AdSense Page Ads

Friday, January 29, 2016

Nice Words Therapy

This morning my bus driver asked me where I've been the last couple of days. I was a regular and he have noticed my abscence. I told him that my husband decided to drive me to work the last couple of days. He chuckled and said, "Well he thinks you're very special, that's why he wanted to drive you to work. No wonder you are looking sexy today! Good for you!"

Yeah, it sounds creepy, but it wasn't creepy at all. The bus driver is famous for being nice, and people would stand next to him on the bus just to chat with him. Even my fellow commuter told me, "He is such a nice man." Almost everyone who got off the bus has a smile on their face. Work sucks, life sucks, but it feels so good to have someone greeted you with a smile and wishing you "Have a good day at work!" or "Have a great weekend!" or jokingly said "Don't work too hard!". It makes you feel like you belong. It makes you feel accepted and alive. It makes life and work a bit bearable.

I'm lucky to met such positive person on my daily commute to work. But others may not be as lucky as I am. The traffic, the workload, the bills and responsibilities, all crushing down on us and drowned us in unhappiness and helplessness. We hate life. We hate work. We hate people. We longed for that little ray to shone on us, the warm sincere smile that will eradicate our sadness like the spring sun that melts the winter snow. Yet we might never meet that kibd of person.

We all heard the BS: "Look inside you"; as if us smiling to ourselves in front of the mirror and telling ourselves how great we are would make a dent on our hardened and crusty low self-esteem. We know the f*ckers in the mirror is a loser, kay. Who in their right mind will try to coax a mirror? Other people, luckily, can be fooled more easily. We don't know their story, we don't know their faults as close as we know ours. Thus, we can appreciate their smile (and a sense of acceptance that comes with it) more than we can appreciate our own smile in the mirror. Other people's smile and kind words work.

Which is why we should smile and be kind more.

Yes, it has no direct effect on us. Yes, some would mistook us as a creeper. Yes, there are people out there who consider it a sign that it's a free reign to take advantage of us. But yes, it could make someone else's day a little bit better. It probably ease someone else's burden. And yes, whatever the grinch inside us would say, being positive makes you feel good about yourself. It's not gonna stop the rain or make us feel dry when we're drenched, but it would make us looking forward to see the rainbow.

So smile a little bit more today. Say nicer things. The sun is out here in SoCal, and Spring is approaching. Let's make the best of it.

Thursday, January 21, 2016

Tips Parenting: Jangan Lupa Dishare Ya!

Iya, itu judul memang sarkasme banget. Kadang-kadang bingung sama ibu-ibu dan bapak-bapak yang hobi ngeshare "Parenting Dos and Don'ts". Niatnya sih baik ya, tapi perubahan itu dimulai dari diri sendiri. Percuma kan ngesharing soal "Puasa gadget" kalau papa-mamanya masih lengket dengan gadget masing-masing. Bisnis sih bisnis, tapi anak kecil mana ngerti bedanya. Situ pegang gadget, ane juga mau. Atau soal anak berkata baik dan santun. Kalau orang tuanya sibuk nyinyir ini itu anak juga mencontoh. Anak-anak itu peka lho, mereka bisa merasakan emosi negatif walau tidak mengerti kontennya. Lalu tentang anak teriak-teriak, kadang-kadang anak juga bisa frustasi. Tapi kadang-kadang juga cuma ngikuti mama-papanya yang membentak-bentak si Mbok ato pak Supir.

Beda orangtua dan lingkungan ini kentara sekali diantara anak-anak tiri saya. Kebetulan saya punya dua anak tiri dari dua ibu yang berbeda. Yang satu super cerdas seperti mamanya, yang satu lagi super hangat seperti mamanya. Yang satu nggak bisa lepas dari gadget, yang satu nggak bisa lepas dari coklat dan permen. Lagi-lagi ini tergantung orangtuanya. Yang hobi gadget walau masih kelas dua SD sudah punya iPod, iPad, dan hape sendiri, yang hobi coklat walau masih balita tiap kali jadwal kunjungan kerumah kami dibekali satu kantong permen. Yang satu ngomongnya sudah dewasa dan canggih, yang satu senangnya bercanda nggak karuan. Lagi-lagi persis seperti mamanya masing-masing.

Tugas saya dan suami saya adalah bertindak sebagai penyeimbang. Kami memberikan aturan agak ketat kepada yang biasanya dibiarkan bebas dirumahnya, dan melonggarkan aturan untuk yang biasanya diatur ketat dirumahnya. Yang diajak keliling Eropa oleh keluarga mamanya kita ajak ke Skidrow dan tempat-tempat murmer, biar tahu dunia nggak cuma hotel mewah dan uang nggak menentukan kadar kebahagiaan, kita bisa senang-senang dimanapun asal niat. Yang cuma nongkrong disekitaran kota bareng mamanya kita ajak ke tempat-tempat eksotis dan menarik, biar tahu dunia itu luas dan dia bisa meraihnya. Tapi untuk mereka berdua aturan dasarnya sama: be kind, be nice, and we love them so much.

Saya ingin bilang kalau saya dan suami berhasil dalam (membantu) membesarkan anak-anak kami. Tapi mereka kan bukan trofi, bukan barang. Alasan kenapa kami mengajarkan mereka untuk sopan etc bukan biar orang melihat dan berkata: duh sopannya, hebat orangtuanya... Anak sopan, santun, baik bukanlah pajangan buat dibanggakan. Kesopanan, kesantunan, kebaikan itu didepannya akan sangat membantu (social skill) anak itu sendiri. Bayangkan dunia dimana anda tidak perlu ngomel, "Duh, itu orang nggak sopan banget sih!" ; atau yang relatif bebas kriminalitas karena manusia-manusianya mengerti bahwa merampas hak orang lain itu salah. Kita tidak membesarkan barang milik kita, kita sedang membesarkan harapan dunia. Kalau terlalu muluk buat anda, pikirkanlah secara objektif: apa yang akan anda lakukan kalau anda yang dewasa bertemu orang dewasa lain yang ringan tangan, hobi teriak, atau egois? Nggak banget kan?

Bukti lain kuatnya mendidik dengan mencontohkan adalah soal perbedaan antara manusia. Suami saya bule kulit putih, ibu-ibu anak-anaknya kulit hitam, dan saya orang Asia kulit coklat. Di Amerika yang perbedaan ras masih menjadi hot topic, keluarga kecil kami memandang perbedaan ras sebagai sesuatu yang normal. Keluarga suami saya dan keluarga ibu-ibu anaknya pun mau tidak mau harus melihatnya sebagai sesuatu yang normal. Bagaimana tidak, kami normal kok, saling mencintai menghargai etc tapi beda warna saja.

Saya rasa saya beruntung. Anak-anak tiri saya mendapat kecerdasan, kepekaan, dan kebaikan turunan dari ayahnya. Mereka kalau dibilangin mudeng dan mau mendengar. Konsep sebab akibat juga dapat diterima oleh mereka. Banyak orang tua lain yang mungkin tidak seberuntung saya. Kita yang dewasa saja kemampuan komunikasinya berbeda-beda, apalagi anak-anak yang kosa katanya masih sedikit dan masih dalam pencarian diri. Tapi kemudaan dan kecilnya tubuh mereka tidak mengubah fakta bahwa mereka adalah individu, bukan hanya "anak papa dan mama".

Ingatlah ini saat anda ber-parenting ria:
- Apakah anda sebagai individu sudah melakukan apa yang anda minta anak anda lakukan? Jangan seperti ibu kepiting yang memaksa anaknya berjalan kedepan dan bukan menyamping
- Apakah yang anda minta dari anak anda akan berfaedah untuk anak anda kedepannya? Individu apakah yang anda harapkan tercipta dari parenting anda? Yang realistis ya, orang yang santun baik taat beragama dan rajin menolong nenek-nenek menyeberang jalan memang terlihat oke banget, tapi bagaimana dengan isi jiwanya? Apakah dia akan bisa bahagia dan merasa damai?
- Dan yang paling penting: sudahkah anda mengakui hak dan individualitas anak anda? Sebagaimana bunga, kita ingin anak kita mekar indah dengan sepenuhnya dan bukan hanya jadi pajangan di dalam vas. Mengertilah bahwa tiap manusia berbeda, termasuk anak-anak anda.

Lagi-lagi semua kembali ke kita sebagai orangtua. Walau dikemudian hari waktu anak akan lebih banyak dihabiskan di sekolah daripada di rumah, tapi orang tua tetaplah figur sentral, pilar penting dalam hidupnya. Jadi saat anda menshare atau menyimpan artikel-artikel parenting tersebut tanyakan pada diri anda: "saya sudah melakukan ini belum ya?". Bila jawabannya "Belum", saatnnya anda mengaplikasikan ke diri anda terlebih dahulu. Seperti kata sebuah iklan: "Buat anak kok coba-coba?".

Monday, January 18, 2016

The Noise in My Head

You said A
and he screamed B
and they yelled C
and all the noise explode in me

Like a man quartered I feel the pull
The tendons stretch, tighten, pained
This is the end, I wept
This is the end

What is truth and what is not
What is lie and what is not
Your voices are nothing but blur in my head
A persistent mist of violence and chaos

Please shut up, I said
Please give me peace
But each of you were persistent,
and the noise in my head stayed

It grew louder at times,
Killing me from the inside
It grew silent at times,
but never truly went away

Had you repeat your 'Truth" a thousand times
It will not make it a real truth
Had you called the others "Liar" a million times
It will not make their words a lie

For I see the anger in you
I see the clouded mind,
The hating self,
the uncertainty of your own soul

There is no solid truth
There is no solid lies
There is nature and universe
And (perhaps) someone who created them

There is also you
And him
And them
There is us

Will your belief makes the world better?
Will your belief creates the change?
Is your belief true and pure?
Or is it a fragment of your broken soul?
For the first and foremost
It should always be Human first
Nature first
And fairness to all

As you would not want your rights to be robbed
You shouldn't rob others too
Whether they can speak against it or not
Don't do what you don't want others to do to you

Yet your voices are still strong
Will raising your voice help your cause?
Will it change the other people's belief?
Or is it just for your own justification?

Too often we called our goal "For the world!"
When it is actually "For ourselves!"
Too often we called each other as "Dangerous!"
When it is actually a mere "Uncomfortable..."

If your belief makes you hurt other things
If your belief makes you angry about other things
If your belief burn you deep inside
Then it is time to rethink the goodness of your belief

Now be quiet, all of you
Ponder your thoughts in silence
Make plans, examine it thoroughly
Be at peace with your belief

And please,
please,
please,
let others be in peace.

Thursday, January 14, 2016

Jakarta Terror Attack: Why It Is Stupid to Condemned a Religion

http://www.cnn.com/2016/01/13/asia/jakarta-gunfire-explosions/


If there is any, any way to show the ugly, hideous true face of terrorism, this is it.


For too often Muslims around the world experienced the pressure to denounce the heinous act of their fellow Muslim that committed violence under the pretext of defending Islam. Sure, it is nice to know that not all Muslims support violence, especially if you don't personally know one yourself; but then it became some sort of routine: a terrorist act under the pretext of Islam and ALL Muslims are supposed to denounce it.


And then this happened.


7 perpetrator (who are supposedly Muslims). Millions of people (who are definitely Muslims). How does the 7 define the millions? If Islam equals terrorism, shouldn't there be millions of perpetrator and only 7 that choose to stay out of it? Millions of people. All busy doing whatever they need to do on a workday instead of rioting and plotting and destroy the everything while screaming "Allahu Akbar!". The best way to depict the absurdness of the thought is to see the picture below: a street food vendor (who is most likely a Muslim) calmly sell his food to the (distressed) onlookers. It is as if he was saying: Everything is normal here, just a few wackos around. But hey, good money today. Indonesia's online taxi services provides free service to the people on tbe affected area, while still paying the drivers. There has been another picture circulating where a motor taxi driver (yes, there is such thing) assist a woman to get away from the danger zone. With about 90% Muslim population, these people are most likely Muslims. Why aren't they the face of Muslim?


The Jakarta I know is big and beautiful. It is far larger than Los Angeles, and much more diversed in social statuses. The filthy richs that leisurely enjoy their day in Jakarta's most prominent malls that are so big you can easily spend a full day inside one of the fully air-conditioned behemoths (and there are plenty of them). The office workers that work dilligently and industriously away, in their sharp well-pressed shirt and pants/skirts. The norm is dress to impress, and most look exquisitely professional regardless of what their actual positions are. The casual workers like bus drivers and street food vendors that kept Jakarta working and thriving, with a dot of beggars and street kids here and there. Again, there are 90% chance that they are Muslim. And they are normal people, like you and me.


And it is not just Jakarta. Everywhere you go in Indonesia you are bound to see the people helped each other in the time of need. Is this the teaching of Islam or Indonesians are just rad in general? None of the above, I'm afraid. Act of compassion can only be attributed to human nature, no strings attached. Regardless of what you are taught or what you believe, it takes a special part of you to be moved and act to help others. It takes compassion to do such compassionate act. And it goes the same, no matter what you have been taught or belief, it takes a special villanous part of you to commit crime against human. 


When the news broke, even my seemingly fanatic friends that often littered my news feed with articles denouncing the non-muslims were in panic and tried to find the news about their loved ones. This is because terrorism has no religion. People say and think a lot of things, believing in many things, but in the dire situation instinct kicked in: we just want to be safe. Which is why spouting hatred and fear is a surefire way to get attention and/or devoted followers. Religion doesn't kill people. People kill people. Yet in this world filled with uncertainty and fear, religion is a very effective way to label and grouped a bunch of people either as your "team members" or as your enemy. We believed it and hate (or love) other people with such vigor because "That is the truth!". Even though the good or heinous act is done because we wanted it to be done, because we choose to do it. Even though we are (un)knowingly become a pawn in the power struggle. 


Don't be fooled. Know who thy real enemy is: ignorance, self-center, fear, hatred, greed. Don't fear the race or religion or other wordly attitude. Fear the human. After all, we are our own predator.


#kamitidaktakut

#wearenotafraid

#stopthehate

Tuesday, January 5, 2016

Bangsa Pelupa tapi Penuh Kekinian

Kadang nggak ngerti ma orang Indonesia. Pas kemarin kabut asap kenceng banget mencerca pemerintah (baca: Jokowi). Tapi pas giliran hakimnya mutus bebas teriakannya nggak sekenceng kemarin2.

Waktu kabut asapnya masih ada trending mampus dong pasang profile pic pake filter kabut asap, ato pake masker. Solidaritas ceritanya. Kekinian kekononan. Pas udah lewat ya udah lewat. Ini pengusaha divonis bebas nggak dikejar, nggak ada petisi change.org yang super trending agar hakim dan pengusahanya dijitak. Nggak ada call of action untuk bikin orang-orang yang bertanggung jawab untuk bertanggung jawab. Kan udah lewat, udah nggak kekinian lagi.

Masih bilang pemerintah yang salah? Yang harusnya menghukum hakim dan pak pengusaha? Lah kalian aja pada diam. Pas gojek dihapus langsung dong semua pada bersatu-padu. Padahal yang pake gojek cuma orang di kota besar (Jakarta dan sebangsanya). Nah ini kebakaran hutan yang bikin polusi DUNIA dan mengancam lingkungan hidup lho. Mo nafas pake apa kalo pohon penghasil oksigen nggak ada lagi? Ato kalo kita disetrap PBB karena kerjaannya ngimpor asap melulu? Tapi kabut asap nggak trending lagi. Titik. Jadi biarin aja itu pengusaha lolos. Enak bener ya jadi bangsa pelupa tapi super kekinian.

Saya menolak lupa. Saya menolak lupa kalau saat terjadi aksi teror di Paris yang pasang profile pic bendera Perancis langsung dituding tidak nasionalis. Yang dibilang seharusnya kita lebih care pada "tragedi" kabut asap di Kalimantan daripada aksi teror di Perancis. Umm, mungkin karena aksi teror di Perancis mengakibatkan korban yang tidak sedikit, termasuk umat Islam di seluruh dunia, termasuk orang Indonesia di luar negeri, yang mendapat stigma dan perlakuan buruk sementara kabut asap berulang tiap tahun karena bahkan masyarakat sekitarnya pun tidak menunjukkan greget untuk mencegahnya berulang? Tapi okelah, terserah anda.

Kemana para 'nasionalis' ini sekarang? Yang selangkangan Nikita Mirzani lebih sedap daripada Freeport? Yang heboh bilang mencintai hutan tapi buang sampah sembarangan dan taman bunga dihancurkan demi selfie? Yang menyindir nyinyir bilang menteri perhubungan dikasi jatah gojek makanya peraturan diubah, tapi diam seribu bahasa soal Zon dan Novanto ketemu si keparat Trump yang bikin hidup umat Islam dan imigran (termasuk orang Indonesia) di Amrik jadi luar biasa susah?

Pencitraan. Itulah mereka. Yang lantang berbicara kalau lagi panas-panasnya, yang lagi kekinian. Saya peduli loh. Saya nasionalis loh. Padahal kalo disuruh nunjuk Riau dimana di peta buta mungkin nggak bisa. Yang kritis mengkritisi orang atau pihak yang tidak disukai, tapi kalo yang nggak nyenggol anda alias pren anda, tutup mata deh dengan manisnya. Jonru bikin berapa kali berita salah terus dihapus semua pada mingkem, walau berita fitnah itu disebar sudah entah berapa kali, tidak perduli postingan awalnya sudah terjadi. Tapi sharing posting soal jangan bergosip atau cara mendidik anak untuk jadi anak jujur dan bertakwa jalan terus. Pencitraan banget kan. Saya beriman. Saya bertakwa. Saya nasionalis. Saya membela agama saya. Tapi kalo lagi rame aja ya, kalo nggak rame saya nggak ikutan.

Indonesia itu luas banget lho. 17,000 lebih pulau lho. Tapi seberapa sering daerah pelosok jadi trending topic? Bali yang mungkin jauh lebih dikenal daripada Indonesia di mata dunia aja jarang kesebut. Pas heboh Hypermart Bali melarang berjilbab (ceritanya), langsung semua angkat bicara. Tapi apa ada yang tahu kalo Bali lagi krisis karena rencana reklamasi? Atau tahu kalau pas Nyepi Bali secara efektif tutup pulau? Semua tahu Bali, tapi itu tidak sama dengan peduli Bali. Sama dengan daerah lain di Indonesia. Kecuali Jakarta ya, yang hampir selalu jadi trending topic.

Paling sedap (sarkasme) kalau lihat meme Soeharto yang "Enak jamanku tho?". Yup, karena 'enak' hidup di jaman ala Hunger Games. Jakarta itu Capitol, Soeharto itu Presiden Snow, dan provinsi-provinsi lain adalah distrik-distrik penyuplai Capitol alias Jakarta. Yang lain boleh kelaparan dan bekerja sampai mampus untuk menyuplai Capitol. Anak-anak distrik lain tidak mendapat kesempatan untuk makanan yang cukup, boro-boro pendidikan atau kesempatan layak untuk menghadapi anak-anak Capitol di Hunger Games yang sebenar-benarnya. Kesenjangan antar daerah yang ada sekarangpun ya berkat 30+ tahun Presiden Snow kita tercinta itu, yang fokusnya ke Capitol dan bukannya keadilan yang adil dan merata. Nggak perlu repot soal kebencian atau undang-undang ITE yang (ceritanya) menguntungkan pemerintah pula, soalnya yang berani protes tiba-tiba hilang atau mati. Enak banget kan?

Indonesia itu keren habis. Disaat Amerika masih baru pertama kali punya presiden minoritas, kita punya Ahok yang triple minoritas. Kita punya Megawati yang presiden wanita pertama. Kita punya Dorce dari kapan tahu, sementara Amerika baru punya Caitlyn Jenner aja senengnya ampun-ampun, walau dia sama sekali nggak ada faedahnya dibandingkan kerja sosial Dorce. Tapi kita membiarkan diri kita jadi mainan pihak pencari kuasa yang jualannya kebencian dan misinformasi. Kita berpikir sebagai 'saya' dan 'kamu', bukannya sebagai 'kita'. Lihat Amerika. Video kampanye presidensial Trump itu kasar dan rendahan banget: "he's the only one with enough balls (testikel) to banned muslims." Kampanye presidensial lho, untuk negara yang pegang kendali kontrol nuklir di PBB. Kampanye ketua kelas saja kasar begitu mana ada yang memilih, kecuali anda sekolah disekolah yang nggak beres. Ini Amerika, dan benar-benar ada banyak orang yang mau memilih keparat itu karena kebencian dan rasa takut yang disebarkan para pencari kuasa ini lebih kuat daripada akal sehat dan nurani mereka. Saya melihat keruntuhan sebuah bangsa yang besar didepan mata saya, dan Indonesia berada di arah yang sama.

Jadi mau kemana kita? Tetap maju dengan pencitraan kita, yang peduli cuma kalau lagi kekinian atau kalau sesuai dengan apa mau kita? Atau mau mulai berjalan bersama untuk Indonesia yang lebih baik, yang masalah di tiap daerah adalah masalah kita bersama? Jangan munafik. Jangan tebang pilih. Indonesia milik kita bersama, sudah saatnya kita perduli.

Search This Blog