they smiled together

Because you are pretty when you smile
You are reassuring and confident
You are warm and full of hope
You are life itself

Because smile is the winter sun
That makes everything looks dazzling
That bring promises of spring
That makes the buds of dream grow

Because smile is a mini summer
A short time where everything seems right
A moment where you seemed to live forever
A period where you are fulfilled

Because smile lift up the burden in us
Even when we are faking it
The little corners of our lips are the buoys
As they rose higher, so does our spirits

Because smile is a refreshing drink
The strong iced coffee that shocks us
The flavorful berry tea that invigorates us
The spicy warm cocoa that seduces us

Because smile is comforting and tender
Like your favorite blankie or teddy bear
Like the embrace of your trusted ones
Like the lit hearth during the storm

Because smile is contagious and unstoppable
It starts with one and ends with countless
Like the wave sound or water ripples
Or domino stacks that run forever

See your smile? Now you feel good
He sees your smile, now he feels good
She sees his smile, now she feels good
The chain keeps getting longer and brighter

"Why did you smile?"
Because I look pretty when I smile
Because it made me happy when I smile
Because I can, I want to, and I'm loving it.

Now tell me, why did you smile?

Search This Blog