AdSense Page Ads

Monday, April 27, 2015

Defensive Medicine: Pelajaran dari Amerika

Kemarin saya dan suami tidak enak badan/discomfort setelah makan di sebuah restoran Vietnam. Kepala rasanya melayang, perut kembung, deg-degan, pokoknya tidak nyaman deh. Awalnya kami menduga kami overdosis garam, apalagi seharian kami makan makanan yang asin. Namun setelah saya browsing internet kemungkinan kami kebanyakan MSG. Tebakan saya ini diperkuat oleh mbak-mbak dari Poison Control yang ditelepon oleh suami saya. Poison control adalah hotline yang khusus menangani kasus keracunan. Asik kan. Balik lagi, si mbak-mbak di Poison Control ini juga langsung menebak bahwa kami kebanyakan MSG dan memberitahu kami kalau gejalanya akan pelan-pelan hilang dalam sejam-dua, jadi kami tidak perlu panik. Saya yang sudah biasa kebanyakan MSG di Indonesia jelas santai. Badan saya memang tidak nyaman/discomfort, tapi saya tahu badai pasti berlalu (taelah); sayangnya si Akang tetap panik dan pergilah kita ke Urgent Care, dan disinilah cerita defensive medicine ini dimulai.

Sampai di Rumah Sakit, kami langsung ditangani oleh seorang suster. Dia mengecek kondisi vital si Akang, lalu memutuskan bahwa karena kondisi si Akang stabil maka ia bisa ditangani dokter Urgent Care dan tidak perlu ke Emergency Care. Syukur deh, batin saya, soalnya Emergency Care itu mahal bo'. Sebenarnya si Akang sudah membaik keadaannya, tapi karena sudah terlanjur disitu ya sudahlah kita menunggu dokternya. Begitu diperiksa oleh dokter (yang cuma dites flushing/kemerahan di wajah dan didengar nafasnya) pak dokter ini langsung dengan final bilang "Kamu alergi. Untung kamu cepat datang." Saya sampai bengong. Saya tanya-tanya ke dokternya (dan setelahnya ke susternya) kenapa bisa didiagnosa alergi. Makanan yang kami makan hari itu dan hari sebelumnya kurang lebih makanan rutin kami, dan tidak pernah ada reaksi sebelumnya. Baik dokter maupun susternya bilang kalau reaksi alergi nggak harus langsung, bisa jadi karena makanan/paparan 72 jam sebelumnya; dan kadang kita bisa tiba-tiba alergi dengan makanan yang biasa kita makan.

Singkat cerita, akhirnya kami menurut saat si Akang diberikan suntikan Prednisone untuk meredakan inflamasi akibat (konon) alerginya. Sebelum disuntik itu kami sudah bertanya dengan gigih apakah ada efek samping seandainya dia tidak alergi tapi mendapat suntikan ini, dan susternya bilang tidak. Sayangnya setelah kami menebus obat di apotik (Prednisone oral plus Ranitidine untuk mengurangi efek samping Prednisone) barulah kami tahu bahwa Prednisone bisa menyebabkan sulit tidur dan disarankan untuk tidak minum Prednisone ini setelah pukul 6 sore. Walhasil si Akang saya (yang memang punya riwayat insomnia) baru bisa tidur jam 2-3 subuh, itu pun sudah dibantu dengan obat penenang. Ngelus dada dong saya jadinya.

Kalau di Indonesia, si Akang pasti langsung disuruh pulang dan paling dibekali pereda sakit. Cuma kebanyakan MSG gitu lho. Itu juga via makanan dengan jumlah yang masih masuk akal, bukan karena iseng nenggak sebungkus besar ajinomoto. Tapi disini karena prevalensi/kemungkinan alergi di Amrik sini lumayan tinggi, maka mereka langsung memvonis alergi. Sama halnya dengan nyeri dada/chest pain yang langsung ditangani seperti kasus serangan jantung oleh tenaga medis disini karena tingginya tingkat serangan jantung. Si Akang yang misuh-misuh karena menganggap dokternya 'miring' juga coba saya tenangkan dan jelaskan seperti itu: Kalau ternyata dia memang benar alergi dan tidak ditangani maka dokternya nanti bisa dituntut kelalaian, jadi lebih baik alerginya diobati karena toh sebenarnya kebanyakan MSG tidak perlu penanganan apa-apa. Dalam hati sih saya tetap merasa tidak masuk akal. Saya dan si Akang gejalanya sama kok bisa cuma dia yang alergi, saya tetap berpikir bahwa kami cuma kebanyakan MSG. Tapi ya itulah defensive medicine, lebih baik mengobati ekstra (selama tanpa efek samping) daripada lalai mengobati.

Orang-orang yang cerdas pastinya khawatir dengan kriminalisasi dokter di Indonesia yang topiknya lagi naik daun belakangan ini. Kalau dipikir-pikir nggak masuk akal malah. Mana pernah anda mendengar orang di Indonesia menuntut kalau barang yang direparasi tidak bisa dibetulkan atau malah jadi tambah rusak, padahal itu bisa dengan gampang diteliti yang salah siapa. Ini dokter yang mencoba membetulkan badan orang yang jauh lebih kompleks dari mesin manapun kok bisa dengan cepatnya divonis. Bukan berarti di Amerika sini dokter nggak bisa dituntut ya, mereka juga bisa dituntut malpraktek kok. Tapi ya itu tadi, pembuktiannya harus benar-benar kuat lengkap dengan saksi-saksi ahli yang bisa menunjukkan bahwa si dokter ini memang menyalahi prosedur. Apa saya bisa menuntut dokter saya yang memvonis si Akang alergi? Jelas bisa, tapi saya harus siap membuktikan kalau si Akang memang benar tidak alergi dan pengobatan yang diberikan dokter ini secara signifikan merugikan saya.

Iya tahu kok, banyak dokter di Indonesia yang memang tidak becus dan nakal. Sama saja, di tiap profesi apapun  pasti ada yang model begini. Jaman saya kuliah dulu saya sampai harus bertengkar dengan wakil dekan saya yang tidak mau memberikan keringanan karena menurut beliau alasan saya kerja untuk untuk membayar kuliah itu cerita lama. Saya sampai membentak beliau dengan menangis saking kesalnya "Apa ibu perlu bukti??". Saya nggak tahu siapa yang pakai alasan itu sebelumnya, tapi mereka jelas kampret banget karena kalau mereka memang benar kerja pastinya wakil dekan tersebut tidak malah jadi mencemooh dan patah arang mendengar alasan tersebut. Contek-mencontek dan jual-beli soal ujian juga sudah biasa. Kebayang kan, kalau untuk lulus kuliah saja sudah menghalalkan segala cara, bagaimana ceritanya kalau sudah pegang pasien. Kalau dengar soal malpraktek mau tidak mau ingatan saya melayang ke orang-orang ini yang hobinya bolos dan kelihatan sekali tidak niat kuliah. Tapi tidak semua dokter seperti itu. 

Dokter, sebagaimana profesi lainnya, adalah panggilan hidup. Pastinya ada orang yang nilai kuliah manajemennya jeblok dan jarang masuk kuliah, tapi saat kerja dia adalah manajer paling top karena dia 'mengerti' orang. Sama dengan dokter. Hafal mati semua materi kuliah jelas membantu, tapi di lapangan yang diperlukan bukan cuma knowledge, di lapangan yang juga diperlukan adalah art/seni. Seperti layaknya seorang lulusan sarjana kesenian yang mungkin tahu seluruh teori lukisan (style warna etc) namun belum tentu bisa menghasilkan adikarya. Yang lebih runyam, tubuh manusia itu berbeda satu dengan yang lainnya; itulah kenapa orang-orang di kota besar di Indonesia kadang suka 'belanja dokter'. Menurut Ibu X kalau pergi ke dokter A ternyata lebih cepat sembuh daripada kalau pergi ke dokter B, sementara Bapak Y lebih suka ke dokter C karena lebih nyaman daripada ke dokter D. Bisa jadi karena racikan (baca: analisa) dokter favorit mereka mengenai badan mereka lebih 'pas' (seperti rasa bakso langganan), bisa jadi karena dokter favorit mereka lebih simpatik pada mereka; ada berbagai faktor kenapa kita bisa sembuh dengan satu dokter dan tidak dengan dokter lainnya walaupun obat yang diberikan kurang lebih sama.

Sebagai konsumen, pastinya kita berhak mendapatkan barang atau jasa sesuai dengan apa yang kita bayarkan dong. Apalagi jasa yang kita perlukan berkaitan dengan tubuh kita, wajar kalau kita sangat sensitif dan berharap 'direparasi' sebaik mungkin. Tuntutan/vonis kriminal terhadap dokter sangatlah ampuh untuk mengingatkan dokter di Indonesia agar tidak semena-mena dan tidak asal-asalan mengobati pasien. Tapi kita juga harus ingat bahwa ada harga yang harus dibayar untuk ini. Seperti cerita saya diatas, dokter jadi punya kecenderungan untuk over mengobati selama tidak membahayakan pasien. Otomatis biaya jadi naik dong. Dokter di Amrik sini juga punya occupation insurance untuk memproteksi diri mereka kalau-kalau mereka dituntut, yang mana menaikkan biaya dokter juga. Yang paling dirugikan sebenarnya ya orang kecil. Dokter (apalagi yang di tempat terpencil) tidak bisa mengobati dengan cepat karena harus melakukan berbagai prosedur (yang mungkin tidak terlalu diperlukan) untuk memproteksi diri mereka, dan tarif mereka pun sangat mungkin jadi tidak terjangkau oleh masyarakat miskin. Apa ini yang benar-benar kita inginkan? Nggak apa-apa sih, cuma nanti jangan mengeluh kalau biaya kesehatan muahal dan tidak terjangkau dan tindakan/pengobatan tidak bisa segera.

Apa ini berarti kita tidak boleh sakit? Apa ini berarti dokter itu dewa yang maha benar adanya? Nggak jugalah. Kalau berasa dokternya nggak beres dan nggak perduli sama anda, monggo silakan anda walkout gitu lho. Kalau memang terbukti dokternya salah (jarum operasi ketinggalan misalnya), ya silakan dituntut biar mereka lebih awas. Yang nggak boleh itu kalau memaksakan segala hal buruk yang terjadi pada pasien adalah salah dokter, tanpa repot-repot melihat secara obyektif apakah dokter tersebut sudah melakukan pemeriksaan sesuai SOP (standard operation procedure). Dokter itu cuma manusia biasa lho, bukan Tuhan.

Yang berat adalah tingginya persepsi masyarakat kalau dokter itu, seperti yang saya bilang tadi, maha kuasa. Seolah kalau dibawa ke dokter maka semua orang harusnya sembuh. Belum lagi orang-orang yang dengan kupretnya bilang, "Kalau mau cari duit jangan jadi dokter!". Yah, emang bisa hidup dari doa dan terimakasih doang? Bisa sih, tapi anda-anda sekalian harus mau investasi dan membuat profesi dokter sebagai profesi resmi negara, jadi dari kuliah sampe pensiun semua biaya hidup plus kuliah ditanggung negara. Kalau begitu bisa banget dokter nggak minta bayaran. Lagipula, kalau mau dipikir seperti itu semua profesi juga harusnya mulia dan berpihak pada kebaikan orang banyak. Sampai sales kartu kredit atau debt collector juga harus berpikir gimana caranya mereka bisa meningkatkan kualitas hidup klien mereka, dengan memberikan saran/pencerahan bagaimana menabung yang baik agar bisa keluar dari hutang misalnya. Saya nggak bercanda lho. Nggak adil dong kalau hanya profesi tertentu seperti dokter dan guru saja yang selalu dituntut bersikap mulia. Bukankah itu 'hasil akhir' yang disarankan setiap agama di dunia?

Salam!

Saturday, April 25, 2015

The Glass Slippers, If You Please

Sometimes you just need to step out from reality to find your own...

Ever since I was a little girl I have been an avid reader with a penchant for fairy tales. There is something magical and romantic about those tales, and I became enraptured with the concept of magic and spirits and such. As childish as it sounds, my love for fairy tales is pretty much what keeps me sane throughout my coming-of-age and adulthood, and consequently shaped me into who I am today. Being mocked and not accepted with peers at college? It's okay, they're just peasants with suspicion towards the heroine. Love lost? No problem, the true prince always come at the end provided that you stay true and kind. All the trouble and misery was nothing to me. I will have a good cry about it, break a smile and told myself "You can do it", and I always can. In the stories the heroine's misery will eventually ends, there is no reason my misery will stay forever. Armed with this thought, life for me is a never ending game with each day brings a new story or two (or even more).

One that is particularly dear to me was Cinderella, the Rodger and Hammerstein's musical version to be exact. When I was in elementary school the TV station in Indonesia aired the 1965 version over and over again, and each time it always enthralled me. My favorite song was, undoubtedly, "In My Own Little Corner". It was a fun song that showed how Cinderella escaped her cruel life through her imagination, a common theme that I eventually adapt for my own life. Granted my life was (and is) not cruel, but it is always a wonderful to know that I can escape it when it became too hard through my imagination. A particularly harrowing day can be a great adventure trying to conquer the enemy, and in the end instead of sulking over it I can raise my head high and declare: "I killed the dragon!". Well, not out loud of course. I don't want dragons overheard it and thought I am such a cruel person, even though the word kill is only used to the broadest extent and absolutely not in literary meaning. See how much fun you can get by imagining things? :)

Yet days gone by so quickly and the memory eluded me. It was not until recently when I casually browse for the complete play that I remember everything once again. The pretty white dress with faux fur accent, the meek yet attractive way Lesley Ann Warren played her Cinderella, the sneer on Stepmother's face, all down to the funny song sang by the Stepsisters, which easily be my lamentation throughout my youth: "Oh, why would a fellow want a girl like her / A girl whose merely lovely / Why can't a fellow ever once prefer, a girl whose merely me?". I smiled and laughed and having the greatest time ever as I watched the performance through my little laptop screen. Then came the climax when Cinderella arrived at the palace and met the prince. My heart stop and then resume full a-flutter as I have always been every time I watched that scene, yet this time it was for a completely different reason. Lesley Ann Warren's expression in that scene was all too familiar for me, not because I have watched the play for countless of time, but because I have had that expression before.

It was not the night before Christmas, but on that day I felt like it. I was full of anticipation, wide-eyed and maybe a little scared. Or as Cinderella aptly put it: "You are breathless / With a wild anticipation / Of adventure and excitement / And romance". The night I met my husband will always be a night to remember. Just like Cinderella, I made the decision to go to the 'ball' to meet my prince. Truth to tell, as with any online dating he may be a prince or a psychopath; but I took the chance anyway and I have not regret it ever since. What a lot of people don't realized is the awesome thing with Cinderella (any version) is that she dared to wish to go to the ball, and when she got her opportunity she seized it. She may not slay dragons or changed herself into sea foam, but sometimes daring to take the slightest step forward or even to dream it is the hardest challenge. That's how I feel that night. It could go horribly wrong. He might not like me. I could be heartbroken or bone-broken, depending on what psychopath he is (if he was indeed one). But I wanted to do it. I wanted to go and take my chance with him. Even if it's only to have someone talked kindly to me and laughed with me for just one night. Even if it's only to realize that I am not so alone in this world for just a few hours.

Just like in the play, when we (finally) see each other for the first time the time seemed to stop and when we finally in each other arms the world seemed to melt into nothingness. The question "Do I love you because you're wonderful / Or are you wonderful because I love you?" did not even register in my head. I loved him. He made me happy. That was all that matter, In the following weeks, months, and years the glitter in our eyes slowly fade away, and we started to see each other for who we really are. It's almost like 'breaking' into a new car: the sweet new smell faded away and replaced with the faint smell of the smog from the street, the car interior always seemed to have crumbs and minuscule stains here and there no matter how hard you try to clean it, even the engine sound less pleasant and (dreadfully) more tired than it is before. And of course the inevitable question will eventually come: do you like the car enough to keep it or should you move forward?

With us being married, the answer seemed clear: we're keeping each other. Even so, I am not stupid enough to believe that things can last forever. Spells will break, and glass slippers can shatter, there is nothing certain in this world. The question now is do I care? I do not believe in happily ever after, nor do I believe that story and tales will come to an end. No. Stories and tales lived on forever. Each day is a brand new adventure, and each sunrise is a brand new beginning. That night when we went to watch Rodgers and Hammerstein's Cinderella Broadway Play live at Ahmanson Theater I looked at my husband's face smiling and chuckling with delight thanks to their great performance, and I know my tale is far from ending. I put my head on his shoulders, wrapped my hands over his arm, and I started to hum in tune with the song they performed on stage: 
"In the arms of my love I’m flying
Over mountain and meadow and glen,
And I like it so well
That for all I can tell
I may never come down again!
I may never come down to earth again!"

The night might end, my story may have a surprise ending, yet it is still far from completion. I could care and be worried and frightened of how my story would end, but the fact remain that I can not see into the future, not even a second or less into the future. Then why should I dread myself? Happily ever after is never a goal, it is only an end to a successful life-changing journey, a reward you get for all your hardship and perseverance. Life is a story: enjoy it, embrace it, and write it according to what you want. Live it, dream it, love it. Good night fellow dreamers. See you in another story. 

Thursday, April 23, 2015

The True Story of Cinderella: A Night in the Spotlight

We went to see Rodgers and Hammerstein's Cinderella at the Ahmanson Theater in Los Angeles last night, and to say that I was excited was a great understatement. I carefully chose my dress, put on proper makeup, all giddy and excited as if I was the one who was going to the ball. Even my husband, who has always been pretty much the sun in my life, was kind of in a state of (almost) non-existence last night. For the first time in forever, I didn't even care that he was next to me. My mind and soul was in the play. It was a great play. We laughed, we smiled, and when Cinderella transformed into the ball-gowned princess I held my breath full of anticipation. Then she stepped into her glass slippers before going to the ball, and I tried my hardest to stop the tears falling from my eyes. She made it.

Yes, you've heard it a million times: Cinderella is not an educating story because she didn't empower herself and had to wait for a rich man to come and save her. Yet to me, the glory of her story is not the happily ever after ending. The glory of Cinderella's story, the climax, the moment of truth, is when she gets the incredible dress and the glass slipper. It's her moment, her transformation from the ugly duckling to the swan, and I dare say many girls and women dreamed about that moment many times in their life. That one moment where, even if it's only for the shortest time, they became the goddess, the diva, the center of attention, the prettiest of them all.

It sounded so shallow, right? But is it really? Birds are known to have decorative feathers to attract their mate, what's so different with us? The notion to look pretty is not (only) out of vain and pride, it is also a survival technique to make sure we are chosen by a mate to pass our genes and prolong our bloodline. Makeup has been around for centuries, if not millenniums. To say that we decorate ourselves for the sake of the man can actually be said that we decorate ourselves to compete with other women. And as a human being not only we can acknowledge beauty, we also intuitively and consciously want to be a part of it. Even the pre-historic human decorated their cave with drawings and made rough jewelry. Beauty is an indispensable part of human life.

As we matured and gained more knowledge, we will eventually learn that beauty comes in all shapes and sizes, so to speak. We will eventually realized that words and thoughts can be beautiful, even more so than the physical beauty. We will also eventually appreciate the beauty of human in general, things that we previously thought plain can finally seen as beautiful due to our mature understanding. Like a devoted entomologist that can described a bug in such loving and adoring manner, we too can love our fellow human once we get to know them. But it is a long way to go, especially since we often didn't even know ourselves well enough, or even love ourselves well enough. How can we see the beauty of others if we can't see it in ourselves?

The words above are, of course, easier said than done. We have our fear, our worries, our insecurities. It takes a lot humility and an exceptional clarity from someone to accept his/herself as it is without losing his/her mind over it. Thus the desire to be in the spotlight so bright that it eliminates our dark emotion, to be showered with such attention and be so sure of oneself, it is understandable and to some degree might even be acceptable. Even though these words could easily be applied to women (and men) everywhere, I am speaking now to those who could never see themselves as good enough. I am speaking to those who are deemed plain and unattractive, those with minor flaws yet to the world is big enough to exclude them altogether. Ugliness and beauty are a burden in itself, no doubt about it; but plain people or somewhat-queer people or even those who somehow couldn't fit, they too have their own burden. They look at the world that passes them by and desperately trying to chase it, trying to make it stop for a fraction of a second to acknowledge their existence. The extremes, good or bad, always gets noticed; but the plains are pretty much got lost in the shadow, the pastel color that went unnoticeable in a grand and vivid painting.

The fact that Cinderella is beautiful is of no importance. What important in the story, at least to me, is that she got the chance to shine for the night. Nice clothes, nice shoes, and even nice carriage and servants to boost it up. What else could anyone wants?? For days and even years she was so unsure of herself and choose to obediently stayed where she was treated badly, yet that one night, that one glorious night she could shed her rags and ashes (i.e. insecurities and fear) and be whole and complete, be noticeable by the world. And that, my dear readers, is what Cinderella is truly about.

I can't even tell you readers to love yourself and other humans. I can, but it will only just words. This is not something that you could repeat every day and you will eventually believe it. Love for yourself, just like love for others, is something that you need to patiently grow and nurture. It is a journey of self-realization and opening your perspective. It is to understand and accept the things we don't like about ourselves, and have peace with ourselves. Then and only then we can accept and make peace with others. I can't tell you how difficult it is for the extremes because I am not one, but I can tell you how difficult it is for the plains because I was one. Yet technically, it should be easier. Even a pastel color would be noticeable if it was laid thick and strong. If you can't rely on your physics to win the world, use your personality. And then when somebody offers you the glass slipper, never hesitate to take the chance. Not even once.

Wednesday, April 8, 2015

Menerima vs Memaafkan: Kisah Luapan Emosi

Satu-satunya hal yang berkesan buat saya dari film Cinderella 2013 adalah waktu si Cinderella menoleh ke ibu tirinya dan berkata, "I forgive you!". Perasaan saya rasanya campur aduk haru biru gitu deh, karena bimbang antara rasa ingin melempar sandal baru yang saya pakai ke layar dan rasa tidak ingin kehilangan sandal baru saya.

Pesimis? Mungkin ya. Saya belajar dalam hidup bahwa kata-kata "I forgive you!" itu nggak penting-penting amat. Lucunya, ini yang selalu digembar-gemborkan dalam setiap saran atau motivational quote dan bahkan di film macam Cinderella itu. Terus kalau udah forgive/memaafkan mau apa? Ceritanya happy ending gitu? Jadi orang baik gitu? Buat saya ada kata-kata yang lebih tepat: "I accept [that]". Bukannya terima dizholimi orang lain ya, tapi menerima bahwa things are shitty at times, kadang-kadang hidup (dan orang) itu bikin sakit hati. Nrimo itu berarti sadar bahwa 'luka' kita itu tidak berarti apa-apa buat diri kita yang super (nyontek dari motivational speaker terkenal nih istilahnya), dan orang yang yang melukai kita pun tidak berarti apa-apa buat kita. Nrimo itu berarti kita sudah siap menjalani hidup kita dan peduli setan dengan orang lain. Bukannya maksain diri untuk berkata "Saya maafin" padahal masih dongkol, tapi justru sampai di titik dimana kita bisa benar-benar tidak terluka lagi.

Cerita model Cinderella begitu banyak lho sebenarnya, yang ceritanya dizholimi lalu bangkit dengan agungnya dan berkata "Saya maafkan kamu karena kamu tidak tahu apa-apa." Jangan lupa adegan finale/klimaks nya pake lampu sorot gold dan asap dry ice ya biar lebih joss. Saya suka bingung kalau nemu yang seperti itu, yang dibilang "Sudah maafkan saja, buat apa kamu marah terus." Lah, kok nggak boleh marah? Kalau ada seseorang yang melukai anda reaksi normal anda adalah marah bukan? Ini insting mempertahankan diri lho, karena dasarnya siapa juga nggak mau disakiti. Atau yang bilang "Ngapain juga kamu nangis, toh nggak ngubah keadaan." Emang ga boleh ya berekspresi diri, meluapkan emosi yang terpendam dan membara dalam hati bagaikan lava di perut Gunung Bromo (taelah....)..

Konon katanya ada 5 tahap grief/kesedihan: Denial (penyangkalan), Anger (Marah), Bargaining (Tawar-menawar), Depression (Sedih), dan Acceptance (Penerimaan). Aslinya sih 5 tahap Kubler Ross Model ini untuk menjelaskan tahapan yang dialami seseorang saat kehilangan orang yang dicintainya, tapi buat saya ini cocok dipakai dimana saja. Dicampakkan pacar misalnya, pertama pasti kita yang sibuk "Ah ga mungkin! Bercanda kan dia!" alias denial. Lanjut ke "Dasar brengsek! Emang dipikir siapa dia!" alias anger. Berikutnya sibuk menelepon minta balik dan janji-janji akan berubah alias bargaining. Setelahnya tahapan dimana nggak mandi seminggu dan ibu kos sampe ngumpetin baygon karena takut disalahgunakan alias depression. Sampai terakhir akhirnya bisa melihat kebelakang dan bilang, "Ah biarin amat." alias acceptance.

Contohnya yang dalam waktu singkat adalah saat kita dikatain jelek misalnya. Kurang lebih di otak orang normal seperti ini: 
1. "Sialan, buta apa tu orang gue dibilang jelek!" (Denial) 
2. "Kurang ajar banget sih, dasar mulut comberan!" (Anger)
3. "Padahal gue kan hari ini udah modis banget, kinclong habis dari spa." (Bargaining)
4. "Pantas aja gw masih jomblo terus ya." (Depression)
5. "Sudahlah, ngapain dengerin orang lewat." (Acceptance)
Ini kadang kejadiannya di otak itu kurang dari semenit lho. Kadang juga bisa berhari-hari, tergantung seberapa sensi orangnya

Kalau anda perhatikan, ada sekian banyak emosi yang terlibat untuk bisa mencapai tahap acceptance. Dan itu nggak sekali jadi lho. Kalau anda sedih/terluka karena orang yang anda anggap penting misalnya, pastinya tahapan 1-4 itu terulang kembali dan kembali dan kembali. Mungkin beberapa kali nyampe di nomer 5 (Acceptance), tapi karena nggak nrimo secara penuh ya tetap saja tahapannya berulang kembali. Sampai kapan? Sampai anda benar-benar bisa 'tutup buku'. Sampai anda benar-benar tidak perduli dengan sakit hati anda itu. Ibarat koreng, lukanya sudah kering dan sembuh dan sudah ada kulit baru. 

Makanya, kadang saya bingung kalau ada orang sedih terus temannya ngasi saran "Cup cup cup, jangan nangis ya..." Atau "Udah, ngapain sih marah-marah?" Buat saya mah semua teman saya bisa bebas nangis, ngedumel, ngomel-ngomel, teriak-teriak, pokoknya terserah mereka lah mau melampiaskan emosi mereka gimana. Pengecualian untuk yang repeat offender alias memang hobi merasa sengsara ya, itu saya nggak mau ikut-ikutan. Tapi untuk yang lainnya, monggo silakan kalau mau stress ria, karena peluapan emosi itu memang dibutuhkan untuk sampai ke tahap acceptance itu. Ada orang yang memang dari sononya bisa begitu damai dan bebas konflik sehingga tidak terluka akan apapun, misalnya orang-orang suci yang bisa menerima semua manusia apa adanya. Tapi pastinya tidak banyak orang yang yang seperti itu karena kita masih hobi saling bacok dan perang sama sesama manusia lain. Kalau anda belum selevel itu, belum sedamai dan senrimo itu, nggak papa lho. Pelan-pelan. Alon-alon asal kelakon. 

Forgiveness alias memaafkan itu nggak sama dengan Acceptance alias penerimaan. Anda bisa saja memaafkan tapi tetap tidak menerima keadaan, sebaliknya kalau anda menerima anda sebenarnya tidak perlu lagi merasa memaafkan. Sudah beres urusannya toh, karena kalimat "I don't care" menunjukkan bahwa kita sudah di level lain. Tapi harus jujur sama diri sendiri ya, jangan di mulut "I don't care" tapi malam-malam sesenggukan sendiri sama bantal kesayangan. Nggak papa mau marah, nggak papa mau emosi, nggak papa mau sedih, itu semua proses menuju penerimaan dan pendewasaan diri kok. Yang nggak boleh kalau emosinya terus-terusan dan ga terkontrol. Cara paling sederhana: bayangkan apa jadinya anda tanpa emosi tersebut, apakah anda bisa berfungsi dengan baik? Sekarang anda marah misalnya, coba bayangkan apa seminggu lagi anda masih mau marah. Atau saat sedih, apa iya setelah tiga bulan anda masih ingin menangis tiap malam? Bayangkan juga apakah hal yang membuat kita merasa sedemikian tersakitinya itu akan masih relevan kedepannya? Ini bukan berarti kita membenarkan orang menyakiti kita ya, tapi berarti [sekali lagi] kita lebih dewasa dan mau melepaskan beban duniawi tersebut (aseeek....)

Satu-satunya saat dimana "I forgive you" itu valid dan benar-benar berguna adalah disaat orang lain yang minta maaf sama kita. Ibaratnya gini, si adik kecil tidak sengaja melempar anda pakai sandal dan dia pun sambil berlinang airmata meminta maaf karena dia benar-benar tidak sengaja dan tidak ingin anda marah padanya. Pastinya anda akan bilang "Iya nggak papa" atau versi lain dari "I forgive you" kan? Walaupun sebenarnya di dalam hati anda Five Steps of Grief akan rusaknya tatanan rambut anda atau kemeja mahal anda masih berkecamuk. Terkadang kita yang harus berbesar hati dan memberikan 'ending' atau 'closure' untuk orang yang memang menyatakan penyesalannya dengan sepenuh hati. Kita yang harus berani bilang "I forgive you" kalau memang mereka meminta maaf dengan setulusnya. Tapi kalau untuk diri anda sendiri, silakan beremosi dan capailah "I don't care" alias penerimaan. Salam!

The Passionate Death, The Passionate Life

When I read the news about a mayor who wants to make her town a long living 'blue zone', I can't help thinking, "Does living really matter?"

Now, don't get me wrong. I am all for life. I am all about life, actually. Being alive, being able to breathe the air and living your days is to me the ultimate blessing. You can have bad days and good days, and it is still worth living. But what about people who don't have the luxury to realize that life is indeed worth living? There are people like that, trust me. Those who come to the realization that life sucks, and those who live life indifferently like a soulless puppet, I can't help thinking what life meant for them.

As a daughter, I saw my parents coped with their mental illness. It wasn't described like that at first, but when I started my own family I can finally see them the way they really are, their struggles and defeats. To some, they are actually pretty normal. After all, there are many people out there who are incapable of dealing with their emotions and illusions, or to break free from the vicious cycle that they created. My parents are not special in that matter. But here, thousands of miles away from my parents I spend my days knowing that one day I will receive the phone call from home that tells me one of them is dead. That one of them (or both of them) couldn't cope with life any longer and succumb to death. 

Dramatic isn't it? And some of you might think that I secretly wanted it to be that way. If they are dead, it will be one less burden that I have to carry for life. Yet the fact of the matter is, they will eventually die just like the rest of us mortal humans. When my grandmother died, I was filled with remorse. I was not sad because I could not see her anymore, I was sad for all the things I could have done for her. I was sad because I can't treat her better. And that is another thing about death: death is not about the deceased. It never was, and it never will be. Death is about the ones that got left behind. So the question is, who or what are you living for?

A friend and I had a discussions the other day. She was telling me about her new-found passion in dancing and we discussed about how it's like to have passion, to have something that you love (doing) so much that make life worth living. A couple of friends of mine love to travel. I know that they are passionate about it because they will go unannounced to many places and only post a few pics (if any) in their Facebook. But those posts, man oh man, you can tell that they are there because they wanted to be there, because they wanted that experience and live that life and not for a mere photo-op or bragging rights. Another one loves to write, and another one is a die-hard grunge-style lover. As you can see, I am passionate about human and writing. Regardless how bad a day is, knowing that I can write anything, anytime, makes me eager to start another day anew.

Yet there are people who seemed to live life just as it is. And we, my friend and I, discussed at length of how is it like to live a life without passion. People who (from their social media feed) seemed to live their life consumptively just like thousands of others: work, shop, drink, eat, etc, how do they feel with life? Are they looking forward for the next day in life? And should that lifestyle be taken away from them, would it brings them down or would they happily switch to something else, something other that could bring them the superior feeling of acknowledgement again, that they are 'doing it right' and 'in the group'? Is doing what other did simply because society told you to is the only way to live?

We stopped there and laughed. We chided ourselves and each other for being so nosy with other people's business. The fact of the matter is, what other people do with their life is absolutely none of our business. They might be passionate about things but we didn't realize it. What we do with our life, on the other hand, is completely our business. It is our responsibility even. We talk about how we want to use our passion to help other, to heal ourselves and the people that we could reach. And that is when we realize: The main question is never about "I don't want to die", the main question is "How can I live this life". That's where passion came through. That moment when you are doing something with all your might that the world seemed to stop or even not exist anymore, that's what passion could do for you. It defines you, shapes you, distracting you from unhappiness and providing you a brief respite in the otherwise cruel life as well as a reason to wake up the next day.

To some, this is an easy feat. Some people possessed such a strong passion inside them that living is such a tumultuous feat. And yes, some of the passions can be misguided. Passion for power, for instance, or any kind of passion that involves hurting others. This is the sad reality of our human world, where some of us have such weak self-restraint and would prey on others for their own benefit. And there are also some of us, many of us as a matter of fact, that live this life without even knowing why we live this life. Which is peculiar if you think about it. Science have proved to us that the world is in a constant balance. One thing leads to another, one event will affect another, that is how the world works. Therefore, not even a single human is in this world for no reason at all. Everybody has a role to play, everybody has to work their part.

It may sounds too complicated, too much spiritual/self-motivation mumbo jumbo not unlike the quotes that one could find in Facebook: "You are the world" or things like that. But even if you can't spark a specific passion for something in you, at least be passionate about living. Enjoy life today as it is: the present. Yes, another cliche, but true nonetheless. Death is not something to be afraid of. The scariest thing of all is to stuck for a long lifetime in a life that you do not enjoy, regardless how comfortable it is. There are people who walks in the shadow of death, forever wanting to be freed from their harsh cruel life; and there are people who walks living but like dead, forever not knowing what to do with their life. Life is good, life is fun. Be passionate about it.

Monday, April 6, 2015

Berdamai Dengan Si Mbak Didalam Cermin

Pelajaran paling berharga dari mengikuti berita politik di Indonesia dan Amerika adalah menyadari kalau haters gonna hate. Orang kalau sudah tidak suka ada saja alasannya untuk melihat apa yang salah dari kita, kalau perlu pakai ilmu cucoklogi yang nyambung nggak nyambung harus nyambung.

Dulu saya nggak pedean karena saya terbilang montok dan muka saya tradisional sekali. Nggak jelek, cuma beda saja. Disaat teman-teman SMA saya terlihat begitu manis dan rapuh, saya kayanya sudah solid luar dalam. Gimana mau punya pacar coba. Akhirnya saya masuk ke persona cool sexy grunge. Yah, paling nggak saya mencoba sih. Walau persona itu lumayan berhasil, tapi saya tetap saja tidak pede. Masuk kuliah tidak pedenya malah makin nambah karena tahu diri tidak punya uang lebih untuk jjs ke mall atau beli baju baru yang modis sering-sering. Tambah lagi nggak becus pake makeup. Klop sudah penderitaan. Persona nya jadi agak berubah, kali ini menjadi sexy cuek. Sengaja memanfaatkan kemontokan badan saya untuk menarik perhatian lawan jenis, juga untuk membungkam pendapat yang tidak diundang, "Kalau loe kurusan pasti tambah cantik deh!". Saya sebal sekali dengan orang-orang yang komentar seperti itu. Memangnya ada yang salah ya kalau badan dan penampilan saya begini? Nggak bisa ya liat siapa saya dari dalam dan bukan dari luarnya saja?

Jawabannya ya seperti apa yang bisa anda duga: nggak bisa. Saya melewati masa kuliah tanpa ada satu cowok pun menembak saya. Saya punya pacar, tapi saya selalu berpikir kalau saya harus jadi wanita super untuk menutupi kekurangan saya di bidang fisik. Padahal saya tahu saya nggak jelek-jelek amat, tapi saya juga percaya sebagian besar orang tidak menganggap saya menarik. Waktu saya pindah ke Bali keyakinan ini makin kuat. Mana dasarnya saya sudah seperti bebek di kandang ayam, kelihatan sekali bedanya. Gaya dan pola pikir saya tidak seperti orang Bali pada umumnya, dan saya pun tidak bisa bahasa Bali. Seribu satu nasehat diberikan kepada saya, termasuk (lagi-lagi) kurangi berat badan, pakai makeup, dan jangan terlihat terlalu pintar. Rasanya tidak ada satupun yang benar dari saya.

Ini yang bikin saya akhirnya menyerah dan mencoba peruntungan di kencan online. Masalahnya saya yakin sekali dengan diri saya di bidang pekerjaan, dan saya tidak rela harus 'merunduk' demi seseorang yang lebih jeblok daripada saya dan tidak bisa/mau menghormati saya sebagai manusia seutuhnya. Kalau sudah basah, mandi sekalian saja. Padahal saya nggak suka kencan model begitu. Saya lebih nyaman dengan sesuatu yang solid dan bukannya sibuk bermanis-manja dengan beberapa orang sekaligus. Capek lho berpura-pura seperti itu. Untungnya kondisi ini tidak berlangsung lama. Belum genap 2 bulan saya ikut online dating saya sudah ketemu akang saya, dan disinilah saya sekarang.

Balik lagi ke berita politik tadi, akhirnya saya sadar kalau haters gonna hate dan saya nggak bisa menyenangkan semua orang. Ya itu tadi, tahunya dari berita-berita dan komentar-komentar sinis tentang Jokowi dan (kalaudi Amrik sini) Obama. Ibaratnya kalau besok hujan salju di Jakarta pun pasti salah Jokowi, atau kalau hujan kodok di LA sini pasti salah Obama. Yang semua detail kehidupannya dikaitkan dengan kemampuannya memimpin negara, terlepas benar atau nggaknya. Yang apapun yang dilakukan akan selalu salah di mata hatersnya. Hidup ya memang begitu adanya.

Sewaktu saya beranjak dewasa (baca: akhir umur 20an) saya akhirnya menyadari kalau saya nggak perlu berusaha jadi orang yang diinginkan orang lain. Saya nggak perlu mengubah diri saya hanya agar diterima orang lain. Tapi saya tidak bisa menjelaskan kenapa. Baru belakangan inilah, setelah saya pindah jauh dan bersama orang yang mencintai saya apa adanya (taelah..) plus rajin mengikuti berita politik, akhirnya saya mengerti dan bisa berdamai dengan diri saya sendiri. Entah berapa banyak cerita-cerita motivational yang saya baca (dan tulis) yang bilang "have faith in yourself" atau "you are beautiful the way you are", tapi tetap saja di hati kecil saya terselip "Tapi bagaimana kalau saya yang salah? Bagaimana kalau mereka benar dan saya harus berubah?". Sekarang saya mengerti. Saya tidak bisa berubah untuk memuaskan orang lain karena bila mereka tidak bisa menerima saya apa adanya mereka pun tidak akan puas dengan apapun yang saya lakukan. Seperti mencoba mengeringkan lautan, nggak ada habisnya.

Mungkin saya baru ngeh soal ini karena saya (akhirnya) siap dan cukup matang untuk menerimanya. Tapi terbayang tidak kalau saya menyadari hal ini jauh sebelumnya? Kepercayaan diri saya pastinya meningkat yang justru akan meningkatkan keatraktifan saya, karena percaya diri itu sangat menarik lho. Hidup saya pastinya tidak sesulit yang saya alami. Manusia itu lucu ya, kita tertarik dengan orang yang tidak perduli (amat) dengan keberadaan kita; semakin kita bersikap EGP (Emangnya Gue Pikirin) justru semakin tertantang orang untuk membuat kita memikirkan mereka. Tapi ilmu/pengetahuan ini juga harus dipakai dengan bijak. Kita harus bisa membedakan mana masukan yang memang bertujuan membantu kita (alasan kesehatan misalnya), dan mana yang diutarakan hanya agar kita bisa fit/masuk ke kondisi ideal yang ia inginkan. Repot? Banget. Tapi ini demi kedamaian dalam diri anda.

Pagi ini saya melihat diri saya di cermin. Masih banyak ini-itu yang saya tahu masih bisa saya perbaiki, tapi setidaknya saya bahagia melihat siapa saya di dalam cermin tersebut. Dulu saya pernah merasakan kebahagiaan ini, waktu saya merasa diterima oleh si Akang ganteng saya. Sekarang saya merasakan kebahagiaan ini, karena saya merasa diterima oleh diri saya sendiri. Perang saya sudah usai. Akan ada pertarungan-pertarungan kecil lainnya dimana saya merasa sebal dan tidak suka dengan diri saya sendiri karena, yah, begitulah sifat manusia; tapi perang saya sudah usai. Saya sudah berdamai dengan si Mbak di dalam cermin. Dan anda tahu, dia lumayan menyenangkan lho :).

Friday, April 3, 2015

Buka Hati, Buka Mata, Karena Knowledge is Power!

"StaN akan membuat lulusannya menggawangi system pajak yang jelas2 menyelisihi ajaran Islam."
Begitu komen yang saya baca pagi-pagi di sebuah artikel tentang sekolah-sekolah unggulan di Indonesia. Sibuklah saya mengelus-elus dada. Hari gini coba, hari gini.

Kata orang Amrik sini, "Knowledge is power". Ini benar lho dalam artian sesungguhnya, siapa yang punya ilmu/pengetahuan pasti akan punya kuasa. Makanya wikileaks dan kasus hack-menghack marak, makanya mata-mata sudah ada dari jaman baheula. Kalau kita tahu sesuatu yang berharga, otomatis nilai tukar/bargaining power kita juga bertambah. Anda yang jago Bahasa Inggris pasti bisa minta dibayar lebih oleh bos anda bukan? Begitupula anda yang jago akuntansi/komputer, bila dibandingkan dengan orang yang masih cuma mampu mengetik 11 jari (a.k.a 2 jari telunjuk). 

Punya banyak pengetahuan juga membantu otak anda berpikir dan melapangkan hati anda. Ibaratnya seperti merambah hutan dan membuka lahan pertanian baru. Seberapa banyak pengetahuan yang anda dapatkan tergantung dari seberapa jauh anda berani mencari pengetahuan. Sayangnya, di era keterbukaan informasi ini makin mudah juga terjebak dalam pengumpulan pengetahuan yang kita maui, jadi bukannya membuka diri malah justru menutup diri. Kalau tidak sesuai dengan paham kita maka kita anggap tidak benar. 

Misalnya saja anda membuat teori bahwa mawar merah itu bunga yang paling indah, tapi bukannya berusaha mengerti lebih lanjut tentang mawar merah itu sendiri (bagaimana warnanya bisa merah, jenis apa yang paling banyak ditemui, peran mawar merah dalam kehidupan manusia etc) anda malah cuma mengumpulkan data siapa-siapa saja yang setuju kalau mawar merah yang paling indah dan menganggap siapa yang tidak suka mawar merah sebagai musuh anda. Nggak berkembang kan jadinya?

Hal ini banyak terjadi terutama dalam pengamalan agama. Contohnya ya seperti diatas tadi. Padahal menurut Wikipedia semua negara di dunia ada pajaknya juga kok. Arab Saudi memakai sistem zakat, tapi wajar sekali bila negara-negara yang kaya tapi memiliki wilayah kecil dan penduduk minim mampu membiayai kehidupan penduduknya tanpa menarik pajak. Nggak perlu jauh-jauh, lihat saja sekeliling anda. Orang yang sosio-ekonominya rendah dengan jumlah anggota keluarga yang berlimpah pasti harus bekerja lebih giat untuk membantu keluarganya, tapi yang sosio-ekonomi tinggi dan jumlah keluarga minim bisa jjs dan pelesir karena anggota keluarga mereka tidak ada yang perlu dibantu. Pajak ya itu, usaha untuk membantu 'keluarga' anda.

Sayangnya logika sesederhana ini nggak akan bisa masuk atau dimengerti kalau kita menolak membuka diri. Apalagi kalau hubungannya dengan Tuhan, dengan agama, langsung deh kita jadi binatang buas yang siap menerkam siapapun yang berusaha menggoyahkan kedaulatan Tuhan kita. Sensitif gitu deh ceritanya. Saya sudah melihat orang dari berbagai agama melakukan hal ini, saya sendiri pernah kok. Pokoknya agama itu saklek, harus sesuai apa yang tertulis di kitab suci. Padahal kalau iya repot banget lho. Saya yang Hindu dari Bali misalnya, kalau disuruh sembahyang pakai Ghee dan susu seperti di India bisa bangkrut saya. Tapi walaupun ritual Hindu Bali sedikit berbeda dengan Hindu India, saat membaca Kitab Suci saya masih bisa menerapkan ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari. 

Idealnya, inilah yang harus terjadi. Agama itu adalah tuntunan hidup, bukan kerangkeng hidup. Pajak menyelisihi ajaran agama Islam dalam hal apa? Apajah bisa disiasati agar negara tetap berjalan tanpa pajak? Apakah dijaman dulu pun tidak ada pajak? Begitu banyak yang bisa dipertimbangkan dan bukannya sekedar bilang "Menurut kitab suci itu salah!" tanpa berusaha mengerti lebih dalam. Kitab suci harusnya dimasukkan kedalam hati dan menjadi nyawa dalam kehidupan keseharian kita, seperti layaknya software/perangkat lunak yang 'menjalankan' kita agar kita menjadi manusia yang lebih baik, menuju dunia yang lebih baik; dan bukan sebaliknya, kita yang berusaha memasukkan diri kita kedalam kitab suci dan hanya hidup disana.

Lagi-lagi kembali ke diri kita sendiri, seberapa jauh kita mau mencari pengetahuan dan seberapa lebar kita mau membuka diri. Saya baca postingan di Facebook yang bilang pendidikan di Indonesia jelek karena gurunya tidak menjelaskan kenapa pengetahuan itu berguna. Padahal di Amerika sini juga sama, banyak banget saya lihat postingan yang komplain bilang pelajaran yang mereka dapatkan tidak berguna di kehidupan nyata. Masalahnya nggak mungkin satu-persatu dijelaskan kenapa ini/itu berguna. Selain keterbatasan waktu manusia, juga ada faktor ke-ndableg-an manusia, alias sudah diinfo tapi masih tidak mau mengerti. Yang bisa kita lakukan adalah menganggap semua pengetahuan (dan orang) itu punya potensi untuk berguna, jadi kita lebih melapangkan diri untuk menerimanya. Mau dipakai atau tidak ya urusan nanti.

Mungkin banyak dari anda heran kenapa saya sibuk ngurusin agama orang. Saya tidak ngurusin agama orang, catet, saya ngurusin saudara sebangsa setanah air saya. Dari sebelum saya diboyong ke Amerika saya sudah percaya kalau Indonesia punya potensi besar. Sekarang saya di Amerika saya tambah yakin kalau Indonesia (dan orang-orangnya) bisa jadi jauh lebih besar dan lebih berjaya daripada negara lain. Dari segi jumlah manusianya saja, kita bisa dengan mudah melibas negara lain. Bagaimana tidak, Indonesia yang internetnya lelet dan jaringannya amat sangat terbatas bisa punya pengguna Facebook terbanyak nomor 4 di dunia. Padahal dari sebanyak itu mungkin cuma sepersekian yang mengerti bahwa untuk menggunakan Facebook mereka sebenarnya terhubung dengan internet. Nggak, saya nggak bercanda. Banyak pengguna Facebook di Indonesia yang disurvey bilangnya nggak pernah 'menyentuh' internet padahal mereka selalu online di Facebook BBM dan sebagainya. Bukan karena mereka bohong, tapi karena mereka memang tidak mengerti. Terbayang tidak kalau orang Indonesia bisa 'melek' internet dan sinyal internet di Indonesia lebih bagus dan merata? Belum lagi sifat dasar orang Indonesia yang dasarnya tidak manja dan pantang menyerah, dan kemampuan kita menyerap bahasa asing yang sangat cepat. Orang Indonesia itu pejuang tangguh banget deh. Makanya kalau dengar orang Indonesia yang berpikiran sempit rasanya gimana gitu.

Tapi terlepas untuk apa saya mengurusi orang lain, punya pengetahuan luas itu sangat menyenangkan lho. Yang paling 'berasa' sih saat saya bisa membandingkan kondisi saya dengan orang lain, dan merasa bersyukur karenanya. Kalau saya tidak repot-repot baca berita tentang negara lain atau berusaha mengerti orang lain, mungkin saya tidak tahu seberapa beruntungnya diri saya dibandingkan sekian banyak orang lain di dunia ini. Kalau saya tidak buka mata dan buka hati saat tinggal di Amerika sini, mungkin saya tidak tahu seberapa indah dan nyamannya sebenarnya Indonesia. Atau ya itu tadi, seberapa hebatnya orang Indonesia sebenarnya. Baca berita dan tahu tentang negara lain juga menumbuhkan empati dan simpati saya terhadap manusia keseluruhan. There are so many bad person in this world, but there are many good person as well; and we will never know which one's which without opening our mind and our heart. Di dunia ini ada begitu banyak orang yang tidak baik, namun ada begitu banyak orang baik juga; dan kita tidak akan tahu yang mana yang baik dan yang mana yang buruk kalau kita tidak mau membuka mata dan hati kita. Dunia itu indah lho. Sumpah.

Search This Blog