AdSense Page Ads

Monday, January 30, 2012

Happy Family Holiday, (Balinese) Singles!

Yes, i'm still single
Yes, it has been quite a while
No, I'm fine with being single
Yes, I know I'm getting older
Yes, I know that women (traditionally) are expected to be a mother and wife
Yes, I do like men
Yes, I keep my eyes open for potential husband
No, it's very kind of you but I doubt that your long-lost-thrice-removed cousins will be a suitable match
Yes, I will give it a try if you insist
No, I don't have reachable mobile number but please feel free to Facebook me
Yes, I also hope that I will get marry someday (haven't we discussed this??)
Yes, having child or children will be nice (i rest my case)
No, in my age it actually feels good to be single
Yes, I may not be that young but I'm not that old either (would you like to see my ID??)
Yes, with the Bless of Lord I believe I will find the right man
No, I really am not in a rush to start a family (here we go again...)
Oh, it's about time! (FIUH..!)
I'm sorry but I really have to go. See you all in 6 more months!!

Monday, January 16, 2012

Selamat Pagi Tuhan :)



Entah kenapa pagi-pagi tiba-tiba teringat lagu ini. Walau sebenarnya saya belajar lagu ini cuma sekedar syarat saat SMP (saya masuk ke SMP Katolik), tapi buat saya lagu ini benar-benar mengena dan sangat berkesan. Tenang, saya masih teguh memegang Hindu ;).

Yang saya suka, lirik lagu ini sebenarnya universal dan bisa masuk untuk agama manapun. (Jangan tersinggung ya, para pembaca yang beragama Nasrani, ini pujian lho). Semua agama pasti umatnya akan memuji Tuhan, akan memohon diberikan rejeki, akan meminta dijauhkan dari godaan dan diampuni semua kesalahannya. Coba saja buka pikiran anda dan coba resapi lirik ini. Sama kan? :)

Bapa Kami - Versi Filipina
Bapa kami di dalam surga
Dimuliakanlah namaMu
Datanglah kerajaanMu
Jadilah kehendakMu
Di bumi dan di surga

Berilah kami rejeki
Pada hari ini
Ampunilah dosa kami
Seperti kamipun mengampuni
Yang bersalah kepada kami

Jangan masukkan kami dalam cobaan
Tapi bebaskan kami dari yang jahat
Sebab Tuhanlah Raja
Yang mulia dan berkuasa
Untuk selama-lamanya
Amin, amin, amin


Selamat Pagi Tuhan, I love You so much ;)

Sunday, January 15, 2012

Cinta dan Kasta




Mari kita luruskan: Cinta dan Kasta tidak ada hubungannya. Cinta adalah sesuatu yang... tak terduga, tak bisa direncanakan, tak bisa dihindarkan. Dengan kata lain ada campur tangan Tuhan disini. Kasta, disisi lain, adalah sistem sosial buatan manusia. Terlepas dari keakuratan system ini, satu hal yang pasti: tidak mungkin anda bisa zeroed in/ menyetel diri anda untuk jatuh cinta atau bahkan bergaul hanya dengan kasta tertentu. Bisa sih sebenarnya, anda hanya harus menanyakan nama lengkap/silsilah keluarga tiap orang yang anda temuin. Ini memakan waktu dan jelas menghilangkan kesempatan anda untuk lebih dekat dengan orang-orang yang mungkin sudah ditakdirkan untuk bertemu anda.

Tanggapan yang sering kali muncul dari orang berkasta (e.g Dayu) atau keluarga mereka adalah: “nanti kalau terlalu jauh pacarannya dia bisa kawin keluar/turun kasta!” [Saya pribadi tidak setuju istilah “turun”, mungkin tepatnya keluar dari keluarga. Saya percaya setiap manusia diciptakan sama.] Pertanyaannya disini: apakah itu sedemikian salah? Secara system social mungkin dianggap tidak pantas, namun apakah demikian halnya dengan pribadi dan nurani masing-masing?

Untuk menjawab pertanyaan itu saya akan bertanya pada para wanita: apa yang anda cari dari seorang pria? Uang/kekuasaan? Strata social yang baik? Kehidupan yang menyenangkan? Tiap orang memiliki alasan sendiri untuk memilih pasangan. Buat saya (dan mungkin jutaan wanita modern lainnya) yang terpenting adalah kasih sayang dan stabilitas. Saya berpendidikan, memiliki karir yang bagus, mampu mencari uang sendiri. Ketiga hal ini memastikan strata social saya dikalangan masyarakat umum (paling tidak non-Bali); dan memastikan bahwa saya hanya perlu memiliki pasangan bila saya ingin, bukan karena saya butuh. Saya tidak perlu menikahi seseorang hanya agar saya dinafkahi atau agar status social saya terangkat, tapi saya perlu (dan ingin) menikahi seseorang yang bisa membahagiakan saya hingga akhir hayat. Bila anda seorang wanita yang berpendidikan, yang memiliki karir dan mandiri, anda pun sama seperti saya. Kita memiliki hak untuk memilih pasangan kita, mencari yang sepadan secara pribadi dan bukan hanya secara gelar.

Secara adat ini salah? Mungkin. Namun bila prinsip “penyucian darah” (menikah dengan kasta lain berarti keluar dari keluarga) diberlakukan untuk para wanita berkasta (e.g. Dayu), maka harusnya ini juga berlaku bagi pasangan pria nya (i.e Ida Bagus). Secara genetis DNA anak adalah gabungan dari DNA kedua orang tuanya, kenapa kita bisa senaif itu dan menganggap hanya pria berkasta (e.g. Brahmana) yang bisa menghasilkan keturunan yang “suci”? Kelinci coklat yang dikawinkan dengan kelinci hitam akan menghasilkan paling tidak satu keturunan berbulu campuran. Secara logika ilmiah bukanlah tidak mungkin seorang (e.g. Dayu) yang menikah keluar akan menghasilkan keturunan yang “bersinar”. It’s in her blood. It’s in her soul. Dan lagipula, teori ini tidak menjelaskan tentang anak “astra” (anak yang lahir diluar pernikahan) dan hasil selingkuh.

Soal dosa? Harus saya akui saya tidak terlalu percaya dengan surga-neraka. Tuhan pasti akan mengadili saya dan mungkin hanya sedikit dosa yang lebih besar daripada mempermalukan orang tua/leluhur. Namun mari kita berpikir lagi. Bila leluhur dan Tuhan sedemikian menyayangi anda, tidakkah mereka ingin anda bahagia? Tidakkah karma baik mereka akan bertambah bila keturunan mereka, terlepas siapapun namanya, menyebarkan kebaikan di dunia hingga tercapai apa yang umat Nasrani sebut sebagai ”Damai/Surga di dunia”? Saya mungkin tidak tahu apa-apa, tapi saya yakin Tuhan tidak picik. Bukan siapa yang saya nikahi, namun apa yang saya perbuat di dunia ini yang Ia pertimbangkan.

Di dunia yang hampir kiamat ini kita perlu lebih banyak orang baik. Kita perlu lebih banyak orang yang mengasihi sesamanya. Dan itu [hanya] bisa dipelajari dengan baik dari keluarga inti, dari orang tua yang saling menyayangi, saling menghormati, saling memikul tanggung jawab. Dan itu hanya dapat terjadi dalam sebuah ikatan [pernikahan] yang didasari kasih sayang dan tanggung jawab. Bila anda (atau keluarga perempuan anda) kebetulan mendapatkan semua ini didalam diri pria yang sama kastanya, mengapa tidak? Seorang kenalan saya mendapatkan semua ini, dan bahkan sang suami rela Sentana (masuk ke keluarga wanita) demi istrinya. Namun bila kebetulan anda mendapatkannya dari yang berbeda kasta, ini juga bukan akhir dunia.

Saya ingin mengajak semua pembaca [Hindu Bali] untuk mencerna ini dengan bijak, dengan netral. Saya tidak menyarankan agar kita merombak ulang system social yang ada. Yang saya sarankan adalah untuk maju, untuk menata kehidupan yang lebih baik berdasarkan/dengan belajar dari masa lalu dan bukan dengan keras kepala mempertahankan masa lalu itu. Secara umum, nama dan kasta sudah semakin hilang pengaruhnya, melebur di dalam kompleksnya masyarakat. Hanya orang Bali yang mengerti bedanya Dayu dan Sagung, dan bahkan hal itu tidak berpengaruh saat anda mencari pekerjaan atau ilmu. Hak-hak wanita pun kini semakin diakui, di negara-negara arab yang terkenal kaku para wanita (akhirnya) diperbolehkan membuka bisnis, mengemudi mobil, bahkan memilih pemimpin. Para wanita dalam naskah-naskah suci selalu merupakan obyek yang dihormati, bahkan ibu dari para Kurawa sekalipun. Saatnya memberikan kehormatan itu kembali untuk para wanita [Hindu] Bali. Biarkan kami memilih pasangan kami, biarkan kami membesarkan anak-anak kami tanpa tekanan dan paksaan. Biarkan kami mengatakan dengan tegas: “I wouldn’t choose or reject a [potential] partner just because of his name.”

Pada akhirnya anda [para wanita]lah yang harus memilih, apakah anda akan berbahagia dengan pilihan anda. Dan bila ada diantara para pembaca budiman yang kebetulan keluarga perempuannya menikah beda kasta saya harap saat ini anda sudah cukup legowo dan mau mendukungnya. Ingat untuk berpikir, berpikir, dan berpikir. Pernikahan bukanlah suatu permainan iseng-iseng. Jangan terburu mengatakan Ya atau Tidak hanya karena kepanikan/kesesatan sesaat, karena terpengaruh Romeo+Juliet atau karena takut terbuang dari keluarga. Pernikahan adalah untuk selamanya, dan Kebahagiaan adalah pilihan anda: anda bisa berbahagia di rumah BTN atau bersedih di Istana, pikiran dan tekad andalah yang mennetukan kebahagiaan anda. Dan para wanita, anda berhak untuk berbahagia. Anda harus berbahagia karena kebahagiaan anda adalah kebahagiaan anak-anak anda, dan anak-anak mereka, dan seterusnya. You owe that to the world, you owe that to God. Kebahagiaan ada di tangan anda sendiri :).

Tuesday, January 10, 2012

Jadi, Apa yang Anda Lihat?

Mari bermain :)
Apa hal pertama yang ada di benak anda saat melihat gambar ini?


Hitam
Putih
Overweight
Montok
Tua
Muda
Pasangan
Teman
Letih
Hitam
Bahagia
Jelek
Tampan
Ga penting
Menarik


ada lagi?

Bila anda menunjukkan gambar ini ke 10 orang, belum tentu 10 orang itu akan menjawab sama. Itu karena tiap orang memiliki pandangan dan pertimbangannya sendiri, yang didapat dari pengalaman hidupnya dan didikan lingkungannya, kecuali anda menunjukkan 10 gambar ini ke orang yang memiliki pandangan yang 100% sama dengan anda (e.g. anda menunjukkan gambar ini ke perkumpulan Ku Klux Klan anda: "That bloody filthy colored nigger bitch!", and so on).

Beberapa kata-kata yang pernah dipakai untuk mendeskripsikan saya: judes, tegas, ramah, kasar, baik, cuek, setia, tidak setia, cantik, tidak menarik, montok, gemuk. Banyak yang bertolak belakang? Tentu saja. Seseorang mendeskripsikan teman saya diatas sebagai seseorang yang penuh perhatian, baik, ramah, bisa diandalkan, terpercaya; sementara orang lain mendeskripsikan dia sebagai seseorang yang lambat, tidak bisa diandalkan, dan sulit diajak berdiskusi. Mana yang benar? Mungkin semuanya.

Pernah dengar cerita 5 orang buta yang mencoba mengenali gajah? Yang memegang gading gajah berpendapat bahwa gajah tajam, licin, dan keras. Yang memegang belalainya berujar gajah itu lentur dan kuat. Yang memegang ekornya bersikukuh bahwa gajah itu kecil dan halus. Dan seterusnya. Cerita ini sering kali dipakai untuk mendeskripsikan betapa besarnya Tuhan, sedemikian besar sehingga manusia hanyalah seperti para orang buta itu yang tak mampu menangkap wujud asli kebesaran Tuhan. Menurut saya sebenarnya hal ini juga berlaku untuk manusia. Seberapapun anda pikir anda mengenal manusia lain, seberapa banyak pun anda membaca buku psikolog, tak mungkin untuk mengerti sepenuhnya seorang manusia. Ya, anda bisa mengerti sebagian dan menggunakan pengetahuan itu untuk memanipulasi, erm maksud saya mencoba memahami orang tersebut (biasa, sales). Tapi anda tak akan mengerti manusia itu sepenuhnya. Apakah anda saja mampu mengerti diri anda sendiri?

Yang menarik adalah, orang memandang orang lain berdasarkan apa yang ingin ia lihat, berdasarkan apa yang sudah terdoktrin dalam pikirannya. Seorang dosen yang keras mungkin dianggap tegas oleh mahasiswanya yang menghargai ketegasan dan empowerment, namun dianggap sadis oleh mahasiswa lainnya yang lebih menghargai kekeluargaan. Seorang kaya yang mengebut dengan mobil Ferrari nya mungkin dianggap orang hebat oleh seseorang yang menghargai barang-barang mewah namun dianggap orang norak oleh lainnya yang anti kapitalis. Itulah masalahnya, semua pandangan mereka benar. Paling tidak menurut diri mereka sendiri.

Kenapa ini penting? Karena dengan memahami bahwa sangat wajar orang lain memiliki pandangan dan pertimbangan berbeda, kita akan mampu menjadi lebih toleran kepada orang lain. Kita akan mengerti dan tidak mudah sakit hati dengan omongan orang, dan sebaliknya, kita pun akan bisa berpikir lebih luas. Siapa tahu orang yang sedemikian kita benci ini memiliki sisi baik. Yeah, mungkin kita benci orang yang kita anggap pelit, namun bila kita mengerti bahwa ia menolak nongkrong di starbux bersama kita namun rela mengeluarkan uang lebih banyak untuk saudara jauhnya yang sakit, bukankah itu akan membuat anda menjadi berpikir ulang?

Saya tidak perlu merasa sakit hati bila seseorang menyebut saya gendut, karena itu hanya di pikiran dia dan ada orang lain yang tidak berpendapat demikian. Saya pun bahagia dengan bentuk badan saya, so what. Anda tidak perlu merasa stres karena dibandingkan dengan si A yang tampak lebih dari anda (lebih kaya, lebih pintar, lebih segalanya deh), karena ada orang yang (saya yakin) menganggap anda memiliki nilai lebih daripada si A. Sekali lagi, ini bukan berarti saya memang tidak gendut atau anda memang tidak bodoh, ini hanya berarti orang-orang melihat kita secara berbeda. Daripada sibuk memikirkan omongan orang lain atau justru sibuk menilai orang lain, lebih baik anda sibuk membuat diri anda merasa nyaman dengan diri anda dan membuka diri atas kebaikan dan kelebihan orang lain. It's the key to happiness.

Saya Mundur, Roger!

Jakarta Lawyer Club via debat di TvOne kemarin (dan berbagai narasumber lainnya) menyatakan bahwa AAL tidak mencuri sandal jepit itu, si maling pisang memang tidak bersekolah, dan seterusnya.

Apakah hanya saya saja yang merasa tersesat dan tertipu disini?

Ini rentetan klasik banget: Saat sebuah berita sensasional (baca: buruk) hadir, maka pihak yang dituduh akan mengeluarkan klarifikasi (dalam hal ini pak Polisi), lalu pihak yang menuduh (dalam hal ini pembuat berita) akan mengeluarkan pernyataan yang memjustifikasi/membenarkan beritanya. Pertanyaannya adalah, dari mana kita tahu bahwa penulis berita memang menyatakan yang seharusnya (dan pembelaan si tertuduh i.e. pak polisi ini cuma "ngeles"); dari mana kita tahu penulis berita yang memang menyatakan hidup lebay? Jawabannya adalah: kita tidak tahu. Atau tepatnya, saya tidak tahu.

Jujur, lumayan muak melihat berita yang ada dan saya kehilangan orientasi akan mana yang benar dan yang salah. Begitu banyak jawaban dan jawaban dari jawaban sehingga hampir tak mungkin menentukan mana kepala dan mana ekor. I got lost. Sementara masalah utamanya yaitu kriminalitas tertutupi oleh sensasi yang menggelegar. Sorry, kalau si pencuri pisang ini cacat mental maka yang harusnya dikejar adalah tuntutan lebih berat bagi orang yang menyuruhnya, bukan malah demo agar ia dibebaskan. Mengambil hak orang adalah kejahatan, sekecil apapun itu. I think we need to realize this. In the meantime, saya memutuskan untuk tidak dekat-dekat dengan headline/berita menggelegar. Saya mundur, roger!

Wednesday, January 4, 2012

PERIKSA KEMBALI HEADLINE ANDA!

Untuk para jurnalis [resmi dan tak resmi] yang membaca ini:
TOLONG. PERIKSA. KEMBALI. HEADLINE. ANDA

Contoh Headline:


Contoh isi:


Kuatno (22), seorang pemuda yang menderita keterbelakangan mental menjadi tahanan kepolisian dan dititipkan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cilacap, Jawa Tengah hanya karena dirinya tertangkap basah mencuri pisang bersama temannya.

Adakah diantara para pembaca budiman yang bisa menemukan apa yang salah?
Ayo, perlahan-lahan kita bedah.

"Anak cacat mental ditangkap gara-gara pisang"
"Pemuda dengan keterbelakangan mental masuk tahanan karena mencuri pisang"


Saya membayangkan seorang anak yang benar-benar terbelakang tertangkap tangan dengan barang bukti 3 atau 4 buah pisang [yang terpaksa ia ambil untuk menyambung hidup, atau tak sengaja ia ambil karena tidak tahu]. Ada lagi yang membayangkan lain? Ada yang membayangkan bahwa yang ditangkap adalah pria berusia 20 tahunan yang mencuri 9 tandan pisang? Bahkan usia 17 tahun pun sudah tidak bisa lagi dianggap "bocah" ataupun "anak".

Bukan beberapa buah pisang untuk menyambung hidup atau karena ketidak tahuan seorang bocah cacat mental, namun 9 tandan pisang. SEMBILAN tandan pisang! Dengan berasumsi satu tandan berisi 7-10 sisir, dan satu sisir berharga 12 ribu rupiah, orang ini (bila berhasil) bisa mendapatkan hingga SATU JUTA DELAPAN PULUH RIBU RUPIAH!!!! Yang berarti hanya sekali sikat mereka mendapatkan uang senilai gaji seorang pegawai minimarket yang harus bekerja banting tulang selama 1 bulan penuh. Headline dan isi berita tersebut bukan hanya tidak adil namun juga bias/mempengaruhi opini masyarakat. Ini sebuah kasus kriminal murni yang ditulis seolah-olah terjadi ketidak adilan terhadap pelaku pencurian. Berita macam apa ini???

Maaf bila saya terdengar begitu emosi, namun saya percaya bahwa jurnalis (begitu pula profesi lainnya) memiliki tanggung jawab terhadap apa yang ia tulis/lakukan. Tentu saja, berita ketidakadilan polisi terhadap seorang bocah terbelakang menjual, saya tidak ragu ada berapa ratus ribu (mungkin juta) orang yang meng-klik dan membaca artikel tersebut. Tapi apa yang akan didapatkan para pembaca dari berita itu? Bahwa baik-baik saja mencuri dari orang yang "lebih" dari kita? Bahwa baik-baik saja melakukan tindakan kriminal karena anda cacat? Rekan-rekan terhormat, tindakan kriminal adalah tindakan kriminal! Tidak ada pembenaran untuk sebuah tindakan kriminal! Apalagi yang memang niatnya memperkaya diri dan bukan untuk menyambung hidup.

Tulislah sebuah berita dengan netral: apa fakta nya, apa yang sebenarnya terjadi, apa pandangan dari kedua belah pihak. Jangan hanya menulis sesuatu yang membuat opini, kecuali anda memang menulis sebuah kolom opini seperti blog ini. Dengan begitu seharusnya isi headlinenya adalah : Seorang pria yang diduga terbelakang mental tertangkap mencuri beberapa tandan pisang, atau seorang Pria tertangkap mencuri pisang. Ga menjual? Mungkin. Tapi setidaknya tidak menyalah artikan informasi tersebut. [UPDATE: Mabes Polri menyatakan bahwa pelaku pencurian TIDAK cacat mental dan ia mencuri hingga 15 tandan!)

Satu hal lagi, sudah saatnya kita membalik logika kita: dari "koruptor saja cuma kena 5 tahun, masa pencuri kecil-kecilan kenanya 5 tahun juga" menjadi "pencuri kecil-kecilan saja kenanya 5 tahun, masa koruptor kenanya 5 tahun juga". Bisa bedain kan? Kalau patokannya berdasarkan hukuman koruptor (yang memang tidak adil), bisa-bisa para maling dan pelaku kriminal lainnya kena hukuman minim sekali atau bahkan dibebaskan. Tidak peduli apa pandangan anda, saya jelas tidak mau jadi korban tindak kejahatan hanya karena pelakunya pede tidak dikejar/dihukum sepantasnya. Kecuali memang putusannya tak masuk akal tolong berhenti menuntut keringanan hukuman tindakan kriminal [kecil-kecilan], dan mulailah menuntut kenaikan hukuman bagi koruptor. Pena anda adalah pedang anda, gunakan dengan sebaiknya.

Tuesday, January 3, 2012

Broken Home (harusnya) Bukanlah Broken Life



Sedikit isi dalamnya:

Sumarjoko [pengacara ketiganya] mengatakan YBR (17), DR (17) dan MDS (19) adalah anak-anak dari keluarga miskin yang sejak kecil sudah hidup di jalanan. YBR alias Riko adalah yatim-piatu yang sejak usia 12 tahun sudah ditinggal meninggal oleh orang tuanya di Manado. Sedangkan MDS adalah anak yatim yang sejak usia 15 tahun hijrah dari Medan ke Jakarta.

Mereka gampang terpengaruh, sangat setia dengan kesetiakawanan kelompok walau itu salah. Merampok bersama dan berfoya-foya menikmati hasil rampokan bersama-sama pula," ucapnya.


Oh give me a break. Jangan pake alasan klise ini deh....
Apa semua orang yang broken home memiliki alasan untuk jadi "rusak"? Apakah orang yang tidak broken home sudah pasti aman damai tentram? Maaf banget bila saya terdengar kasar, tapi saya lumayan muak dengan alasan ini.

Stop disitu. jangan mulai menuduh saya tidak tahu beratnya hidup sendiri, atau sulitnya tidak memiliki orang tua. Setiap ada orang yang menjawab seperti itu saya selalu pengen menukas, "Emang elu aja yang sengsara??". Saya tahu rasanya hidup di keluarga yang tidak tenteram, yang rasanya setiap hari adalah neraka. Saya tahu rasanya saat baygon terlihat menggiurkan dan jalanan dibawah jembatan penyeberangan terlihat begitu menggoda. Saya tahu rasanya menangis sendirian dan bertanya kenapa Tuhan repot-repot menciptakan saya. Dan bukan hanya saya, begitu banyak orang-orang yang saya kenal yang mengalami hal yang sama. Kami menangis bersama, tertawa bersama, berkembang bersama. Tak ada orang yang tahu masa lalu kami, kepedihan kami; karena itu memang tidak relevan, terpuruk dan kalah bukanlah sebuah pilihan.

Saya dan teman-teman saya terberkati, itu benar. Apapun masa lalu kami, kami terberkati dengan lingkungan yang baik, pendidikan yang memadai, dan yang paling penting: kepercayaan diri untuk menghadapi dunia. Bila dibandingkan dengan anak-anak ini, ibaratnya kami maju perang dengan tank baja, sementara mereka dengan bambu runcing. Tapi ada lagi satu hal yang krusial: pilihan. Kami memilh untuk menjadi lebih baik. Saat anda memilih untuk menjadi lebih baik, yang anda bisa lihat disekeliling anda hanyalah kesempatan-kesempatan indah; saat anda memilih untuk menjadi buruk, yang anda bisa lihat hanyalah kenegatifan yang terus menenggelamkan anda. Sayangnya anak-anak ini bahkan tidak memiliki pilihan untuk memilih.

Bukan hanya keluarga yang menunjang perkembangan seseorang, namun juga lingkungan. Siapa yang mengajarkan mereka untuk "Merampok bersama dan berfoya-foya menikmati hasil rampokan bersama-sama pula"? Lingkungan. Cerita-cerita kriminal di TV yang menggambarkan mudahnya menyakiti orang lain, ketidak pedulian yang ditunjukkan para pemimpin kita tercinta. Bad news is good news, semakin buruk sebuah berita semakin ekstrim berita itu ditayangkan, dan jelas semakin tinggi dampak paparannya terhadap generasi muda. Entah kemana pendidikan PMP dan PPKn dahulu, yang walaupun membosankan namun mengajarkan kebaikan dan kesopanan. Entah kemana para ulama dan petinggi agama, sebagai sebuah negara yang konon agamanya kuat sangat menyedihkan generasi mudanya menjadi seolah tak berTuhan.

Jangan salah, ini bukan cuma untuk para broken-homers. Banyak sekali generasi muda yang memiliki ayah ibu lengkap juga terjerumus. Di Denpasar, contohnya, beragam organisasi kepemudaan bermunculan yang tampaknya tidak memiliki faedah khusus kecuali nongkrong-nongkrong dan, ahem, menjaga keamanan. Dimana anak muda berkumpul tanpa alasan jelas disitu ada miras dan keberanian semu, bahan-bahan utama untuk terjerumus ke kriminalitas. Di Bandung ada geng motor yang dengan manisnya menghajar orang dan merusak toko. Jakarta juga memiliki berbagai klub-klub seperti ini. Apakah mereka semua broken home? Belum tentu. Apakah mereka meresahkan? Sudah jelas.

Saya tidak memiliki bayangan bagaimana mengatasi penyakit masyarakat ini. Kita harus menjadi orang yang lebih baik dan menghargai orang lain, para guru dan pemuka agama perlu lebih banyak mengajarkan kebaikan dan pentingnya menjaga hak orang lain (tidak, menganjurkan membunuh atau melukai orang lain yang "berbeda" jelas tidak termasuk menjaga hak asasi orang lain), media harus berhenti terus-menerus mengumbar berita buruk dan kemewahan yang tidak ada artinya. Sulit bukan? Satu hal yang bisa anda lakukan, demi Tuhan pakailah kondom, stop making children. Dan bila anda kebetulan punya anak, tolong banget rawat anak anda, bertanggung jawablah terhadap anak anda. Bukan hanya memberinya kebutuhan dasar, namun juga cinta dan kasih sayang, dan mempersiapkannya menjadi manusia yang lebih baik. Bertanggung jawablah.

Monday, January 2, 2012

You Look Best When You Smile

You look best when you smile
It was like the sun shine through the cloud
Like the rainbow after the rain
Like the warm spring wind after the harsh winter
You maybe not a beauty queen
And definitely not James Bond
But seeing you smile fills my heart with gladness
Making me feel the world is such a beautiful place
So smile, angel. You'll never know who you might saved with your warm, honest smile
Cause you look best when you smile

- This note is dedicated to all that read this article. Smile, gorgeous ;) -

Sunday, January 1, 2012

Live in Love




Catholic is shaken by reports of sexual abuse, but priest in Detroit keep delivering items for the needy even though their church is gone

Christian is said to be harsh and aggresive to homosexual and other religion, but my Christian foster father only spoke of love and acceptance no matter how lewd i seem to be

Hindus in India/Pakistan is responsible for viscious attack to the moslem, but my priests and books taught me only kindness and understanding the universe

Jewish is loathed by probably half of the world due to the fight for the "promised land", but they do not hesitate to back and bring justice for a little girl that being harrassed by a small group within themselves

Moslem has been pictured as "the bad dudes" and militant thanks to a small group people who thinks terrorizing will earn them respect, but an Arab helps a group of Jewish to escape Nazi while knowing fully well the horrible risk of his action.

Those are but a glimpse of how religion is portrayed and how it actually works in reality. It was never about the religion, it was always about the people.

Generalizing people based on their religion is not only stupid, but also discriminative. Saying that all Jewish are crooks, all Moslems are terrorists, all Christians are bigots is like saying all blacks are violent, all asians are stupid, all westerners are immoral. None of it true. You cant accuse a group sharing the same (unpleasant) trait just because a few member of the group act indecent. Would you like to be accused a rapist just because one of the people in your family/circle of friends is a rapist? I assume not.

These facts sound irrelevant, unimportant, can be brushed aside. But I beg to differ. The world is in crisis, and the only way to ride through the storm is to face it together. Answer truthfully: does it matter if a Moslem or a Jewish is your cashier at the supermarket? Does burger made by a devout Christian at your local fast food joint taste better? Assuming you dont know what their religion is, the answer would be NO. The reason is simple: religion is one's business with God, not with people. Except when they forced their religion during what should've been professional work, I see no reason to complain or discriminate.

Take a deep breath and try to digest this: religion is one's own business with God, it's not other people's business. Let it go. Have faith in human. All religion taught love and compassion, and all human (even the atheist) are born with it. Love one another, see through religion, skin color, or whatever difference that you can creatively find. All living things are unique and different, cherish it :)

Search This Blog