AdSense Page Ads

Saturday, May 31, 2014

Sebangsa vs Seiman

Seorang teman menulis status di Facebook: "Semoga masa kampanye ini cepat selesai. Prihatin melihat saudara seiman saling serang dan saling fitnah." Pikiran saya yang jahil langsung tergelitik dan bertanya: memang kalau ga seiman ga sebangsa ya??

Saya tidak prihatin melihat saudara-saudara seiman saya (Hindu Bali) saling gontok-gontokan soal capres 2014. Maksudnya, saya tidak prihatin atau khawatir akan kelangsungan agama saya. Saya pribadi yang ngejalanin kok, ga ada urusannya siapa capres yang bakal terpilih atau yang dijagokan rekan-rekan seiman saya. Siapapun itu asal bisa bikin Indonesia lebih maju kenapa nggak. Urusan kenegaraan dan urusan keagamaan itu dua hal yang berbeda, toh presiden RI harus mengayomi semua WNI walaupun yang berbeda agama dengan beliau bukan?

Yang saya prihatin adalah saudara-saudara SEBANGSA (yup, pake huruf kapital biar lebih joss) yang saling serang dan saling fitnah. Semua hal bisa dipake adu domba kok, mulai dari masalah kuat-kuatan agama, suku, kekayaan, ras, sampai muka pun bisa jadi bahan serangan (balik). Para WNI yang terpelajar (macam saya dan anda para penulis dan pembaca Kompasiana) harusnya ngeh kalau ini cerita lama. Pemilu Malaysia, pemilu Amerika, dan saya rasa pemilu-pemilu di banyak negara lain pun pasti jurkamnya sibuk saling serang karakter dan bukannya adu program. Pertanyaannya, apa gosip dan/atau fitnah ini mempengaruhi kepemimpinan mereka?

Kampanye Amerika tahun 2012 adalah salah satu yang paling "ganas" yang pernah saya lihat, dan kedua kubu sibuk menjatuhkan satu sama lain dengan berbagai fitnah dan cerita lebay, yang mana membuat publik Amerika terbelah dua. Akhirnya yang menang tetap Obama, karena memang dia yang punya program yang paling solid untuk kenyamanan hidup warga negara Amerika. Jadi buat apa sibuk saling memaki dan mencibir dan mati-matian menolak hanya karena yang satu hanya ayahnya yang Islam dan yang satu lagi konon keluarganya berantakan? Apakah ini yang akan menyejahterakan rakyat Indonesia, atau akankah program-program yang ditawarkan?

Tapi sebagus apapun presidennya, tidak banyak gunanya kalau kita masih cuma berpikir soal "seiman" dan bukan "sebangsa". Bangsa Indonesia itu luar biasa besar lho, dari Sabang sampai Merauke. Sementara kalau bicara soal seiman, Hindu saja bermacam-macam di Indonesia. Bahkan di Bali sekalipun tiap daerahnya ada sedikit perbedaan dalam menjalankan agama dan adatnya. Inilah kenapa dulu kita punya Sumpah Pemuda : Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa; karena tanpa itikad persatuan ini sulit mempersatukan tiap suku/agama/golongan di Indonesia yang masing-masing punya agenda dan egoisme sendiri. Inilah kenapa akhirnya Belanda dan Jepang bisa kita tendang dari bumi Indonesia, dan kita bisa bilang ke dunia: "Merdeka!"

Pasti banyak dari anda yang berpikir: "Buat apa saya pikirkan orang yang tidak seiman/sesuku/segolongan dengan saya?". Ini wajar, karena banyak pemuka agama (bukan agamanya lho!) yang memproklamirkan kalau orang yang tidak seiman itu akan masuk neraka atau bahkan dilarang didekati apalagi diakui. Pertanyaannya, mau dibawa kemana sikap ini? Bayangkan anda mau bikin mobil, tapi bukannya bekerja sama tiap departemen (mesin, cat, bodi, etc) malah sibuk dengan agenda masing-masing dan tidak mengakui departemen lain. Jadilah mesin yang super gede dan maha kuat yang tidak masuk di dalam bodi yang dirancang super ramping dan cepat dengan paint job yang sangat girly dan ABG-to-the-max ala JKT48. Jangankan dijual, belum tentu itu mobil bisa jalan. Atau bagaimana bila tiap departemen menolak bekerja sama sekali karena tidak seiman/sesuku/segolongan? Walhasil itu blueprint cuma jadi alas mouse, itupun syukur kalau sudah jadi blueprint dan bukan masih cuma post it/kertas tempel, ato sekedar saran di e-mail. Inilah kondisi Indonesia sekarang.

Suami saya yang orang Amerika berkali-kali mengeluh penuh frustrasi akan lemotnya internet di Indonesia, padahal kami cuma berkunjung di Jawa dan Bali yang harusnya infrastruktur dan jaringan komunikasinya lebih baik daripada daerah lain di Indonesia. "Harusnya pemerintah kamu investasi ke jaringan komunikasi dan perhubungan. Bagaimana Indonesia bisa membela diri terhadap invasi asing kalau tidak ada jalan untuk tentaranya? Bagaimana orang Indonesia bisa belajar kalau internetnya saja nyaris tidak ada? Kenapa tidak kirim orang-orang untuk belajar di Amerika atau negara maju lainnya agar bisa punya tenaga ahli di Indonesia?" Konon begitu omelan kakanda saya, dan saya cuma bisa manggut-manggut. Bagaimana mau berpikir sejauh itu, jawab batin saya, kalau jabatan menteri dibagi-bagi kaya kacang gratis ke orang yang tidak punya kompetensi. Dan kita yang orang Indonesia tidak protes, padahal kita yang paling berkepentingan.

Ini yang harusnya kita perjuangkan di pemilu ini, masa depan Indonesia. Harusnya kita bisa protes dan meminta para pejabat terpilih adalah pejabat yang punya kompetensi dan punya track record yang bagus di bidangnya, keselektifan harus diterapkan untuk semua menteri dan bukannya untuk menkes menkeu dan menlu saja (karena saya sangat ragu menteri kominfo yang sekarang punya kompetensi di bidang kominfo dengan segala celetukan doi yang ga jelas). Harusnya kita bisa berpikir lebih jauh dari cuma sekedar "Ih, dia kan tidak seagama". Harusnya kita bisa berpikir dan bertanya: "Negeri seperti apa yang nanti akan ditinggali anak cucu saya?"

Suka tidak suka, kita satu bangsa: bangsa Indonesia. Anak cucu kita pun (kecuali yang membelot ke luar negeri ya) akan tetap jadi WNI, dan tinggal di bumi Indonesia ini. Bahkan yang sudah bukan WNI pun pasti tetap ingat tanah leluhur, karena darah tidak bisa bohong. Anda boleh cari, tapi saya rasa tidak ada satu negara pun di dunia ini yang hanya dihuni secara eksklusif oleh satu agama/suku/golongan. Kita bisa main gontok-gontokan antar golongan dan agama seperti Mesir dan Thailand, saling usir-mengusir sesama warga negara seperti Myanmar, atau kita bisa menguatkan diri dan bersatu untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Sekarang saatnya kita memilih.

Sunday, May 18, 2014

Saat Aksi Berujar di Tengah Pasir Berbisik

Bromo, 16 Mei 2014

Matahari sudah menghilang dari langit, dan hawa dingin semakin menggigit. Gunung Bromo dan Gunung Batok beserta gunung-gunung lain yang tadinya kami nikmati dari kejauhan sudah hampir tak terlihat, ditelan gelapnya malam. Kami pun berjalan kembali ke penginapan untuk tidur cepat, karena esok pagi kami harus berangkat mengejar matahari terbit sedari pukul 3.30 pagi. Terdengar suara nyaring anak-anak kecil membaca ayat dalam bahasa Jawa. Yah, pikir saya, namanya juga Jawa. Namun saya menangkap kata-kata yang saya kenal, dan saya tersentak:

Sang Hyang Widhi Gustiku, Tri Kaya Parisudha lakuku

Saya menyeringai lebar dan memberitahu Kangmas kalau ternyata mereka bukanlah membaca ayat Quran, namun ajaran agama Hindu. Saya jelaskan kalau suku Tengger di daerah Bromo memang pemeluk Hindu dan bahkan beberapa homestay yang ada masih mendirikan penunggu karang didepan rumah mereka, namun saya tetap terkejut mendengar mereka membaca ajaran agama Hindu via speaker, sesuatu yang tak pernah saya dengar di Bali sekalipun.

Keesokan harinya kami meluncur menuju Gunung Penanjakan. Di tengah lautan pasir, di dalam kegelapan malam, saya melihat pelinggih/Penunggu Karang berdiri sendirian. Saya terpesona melihatnya, buat saya itu tampak sebagai relik dari masa lalu saat Hindu masih berjaya di tanah Jawa. Sepanjang jalan berliku tajam menuju sunrise view point saya melihat beberapa lagi tugu penunggu karang, dan saya merasakan betapa besarnya Hindu dahulu di tanah Jawa ini. Tapi ternyata saya salah. Saat kami turun dari Gunung Penanjakan tugu-tugu tersebut sudah terisi canang/banten sederhana. Mereka bukanlah relik belaka, mereka masih bagian dari masyarakat disana. Bukan "dahulu", tapi "saat ini".

Selesainya saya dan kangmas sembahyang di Pura Luhur Poten (yang menyediakan bunga persembahyangan yang sangat segar), bapak driver kami menawarkan membawa kami ke Goa Widodaren yang merupakan tempat suci (tempat nunas tirta) masyarakat Hindu Tengger. Ia menjelaskan kalau ia juga pemeluk Hindu dan dengan senang hati menemani kami sembahyang disana. Sepanjang jalan ia bercerita tentang dirinya, dan saya mendapatkan banyak pelajaran berharga:

Kalau Nyepi disini ya tutup mbak, sehari saja tidak apa-apa. Cari duit bisa setiap hari kok, tidak apa-apa libur sehari untuk agama.

Oh iya, saya Galungan juga libur. Nanti selasa besok saya sudah libur. Demi agama mbak, ga boleh hitung-hitungan. Cari nafkah bisa kapan saja.

Siapapun yang pernah merayakan Nyepi di Bali pastinya ingat kalau situasi sebelum Nyepi seperti besoknya mau kiamat, semua sibuk memborong habis barang-barang di supermarket seolah takut tak bisa bertahan hidup 24 jam saja di rumah sendiri. Begitupula dengan Galungan, saat semua orang sibuk mengeluh cuti mereka terpotong dan biaya banten yang membengkak. Seringkali saya bertanya pada diri saya, agama itu apa sih sebenarnya? Di Bromo saya mendapatkan jawabannya.

Agama itu adalah kepercayaan. Bukan sesuatu yang kita umbar laksana baju, namun setitik cahaya dalam diri kita yang kita pegang teguh. Bapak driver saya dan orang-orang di Bromo tidak perlu memproklamirkan mereka Hindu, namun mereka menjalani agama mereka dengan taat sebagaimana yang sudah mereka lakukan beratus tahun lamanya. Tidak perlu pengakuan atau "salah/benar", mereka hanya menjalankan apa yang mereka percayai. Seperti yang dinyanyikan oleh anak-anak kecil itu, "Tri Kaya Parisudha lakuku", berapa banyak dari kita yang mengajarkan anak-anak kita prinsip dasar Agama Hindu dan bukan hanya banten apa yang harus dibawa ke Pura? Berapa banyak dari kita si orang dewasa yang belajar dan mampu menerapkan ajaran agama Hindu dalam keseharian? Sebaliknya, berapa banyak dari kita yang berpaling dari Hindu Bali dan memilih menjalankan Hindu India karena "lebih murni"? Agama, sekali lagi, adalah kepercayaan; Agama adalah suatu kesatuan antara budaya asli kita dan ajaran untuk memudahkan dan meningkatkan kualitas hidup kita.

Saya teringat kaus Omkara yang dahulu marak dijual kerohanian Hindu kampus-kampus, atau berbagai stiker Omkara dan/atau ayat-ayat kerohanian yang marak diperjualbelikan sebagai hiasan. Setelah bertemu si Bapak saya tak bisa berhenti berpikir betapa memalukannya saya dulu yang selalu berkoar menegaskan: saya Hindu! So what gitu lho? Saya pikir si Bapak muslim, namun ternyata ia penganut Hindu juga. Tapi fakta apa agama yang dipeluk beliau tidak mempengaruhi harga (karena sudah diatur paguyuban/serikat) mereka, ataupun service/pelayanannya. Jadi buat apa berstatement "Saya Hindu", apalagi kalau belum sanggup melakukan ajaran agama Hindu sehari-hari? Paling sederhana deh, siapa yang yakin sudah bisa melakukan Tri Kaya Parisudha? Atau Tat Twam Asi?

Sudah saatnya kita mengevaluasi ulang apa makna menjadi seorang Hindu. Bukan hanya statemen atau banten belaka, bukan pula (bagi Hindu Bali) ayat belaka tanpa adat. Sudah saatnya kita melihat api kecil di dalam diri kita tersebut, menganalisanya dan membuatnya menyala terang sebagai pedoman hidup kita. Sudah saatnya kita menjadi seorang Hindu yang sebenarnya.

Search This Blog