AdSense Page Ads

Sunday, November 29, 2020

Running Shoes



I saw pictures of people I know, all smiling with their loved ones this holiday season. These are the same people who have spoken to me about how unhappy they were with their partner. So why the smile?

I know in the age of filter and facetune nothing is what it seems to be. I know that smiles are easily faked, and a gaily laughter may mean squat. I know reputation is a slippery slope, and pride is often times the only thing one can truly call his or her own.

But what if they were the strong ones? They know it costs more to stay in a tumultuous relationship, but they choose to stay for something far more precious than their happiness. Me? I simply walked away.

Many people perceive me as strong. For having standard and stick resolutely to that standard. For being able to walk away and not willing to negotiate, let alone surrender to anything less than what I demand. Loneliness is painful, but better than living in a gilded cage.

The reality is, I am tired of it. I am not strong. I am weak. I am scared of relationship. I always fret I am one mistake away from being pushed aside and unloved by people I hold dear. Any disagreement that I perceived as dishonoring me will be met with nail and tooth. I am forever donning my running shoes.

I wasn't always like this. I remember the time I would begged and cry, willing to do anything to keep my relationship intact. Yet the wounds and scars has taught me to put self preservation above others. The trauma keeps whispering in my head how unworthy I am.

I hugged my boyfriend today. In tears I told him I feel like a dog being chained for so long, that even now when the chain has been broken for good I am still at lost on what to do. The pain, the lashes, the attacks has been such a feature in my life that now I know I don't have to deal with it anymore I don't know what to do.

It's Stockholm Syndrome, I know. This is not love, but a dependency. To be able to cut that chain was a courageous move. Now it's time for me to seriously re-learn everything else.

That my boyfriend's kisses on my hair and his strong embrace will not disappear just because I messed up again on our driving lesson. That my best friend's smile and hugs will not disappear just because I am stuck in my depression and stuck where I am right now.

That I am loved beyond means. The amount of love pouring before my faceoff was so immense I feel like I was living a real life enactment of "There Is Something About Mary". That my smile and genuine affection is precious to others.

That all the running I did brought me to who I am right now. It was a journey to finally be in a place where I can open them and put them aside. To some, their journey is to be with their partner, maintaining their relationship. To me, it's to finally take my running shoes off.

I am jealous of people who maintain their relationship no matter what. I am angry knowing I am too logical and have too much pride to do such things. I ate the forbidden fruit and now I will never feel such blissful hope. Not anymore.

But I can't change who I am. The naive bliss of heaven is no longer mine, but the tangible bliss of this world could be mine. I just need to learn to trust that I am worthy, to believe in my worth, to accept the love of others. And to know they will keep me no matter what, so I better change those running shoes with the fluffy slippers they prep for me.

So far I have untied both shoe laces where they are loose enough for me to step onto the shoes instead of the tight ready-get-set-go. So I made progress. Somewhat. I kept my eyes peeled on those fluffy slippers. I will get there. I promise I will get there.

Saturday, November 28, 2020

Saling Jaga


Nggak tahu ini sudah berapa kali saya mengetik ulang dan ulang tulisan ini karena saya terus 'nyangkut'. Sudah berbagai segi saya coba, namun tidak ada yang saya rasa cocok. Ini bukan topik yang menarik. Ini cerita saya yang lebay. Ini ga penting.

Pada kenyataannya, saya takut. Saya takut berbicara akan kekerasan yang saya alami karena saya takut saya akan 'dihukum' karenanya.

Saya tahu saya akan dihukum secara sosial. Ngapain saya masih ngomong sama suami orang. Apa iya saya benar tersiksa kalau saya masih berkomunikasi dengan orang ini. Baru dimaki sebegini saja saya sudah stress, padahal banyak yang lebih kejam lagi diperlakukan oleh (mantan) pasangannya.

Saya juga bisa 'dihukum' oleh si pelaku. Dia bisa menjadikan segala sesuatu yang saya tulis sebagai bukti baru ke pengadilan dan kita bisa memulai ronde 2. Sayapun harus duduk di pengadilan (lagi) dan mendengar ia mendiskreditkan saya. Bahwa saya emosinya nggak stabil. Bahwa saya kelakuannya sangat seksual jadi wajar diperlakukan seperti ini. Bahwa saya orang yang culas dan manipulatif.

Membangun kasus saya dan mengumpulkan bukti untuk ke pengadilan agar ia berhenti mengganggu saya adalah sesuatu yang sangat traumatis. Saya harus menjalani semua cercaan dan pelecehan yang ia lakukan terus dan terus di pikiran saya hingga saya bisa mendapatkan cukup fakta sebagai bukti. Saya nyaris gila karenanya dan banyak kali saya ingin berhenti.

Sudahlah, batin saya. Biarkan saja ia terus mengganggu. Toh tinggal di delete saja komennya di social media. Blok. Blok. Blok. Nggak ada gunanya saya jadi stress lahir batin. Bukankah saya sekarang sudah bahagia? Harusnya apapun yang ia katakan tidak lagi ada artinya bagi saya.

Tapi bukan berarti ia bisa terus melecehkan dan mencerca saya. Bukan berarti saya yang harus hidup dalam kekhawatiran apa 'pesan manis' yang akan ia kirimkan bila yang saya posting secara publik tidak sesuai dengan mood yang mulia. Bukan saya yang harus memblok dan mensensor kanan kiri. Bukankah saya terus dibilang sebagai seseorang yang rendah dan tak berharga? Jadi ngapain masih mengikuti saya di social media?

Saya tahu bagi banyak orang apa yang ia tulis bukanlah sesuatu yang menyakitkan. Tapi menyakitkan bagi saya. Dan apa yang saya rasakan valid, walau orang lain tidak merasakan hal yang sama. Hal yang sama terjadi pada seorang teman yang merasa mengalami pelecehan di tempat kerja. Saya dan dia setuju bahwa apa yang ia alami sudah termasuk pelecehan seksual dan membuatnya merasa tidak aman; walau bagi orang lain terlihat 'biasa saja'.

Ya sudahlah kalau kita dibilang bitchy dan nggak asik. Seperti postingan IG SalingJaga.ID: sexual harasser always play victim. Bukan cuma sexual harasser sih, semua abuser akan main victim. Mereka akan berusaha mendiskreditkan si korban agar testimoninya tak lagi dianggap valid. Nggak heran kalau korban seperti saya dan teman saya, atau bahkan di kasus video terduga artis, justru malah disinisin atau dianggap bitchy. Dianggap lebay.

Tapi bukan tanggung jawab saya, teman saya, atau korban apapun untuk tetap 'asik'. Taruhlah kami memang bitchy dan lebay dan nggak asik, apa sih susahnya si pelaku jauh-jauh dari kami? Apa sih susahnya si pelaku stop saat kami memintanya untuk berhenti? Atau lebih jauh lagi, apa sih susahnya si pelaku nggak melakukan apa-apa yang membuat kami merasa tidak nyaman?

Jawabannya adalah kontrol. Abuser apapun akan berusaha memiliki kontrol akan diri korbannya. Orang yang tahu ia membuat orang lain merasa tidak nyaman biasanya akan langsung mundur saat diberitahu. Orang yang merasa ia berhak akan orang lain, diberitahu pun akan terus maju pantang mundur. Ini bukan soal cinta atau soal hubungan pertemanan. Ini soal kontrol.

Jadilah kita si korban yang, bila memutuskan untuk bersuara, harus membuktikan bahwa terjadi kekerasan/pelecehan. Kita juga yang harus tetap mempertahankan integritas kita dan berusaha tampil apik agar orang percaya kita. Dan ini bukanlah hal yang mudah saat si pelaku membantah kita bukan dengan fakta, melainkan dengan mendiskreditkan kita. Kita bisa dengan cepat jadi sibuk membantah cerita miringnya dan bukannya berfokus akan kekerasan/pelecehan yang ia lakukan.

Cerita saya untungnya berakhir dengan (agak) bahagia. Walau berkas saya 'menyedihkan' (maklum pertama kali ke pengadilan di Amerika dan tanpa pengacara), setelah mendengar argument saya dan si pelaku hakim memutuskan bahwa saya berhak mendapat perlindungan dan si pelaku tidak boleh mengganggu saya lagi.

Saya hanya bisa sujud syukur kehadapan Tuhan bahwa saya dikarunia mama papa yang mampu mendidik saya dengan baik sehingga saya mampu mempertahankan diri saya sendiri bahkan di negeri orang. Tapi orang lain mungkin tidak seberuntung saya. Tidak di Indonesia, tidak di Amerika. Mereka mungkin tidak memiliki support network yang saya miliki.

Makanya, please banget jangan menjudge saat ada orang yang tidak mau menceritakan kekerasan/pelecehan yang ia alami, atau baru bercerita setelah sekian lama. Jangan langsung menghakimi bahwa itu pasti karena korban juga ada andil, atau bahkan sebenarnya menikmati interaksi tersebut.

Dengan bercerita, korban harus mengulang lagi hal buruk yang ia alami. Korban juga harus siap didiskreditkan dan justru menjadi orang jahat/tak berharga dimata masyarakat. Dan itupun kalau dia dipercaya, yang mana sangat mungkin ia dianggap lebay saja. Tidak heran pelecehan dan kekerasan terus merajalela.

Apakah terlalu 'banyak' bila saya meminta, memohon, kita lebih punya hati untuk korban pelecehan dan/atau kekerasan? Bahwa kita jangan berharap menjadi hakim yang maha tahu dan maha berkuasa, melainkan menjadi gubuk mungil nan nyaman diaman korban bisa merasa sedikit terlindungi? Karena kita semua berharga. Tidak ada satupun dari kita yang 'lebih' dari orang lain. 

Kalau bukan kita yang saling menjaga satu sama lain, siapa lagi?

PS:

Sunday, November 8, 2020

Bokep



Siapa yang sudah sempat dapat video 19 detik yang kemarin viral, ayo angkat tangan. Nah sekarang siapa yang begitu dapat langsung nge-share ke orang lain? Shame on you. Malu-maluin.

Bagi yang ngeshare, konon itu hak publik untuk tahu. Sudah di ranah publik. Salah sendiri mendokumentasikan sehingga tersebar. Saya bisa berantem sehari semalam soal ini, karena yang beralasan seperti ini entah merasa dia sempurna banget sehingga ga akan terjadi padanya atau paling tidak lebih baik dari si korban.

Tapi itu cerita lain kali. Cerita yang nggak akan ada habisnya karena yang diadu ngobrol pasti akan bersikeras yang mereka lakukan ga salah. Bahwa ngeshare itu memang hak. Tapi hak itu bukan kewajiban yang harus dilakukan. Hak itu sebuah pilihan.

Terlepas dari apakah kita berhak menshare video intim seseorang (yang sebenarnya kita amat sangat tidak berhak), apakah kita men-share video tersebut atau tidak menunjukkan nilai kita sebagai seorang manusia. Pilihan kita menunjukkan apakah kita bisa dipercaya atau tidak.

Ibaratnya begini: kalau lain kali ada video/gambar/ cerita miring tentang kalian, kalian tahu akan stop di orang yang nggak ikutan nyebar. Orang yang sok suci mengingatkan di chat group untuk jangan menyebar mungkin membuat suasana ringan chat anda menjadi ternoda, tapi itu juga berarti kalau kali lain anda yang jadi korban orang ini pasti akan membela anda.

Mungkin bagi orang kebanyakan, ini bukanlah sebuah konsep yang masuk akal. Salah-Benar kita masih sangat bergantung apakah itu terjadi pada kita atau tidak. Bila terjadi pada orang lain, itu salahnya dia. Bila terjadi pada kita sendiri, itu salah orang lain. Nilai diri kita seolah lebih tinggi dari orang lain yang sial dan menjadi korban. Pokoknya gue ga bisa salah.

Bagaimana orang lain melihat anda seperti ini? Tergantung orangnya. Bagi yang sama hobinya dengan segala sesuatu yang penuh skandal, mungkin anda ngeshare dianggap anugrah. Begitupula dengan yang hobi teori konspirasi dan sibuk sharing hoax. Asal kira-kira dapat reaksi dan applause dari orang lain, kudu harus wajib di share. Nggak penting kalau itu hoax dan bohong. Nggak penting kalau itu menyakiti orang lain.

Tapi bagi yang 'waras'? Mohon maaf selamat tinggal gudbai. Kalau anda nggak bisa dipercaya untuk gugel sekedar 5 menit untuk memastikan kebenaran berita anda, apa iya anda bisa dipercaya untuk hal lain? Berita jelas-jelas bohong kok anda telan mentah-mentah. Jangan-jangan semua info/perkataan/cara pandang anda yang lain juga hanya repetisi dari sumber lain tanpa dicek kebenarannya.

Begitupula dengan menyebar kabar miring atau video/foto yang tak senonoh. Ini mungkin levelnya sama dengan menyebar foto korban kecelakaan atau bahkan foto mayat. Nggak semua orang merasa hal seperti itu pantas disebar. Selain kasihan keluarga/ orang dekat yang bersangkutan, mungkin ada orang lain yang merasa tak nyaman mendengar/melihat hal seperti itu. 
 
Kecuali anda tahu dan yakin bahwa orang yang anda share adalah seseorang yang sehati dan sejiwa dengan anda, anda sangat mungkin akan terlihat seperti orang cabul yang menjijikkan atau yang tak tahu tata krama. Apa iya anda tidak apa-apa terlihat seperti ini?

Secara pribadi, buat saya yang menonton video tak berijin seperti ini nista banget ya. Ini ibarat mengintip orang yang lagi pacaran. Di satu sisi salah sendiri jendela dibuka sehingga kita bisa nggak sengaja lihat. Tapi disisi lain kita bisa tutup jendela kita dan nggak malah ngelihat sampai selesai kan?? Siapa elu merasa punya hak jadi pemirsa akan tubuh orang lain??

Dan bukannya kita kekurangan bahan lho. Cari video/komik/segala jenis media perbokepan itu nggak susah kok, dan bahkan sudah amat sangat banyak yang gratisan. Apa beda bokep dengan video tak berijin? Pemeran bokep sudah tahu dia akan didokumentasikan dan disebar ke publik. Kita tidak menginvasi hidup orang lain, atau menjadikan tubuhnya sebagai milik kita tanpa ijinnya.

Indonesia tidak akan bisa maju selama kita masih tidak bisa menghargai sesama orang lain, termasuk diantaranya memilah apa yang pantas dishare atau tidak. Ingat bahwa keputusan untuk menyebar foto/video intim dan/atau kabar/cerita miring biasanya didasarkan pada si penyebar yang merasa ia 'lebih' dari orang tersebut dan dengan demikian berhak menggunakan informasi yang ada. Bila begini terus, disaat semua negara besar sudah sampai ke Bulan mungkin kita masih terseok di Blahbatu.
  
Kitapun wajib untuk terus bersuara bila ada yang melakukan tindakan tidak mengenakkan dan/atau menyakiti orang lain, karena bila kita diam berarti kita menyetujui tindakan orang ini. Nggak ada satupun dari kita yang sempurna. Banyak dari kita yang terlihat sempurna hanya karena kita belum pernah tertangkap tangan dalam posisi (foto, video, postingan, apapun) yang membuat masyarakat berbalik melawan kita. Jangan merasa kita punya hak atas orang lain.

Jadi bisakah kita angkat bicara bilamana menerima video viral ini, atau setidaknya tidak menonton dan menyebar lebih jauh? Harus bisa ya. Kan katanya mau jadi negara adidaya. Yuk mari kelakuan juga harus Adidaya.

Tuesday, November 3, 2020

Berlari



Tokoh protagonis: Kamu harus menyembunyikan kami!
Tokoh antagonis: Tidak bisa. Dia sudah tahu kalian dimana. Kita tidak bisa membuatnya marah.
Tokoh protagonist: Lalu kami harus bagaimana?
Tokoh antagonis: Nanti juga kalau dia bosan dia akan pergi.

Ini dari salah satu episode serial TV "The Boys". Saya sudah pernah menontonnya sebelumnya, tapi entah kenapa malam ini saat saya menonton ulang rasanya tertampar. I have been there. Saya sudah pernah di posisi si tokoh protagonist, yang menjadi bulan-bulanan seorang abuser.

"Kalau dia sudah bosan dia akan pergi".

Saat bersama seseorang yang melakukan abuse terhadap kita, termasuk abuse mental, kita cuma bisa berharap dia akan berhenti melakukannya. Mungkin dia akan berubah dan jadi lebih mencintai kita. Mungkin dia akan sadar dan malu dan berhenti melakukannya. Segala kemungkinan berkecamuk dalam pikiran kita, sebuah harapan tanpa akhir.

Pada kenyataannya, ini tidak pernah tentang kita. 'Kita' tidak akan membuatnya berubah. Orang seperti ini hanya memikirkan dirinya sendiri. Bila ia selesai dengan kita, itu bukan karena kita menyadarkannya. Seperti di serial TV itu, dia hanya bosan dengan kita.

Satu-satunya cara lepas dari orang seperti ini hanyalah saat ia menemukan mainan baru. Mainan lama pun akan ditinggalkan. Yay lepas! Eh belum tentu. Bagi orang seperti ini, kita adalah miliknya. Selalu dan selamanya. Kita harus selalu siap sedia bahwa dia akan kembali ke kita. Kalau dia bosan dengan mainan barunya. Kalau kita terlihat bahagia.

Lalu datanglah dia kembali. Kadang didahului dengan bujuk rayu. Kadang langsung mengecam dan mengancam. Bagaimanapun cara ia kembali dalam kehidupan kita, intinya tetap sama: dia memiliki kita. Sekarang dan selamanya.

Yang tentu saja tidak benar. Kita adalah milik diri kita sendiri. Kita berhak untuk merasa aman dan utuh. Tidak ada yang berhak memiliki kita seolah kita barang tak bernyawa. Tapi itu rasanya berada dalam hubungan dengan seorang abuser. Dan bukan hanya kita lho, orang-orang sekelilingnya juga merasakan hal yang sama.

Seperti di serial TV tersebut: "Kita tidak bisa membuatnya marah".

Saat kita berhasil mengumpulkan keberanian dan pergi, orang-orang sekitarnya tidak akan membantu kita. Mereka tidak mau mengambil resiko dia marah dan membuat hidup mereka sengsara. Yang kalau dipikir-pikir masuk akal sih. Siapapun yang tidak menyetujui tindakannya pastinya sudah pergi jauh-jauh dari kapan tahu. Yang tersisa hanyalah orang-orang yang terlalu takut untuk pergi, atau tidak perduli akan apa yang ia lakukan.

Bahkan orang-orang yang tidak menyukainya pun, bilamana mereka terikat suatu hubungan dengannya seperti saudara atau rekan kerja, tidak akan mau membahayakan diri mereka sendiri dengan membuatnya marah. Sekali lagi masuk akal. Perlu keberanian yang luar biasa dan kerelaan berkorban tak terperi untuk mau membantu orang lain saat tahu diri kita akan terluka karenanya.

Blam. Semua pintu tertutup. Mau kabur tidak bisa. Terus diam tidak mungkin. Menunggu dia pergi juga tidak bisa, karena kalaupun dia pergi tidaklah untuk selamanya. Kita bagai hidup dalam waktu pinjaman, menunggu hingga akhir datang. Terus berlari tanpa henti. Lalu apa artinya kita hidup? Apakah kita benar-benar hidup ataukah kita hanya sekedar mainan tak bernyawa?

Jawabannya adalah: kita berharga.

Saya tahu ini bukanlah sesuatu yang mudah. Sekian lama saya beranjak pergi dari hubungan ini, dan masih ada masa dimana saya terpuruk menangis dalam ketakutan. Saya seringkali masih melihat kebalik pundak saya karena takut ia akan kembali. Sekali waktu saya pikir dia menemukan saya dan sayapun histeris seharian, walau semua teman dan kekasih saya meyakinkan saya bahwa saya aman bersama mereka.

Tapi kita bisa pergi. Kita berhak pergi. Kita berhak hidup tanpa merasa takut. Kita berhak merasa dihargai dan dicintai. Dan begitu ia kembali untuk menyiksa kita, begitu ia memaksa kita untuk mengingat betapa rendah dan tak berharganya diri kita, tarik napas yang dalam dan ingat ini: kita rendah dan tak berharga dimatanya. Bukan berarti kita rendah dan tak berharga di mata orang lain. Bukan berarti kita rendah dan tak berharga, titik.

Begitu kita mampu mengingat siapa kita, seberapa berharganya kita, baru saat itulah kita akan siap terbang jauh. Sisanya tinggal perencanaan. Merencanakan bagaimana caranya hidup sendiri. Merencanakan bagaimana bisa pergi meninggalkannya dan bersembunyi dengan aman. Merencanakan bagaimana mengusirnya atau kabur lagi bila ia datang kembali.

Kita juga perlu membangun lingkungan dan koneksi yang kuat. Kita perlu orang-orang yang akan berdiri melindungi kita, dan sebaliknya, kita akan mau berdiri melindungi mereka bila perlu. Kita perlu bersama orang-orang yang menghargai kita. Yang mengerti ketakutan kita. Yang tahu bahwa setiap manusia berhak hidup tanpa rasa takut, dan berani menghadapi orang yang hendak merampas hak asasi tersebut.

Sekali lagi, ini bukanlah sesuatu yang mudah. Bahkan di Amerika yang perlindungannya termasuk kuat, banyak korban kekerasan domestik yang tidak mampu lepas dari abusernya. Namun bukan berarti kita tidak bisa lepas. Kalaupun kita tidak bisa lepas secara fisik, kita masih bisa lepas secara mental. Pelan pelan. Kamu berharga. Tiap orang, tiap manusia, kita berharga.

DM saya selalu terbuka bagi yang ingin bercerita, bagi yang ingin dikuatkan. Kamu tidak sendiri. Ingat ya. Kamu tidak sendiri.

Search This Blog