AdSense Page Ads

Monday, April 24, 2017

Perjuangan Belum Selesai

Buat yang masih mengharu biru Ahok kalah, udah nggak usah ekstrim sibuk menyerang Anies-Sandi. Yang semua tindakannya sibuk dibikin meme dan dibahas di blog-blog ga jelas, dan di-share dengan taatnya ke seantero jagat maya. Do'i belum pada naik lho, jangan sampai udah basi/kehabisan tenaga saat do'i dilantik dan yang harusnya bener diperjuangkan/ dipermasalahkan jadi nggak ada artinya.

Fun fact: Saat Trump dilantik, semua kebijakannya dan perkataannya dan perbuatannya disorot publik. Sekarang menjelang 100 hari kepemimpinannya orang sudah nggak terlalu heboh dan perduli lagi.

Kekhawatiran masyarakat terhadap sinyalemen 'ini orang nggak bener' itu wajar banget. Berat buat do'i-do'i karena bagi banyak orang Ahok sudah identik dengan 'Bersih' dan 'anti korupsi'. Trump disini sudah dicap 'kampret', jadi sudah bukan sinyalemen lagi, tapi dianggap fakta normal. Bedanya adalah Trump kampret pun masih bisa dijegal oleh sistem pemerintahan Amrik, kongres senat dan kawan-kawan; sementara kalau di Indonesia pejabat negara kampret ya kita tinggal gigit jari.

Tapi apa iya? Apa iya kita segitu nggak punya suaranya? Sampai kapan mau jadi wong cilik ya cuma bisa menunduk-nunduk dihadapan priyayi belian? Priyayi belian karena jadi priyayinya dengan membeli kekuasaan, bukan karena terlahir apalagi karena tugas yang diemban.

Indonesia adalah negara demokratis, yang berarti tiap warga negara Indonesia memiliki hak suara yang sama. Nggak perduli anda di ujung hutan yang tak terjangkau listrik atau di tengah gemerlapnya ibukota, suara anda bernilai. Bodohnya kita masih memakai pola pikir feudal, sehingga pemilihan anggota DPR/MPR dan sebagainya atau bahkan kepala daerah hanya sekedar mencoblos saja, tanpa memikirkan bagaimana menuntut pertanggungjawabannya kedepan, tanpa memikirkan janji-janjinya masuk akal atau tidak. Kita dengan mudahnya menghibahkan hak suara kita.

Kalau masih berharap pemerintah/anggota dewan/kepala daerah/otoritas yang terhormat akan mendadak memikirkan nasib anda dan membuat Indonesia akan jadi lebih baik, sini saya sambit bantal, lanjutin lagi tidurnya sana. Pemerintah yang perduli dimulai dengan masyarakat yang perduli, bukan sebaliknya. Banyak peraturan-peraturan di Amerika sini (kalau tidak semua) dimulai dengan desakan masyarakat. Ada sih yang titipan pengusaha, tapi tetap suara masyarakat harus didengar. Anggota kongres / senat / pemerintahan yang nekat pura-pura budeg, siap-siap tidak dipilih lagi kedepannya, bagus kalau tidak dipecat saat itu juga.

Buat yang memilih Ahok-Djarot, perjuangan masih belum selesai. Si Oom ini masih menjabat 6 bulan lagi lho, pastikan program-program si Oom aman. Catat yang benar apa yang anda rasakan, program apa yang menurut anda berguna dan harus tetap dilaksanakan. Foto kalau perlu, dokumentasikan. Anda nggak memperjuangkan Ahok-Djarot, anda memperjuangkan Jakarta yang lebih baik. Kalau Ahok menang pun 5 tahun kedepan dia nggak bisa lagi mengurus Jakarta, bukan? Jangan bergantung pada satu orang, yakin kita bersama bisa.

Buat yang memilih Anies-Sandi, perjuangan juga masih belum selesai. Kawal terus apa yang dikampanyekan do'i-do'i ini, karena anda lebih bernilai dari sekedar sapi-sapi kampanye. Mereka butuh suara anda untuk menang, anda berhak menuntut apa yang mereka janjikan. Lihat sekeliling anda dan jujurlah, apa perubahan Jakarta yang menurut anda berarti, apa program yang menurut anda membantu, pastikan kalau gubernur selanjutnya tetap membuat Jakarta tetap lebih baik. Kalau aplikasi QLUE itu berguna, jangan rela tiba-tiba dihapus. Kalau sempat bebas pungli, jangan mau tiba-tiba dipalak PNS lagi. Jakarta bukan sekedar ego kalian untuk memilih jawara ala Indonesian Idol atau Akademi Dangdut, Jakarta juga milik anak cucu kakek nenek cicit buyut kalian, yang semuanya berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Kenapa harus repot begini? Karena kita di Jakarta adalah tolok ukur masyarakat di daerah. Kalau kalian berhasil memperjuangkan hak-hak kalian di Jakarta, yang didaerah lain pun akan bisa tergerak dan memperjuangkan hak-hak mereka. Nggak usahlah buang-buang waktu nyinyirin lawan, membuat meme atau blog ini itu meledek masing-masing pasangan. Bego amat kalau masih sibuk ngeshare begituan, yang untung kan yang bikin blog/meme etc; padahal belum tentu juga yang bikin beneran anti pasangan tertentu, bisa jadi segala oke demi jualan iklan laris. 

Perjuangan kita masih jauh, Mas dan Mbak. Saatnya kita merebut suara kita, saatnya kita membuat suara kita berarti sehingga kedepannya orang-orang calon pemimpin pikir-pikir sebelum maju atau melakukan sesuatu. Nggak harus dengan demo sekian milyar orang pula, tapi dengan bersenjatakan fakta dan persatuan antar masyarakat. Jakarta milik kita bersama lho. Anda boleh saling nggak setuju dengan berbagai hal, misalnya soal boleh/tidaknya potong sapi di pinggir jalan, tapi hal-hal yang mendasar seperti jaminan pelayanan masyarakat yang sepantasnya yang terjangkau tanpa pungli harus diperjuangkan bersama. Masuk akal kan?

Thursday, April 20, 2017

Makasih Sudah Menyekolahkan Aku

Bu,
Hari Kartini nih. Pasti Ibu sibuk mengurus si dedek centil keponakanku. Terbayang hebohnya dia dipakaikan baju kebaya dan melenggak lenggok cantik di TK nya. Dari jaman kita TK sampai sekarang anaknya si Kakak yang TK, tiap Hari Kartini berarti sibuk deh anak perempuan berdandan. Tapi buatku yang jauh di Los Angeles, Hari Kartini nggak cuma setahun sekali. Buatku tiap hari Hari Kartini.

Tiap pagi aku bangun aku diingatkan bahwa aku ada disini didekatnya Chris Pratt (kenal juga nggak padahal, tapi kan lebih dekat daripada kalau aku di Denpasar) karena Ibu yang dengan semangat Kartini memacu anak-anak perempuan Ibu untuk belajar. Ensiklopedi dan buku-buku yang Ibu beli, kursusan yang harus kita ikuti, dan tekad Ibu agar semua anak Ibu lulus kuliah, ini semua modal yang Ibu berikan pada anak-anak perempuan ibu sampai kita jadi (ahem) hebat dibidangnya.

Nggak, aku disini nggak ditanya apa itu proses fotosintesis saat melamar pekerjaan, juga nggak ditanya bagaimana menghitung percepatan benda bergerak saat nge-date, apalagi disuruh menyebutkan 5 ekspor utama Republik Kongo. Di pekerjaan juga nggak terpakai ilmu Mikrobiologi atau Parasitologi, dan jelas Farmakologi serta Histologi juga tidak tersentuh. Tapi semua 'ilmu' lain yang aku dapat saat sekolah itu terpakai lho.

Saat sekolah, aku belajar:
- Bersosialisasi: Bukan yang hapalan buku, tapi bagaimana berinteraksi dengan guru teman dan orang lain.
- Deadline: Alias peer. Belajar mencari waktu untuk menyelesaikannya dan mencari jalan keluar kalau tidak selesai.
- Aksi dan konsekuensi: Kalau salah, terlambat, tidak mematuhi aturan, siap-siap disetrap.
- Tanggung jawab pada diri sendiri: Terutama saat kuliah, saat tidak ada lagi yang mengawasi.
- Logika: Ilmu alam itu pakai logika, nggak bisa cuma dihapal.
- Hapalan: Karena ilmu sosial (sejarah, geografi etc) itu bagaimana kita melihat sesuatu dengan cepat dan mampu mengingat poin-poin pentingnya.
- Melihat secara garis besar/tidak berpikiran sempit: Dengan sedemikian banyak yang harus dipelajari, cari mati kalau masih nekat hanya menghapal buta.

Jadi saat aku:
* Mengurus perpanjangan green card, memohon nomor penduduk, dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan birokrasi: pelajaran PPKn dan Geografi lah yang punya andil (baca: belajar membaca/mengartikan formulir dan membaca cepat menentukan hal-hal apa yang penting)
* Mengurus keuanganku: jelas matematika dan ekonomi/akuntansi yang berperan. Paling nggak tahu kalau keuangan sudah nggak seimbang dan bisa mengalokasikan dana dengan sesuai.
* Gonjang-ganjing rumah tangga: terimakasih banyak untuk Ilmu Alam yang memaksa saya terbiasa melihat segala sesuatu secara utuh dan mengambil keputusan dengan kepala jernih dan bukan emosi sesaat.
* Berkenalan bertemu orang baru dan mencari teman di negeri orang: setelah drama emo / ABG saat SMA dan ospek saat kuliah, ini mah kecilllll
* Mencari pekerjaan dan beradaptasi dengan atasan: apa kabar guru-guru sekolah yang sok cihui dan dosen-dosen yang sok penting hihihi? (Mayoritas guru/dosenku sih oke ya huhu, jadi kalau pak/bu guru/dosen ada yang baca jangan tersinggung #kisskiss)

Aku disini success story lho Bu. Belum sesukses yang bisa membiayai kalian semua ke Disneyland sayangnya (pergi sendiri saja kayaknya belum sanggup/nggak rela bayarnya), tapi bisa dibilang American Success Story. Imigran yang belajar melakukan apa-apa sendiri, yang 5 bulan kerja full time sudah bisa sewa apartemen sendiri, yang walau pisah dari suami masih sanggup jalan-jalan ke negara bagian lain dan hidup dengan aman dan nyaman, yang nggak tergantung dari bantuan pemerintah apalagi bantuan orang tua. Disini banyak lho Bu yang biar seumur aku masih menadahkan tangan ke orang tua. Bangga nggak sih Ibu sama aku? Aku bangga sama aku hehehe.

Dan ini semua karena Ibu. Ini semua karena Ibu memperjuangkan pendidikanku. Walau kadang sirik melihat teman-teman yang tampak lebih makmur berkat orangtuanya, aku tahu 'modal' yang sudah Ibu berikan padaku adalah sesuatu yang tidak akan pernah habis dan tidak bisa diambil dariku. Dan aku berharap akan lebih banyak orang mampu menyadari hal ini.

Anak perempuan kan bukan hanya barang ya, Ibu. Pastilah cita-cita banyak orang tua (kalau bukan seluruh orang tua) supaya anak perempuan mereka berkeluarga bahagia, anak suami lengkap. Tapi untuk mencapai itu kan perlu modal. Kalau pernikahan adalah sebuah perusahaan, tentu kandidat partner/rekan bisnis utama yang akan dipilih adalah yang bisa memajukan perusahaan, bukan yang cuma ada disitu menghias kantor. Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan rekan bisnis utama (baca: suami) dan ia harus mengurus agar dirinya plus karyawan (baca: anak-anak) tetap terjamin? Bagus kalau perusahaan utama (baca: orang tua suami/istri) masih mau dan bisa turun tangan, kalau tidak?

Sama seperti perusahaan, punya gelar tinggi-tinggi tidak menjamin bisa menjalankan perusahaan. Makanya suka sebal kalau melihat orang yang pasang status membenarkan ibu RT berpendidikan tinggi "Bagus kan anak bisa diasuh lulusan S2", tapi masih rajin main copas berita hoax. Malu sama gelar gitu. Nggak punya gelar pun bukan berarti karyawan (baca: anak-anak) nggak terurus. Nggak usah jauh-jauh, lihat Menteri Susi. Salah banget kalau berumah tangga hanya melihat pendidikan pasangan. Walau pendidikan bagus itu membantu karena kita terbiasa dengan logika dan metode ilmiah dan sebagainya, tapi balik lagi ke apa yang bisa dan telah kita pelajari, iya nggak Bu?

Aku di sekolah juga belajar utang piutang. Ini sebabnya aku tahu bahwa utangku ke Ibu yang telah memperjuangkan pendidikanku mungkin tidak akan pernah terbayar. Apa yang kupelajari saat kuliah dan sekolah adalah modal hidupku. Dan bila kelak aku berkeluarga (lagi), itu juga yang akan menjadi modal anak-anakku. Sampai akhir hayat kita, aku akan tetap berhutang pada Ibu. Jadi Ibu jangan takut kehilanganku ya, bahwa aku kabur dan melupakan Ibu. Konon kan setelah menikah wanita jadi milik suami. Tenang saja, nggak begitu kok. Hutangku masih banyak, mesti tahu diri. Lagipula, aku senang dekat-dekat Ibuku tersayang. Kiss kiss muah muah dari Los Angeles. Makasih ya sudah menyekolahkan aku, Kartini Spesialku. Ai lop yu pull.

PS: Ajik/Babe ku tersayang, makasih juga ya. Jangan ngambek klo nggak di mention, kan Ajik nggak Kartinian xixixi. Lop yu tu!!!!

8pm Slumped On The Kitchen Floor

I slumped on the kitchen floor last night, my back against the refrigerator and my tears flowing freely. I clutched a bowl of French onion soup and forced myself to eat it, resisting impulse to just slam it to the wall and see it shattered and splattered everywhere. Instead, I ate it diligently, and with each mouthful I swallowed my pain and my sorrow.

10 texts, that's all he need to destroy my day. 10 texts.

My replies were short and cheerful, but he didn't know the anguish in me. He didn't know the hold he still has in me, how he can utterly destroy me with his thoughtless words. I was advised to not disclose the facts because that'll make him feel good about himself. As any predator, he elevates his self-confidence by exacting fear from others. All his hateful words, all his demeaning remarks, all his deprecating comments, they were made to elevate him, to make me less than him as that is the only way he can 'win' over me, the only way he can achieve some sort of self-confidence and feel good about himself.

But I don't want to talk about him. I don't want to understand the why he does all that. I don't want to give more of my time and emotion for somebody like that. I want to talk about me. I want to put all my fear and anguish aside. I want to stop being so scared and shaken every time he attacked me. I want to be able to love again, to be free again. And you know what I truly, truly want?

* I want somebody I can trust my life to, that I know I will be safe with that person no matter what
* I want somebody I can tell my secret to, somebody who will never use it against me
* I want somebody I can laugh with, smile with, have adventure with
* I want somebody who is as fluent and as easy going as I am as we embarked on adventures with strangers
* I want warm embrace, hot kisses, the promise of forever which was said solemnly
* I want somebody who just laughed and smiled amusedly as I said my "Sorry" for the millionth time during dinner
* I want somebody who is secure enough with himself that he can be my anchor in the storm
* I want somebody who understands my thoughts and my moral code without me having to explain for a zillion time
* I want somebody who trusts me enough to do my own things because he knows my limit and ability
* I want somebody I can grow with, somebody who has clear vision of the future and of himself
* I want somebody that'll sit and listened and understand as I spoke about my homeland, my cultures, and everything I hold dear
* I want somebody I can love, and whom I can believe of his love
* I want somebody who will not turn his back on me just because we don't see eye to eye, just because we don't share the same view
* I want somebody who will not lie to me, who has no reason to lie to me
* I want somebody who will make me feel safe and comfortable
* I want somebody who will make me feel like I am home

Do I deserve all this? Absolutely. I am done with people who forced their own conception of me on me. I am done with being questioned about my belief, my action and such, just because they don't, can't, understand it. I am done with being made to feel incomplete, weird, irrelevant. I am done with people who can't accept me for who I am. I am done crying, shaking, freaking out over what they thought I should be. I am done. And if I can't find the person who accepts me for who I am, that is fine by me too. I have myself. That is enough. I am done.

Wednesday, April 12, 2017

Ga Usah Pake Sirik

Seorang kenalan saya di Fesbuk memposting tentang dia menjalani proses mendapatkan Green Card yang 10 tahun. Saya masih ingat waktu saya memproses GC saya yang 10 tahun. Saat itu hubungan saya dengan mantan suami sudah gonjang-ganjing, dan dalam sebuah pertengkaran dia dengan ganasnya bersabda kalau dia tidak akan membantu saya mengurus GC saya, dan jangan beraninya saya memakai fasilitas di apartemen kami (printer dia, computer dia, etc) untuk mengurus dokumen-dokumen saya. Saya cuma manyun males saat itu. Please deh, tempat print/fotokopi bertebaran di Downtown Los Angeles; kalau dia nggak mau bantu, saya kerjakan sendiri juga nggak apa-apa, berkas ditolak imigrasi tinggal balik badan pulang kampung. Tolong ya Oom, kamu pikir perempuan Indonesia selemah apa?

Balik ke kenalan saya itu, karena pengalaman saya yang membuat jengkel saat mengurus GC itu, postingan dia membuat saya tersenyum sinis. "Awas-awas," cibir saya. Kurang dari sedetik kemudian saya merasa sangat benci diri saya sendiri. Sirik dan sinis kok dipelihara sih. Sama seperti saat saya tertawa sinis (dalam hati) melihat teman sekantor saya yang bersinar bahagia mengurus hari perkawinannya yang semakin mendekat. Padahal saya benar-benar bahagia untuk mereka, tapi kenapa juga saya masih reseh dan ga terima kalau mereka terlihat bahagia?

Begini ya, bukan salah mereka hari perkawinan atau urusan GC saya tidak seindah dan sesimpel mereka. Dan walaupun saya sirik, pada kenyataannya nggak ada dari kesirikan saya yang bisa mengubah fakta, apalagi memutar waktu sehingga bisa memperbaiki nasib saya. Dengan kata lain, percuma saya sirik. Salah sasaran kalau saya sirik apalagi marah dengan mereka. Bukan salah mereka hidup mereka [terlihat] lebih baik.

Ini intinya: "Terlihat". Kita nggak pernah tahu seperti apa orang itu sebenarnya. Bahkan yang teman dekat pun belum tentu tahu apa isi kepala dan isi hati seseorang. Tapi itu tidak mencegah kita untuk dengan pedenya ngejudge/menilai orang dari status Fesbuk/akun media sosialnya. Kenal juga nggak, sok tahu iya. Saya paling gerah kalau dengar, "Tapi kamu kan enak….." Gini yaaaaaaa, bukan berarti saya selalu senyum kanan kiri ketawa haha hihi karena saya tidak ada masalah, tapi karena saya nggak mau aja ngeracunin orang dengan kenegatifan saya. Toh situ juga kalau diajak curhat malah diemberin/disebar kemana-mana, atau kalau saya berkisah sedihnya hidup saya situ malah berkata, "Tapi hidup saya lebih sedih loh…" Masalahnya, orang nggak tahu dan nggak mau tahu hal ini. Tahunya cuma hidup saya [terlihat] enak, padahal mungkin saja mereka lebih beruntung daripada saya.

Bukan berarti saya nggak pernah sirik lho. Saya. Tetep. Sirik. Melihat teman Fesbuk bisa jalan-jalan ke Grand Canyon. Melihat teman kantor disayang habis-habisan oleh pacarnya. Melihat bestfriend punya hape Pixel dari Google. Melihat orang-orang yang hidupnya terlihat (catet ya, terlihat) lebih enak daripada saya. Katanya sirik tanda tak mampu, dan memang iya, saya nggak mampu mendapatkan itu semua. Jadi boleh dong saya sirik, boleh dong saya menginginkan kehidupan dan benda-benda yang lebih baik. 

Tapi cukup sekian saja siriknya, karena sirik pun harus tahu diri. Bedakan sirik karena memang ingin lebih dengan sirik karena merasa kita lebih hebat dari orang yang kita sirikin sehingga mereka seharusnya nggak mendapatkan hidup yang lebih baik daripada kita. "Sirik ih sama yang punya mobil, nggak enak banget menunggu angkutan umum dikala hujan", bandingkan dengan "Sirik ih sama si A sudah punya mobil, padahal waktu awal kerja aku yang mengajarkan dia," dan disusul dengan a) omelan betapa tidak adilnya dunia, dan/atau b) berpikiran buruk tentang si A (pasti jadi simpanan, pasti hadiah dari orang tuanya, dsb). Dengan kata lain, sirik (baca: menginginkan) barang/pengalaman boleh, sirik orang/pribadi jangan.

Sirik itu nggak selalu buruk lho. Saya yang sirik dengan jepretan kamera hape teman saya yang kinclong dan indah, akhirnya mempersiapkan untuk membeli hape yang (agak) lebih bagus untuk mendapatkan foto yang bagus juga. Jadi kesirikan bisa dipakai untuk memotivasi kita untuk jadi lebih baik. Sirik karena teman punya kehidupan yang terlihat perfect? Mengaca dulu sana, apa yang bisa kita perbaiki. Bos saya pernah bilang: "Kalau maumu banyak tapi nggak rela susah, ya nggak usah repot-repot mauin sesuatu." Mau pasangan pengertian tapi kitanya marah-marah 2 jam kalau dia telat 10 menit saja. Mau karir bagus tapi materi bacaan hanya dari pesan berantai BBM/Whatsapp/berita hoax di Fesbuk. Mau punya barang mahal tapi kerja overtime walau dibayar tetap menganggap perusahaan tidak manusiawi. Ayo ambil kaca sana, ambil kaca.

Kembali soal nggak tahu kehidupan orang, saya pernah tertampar gara-gara sirik dan menilai nggak jelas. Saya sempat bete dan tidak suka sahabat saya, yang buat saya tipikal perempuan manja yang hanya modal wajah cantik. Setelah dekat dan akhirnya bersahabat, ternyata nona satu ini sekuat baja dan bisa segarang harimau. Ternyata pula jadi wanita cantik itu tidak seasyik yang saya pikir, malah banyak masalahnya. Menyesal lho jadinya. Nggak ada faedahnya sirik sendiri nggak jelas, karena belum tentu yang saya pikirkan tentang orang lain itu benar, bisa saja saya melihat hanya sedikit dari siapa dia yang sebenarnya. Dan kalau saya yang jadi korban asal tuduh karena sirik begitu pasti nggak enak rasanya.

Bagi saya ini pelajaran yang penting: berkaca dengan berpikir apa yang orang pikirkan tentang saya sebelum saya memikirkan macam-macam tentang orang lain. Enak nggak kalau saya diposisi mereka dan dipikir seperti apa yang saya pikir tentang mereka? Bagaimana kalau pikiran saya itu salah? Bukan hanya masalah dosa, tapi juga ketidakadilan yang sudah saya lakukan pada mereka. Percaya deh, mendengar kata-kata "Tapi hidupmu kan enak…" yang penuh kesirikan disaat kita mati-matian berusaha tetap bertahan saat badai menerjang itu sama sekali nggak enak.

"Kamu kan enak tinggal di Amerika," "Kamu kan enak punya uang," "Kamu kan enak cantik dan supel". Sini lho Mas ganteng dan Mbak ayu, boleh banget ngejalanin jatuh bangunnya saya sampai akhirnya bisa di posisi saya sekarang. Tapi awas sampai menenggak racun serangga. Saya rasa semua orang yang pernah jatuh bangun namun tak jera berusaha hingga menemukan kebahagiaannya pasti pernah merasa seperti saya juga. Enak situ nggak ngerasain tapi tinggal komen sirik penuh kenyinyiran.

Punya hati sedikitlah jadi orang. Jangan hanya langsung menilai dan menghakimi dari sekilas apa yang kita lihat. Kalau memang penasaran, coba mencari tahu dan mengerti bagaimana orang yang kita sirikin itu memiliki hal yang bikin kita sirik, dan jadikan sumber inspirasi/contekan hidup untuk mendapatkan hal tersebut. Sayangnya nggak semua orang mau repot, lebih gampang sirik dan nyinyir dan merasa dunia tidak adil. Padahal hidup itu nggak enak lho kalau ada yang mengganjal begitu, dan kalau tiap kali melihat sesuatu bawaanya sirik dan iri hati, apa nggak pegal hati ya? Jangan begitulah jadi orang. Keburukan hati biasanya membuat wajah terlihat tak sedap dipandang pula. Nanti tambah sirik lagi sama yang wajahnya terlihat adem hihihi….

Thursday, April 6, 2017

Everybody Suffer



From the moment we inhale our first breath
Till the moment we exhale our last
From the moment we open eyes to see the world
Till the moment we close them last
Everybody suffers

It’s the agony of how your body decays as you live
The horror of having parts of it die constantly
The little scratches, the sharp stubbing pain, the little drip of blood
The failing organs, the terrible diseases, the end that is near
Everybody suffers

It’s the sorrow of heartbreak and lost love and betrayal
The confusion of one’s feeling towards the others
The never-ending cacophony of fear and uncomfortableness
The misery of being chained and trapped in your emotions
Everybody suffers

Yet we pat ourselves on the back for living
We give ourselves medals of participation
We drown ourselves in pleasure
And said loudly, “How Jolly life is!”
No, my dear. Everybody suffers.

Don’t let it gloom you or depress you
Don’t make it an excuse for not living your best
Don’t allow it to control your mind and control your life
Don’t give in to the pain and lose yourself
It’s ok. Everybody suffers

You are not alone in this dance of despair
Others are there in their masks of forlorn
Flooding the world with their constant tears
Populating the earth with their ceaseless torment
You see, everybody suffers

Some we brought to ourselves, through ignorance and folly
Some was brought to us, through greed and anger
Some we carry from birth: the defect, the malfunction, the incompleteness
Some we gain through life: the neglect, the abuse, the unhappiness
In the end, the only constant thing is the suffering

So here, take my hands and hold on tight
Come into my arms and let me embrace you
Put your head on my shoulder and rest a bit
Know that you are loved, that you are cared for
Even in suffering, you are not alone

Do the same for me, and make me strong
Ease my pain and wipe my tears
Give me reason to start another day
Tell me why I should live, tell me why I should smile
Even in suffering, I am not alone

We’re locked in this chain of suffering
But we are not alone, no my darling, no
We painfully swim in this sea of agony
But this is not all there is to it, no my precious, no
Suffering is constant, but there is more

There is love and laughter and smiles and joy
There are expectations and excitement and hopes and dreams
There are friends and lovers and family and strangers
There is light and warmth and calmness and contentment
There is suffering, oh yes, but not only that

There is 'you'
There is 'me'
There is 'us'
There is 'we'
Everybody suffers, oh sweetest thing, but we are not alone…

Monday, April 3, 2017

Spoil Yourself To Success

Last night I went for a dinner with a friend at a Japanese restaurant in downtown LA. Thin slices of albacore and seared tuna beautifully presented on a long glass plate, delectable vegetable tempura and savory chili edamame, a sushi roll with his namesake – which we order just for that reason, and a friend whom I talked to all night long. I was spoiled.

Sometimes I went through with life so harshly and so determined I forget what it feels like to be spoiled. I don't think I had many occasions where I was spoiled as well. Life spoiled me. God spoiled me. I have had nothing but ease and happiness throughout my years. Well, mostly. But from real life people, not so much; from myself, hardly ever.

And I should do that more often. Instead of going every week(end) eating out at a restaurant, I should just chill and aim to dine at a fancy one, the ones where I will feel special, where eating there will create a feeling of achievement. Instead of buying clothes on every sale, I should save up and spoil myself by buying designer things that I otherwise won't buy. Instead of $19 ticket to the opera, I should aim to get a better seat or even a subscriber's package. I can do so many, so many things to spoil myself, and I should.

Why? Because I am worth it.

Life sucks, and life's hard. I don't need dinner the cost of 1/3 of my rent. I don't need shoes the cost of 1/4 of my rent. I don't need show tickets the cost of 1/2 of my rent. I need to pay rent, period. But you know what else I need? Self-worth. Self-confidence. Gratuity. I need to remind myself I am worth it, that I deserve all the fancy things in life. And yes, I need to remind myself where I want to be in life. 

Once I hit the point where all the fancy things become normal, I'll aim even higher. Straight up Broadway plays in New York instead of at The Music Center. Michelin-star restaurants or a visit to the home country of the food I like. Donning expensive clothes that make me look special, and feel special. And once I achieved those milestone, time to aim even more higher.

When will it end? It should never end. It doesn't mean that I should be a snob that wants nothing but what I set as 'standard', it means setting a goal and be rewarded for it. In this case, the goal is the reward itself. It sounds so hedonistic and so wrong, yet in a way, it is so right. There is nothing wrong with wanting to show your worth. Laboring and toiling are great, but once in a while, we need to remember our true worth, as nobody else will do it for us.

Spoiling yourself means you are willing to give more, to pay more for yourself – a surefire way to increase your confidence. It is dangerous when it became a mere pity party, where you reward yourself for failure or to compensate the feeling that you just can't. Spoiling yourself should feel rewarding, but should never put you in a bad situation. In another word, if you can't afford it now, work your butt off till you can afford it, then you totally deserve it. If you can afford it now but it doesn't feel special, aim higher.

Sitting there in my 9-5 job and a stack of bills to pay makes it too easy for me to focus on only one thing: staying alive. But life is more than just staying alive. It is about living the life itself. I don't want to spend my life being the meek little mouse with secure nest but never knowing what I am worth, satisfied with second best because I don't believe I deserve only the very best. Sorry, but I refuse to be that woman. I worth more than that. Spoiled life, here I come.

Search This Blog