Buat yang belum familiar, Grya adalah istilah rumah keluarga di Bali yang biasanya secara spesifik digunakan untuk menyebut rumah tinggal Pedanda (Pendeta di Bali). Seorang kenalan saya (yang Grya nya ternyata hanya 3rumah dari tempat yang saya kunjungi) pernah bercerita tentang Grya nya: luas, lengang, terpencil. Ok, mungkin bukan kata-kata itu yang ia pakai, namun itulah yang ada dalam benak saya: rumah kuno dengan tanah yang luas, hamparan debu dan pepohonan/ rerumputan tak terawat. Saya. Salah. Besar. (Atau to be fair, kenalan saya 'mungkin' menjelaskan kurang akurat. Yeah, saya ngeles).
Dalam buku Blink Malcolm Gladwell menceritakan tentang kurator seni yang mengandalkan kesan pertama (atau tepatnya kata pertama) yang ia rasakan saat melihat sebuah karya seni. Kata pertama saya saat tiba di sana dan melihat kori/gapuranya adalah: Majestic. Megah. Luas, benar; namun juga indah dan unik, bahkan cenderung antik. Saat acara berlangsung (kami menghadiri upacara pernikahan) saya malah sibuk melihat kanan kiri, menikmati suasana yang demikian berbeda. Pada awalnya saya tidak tahu apa yang membuat Grya ini berbeda, namun saya menyadari tata letak rumah-rumah dan kamar-kamar berbeda dari tempat lain yang saya pernah kunjungi. Tampak kuno, tapi tidak setua arca-arca dan candi-candi; namun juga tidak terlalu modern seperti bangunan masa kini. Langit-langit ruangan yang saya lihat tampak rendah, mengingatkan saya pada bangunan kuno jaman Belanda, dan memang menurut kabar Grya-grya di Sukasada termasuk grya kuno. Bukan hanya dari segi arsitektur,
namun juga dari segi suasana. Saya sangat bersemangat, seolah suara masa lalu menyapa saya.
Saya tahu mengelola tempat seluas itu tidaklah mudah, apalagi sambil mengayomi umat (God knows how many 'sacred' events Balinese have!). Tapi saya jatuh cinta dengan tempat ini, dengan ke'antik'an dan pesona masa lalunya. Mungkin orang berpendapat masa lalu itu tidak cihui, tidak keren. Buat saya masa lalu itu penting, bukan untuk dikenang ga jelas namun untuk lebih mengerti diri kita, dan bila kita bisa memahami diri kita sendiri kita akan bisa maju lebih baik.
Apalagi yang bisa diceritakan dari tempat semacam ini, yang berhasil mempertahankan keasliannya justru karena terisolasi dari dunia luar? Kisah perjuangan penjajahan, atau bahkan lebih tua dari itu? Berbagai studi telah dilakukan mengenai istana/kerajaan di Bali, sementara tidak ada (setahu saya) tentang Grya di seluruh Bali. Mungkinkah karena jumlahnya yang terlalu banyak? Padahal menurut pandangan saya Grya selaku tempat tinggal pemuka agama memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, bahkan politik (konon kakek saya dibuang berkali-kali oleh Belanda karena mereka takut akan banyaknya umat beliau). Saya rasa banyak (atau mungkin semua) jawaban dari masalah yang ada di Bali saat ini terletak pada suara masa lalu. Kegalauan kasta (lakukan tugasmu sebelum menuntut hakmu ya mas/mbak); kehilangan jati diri; sampai pengrusakan Bali. Bila kita bisa mengerti bagaimana tatanan dulu dan evolusinya hingga kini saya yakin kita akan mampu
bertindak lebih bijak di masa depan.
Saya yakin besok saya akan sulit berkonsentrasi di kantor. Yang ingin saya lakukan hanyalah berkendara saat senja melewati lebatnya hutan bedugul, dengan kabut yang perlahan turun sementara semburat mentari bermain laksana api dibalik perbukitan bagaikan adegan film Lord of The Ring. Saya ingin menuju sebuah oase masa lalu, menyandarkan punggung saya yang lelah di bangunannya. Dan mungkin, mungkin bila diijinkan, saya ingin mengeluarkan recorder saya dan meminta seorang tetua bercerita: tentang asal usul, tentang kejayaan masa lalu, tentang hikayat dan nasehat. Punyakah anda sebuah oase masa lalu, terutama dalam bentuk Grya di Bali? Bila ya, sudilah membagi cerita anda pada saya. Saya tersihir suara masa lalu.
No comments:
Post a Comment