AdSense Page Ads

Thursday, October 19, 2017

Bukan Salah Anda

Saat disuit-suitin…
"Kamu sih, pakai baju begitu."
"Kamu sih, jalan sendiri disana."
"Kamu sih, keluar jam sekian."
"Lebay ah, bagus nggak dicolek."
"Makanya, jalan jangan menggoda."

Saat dicolek atau digrepe di bis…
"Kamu sih, bukan bawa kendaraan sendiri."
"Kamu sih, nggak waspada."
"Emangnya kamu nggak bisa teriak gitu, kan punya mulut."
"Kenapa mesti keluar sih?"
"Mungkin kamu terlihat 'Minta'."

Saat 'ditawar' atau dilecehkan…
"Udah, pergi aja. Jangan didengarkan."
"Ngapain juga diladenin, orang gila."
"Siapa suruh lewat sana, kamu memang cari masalah."
"Tapi dia kan berduit. Masalah loe apa?"
"Elu keliatan perek kali hahaha." 

Saat diperkosa…
"Ih, jijik melihatnya."
"Pasti dia yang kelihatan ngasi ijin, emang nggak bener."
"Jadi perempuan jangan kegatelan makanya."
"Nggak mungkin kejadian kalau dia cewek bener."
"Kok pasangannya masih mau ya?"

Saat mengalami kekerasan (seksual) di rumah…
"Itu kan suami, wajib dilayani."
"Bagus pasangannya udah nafkahin, jangan lebay ah."
"Siapa suruh pilih pasangan begitu, dari awal sudah nggak bener."
"Bagus punya pasangan, ga tahu diri sama muka."
"Wanita yang baik itu yang mengalah dan menerima."

Seringkali kita terlalu cepat memberikan pendapat, walau nggak diminta. Dan sangat sering pendapat yang kita berikan itu bukan pendapat, tapi penghakiman. Saat sesuatu yang buruk terjadi, kita seolah paling mengerti dan memberikan masukan "Mestinya kamu…", seolah kita bisa memprediksi apa yang terjadi sebelumnya.

Bagi yang pernah curhat sama saya, pasti tahu kalau saya nggak pernah bilang "Lagian sih kamu…" Buat apa? Sudah kejadian. Padamkan dulu apinya, bukan sibuk cari penyebab saat sekeliling anda terbakar hebat. Ada yang tahu di halaman berapa "Dear Mantan Tersayang" saya tulis ini ? #EhKokJualan . Lagipula, saya tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya, apa perasaan anda, apa yang menyebabkan semua itu terjadi.

Tapi lebih mudah menghakimi. Lebih mudah sok tahu. Lebih mudah berpikir kalau kita [baca: wanita] jadi orang [baca: wanita] baik-baik, nggak akan ada hal buruk yang terjadi pada kita. Kalau kita menjalankan hidup kita sesuai norma masyarakat, hidup kita akan lurus-lurus saja tanpa dinamika. Dan kalau ada sesuatu yang terjadi, itu salah kita.

Kalau dirampok… Itu salah kita
Kalau dipecat… Itu salah kita
Kalau diputuskan/diceraikan… Itu salah kita
Kalau dilecehkan… Itu salah kita
Kalau diperkosa… Itu salah kita
Kalau mengalami KDRT… Itu salah kita

Lalu kapan salah yang melakukan? Kapan salah orang-orang yang harusnya tahu itu tidak dilakukan, tapi tetap dilakukan? Bukan salah buah terlarang tumbuh di kebun surga, tapi salah Adam dan Hawa yang memakannya. Semua agama dan kepercayaan mengajarkan kita untuk menahan, mengontrol hawa nafsu. Semua agama dan kepercayaan menempatkan manusia sebagai mahluk yang mulia, yang memiliki akal budi diatas ciptaan Tuhan lainnya. Lalu kenapa manusia lain yang disalahkan atas ketidakmampuan kita mengontrol diri kita?

Bagi saya, anugrah terbesar Tuhan untuk manusia adalah empati, kemampuan merasakan apa yang orang lain rasakan. Bukankah Tuhan juga demikian? Bukankah Tuhan mampu merasakan apa yang dirasakan umatnya? Tapi dengan ketidak-tahuan (serta kesok-tahuan) kita, kita menempatkan diri kita 'lebih' dan 'maha tahu'. Kita tidak lagi mampu merasakan apa yang dirasakan seseorang yang berduka, karena "Toh itu salah dia,". Sejak kapan kita sedemikian jauh dari Tuhan?

Bagi anda yang disuit-suitin di jalan, bukan salah anda.
Bagi anda yang disentuh dan dilecehkan, bukan salah anda.
Bagi anda yang dipaksa berhubungan badan, bukan salah anda.
Bagi anda yang di'tawar', bukan salah anda.
Bagi anda yang terpasung dalam KDRT, bukan salah anda.
Bagi anda yang diperkosa, bukan salah anda.

Semua ini membuat diri kita terasa kotor, terasa murah, terasa begitu menjijikkan. Kepercayaan diri kita hilang, dan hidup menjadi kelam penuh ketakutan dan amarah. Walau secara fisik kita terlihat utuh, kekerasan seksual merampas bagian yang penting dari diri kita: Harga diri. Dan saat kita mencari tempat aman, seringkali penolakan yang kita terima, baik karena orang-orang merasa lebih baik dari kita maupun karena mereka tidak tahu harus berbuat apa.

Saya tahu harus berbuat apa. Saya bisa berempati.

Bagi anda yang merasa kotor, nggak. Anda nggak kotor. Anda tetaplah anda. Bagi anda yang merasa takut, masih ada tempat aman di dunia ini, masih ada orang-orang yang mampu mengontrol diri. Bagi anda yang merasa hilang dalam amarah, ada tempat damai menanti anda saat anda siap. Dan satu hal yang pasti, anda tidak sendiri. Tangisanmu adalah tangisan saya. Amarahmu adalah amarah saya. Kepedihanmu adalah kepedihan saya. 

Tidak ada yang berhak mengambil sesuatu yang bukan haknya, bukankah semua kitab suci dan lontar menuliskan seperti itu? Bukankah sepanjang hidup kita kita diajar (dan terkadang dihajar) untuk mampu mengendalikan hawa nafsu? Bukankah Tuhan kita adalah Tuhan yang welas asih dan penuh cinta, yang bahkan menghargai kita umatnya yang nista dan penuh dosa? Bukan salah seseorang memiliki harta, salah pencuri yang menganggap itu haknya.

Bukan salah anda. Bukan salah anda. Bukan salah anda.

Tuesday, October 17, 2017

Me, Too

I stood in that dinghy room, trying to put on my clothes as fast as possible. The sun will soon set and my folks will be wondering why I was late from work. Except I wasn't at work. I was in a rendezvous with a guy I met on the internet. A quick meeting where I ended up getting screwed, literally and figuratively speaking.

For years I told myself it was not an assault. We met, we kiss, and then we fuck. I was fully aware that that's what going to happen. After all, was I not the one who obediently agreeing to hang with him? I was a bad, bad girl for saying yes to a date so fast, even though I barely knew him. I got what I deserve. Good girl doesn't wander around meeting strangers off the internet.

I spent the next six months waiting nervously for my HIV test. But I deserve it. I did the walk of shame at the doctor's office, a haughty residence that scorned visibly at me when I told her I was unwed but need STD testing. But I deserve it. My ex-boyfriend said he can't be with me again. But I deserve it. I was told for years by the person I loved what a cheap whore I was. But I deserve it.

I deserved those wretched periods. I deserved that filthy look. I deserved the shock when his wife (whom he said he had none) called me on both of my numbers and cussed me for sleeping with her husband. I deserved the "Oh wow, I didn't know that" by a mutual friend who previously swore he's a good man, and then that friend conveniently disappear after. I deserved that all. After all, am I not just a filthy whore who gets what she deserves?

But I don't deserve all of that. 

It wasn't after my divorce and my life in the US that I started to see things with a different perspective. The male enhancement that I saw in the room. The ease of talking of him and his friend. The phone that kept on vibrating. It was a setup. A trap. They knew what they were after, and I fell in their trap. They want free sex, and many women will give it to them. I didn't know. Even though I talked big and bragged about it afterward, inside I feel so filthy, so low. I feel like something was taken from me.

"But it's your decision. You deserve it." No. No, I don't. Now that I understand myself more, there was no way that man doesn't realize I don't want it. It took an hour or so with heavy hints for me to finally followed him to the room. And in there, it was not voluntarily i.e. I wanted to have him, it was "Oh fuck, I guess I have to follow with the program." It was a "yes" under pressure. It was a "yes" because I don't feel like I have an option. Because I already choose to be the whore when I decided to meet him.

The pattern continues with the next few men I dated. If I decide on meeting up with these strangers, sex is to be expected. My feeling was irrelevant. With the first foreigner I dated, I even went as far as making an excuse: "I exchange sex with good conversation, it's perfectly acceptable". Which speaks volume of my desperation, as my country was a very conservative country. I was already a whore. I was already tainted. Yet I feel so filthy, so dirty.

To many, very many people, assault is physical, violent. That's why when there was no visible violence going on, it is not considered an 'assault'. Being proposed for lewd acts, men showing up their dicks, getting masturbated into in a public place, catcalled or being ogled at, these are all being dismissed by "You have the option to leave," "Nothing's missing from you anyway," "No harm done," "Well maybe if you dressed…"

No. No. No.

1) We do not have the option to leave. A lot of times assault victim is placed in the position where they don't really have the option to leave or even to say, "Fuck off". Me with the predators back home. The authority figures (boss, teacher, partner, etc) whom we just can't say no to without jeopardizing our position. The society who pressed us into submission and made us think it is ok for us to be treated that way.

2) Nothing's missing from us. Well, nothing's missing except our pride and self-esteem. Nothing's missing except the feeling of safety that we have and our trust in people and the world. As for "No harm's done", we are reduced into feeling we're nothing like a slab of meat. Our feelings, our thoughts, our self does not matter. Our self-confidence was destroyed and we saw the world, perhaps forever, as scared as a rabbit might. Is that not enough harm?

3) I already have ample breasts by the time I was in high school, and I'll never forget the way the school guard looked at me in my uniform. What, you expect me to get a breast reduction at that age so people won't ogle me? Or do you want me to cover up from top to bottom as to not rouse the very fragile manhood? But men get raped too. Shall we all get covered then?

I dated a man not long after my divorce. We met, he was fun, I knew panty drop will happen. Because it was expected, right? His words forever change my life: "When you are ready." He could've very easily taken advantage of me, me being confused and hurt at that time, but he didn't. Few more date nights happened, but nothing happened. I asked him then, "Don't you want me?" He shrugged. "When you are ready. I will feel guilty if I take advantage of your emotional state," I cried so hard in his arms his dog started barking, thinking he had somehow hurt me.

Another date asked my permission to possibly have sex once we're home from the club. I looked at him confusedly and asked, "Why? You know I won't mind." He replied, "I don't want to have sex without consent, especially if you get too drunk to give consent later." Another date always asks me ever so nicely, and never once our Netflix and Chill turned into sex flicks and willies. These people know I will always say yes, being the somewhat-nympho I am, but that doesn't mean they won't respect how I feel or what I think. This, this is the standard to live on.

If the current me was placed with that predator a decade back, I know I can say, "Not now, homeboy." Because I know I have options, I know I will not be preyed upon. Not by predators like him, not by society, not by the insecure lovers who beat me emotionally to make them feel good about themselves. But the only way to know you have these options is to learn it from your surroundings, by seeing and learning from others. It falls in our shoulders and our hands to established acceptable boundaries and instilling one's worth.

It's ok to say no.
You need to listen what other's feel.
It's not your fault when you are assaulted.
You should not assault people.
What happened to you does not make you an object.
Do not objectify people.
Treat people like you want to be treated.
Have compassion. Have mercy. Have respect.
Don't let your lust run your head.
There is not a single person that is 'asking for it', unless he/she on his/her own clear conscience come to you and literally asked for it, whatever 'it' was.

Changes don't happen overnight. While it was overwhelming to read so many #MeToo stories, nothing will change if we do not take action. Men and women should work together, should realize that when assault happens, it is a crime. Focus on the victims and make them feel better, punish the perpetrators so people will think twice, but above all, understand that it. is. a. crime. Safety and self-esteem are one of the most precious things a person can have, and nobody has the right to rob a person of it.

I feel like I need a good long shower after this, and I might just do that. As measly as it was, my story still scarred me. The repeated words of how dirty I was, both from myself and from others, were still echoing now and then. But I am getting better. I am getting stronger. And no, I do not 'ask' for it nor do I 'deserve' it. Me, too. Me, too.

Thursday, October 12, 2017

Cinta Dalam Sepotong Beha

Saya tuh paling hobi belanja daleman. Terutama beha, apalagi disini kalau lagi sale bisa cuma $8. Biar saya belanja merk Victoria Secret atau La Senza, nggak pernah seingat saya beli yang harganya diatas $15. Model dan warnanya pun beragam, mulai yang biasa, yang ceria, sampai yang siap tarung (#aww).

Tapi saya nggak selalu seperti ini. Waktu masih di Indonesia punya satu dua jeroan yang seksi, tapi hampir semua 'normal'. Sesuai budget dan sesuai kebutuhan, titik. Setelah di Amerika pun, karena masih bergantung pada si mantan, tahu diri nggak minta macam-macam. Cukup yang ada saja. Toh nggak ada yang lihat.

Namun setelah saya berpisah dengan si mantan, saya memberanikan diri melirik VS. Belanja pertama masih polos, barang yang dibeli nggak diskon-diskon amat dan tampilan masih "normal". Belanja-belanja berikutnya perlahan menggila, renda dan tali saling silang dimana-mana hahaha. Sekali beli cuma 1-2 potong, tapi karena sale nya bisa 2-3 bulan sekali...

Tapi ini lebih dari sekedar beha. Walau nggak terlihat, namun secarik kain ini memberikan rasa nyaman dan kepercayaan diri untuk saya. Ini lho saya. Saya yang kuat. Saya yang seksi. Saya yang menarik. Baju luar boleh cuek, tapi isi dalam sangat 'saya'. Untuk pertama kalinya saya menerima diri saya apa adanya. Dan ya, mulai mencintai diri saya sendiri.

Langkah berikutnya: baju. Mulailah saya membeli baju-baju yang saya sukai. Lalu makeup. Mulailah saya merias diri. Lebih cermat memperharum diri. Seiring dengan perkembangan kepercayaan diri saya, saya terlihat semakin menarik, dan lebih mampu memilih dan memilah calon pasangan. Saya bukan yang dulu lagi. Saya tidak keberatan jomblo sampai mendapat yang sesuai standar saya.

Dan semua ini terjadi karena beha.

Tiap orang punya sesuatu yang mendefinisikan dirinya, sesuatu yang sangat ia sukai sehingga walau besok kiamat pun ia akan oke saja selama ia masih memiliki benda itu. Buat saya, beha. Buat teman saya, karir menarinya. Teman yang lain, meditasinya. Ada yang 'pegangan'nya sepatu atau tas. Ada yang senang gelang atau per-akik-an.

Semua orang punya benda seperti ini, tapi tidak semua orang tahu atau ngeh benda apa yang dimaksud. Kadang nafsu juga disalah artikan sebagai zona nyaman, yang mengkoleksi barang hanya agar bisa berkata: "Gue mampu lohhh..." Atau sebaliknya, menolaknya karena merasa ada yang lebih penting.

Hidup itu... Berat. Kalau ringan namanya gulali. Dalam ketergesaan dan ke-stres-an kita dalam hidup, tak jarang kita menafikan bagian dari diri kita, apalagi ditambah tekanan masyarakat yang "Loe harusnya..." Lalu di penghujung hari kita merasa tersesat, merasa bingung, merasa tak tahu arah. Bagaimana kita bisa menavigasi di dunia yang riuh, bila kita sendiri tak tahu siapa diri kita, tak nyaman dengan siapa kita?

Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, dan kita tidak mencari sekedar pelipur lara laksana alkohol dan candu. Yang kita cari adalah sesuatu yang sangat 'anda', sesuatu yang membuat anda nyaman dan mencintai diri anda sendiri, sesuatu yang akan menjadi jangkar kokoh anda disaat lautan mengganas agar anda tak lagi kehilangan diri anda.

Kepercayaan diri dan rasa nyaman dengan diri sendiri adalah investasi yang terbaik yang bisa anda berikan untuk diri anda dan orang-orang disekitar anda. Selama anda mampu, tidak ada salahnya memiliki sesuatu yang membuat anda nyaman dan pede, untuk mengingatkan diri anda: "You are worth it". Nggak ada operasi plastik yang bisa menyamai binar di wajah seseorang yang sadar dirinya berharga.

Hidup ini rumit. Kadang lebih gampang setel mode otomatis dan menurut apa kata orang. Tapi kita kan bukan sapi atau bebek yang tinggal ikut apa kata gembala. Kita manusia yang memiliki naluri untuk maju, untuk berkembang. Kita bukan sekedar bunga dandelion yang terlupakan di halaman rumah, kita adalah mawar yang merona ganas, melati yang harum semerbak, anggrek indah nan eksotis.

Dunia terus berputar, dan perubahan terus terjadi. Apakah yang kita inginkan dari dunia? Apakah yang kita inginkan dari diri kita sendiri? Karena diam bukan lagi sebuah pilihan. Anak cucu kita bergantung pada kita untuk memberikan mereka dunia yang aman dan baik untuk mereka. Kita pun harus berani bertanggung jawab untuk memajukan diri kita sendiri.

Carilah 'cinta' itu didalam diri, carilah jangkar yang akan melabuhkan anda. Pupuk bibit itu lalu rangkullah diri anda sendiri. Dan mekarlah, pembaca tersayang. Mekarlah dengan sempurna dan percantik dunia yang begitu menakutkan ini. Jadilah oasis penyegar di bumi yang panas ini. Bagaimana anda bisa mencintai orang lain dan dunia bila anda tidak mencintai diri anda sendiri? Bersinarlah, pembaca-pembaca saya. Bersinarlah.

Monday, October 9, 2017

On The Altar of God I Kneeled

On the altar of God I kneeled
Eyes wide in horror
Lips slightly opened in desperation
A singular tear fell down my cheek
Too stricken to cry some more
"Please…" I called in a whisper
"Please…" My voice rasped with pain
"Please help us…" I said inaudibly
Too devastated to say it out loud
The anguish of the world rushed upon me
Drowning me, waves after waves
I struggled to breathe, to keep my sanity
Yet there is too much pain
Too much sadness
Too much loss and defeats
"Please…" I whisper again
"I beg you…" The eyes grew wider in fear
"Help us, please… I beg you…"
Then the head hung down
Embarrassed for asking such favor
Rejected for knowing no answer would come
Why would salvation come?
We have forsaken ourselves so far and so thorough
Heaven's doors are barred against us
No help will come
Only pain. Only defeat. Only suffering.
As we walk through this earth devouring others
Quenching our insane appetite for the hole we can't close
Forgetting the beautiful being we are
We're doomed. We're dead.

On the altar of God I kneeled
Forcing myself to smile
Why end things in frown and in ugliness
If you can end it with grace and beauty
The corner of my lips rose slowly
And then the tears run freely
There is beauty everywhere
There is love and kindness and hope
Why did I forget about that
The darkness around me accentuated the light in me
How bright it shone, how pretty it looked
And I don't need help anymore
I don't care about salvation or promises of heaven
This is me, and this is my world
The tears that have fallen
The blood that has shed
The souls that have been lost
The hearts that have been broken
This is my world, this is who I am
Good or wretched, beautiful or ugly
I will live on
I lifted my chin up high
Straighten out my back in defiance
 "Thank you," I said loud and clear
"Thank you for the life You given me"
"Thank you for the world You created"
"Thank you for the lessons and trials"
"Thank you for who I am"
And with that, I bowed deeply

On the altar of God I kneeled
I lost myself but now I've found me back
I was drowned in despair but now I walk on it
I was blinded by pain but now I see clearly
For this is my life
For this is my world
For this is my people
And I won't back down
There will still be pain and anguish
There will still be heartache and misery
There will still be darkness all around
But there will be hope
There will be light flickering in our soul
The little candle that others hold on to
The singular light that guides us through the storm
The promise of safety among the wretchedness
Let there be light in us
Let there be hope
Let there be love in us
Let there be haven
I smiled even bigger
A smile that turned into a grin
A grin that turned into a chuckle
A chuckle that turned into a hearty laughter
This is my life which I will fight for
This is my world which I will protect
These are my people whom I shall love
On the altar of God I kneeled solemnly
And say "Thank you, Lord," with a loving smile

Sunday, October 8, 2017

Bukan Cinta

"Jangan pakai baju seperti itu"
"Bilang dong mau pergi kemana"
"Kamu jalan sama siapa?"
"Jangan suka boros"
"Ngapain beli itu?"

Dulu saya pernah punya hubungan kayak begini, yang apa-apa mesti lapor dan harus nurut apa katanya. Yang konon dia melakukannya demi kebaikan saya. T*i kucing. Ini bukan bentuk cinta atau kepedulian, tapi bentuk awal pengendalian dan hubungan yang tidak sehat.

Buat kita yang perempuan, hal-hal seperti ini seringkali kita anggap wajar. Seringkali kita memposisikan diri kita sebagai mahluk yang harus diarahkan, dituntun. Padahal kita yang menjalani hidup dengan payudara dan vagina dan segala hormon yang menggila, tahu apa lelaki tentang diri kita dan perasaan bergejolak di dalamnya?

Bukan berarti kita nggak mau mendengarkan nasihat ya, tapi ada baiknya kita berpikir: apa alasannya? Sialnya ya itu tadi, posisi wanita di masyarakat patriarki membuat kita merasa hal ini wajar tanpa kritis mempertanyakan kenapa. Apalagi ditambah perasaan gak pede dan minimnya pengalaman.

Dulu, misalnya, saya sampai tukar password Fesbuk dan melacak satu sama lain di GoogleMap. Saat itu terjadi saya merasa sangat bahagia lho, "Ya ampun, so sweet! Segitu sayangnya dia sama aku!". Soal "Aku ga mau kamu dilihat lelaki lain" juga membuat saya melambung karena merasa sangat diinginkan. Itu bukan cinta. Itu bentuk pengekangan karena pasangan anda merasa insecure dengan dirinya sendiri.

Bagi yang sudah beli dan baca buku "Dear, Mantan Tersayang" pasti sudah lumayan paham maksud saya. Di buku itu saya menulis tentang hubungan yang sehat dan yang tidak. Manusia itu... nggak bisa cuma hidup berdua. Manusia itu... disetting dari sananya untuk berkembang, untuk maju. Inilah kenapa kita punya smartphone. Inilah kenapa Obama yang leluhurnya diperbudak bisa jadi presiden Amerika. Inilah kenapa manusia bisa sampai ke bulan.

Hubungan yang sehat adalah yang kedua belah pihak jadi maju dan berkembang. Yang dulunya cuma karyawan bisa jadi manajer, yang dulunya gaptek bisa lancar komputer, misalnya. Hubungan yang sehat adalah hubungan yang saat melihat kebelakang kita bisa melihat kebelakang dan berkata: "Saya bisa sejauh ini berkat XYZ".

Hubungan yang nggak sehat adalah hubungan yang membuat hidup mandeg. Tiap saya mendengar "Gue ga rela loe diliat orang lain" saya selalu terbayang dua tipe anak TK: yang nggak mau berbagi mainannya (tapi rajin mengambil mainan orang), dan yang ngumpet di pojokan nggak mau bersosialisasi. Egois dan ga pede. Ke dua tipe ini akan membuat pasangannya mandeg, atau lebih buruk lagi, kehilangan jati dirinya.

Pertanyaannya adalah, apa yang kita harapkan dari hubungan kita? Karena hidup nggak akan selalu sekedar "Ai lop yu pull bebe". Sebelum memberikan saran pada pasangan, tanyakan dulu ke diri sendiri: "Ini demi dia atau demi saya?" Sebelum mengiyakan saran dari pasangan juga harus berpikir demikian.

Bisa lho, peduli tanpa mengekang. Bedakan antara "Jangan makan melulu, nanti gemuk" dengan "Kamu sebaiknya pola makannya yang lebih sehat deh". Atau antara "Jangan pakai celana pendek, nanti dipelototin orang" dengan "Jangan pakai celana pendek, daerah itu rawan". Atau yang ngecek keberadaan karena takut kamu selingkuh, dengan yang ngecek karena kamu kebiasaan bablas jjs lalu besoknya nggak mau masuk kerja.

Bukan hanya pria, wanita juga banyak yang seperti ini. Seorang teman bolak balik memastikan pacarnya nggak pergi jjs karena sebagai pasangan mereka harusnya jjs bersama, padahal saat itu teman saya ini sedang pergi ke kondangan bersama grup kami. Jeng jeng jeng. Wanita itu bisa kejam dan memerintah juga lho. Ketidakpedean itu bukan hak milik satu jenis kelamin saja.

Saat kita tidak pede, saat kita insecure dengan diri kita sendiri, kita seringkali menproyeksikannya ke orang lain. Bila anda merasa pasangan terlalu banyak aturan, mungkin ia merasa hanya dengan cara itu ia bisa tetap memiliki anda. Bila anda merasa ia terus merendahkan atau membuat anda tidak nyaman, itu karena ia tidak nyaman dengan dirinya sendiri. Tapi ini urusan dia dengan dirinya sendiri, jadi buang jauh-jauh "Oh aku akan menyelamatkanmu kekasih tersayang!" dan mau saja terjajah karena kasihan. Karena anda tidak akan bisa. Yang bisa menolongnya lepas dari ketidakpedeannya adalah dirinya sendiri.

Bagi wanita Indonesia yang masih merasa kaum lelaki 'berhak' memperlakukan anda seperti ini, mari saya ingatkan betapa hebatnya wanita Indonesia. Kita bisa tangguh dan tetap penyayang, bisa manja tapi siap bertindak. Ini paduan maut kalau disini, sifat feminin kita yang membuat lelaki cetar membahana plus kesiapan kita menghadapi dunia yang membuat lelaki merasa nyaman dan percaya dengan kita. Kurang apalagi, coba?

Jangan anggap kelebihan kita ini 'keharusan' atau 'kodrat' belaka. Kalau kita bicara kodrat, kodrat lelaki juga sama, bukan? Yang mampu menjadi kepala keluarga, menafkahi, membantu kita menjadi lebih baik. Sori sori aja ya kalau cuma mampu beli Av*nza tapi berharap pengalaman berkendara sekelas Ferrari. Berharap pasangan yang sempurna, kita sendiri sudah sempurna belum?

Masih berpikir bahwa pengontrolan dan pendiktean itu benar? Coba berpikir sejenak, dari kalimat-kalimat itu apa yang anda lihat setahun kedepan? Apakah itu akan membantu anda atau membuat anda berkembang? Bila jawabannya "Saya akan bisa tetap bersamanya", maka ada yang salah dari hubungan anda. Cinta itu melebarkan sayap kita, bukan mengguntingnya.

Oh dan yang marah-marah dan berkata: "Apa sih perempuan ini??", tandanya anda merasa kalau saya itu benar. Bukan cuma soal ga pede atau insecure, ada lho hubungan yang senang mengontrol dan senang dikontrol. Kalau anda salah satu dari ini, cari pasangan yang klop. Jangan ngerusak orang lain gituh. Kalau ini soal insecure, pelan pelan ya sodara-sodara, bisa kok itu diperbaiki. Tuhan menyiapkan yang terbaik dan setara bagi kita, jadi kalau mau yang wah kitanya juga harus wah. Semangat!!!

Thursday, October 5, 2017

Ibunda Dan Ayahanda

Wahai Ibunda dan Ayahanda,
Siapkanlah anak lelakimu untuk menjadi suami teladan,
Yang mapan bukan hanya secara finansial namun juga mapan mental,
Yang mampu melihat dan memilih Pasangan Terbaik: seseorang yang mampu dan mau bekerja sama untuk memajukan hidup kedua belah pihak dan hidup keluarganya,
Yang mampu mengerti dan menghadapi badai kecemburuan,
Yang mengerti bahwa godaan adalah godaan belaka,
Yang sanggup menafkahi keluarganya sehingga bila istrinya bekerja itu adalah pilihan si istri dan bukan keharusan,
Yang mau memahami pilihan tersebut dan tidak menafikan kebutuhan sang istri.

Wahai Ibunda dan Ayahanda,
Siapkanlah anak perempuanmu untuk menjadi istri idaman,
Yang kuat secara mental dan mampu berdikari.
Yang percaya diri untuk memilih Pasangan Terbaik karena tahu dirinya begitu berharga,
Yang mampu mengangkat kepala tinggi disaat badai menyerang dan pasang badan untuk melindungi keluarganya,
Yang sanggup mengambil alih kendali rumah tangga dan menjadi tulang punggung disaat sang suami tiada atau tak bisa,
Yang mengerti dan memberikan sang suami kedamaian rumah yang suami butuhkan,
Yang menyadari bahwa pengambilan keputusan (sekalipun sang suami menolak) adalah hak sekaligus kewajibannya selaku istri.

Ingatlah Ibunda dan Ayahanda,
Perkawinan bukanlah tujuan akhir, 
Perkawinan adalah pengesahan tim sebelum memulai petualangan panjangnya,
Perkawinan bukanlah sekedar opsi "Daripada berzina atau pacaran",
Perkawinan adalah rekanan bisnis dengan konsekuensi stigma masyarakat bilamana tidak dijalani dengan baik,
Perkawinan adalah investasi yang bisa membuahkan hasil maksimal atau justru membangkrutkan anda,
Dan bahwa istri lebih daripada sekedar trofi atau boneka pajangan,
Dan suami lebih dari sekedar ATM berjalan

Kepercayaan diri
Kecerdasan
Kemampuan berkomunikasi
Welas asih
Kemandirian
Rasa hormat
Ini yang harus dimiliki para calon istri
Ini yang harus dimiliki para calon suami

Karena, Ibunda dan Ayahanda,
Anak perempuan bukanlah obyek semata,
Anak lelaki tak perlu terbebani dunia,
Dan mereka harus mampu bekerjasama.

Karena, Ibunda dan Ayahanda,
Anak perempuan haruslah kuat
Anak lelaki haruslah penyayang
Dan dalam perkawinan mereka saling melengkapi

Karena, Ibunda dan Ayahanda,
Mereka begitu berharga,
Keturunan mereka begitu berharga,
Dan orang tua mereka juga begitu berharga.

Mari, Ibunda dan Ayahanda,
Kita didik anak-anak kita dengan semestinya
Demi mereka dan demi kita
Dan demi kebaikan dunia yang kita tinggali

Selamat malam, Ibunda dan Ayahanda ❤....

Tuesday, October 3, 2017

Dear, Mantan Tersayang

ini ceritanya, jadi saya tuh punya buku. Bikin buku. Well, sebenarnya tim penerbit dari Grasindo yang membuat bukunya, tugas saya memasukkan dan menyusun transkripnya. Berkat kinerja kita bersama (#Jyahhh) jadilah buku ini yang cantik, warna-warni, seru, enak dibaca, dan yang paling penting: Bermanfaat!

Seriusan. Walau judulnya "Dear, Mantan Tersayang", memang anda pikir saya cuma bakalan nyampah menghina-dina mantan saya? Ish… Kalau iya dari awal kan saya nyampah aja ya, seperti banyak 'seleb' sosmed yang beken karena tulisannya yang (uhuk-uhuk) sakit. Tapi ini bukan soal nyampah. Ini bukan soal "Liat gue, kasihanin gue". Ini tentang move on, tentang lepas dari masa lalu. Ini tentang kemampuan untuk bersuara.

Waktu tulisan saya viral, banyak lho yang mengingatkan saya: "Jangan buka aib". Sampai sekarang buku ini terbit, lebih heboh teman-teman saya disini (yang nggak bisa baca bukunya karena nggak ngerti Bahasa Indonesia) daripada mayoritas teman-teman saya di Indonesia. Beberapa teman dan satu-dua keluarga malah pura-pura nggak ngeh buku ini terbit. Pas saya curhat, jawabannya selalu sama: "Yah mungkin karena isinya" . Wait, tapi isinya itu self-improvement…

Kalau kata orang jangan menilai buku dari covernya, mungkin ini kasus yang lumayan telak hahaha. Padahal isi buku saya itu bagaimana mencintai diri sendiri, bagaimana mencintai seseorang dengan sepantasnya, bagaimana mendapatkan/membina hubungan yang sehat, dan sebagainya. Bukan karena saya jadi viral berkat menulis tentang selingkuhan suami saya lalu itu saja yang saya tulis. Yang rajin mantengin/baca tulisan saya di Fesbuk pasti tahu, karena saya membahas berbagai hal.

Disisi lain, inilah wajah sebenarnya di Indonesia, dimana perceraian dan (atau) kegagalan hubungan dianggap tabu dibicarakan, dianggap memalukan. Setelah tulisan saya viral, sekian banyak orang mendadak menghubungi di social media dan curhat syalala. Yang bisa saya bantu, saya bantu lho. Namun saya tetap shock. Ternyata sebegitu perlunya sosok seseorang yang mau mendengarkan dan tidak menghakimi. Gimana nggak, saat sepupu laki-laki saya membeli buku ini si mbak SPG toko buku mesem-mesem melihatnya. Udahan kali menghakiminya.

Buku ini peluk erat saya bagi semua orang yang sedang atau pernah dirundung kesedihan dalam hubungan. You are worth it. Kamu itu berharga. Kegagalan dalam hubungan bukanlah akhir dunia. Baca buku saya dan mengerti kalau kamu itu, kalau setiap orang itu sangat spesial. Jangan terus menunduk kebawah dan meneteskan airmata. Dongakkan kepala dan tersenyumlah untuk dunia. Bukan pilihanmu ini semua terjadi.

Buku ini salam jari tengah saya bagi semua pencibir dan penyinyir yang sibuk menghakimi dibelakang. Diselingkuhi itu bukan sesuatu yang memalukan. Ada juga yang selingkuh yang harusnya malu. Hubungan kandas pun bukan sebuah aib. Baca buku saya agar mengerti berbagai faktor penyebab perselingkuhan itu terjadi. Kalau anda masih melihat buku saya (atau orang yang membeli buku saya) dengan tatapan sinis, anda bagian dari permasalahan ini. Lho, iya dong. Selingkuh itu marak karena tekanan terhadap si korban (dan sang selingkuhan) lebih kuat daripada tekanan terhadap si pelaku. Dubes Norwegia untuk Indonesia ditarik pulang tahun ini karena dituduh melakukan 'Perbuatan tidak terpuji' (baca: selingkuh), sementara perempuan Indonesia yang diselingkuhi malah diingatkan "Jangan buka aib!"

Buku ini tamparan dan pe-er besar buat saya, yang masih malu-malu kucing (baca: nggak pede) sama hasil karya saya. Yang masih menganggap ini bukan apa-apa makanya promosinya juga malu-malu kucing. Kalau kata presiden Amrik terkini: This is huge. Ini besar banget. Saya nggak bikin buku ini demi saya, agar saya tenar. Saya menulis buku ini untuk berkoneksi dengan sekian pembaca diluar sana yang selama ini hanya mampu merasa dalam diam. Saya berhak dan harus bangga dengan diri saya, dengan karya saya, walau sejuta suara diluar sana menentang saya. Kalau saya nggak bangga dengan siapa saya, bagaimana saya bisa memotivasi orang lain untuk bangga dengan diri mereka?

Jadi begitulah.
- Kalau anda seseorang yang ingin mengenal lebih jauh tentang diri anda dan berusaha mendapatkan plus membina hubungan yang sehat, beli buku saya.
- Kalau anda sedang terpuruk dan ingin keluar dari lubang gelap kesedihan anda dan move on, beli buku saya.
- Kalau anda merasa pihak yang diselingkuhi pada khususnya, dan para wanita pada umumnya, berhak didengar suaranya, beli buku saya.
- Kalau anda merasa perasaan anda valid dan sudah penat mendengar kata-kata: "Jangan bikin malu!", beli buku saya.

Karena kita berhak bersuara. Kita berhak merasakan apa yang kita rasakan. Kita berhak mencintai diri kita. Kita berhak tahu bahwa kita berhak mendapatkan yang lebih baik.

Dan situ-situ yang merasa saya adalah contoh perempuan yang memalukan dan tidak seharusnya berada di Bumi Indonesia dan kalau perlu kewarganegaraannya dicabut, beli buku saya. Jangan cuma satu, tapi pastikan semua grup arisan dan peserta grup WA anda kebagian satu-satu. Bedah buku deh rame-rame, agar semua waspada bahaya laten orang yang menolak tahu malu. Kalau beli via manajer saya di Jakarta dapat bonus postcard yang ada tanda tangan saya lho.

Terimakasih banyak yang sudah membeli buku saya. Terimakasih banyak tim Grasindo yang sudah membuat buku ini seindah mungkin, dan tak kenal lelah mempromosikannya. Terimakasih manajer dadakan saya Mbak Ayu yang percaya pada saya dan karya saya. Kita semua berhak bersuara. Kita semua berhak merasa. Dan nggak, kita nggak memalukan. Peluk erat!

- "Dear, Mantan Tersayang" bisa didapatkan di berbagai toko buku besar, Grasindo online, atau kontak Ayu di 0817 816 341 (sama Mbak Ayu kayanya masih ada stok postcard + tanda tangan saya-

Search This Blog