AdSense Page Ads

Friday, June 26, 2015

Pencurian Pencapaian: Beranikah Kita Bersikap?

"The images are copyrighted and should not be posted online. Can you please provide me with the website, etc., where you found the images, so I can forward to my attorney? Thank you!"

Ack... Kok jadi rempong begini??

Jadi ceritanya saya menemukan gambar berlisensi di album Facebook orang lain. Pada tahu kan kalau di Facebook sekarang lagi gencar banget posting album foto? Tujuannya jelas, anda harus ngeshare album tersebut agar bisa anda simpan linknya di Facebook anda, yang mana meningkatkan traffic si empunya album tersebut. Sangat berguna kalau anda kebetulan jualan barang online, mau dapat tambahan penghasilan dari iklan, atau memang cuma haus kasih sayang eh perhatian. Sayangnya kebanyakan foto/gambar tersebut nyolong dari punya orang lain. Walau nggak ada watermark/logo yang punya pun kelihatan kok kalau itu album ngambil dari sumber yang berbeda karena pengambilan gambarnya pun berbeda. Beberapa yang jelas-jelas ada watermarknya pun dengan ceria dicuekin dan tidak ada credit untuk pembuat aslinya sama sekali. Pas saya ketemu gambar yang berlisensi ini saya iseng mengontak empunya, saya pikir dia cuma akan report ke Facebook agar gambar tersebut dicabut, eh ternyata mau bawa-bawa attorney segala. Waduh!!

Pasti anda berpikir, "Lagian iseng banget sih!" dan "Ga kasian sama orang lain!!" Percaya deh, waktu saya mendapat respon bahwa mereka mau pake attorney saya pun langsung menyesali keputusan saya untuk iseng. Paling tidak selama lima menitan lah. Saya pun berusaha 'membetulkan' keputusan saya dengan menginfokan mereka kalau orang ini nggak bermaksud jahat, dan cukup diinfo ke Facebook juga itu gambar bakal dicabut sama Facebook. Saya juga bilang gambar-gambar tersebut mungkin sudah dishare beribu kali jadi kalau memang mau memberantasnya pakai program seperti TinEye dan sekalian ngejar semua yang ngeshare agar tidak cuma orang ini aja yang kena. Hmm... Kalau dipikir-pikir sebenarnya saya memperparah ya. 

Kayaknya munafik banget ya, saya yang masih rajin beli DVD bajakan dan mengunduh buku/program yang gratisan kok malah ngaduin orang lain soal hak cipta. Dulu pas kuliah juga buku kuliah banyak beli fotokopian. Nggak sopan dong sekarang saya ngaduin orang lain kalau saya juga berbuat. Saya merenungkan ini seharian penuh. Kenapa saya merasa tidak apa-apa kalau pakai barang bajakan, tapi saya marah saat orang lain juga membajak? Apa bedanya barang bajakan yang saya pakai dan pembajakan foto/karya di fesbuk? Ini juga bukan sekali dua atau baru-baru ini ya. Dari dulu saya paling benci plagiarisme dan pencolongan karya orang lain, tapi ya itu tadi, beli DVD bajakan dan baca komik online gratisan jalan terus. Bingung kan?

Mungkin yang paling berasa adalah pencurian pencapaian. Setelah (mencoba) menjadi full time writer, saya berasa banget akan susahnya membuat sesuatu. Menulis blog seperti ini saja harus berpikir keras, karena sangat penting menarik pembaca dan membuat mereka menyukai karya saya ini. Nggak cuma ketik-ketik kelar. Sudah begitu masih harus diamankan dari orang-orang yang mungkin klepto dan suka copas seenaknya. Dari sewaktu saya masih kerja di Indonesia pun saya akan berusaha sebisa mungkin mengamankan hasil kerja saya, nggak apa-apa disharing dan dipakai selama saya masih bisa bilang "itu punyaku lho!". Paling tidak hasil karya saya dihargai, nggak tiba-tiba saya yang buat setengah mati lalu ada yang mengaku-ngaku. Itulah yang mendasari kesebelan saya terhadap orang-orang yang main posting gambar yang nyolong dari Internet, karena tanpa kredit/penulisan sumber yang sepantasnya seolah mereka (pembuat album) yang kreatif sekali dan mendapat segala puja-puji (dan iklan etc), sementara si pembuat aslinya hilang entah kemana.

"Tapi kan mencari gambar tersebut juga usaha!" Lah iya, terus apa susahnya sedikit lagi diteruskan usahanya dengan memberi link dimana gambar tersebut didapatkan? Apalagi kalau didapat dari website yang mungkin hitnya juga tidak banyak. Jujur, kalau DVD atau buku kuliah buatan perusahaan besar nurani saya tidak terlalu resah karena biasanya si penulis/pembuat film dan aktor/aktrisnya beserta segala yang terlibat sudah dibayar full. Apalagi di Indonesia yang menonton film dan beli buku itu mahal dan sulit. Kalau disini yang cuma bayar $8 perbulan bisa menonton film di Netflix sampai mampus sih beli DVD bajakan yang $5 dapat 3 itu rasanya rugi. Streaming film HighDef pun cuma $2.99 di Vudu, dan itu udah pasti nggak ada kepala orang yang lewat-lewat dan gambar yang goyang syalala. Buku disini bisa pinjam di perpustakaan, atau beli buku bekas cuma 50 sen ($0.50), jadi namanya mengunduh buku gratisan juga nyaris nggak perlu. Ayo pemerintah Indonesia perbaiki infrastruktur, kasihanilah kami yang ingin maju!! Lho, kok jadi melenceng hohoho...

Tapi baik di Indonesia maupun di Amrik sini, lain cerita kalau soal karya dari penulis/artis yang self-publish atau masih berusaha menjual namanya sendiri. Saya pernah mendapat pekerjaan sebagai penulis blog disini, tapi baru 5 artikel saya sudah keok karena tidak sanggup membuat karya secepat itu. Ceritanya kan saya idealis, pokoknya target pribadi 2 artikel seminggu dan nggak boleh nyontek karya orang lain! Ternyata nggak semudah itu lho mencari ide baru dan menuliskannya. Waktu iseng membaca situs berita/informasi Indonesia, ternyata banyak yang cuma copas dan translate dari artikel sini. Gubrak. Nggak pakai mencantumkan itu sumbernya dari mana pula. Dobel gubrak. Makanya banyak artikel yang menganjurkan makan Celery biar sehat (padahal saya jarang banget lihat celery di supermarket Indonesia, dan itu barang mahal pula), bikin kue pake nutella (siapa sih yang sanggup beli nutella tiap hari di Indonesia, kenapa nggak pake meses aja gitu), dan segenap info 'bermanfaat' lainnya. 'Bermanfaat' tanda kutip, karena mungkin nggak bisa dipakai di Indonesia. Penulis dan pekarya idealis macam saya berusaha membuat karya orisinal untuk menampilkan siapa kami, bikin website pun sekedar ingin berusaha dikenal agar orang mau membeli karya kami; kalau anda seenaknya copas atau mengambil karya kami tanpa ijin (dan mengaku karya anda), kasihan kami dong.

Sebenarnya mau penulis/pekarya pemula atau yang sudah ternama, pencurian seperti ini tidak bisa dibenarkan. Saya bilang pencurian karena memang ini pencurian ya, anda tidak bisa menjustifikasi/membenarkan hal ini dengan hanya "Cuma gambar/artikel, apa sih masalahnya?". Waktu anda memfotokopi buku kuliah atau membeli DVD bajakan (yang tetap salah, btw), si penjual tidak bilang bahwa mereka yang membuat buku/film/program komputer tersebut; hak cipta dan pencapaiannya tetap milik si pembuat karya. Waktu anda copy paste artikel/gambar dan menggunakannya untuk kepentingan anda sendiri tanpa memberi kredit yang sepantasnya, anda menghilangkan pencapaian si pembuat karya dan merampas hak cipta mereka. Cuma menulis "dari berbagai sumber" itu tidak membantu lho. Siapa pembuat aslinya tetap tidak diketahui. Bahkan di Amerika sini pun yang bisa menuntut dengan riang gembira, tidak selalu mudah menuntut hak cipta anda. Walau 'attorney'/pengacara itu terdengar horor, tapi kemungkinan mereka bisa menuntut orang ini (yang dari negara lain juga) dan sukses mendapatkan bayaran dari orang ini sangat kecil.

Mungkin hal ini terlihat sepele, tapi pencurian pencapaian ini menunjukkan siapa anda. Apalagi saat anda tahu tidak ada konsekuensi yang berarti, jadi tindakan yang anda lakukan murni keputusan anda sendiri. Kalau anda tetap mencuri karya orang, itu menandakan anda tidak mampu menghargai orang lain. Anda-anda yang main like dan share walaupun ada watermark/logo yang jelas-jelas menunjukkan itu milik orang lain juga terlihat ceroboh dan (lagi-lagi) tidak mau repot-repot menghargai hasil karya orang lain. Ironisnya banyak yang dengan sopannya komen "Ijin share ya..." padahal itu album foto isinya kompilasi dari berbagai sumber, yang mana tidak ada link ke sumber aslinya. Jreng jreng.

Karena saya sendiri pekarya dan punya banyak teman yang juga pekarya saya sangat tahu nilai sebuah karya. Mau masterpiece atau produk gagal, membuat suatu karya orisinal yang mencerminkan siapa kita itu susah sekali lho. Coba saja anda lihat, film (Hollywood) sekarang hampir semuanya sequel atau franchise atau adaptasi buku/serial TV, cuma sedikit yang benar-benar karya asli. Kalau anda masih menganggap saya mengada-ngada dan lebay, coba bayangkan kalau anda pergi arisan membawa kue senampan, lalu si empunya arisan mengaku kue itu dia yang buat. Atau saat anda kongkow bersama geng anda dan teman baik anda bilang bahwa modifikasi mobil barunya yang keren itu murni ide dan karyanya, padahal anda yang membantu membuatnya dan sampai disemprot yayang karena keasikan memodif sampai lupa jadwal kencan. Sakit dan ngeselin nggak sih? 

Iya, iya. Pasti banyak diantara anda yang sabar dan rela saja diambil hak dan pencapaiannya. Tapi bukan berarti orang lain harus ikutan pasrah seperti anda dong? Mungkin anda berpikir kalau melaporkan ke Facebook atau mengingatkan si pembuat album via komentar itu "ikut campur" dan "kurang pantas", apalagi kalau kebetulan album foto (colongan) tersebut membantu anda. Itu pilihan anda, tapi itu ibaratnya seperti anda melihat orang dirampok di depan warung makan anda, lalu mengamini karena toh uang rampokannya dipakai untuk beli makan di warung anda. Kita tidak bisa hanya berdoa dan berserah pada Tuhan untuk dunia yang lebih baik, kita juga harus berani bersikap dan berusaha sebisa mungkin. Salah satunya ya dengan membantu mempertahankan hak orang lain. Empati dan Simpati itu tidak harus cuma untuk kasus ekstrim yang mencucurkan air mata, empati dan simpati itu juga bisa timbul dari hal kecil, sekecil mengingatkan orang lain untuk tidak mencuri hak orang lain, seberapapun kecilnya. Jadi, siap mengambil sikap?

Dear Little Turtle

I hate you. Or, at least I did. 

I still remember the first time I met you: so petite and dainty like a fresh spring rose, with a smile so sweet it almost give me diabetes. In my mind you are toxic, dangerous, loathsome. Yet people surrounded you with adoration, and the combination between their awe and your aura of beauty hurt me and burned me like the sunlight turned the vampire into ashes. Looking at you from a distance hurt me. Being with you in the same room hurt me. Your existence in this world hurt me. I envied you, can't you tell? I can be as witty and as gaily as possible, yet the eyes will still be on you. I was the kind of people that others will easily stepped on just to be a tad bit closer to people like you. As if your glamour would spread. Diarrhea spread, glamour not so much.

Then we're somehow stuck together. I still hated you that time. A tiny part of me was still insecure, but I have grown to love myself too. I had someone who love me. I had a good job. I was invincible in my own way. And most of all, I know for a fact my boyfriend couldn't care less on how you look. Which is a big plus. I was still uncomfortable with you, and still loathed the fact that you probably sailed through life thanks to your looks alone while I have to strive and pull myself out from the bottom of the abyss just to where I was at that point. Which is not entirely true. I have had many helps too along the way. But still, I was not as good looking as you are. So we're stuck together. Big deal. I care only about getting out of there ASAP, and I really don't care about your existence.

Then we talk about work. You said you wish you could get a job like mine, I told you how to apply. Me and my big mouth. There is a good, a really good chance that you could end up taking my position. You, after all, got all the necessary requirement for most Indonesian job: soft spoken, cute, a total darling. Yet I still told you how to apply, because, you know, I'm careless like that. When it worked out, I thought I gained a colleague. Which is really cool, because then I can use you as my sub when I can't go to work, and I can get more hours as your sub when you can't go to work. I maybe honest but I am not dumb. Everything has its worth. We didn't stay colleague for long though. Somewhere along the way, with the speed that match a viral disease (or it seemed like it), we ended up being closer and closer to each other. The next thing I know, we were friends.

Even then, sometimes I didn't know if I was really your friends or if you were just using me, as a diva would use her entourage. I have people shamelessly called themselves your best of best friends, and even as I teased you about it I can't help thinking, "What if it's true? What if they are really her BFF and I am nothing but a bystander?". But at that point, I like you so much that I really don't care. It was too much fun to be with you. You exasperated me every time you got sad and just hide in your little house like a good little turtle. I would knock on your house and wave a little cucumber (read: invitation to have a good time) and hope you will take the bait and let me have fun with you, because I really do enjoy your company. We laughed together, eat together, cry together. Description ceased to exist, what we are to each other is unimportant, all I know is that I had fun when I was with you.

When I have to move out, it seemed that our friendship would not last. Our conversation got shorter and shorter and, combined with your tendency to retreat to your 'house' when the world is too much for you, at times I thought that was the end. You didn't care. I started to forget. Of course, none of it was true. A good friendship is the one that will stay forever and you will never forget the how-to, just like riding a bike. Ours was equivalent with a super-solar-powered-with-extra-booster-back-to-the-future-bicycle. Pretty rad and much amazing. You were the one I called when I broke up with my boyfriend. I was the one you told when you got married. I dished out how I was going to meet this man out of nowhere from a dating site, and you enthusiastically cheered me up because you know I can, all while chowing down a big plate of Tuna Satay. Some things never changed.

And here we are. Both married, both with kid(s). And I still envy you at times. I even wanted your kid marrying someone from my side of the family, just to have your good look in the family. I know, I love you so much. The only reason why I keep doing what I have to do, braving myself and trying to be good and successful is just because I don't want to fail you. I think highly of you, and you might not know this. You stick to your gun, take the risk, defied all odds just to have your dream. Just to have what you wanted. And that is awesome. You might do it because you felt you don't have any other choice, but you still did it and sticking to it. And that is still awesome. I don't think I've ever done something that brave or that gutsy. Well, I could get crazy at times, but it is different. I don't really fear anything, so whatever crazy things that I did are not me being brave, it's just me being crazy (and reckless). And this is why I adore you so much. You got beaten in life, and you cry and you pout and you're sad, but you still got up and live your life. That's called endurance. That's called gutsy. That's called taking the life by its balls. No, for real.

Living in US taught me a lot of things. Being so far from my friends and family allowed me to see more things objectively. Most importantly, I learned that a$$holes are not race-related or geographically-bounded. The translation is: A$$holes are everywhere. The realization came to me almost like the Sixth Sense scene where the kid whispered: "I can see a$$holes..." Oops. I mean, "I can see dead people." Living in US helped me prove my theory: people are people. There are nice people, there are kind people, there are assholes and narrow minded people that would go hell-bent on trying to make you live the life that they think is correct. And knowing that they're a$$holes still doesn't help. It still hurts when you are subjected to such a$$holery, or to see someone subjected to it. Ideal world would be a place where people actually care on what other feels, regardless of their race/religion/whatever worldly attribute they choose to identify with themselves. For instance, I do not think I should adhere to "How To Properly Eat Sushi Without Insulting The Japanese" which includes the proportion on Wasabi vs soy sauce that I can use in my sushi and the angle on dipping the said sushi plus how long I should dip it for. At least not when I only ate $3 supermarket sushi that I bought on sale. My motto is: live your life the way you wanted to, but leave mine alone.

[To be fair, that motto is kinda f*cked up since I've been trying to make people good about themselves and be more sympathetic and caring to other people A.K.A changing people's life, all to achieve my own goal for peace on earth and the day where I don't have to say "What dafuq is this sh*t??!". Each to it's own I guess.]

Of course, knowing what's happening is not the same as managing your feeling. And so, little turtle, you have all the right to be grumpy, to be sad, to cry, to be mad. People can be evil, and there's no change in that. You would think you know someone, just to have that person turn into beast in front of your eyes, or in your computer/phone screen. You get the gist. When that happens, don't look into them. Look into you. You are kind, you are sweet, you are full of love. You are brave, you are strong, you are precious. You reached out to me and keep me close unconditionally, and that alone shows how special you are. Whenever the world seemed to be against you, read this letter again and have faith in yourself. Look around you and think, think hard, will you change any aspect of yourself just to accommodate what people say? And then look deeper and remember yourself as I see you: my darling little turtle, so brave and so gutsy. I would call you an armadillo, but a turtle seemed cuter. So there. 

We live, we learn. Unfortunately some people doesn't. You can't change a person's heart, nobody can, not even themselves unless they have a strong reason to (and a great self control to boost). But you, you're something else. Everybody is something else, to be exact; but we're not talking about everybody else, we're talking about you. You love, is special. Don't let anyone else talked you out of it. Don't let anyone else convinced you otherwise. Don't let anyone else made you feel shitty. And if they do, kick 'em in the balls. I love you, my little turtle. Now go and kick some balls.

Thursday, June 18, 2015

Konon Katanya.... (A.K.A Iseng Menepis Mitos Tentang Amerika)

Hari ini mari berpikir yang agak ringan saja. Konon katanya, tinggal di Amerika itu enak. Konon katanya ya hohoho. Kalau dipikir-pikir, kita hidup sering sekali mendengar "Konon katanya". Masalah benar atau tidak mah urusan belakangan. Jaman dulu kita sih percaya-percaya saja kalau kita dengar "konon katanya", sebab tidak ada cara untuk memklarifikasi. Tapi jaman sekarang yang bisa konsultasi dengan mbah Google tetap saja cepat percaya "konon katanya", tapi kalau yang ini karena malas saja. Ayo ngaku hehehehe. Berikut "konon katanya" yang sering saya dengar tentang Amerika. Jangan kaget ya kalau tahu aslinya...

Konon Katanya.... Kalau tinggal di Amerika duitnya banyak

Hmmpf, asal tahu saja harga sewa disini sama mencekiknya seperti di Indonesia. Belum lagi wajib punya asuransi kesehatan (yang muahal) dan asuransi berkendara. Lihat saja contoh diatas. FYI, 411 square feet itu kurang lebih cuma sekitar 38 meter persegi atau kurang lebih 6x6 m, seukuran kamar kos-kosan gitu deh atau paling nggak sebesar kamar hotel yang super mungil. Kejualnya $465,000 atau sekitar Rp 6.2 milyar rupiah, walau didaerah yang kurang baik. Atau mungkin justru 'cuma' kejual segitu karena di daerah kurang baik. 

Sama seperti Jakarta (dan daerah manapun) disini harga sewa/beli properti sangat tergantung daerahnya. Di apartemen kami yang sangat tidak elit dan didaerah yang terkenal 'seram', untuk apartemen yang ukurannya sedikit lebih besar dari ukuran apartemen diatas harga sewanya sekitar $775 perbulan. Jalan cuma sekitar 5-10 menitan ke kompleks apartemen lain yang lebih dekat downtown (dan ceritanya agak elit) ukuran sama dibanderol $1700 perbulan. Sakit bo'. Sebagai perbandingan, $1125 cuma cukup untuk sewa apartemen yang tidak terlalu elit (500 square feet/46.5 meter persegi) di kawasan Orange County yang terkenal muahal, dan $1500 sudah bisa menyewa rumah luas dengan 4 kamar tidur dan 2 garasi dikawasan Arizona. Tapi penghasilan di Arizona jelas lebih kecil dari penghasilan di kota besar macam LA dan daerah Orange County. Sama lah seperti di Indonesia.

Konon Katanya... Kan sanggup tinggal di LA, sanggup dong hura-hura tiap malam. 

Jelas bisa, tapi cuma sanggup ngelakuin itu maksimal 3-4 hari, terus nggak bisa makan/beli bensin sampai akhir bulan. Hidup juga mesti pake budget disini hahaha. Tapi bukan berarti nggak ada jalan keluar ya. Foto diatas diambil dari stasiun dekat apartemen saya. Lihat kan payung warna-warni yang mirip payung tukang es/rujak di Indonesia? Yup, mereka itu juga jualan makanan dipinggir jalan. Lalu kalau weekend/akhir minggu itu sepanjang trotoar isinya penuh orang jualan: jualan makanan/minuman, baju, celana jeans, barang bekas, obat-obatan/parfum, segala macam deh. Persis seperti di Tanah Abang/pasar kaget, bedanya bahasa yang dipakai bahasa Spanyol. Makanya saya senang main disini, berasa pulang ke rumah hihihi. Karena tidak berijin, barang-barang yang dijual harganya murah. Tapi kebersihan tidak dijamin ya, atau kalau beli barang juga sangat mungkin itu barang colongan. Berhubung sudah 'terlatih' di Jakarta, saya sih oke-oke saja beli makan disini. Sebagai perbandingan, $4 disini bisa dapat nasi+kacang+iga babi/ayam bakar+tortilla, yang cukup buat sharing berdua. Sadis nggak tuh.

Kalau mau elit pun ada caranya. Di LA sini banyak tempat yang terlihat elit, tapi masuknya gratisan. Grand Park di LA misalnya, atau seperti saya yang nongkrong di atap Mal bersama suami. Beli makan di foodcourt mall atau supermarket biar murah, lalu duduk saja disitu bercengkerama menikmati lampu kota. Enaknya orang sini tidak reseh. Kalau terlihat 'bersih' biasanya nggak diusir-usir sama satpamnya. Terlihat homeless/gembel pun selama dilihat nggak mengganggu ketentraman orang lain mereka nggak berhak mengusir sembarangan. Nggak kayak di Indonesia yang satpam di mal elit lebih sadis ngejudgenya daripada ibu mertua. Mau berdandan rapi pun nggak harus berduit. Belanja online disini diskon bisa 40%, ongkir gratis, nge-return pun kalau tidak cocok gampang. Pas lagi semi annual sale di H&M kaos cuma $3, rok cuma $7, dress dan blazer cuma $10. Saya juga bisa beli kemeja dan rok kerja di GAP dan Old Navy (anak perusahaan GAP) cuma sekitar $10an. Padahal dulu mah takut banget belanja baju kerja di Indonesia, harganya bikin sakit! Padahal orang-orang ini juga mengimpor barangnya dari Indonesia, nggak masuk akal banget kalau kita nggak bisa bikin yang lebih murah dengan kualitas yang sama. Ayo UKM Indonesia, semangatttt!!!

Konon Katanya... Umat Islam itu ditekan dan dizolimi di Amerika!! 

Kemarin ada yang nanya ke saya, "Mbak, aku kan Islam. Nanti dipersusah nggak cari kerja disana?". Buat saya ini salah kaprahnya orang Indonesia pada umumnya ya. Islam itu nggak cuma yang dari Timur Tengah atau Indonesia/Melayu lho. Disini ada Islam yang dari India dan sekitarnya, yang dari Afrika, macam-macam deh. Teman suami saya yang berkulit hitam ternyata seorang Muslimah dan sibuk nanya-nanya ke saya soal tren jilbab modern di Indonesia yang dirasanya menarik (ayo UKM Indonesia bergerakkk!!). Saya sampai kaget, karena dia tinggal di Detroit yang terkenal kotanya kaum kulit hitam. Dan karena dilarang nanya-nanya soal agama dan kepercayaan disini saat mencari pegawai, nggak ada yang tahu agama anda apa kecuali anda mengenakan atribut agama. Sama teman juga nggak sopan lho nanya agama dan kepercayaannya apa. Agama anda urusan anda, titik. Tapi biar begitu kalau anda merasa didiskriminasi anda tetap bisa menuntut lho, dan bisa menang. Teman saya yang berjilbab bisa kerja di perusahaan bergengsi dengan gaji yang tinggi walau baru disini setahun. Tidak ada limitnya deh kalau anda mengerti aturan mainnya.

Yang suka mereka sensi-in disini dan sampai bentrok masuk berita itu biasanya terhadap umat Islam keturunan Timur Tengah. Maklum, disamakan dengan grupnya ISIS dkk. Walau begitu, saya melihatnya lebih ke arah konflik pendatang dan bukan karena benci terhadap Islam (atau istilah trendingnya di Indonesia: Kristenisasi). Situasinya hampir sama dengan orang Indonesia yang kayaknya sebal dan anti sekali dengan keturunan Cina. Konon Cina itu rakus lah, eksklusif nggak jelas lah, main kasar lah. Ya begitu juga pandangan orang sini ke umat Muslim [keturunan Timur Tengah]. Sialnya mereka dodol dan pernah ada kejadian penyerangan di kuil Sikh karena disangka itu masjid. Jreng jreng. Jangan salah lho, biasanya yang sampai masuk berita dan bentrok berkepanjangan itu adalah Muslim yang lama tinggal/lahir di Amrik karena mereka terbawa sifat "gue Gue GUE!!"-nya orang Amerika yang selalu ribut menuntut hak mereka. Karena ini bukan Indonesia, jelas akan ada keterbatasan-keterbatasan, misalnya saja tidak ada waktu Sholat. Ini lagi-lagi bukan karena anti-Islam ya, tapi demi produktivitas. Suami saya makan siang saja diatur kok: harus 1 jam, tidak dibayar dan tidak didepan komputer. Kalau diberikan waktu tambahan sekian menit untuk sholat pegawai yang lain bisa sirik dan merasa tidak adil dong. Patokannya seperti umat Hindu Bali yang bisa mendapat libur 3 hari saat hari raya Galungan di Bali, tapi kalau kerja di luar Bali ya gigit jari.

Konon Katanya... Biar gimana, namanya hidup di luar negeri pasti lebih enak dan lebih terjamin dari hidup di Indonesia. 

Ini salah satu "Konon Katanya" yang paling saya sukai, dan tiap kali ada yang main ke LA pasti kami ajak ke Skidrow. Ekspresi mereka saat melihat kenyataan yang sebenarnya itu priceless banget deh. Kayaknya saya kejam banget ya, tapi gimana lagi, ini contoh nyata bahwa negara maju pun tetap punya daerah gembel nan kumuh. Saya selalu gerah tiap kali mendengar/ membaca komentar yang bilang, "Nggak kayak di Indonesia, mereka semua kan terpelajar dan tahu untuk tidak membuang sampah sembarangan!" Nggak juga kali, yang terpelajar pun disini masih hobi coba-coba melanggar aturan demi kepentingan mereka sendiri. 

Kalau di Indonesia pakainya gerobak untuk bawa barang mereka kemana-mana, disini mereka pakai kereta dorong supermarket. Kalau di Indonesia mereka memulung, disini juga tapi cuma buat tambahan saja, karena mereka biasanya dapat bantuan makanan dari yayasan kemanusiaan (baca: keagamaan). Mereka mengemis juga, tapi nggak pakai anak kecil seperti di Indonesia karena hukum perlindungan anak disini sangat ketat. Mengemis juga cuma nanya, "Do you have a change?" atau terjemahannya "Punya uang kecil nggak?". Biasanya kalau kita bilang nggak pun mereka cuma akan bilang, "Ok. God Bless You." Yang ngamen pun ada kok, bahkan ada satu jalan di Santa Monica isinya tukang ngamen semua. Seru deh, soalnya yang kebanyakan yang ngamen disini benar-benar usaha, jadi memang terhibur melihatnya. Seperti biasa, banyak juga dari mereka yang memang kasar dan angka kriminalitas disini pun tinggi jadi memang harus selalu waspada. Sama toh dengan di Indonesia?

Konon Katanya... Orang sana kan pintar-pintar nggak kayak di Indonesia yang kampung dan katro! 

Ini juga salah persepsi ya. Orang mah dimana-mana sama. Ada kok yang kampungan dan katro disini, banyak juga yang bikin gemas saking dodolnya. Tapi satu hal yang pasti, disini fasilitasnya memang jauh lebih menunjang. Perpustakaan ada dimana-mana, dan tiap perpustakaan memang diarahkan untuk berusaha mengakomodir orang-orang disekitarnya semaksimal mungkin. Sampai saat ini saya belum pernah ketemu perpustakaan yang fasilitasnya amat-sangat tidak memadai. Perpustakaan disini pakai AC, wifi gratis, ada acara baca buku bersama untuk yang kecil atau buat prakarya dan latihan bahasa untuk remaja, sampai bantuan latihan komputer/mencari kerja pun ada. Pokoknya memberdayakan warga sekitarnya sebisa mungkin deh.

Tapi masalah ada bendanya dan dipakai atau nggak kan beda cerita huhuhu. Walau perpustakaan banyak dan lengkap isinya, tidak semua orang lantas berbondong-bondong ke perpustakaan. Sama seperti di Indonesia, banyak yang lebih senang cukup nonton Reality show (baca: sinetron) dan fesbuk/medsosan. Apalagi disini (menurut saya) tuntutan terhadap anak yang harus juara dan sebagainya tidak seberat di Indonesia. Jadilah mereka tetap suka-suka saja. Sebaliknya, saya yang tinggal disini jadi kalap. Bagaimana tidak, semua buku diatas plus 2 buku lagi saya dapat cuma $5. 14 buku cuma $5 lho, dan ini termasuk edisi hardcover dua ensiklopedi dan 3 buku cerita. Sementara di Indonesia satu komik bisa sampai $2an, dan jangan tanya harga novel. Disini novel bekas yang dibeli di perpustakaan cuma 50 sen/Rp 6 ribuan, di Bali yang novel Inggris tinggal mungut sisa turis aja harganya minimal Rp 35ribu. Kalau ada yang sangat saya siriki dan sangat saya inginkan terwujud di Indonesia ya kemudahan mendapat buku ini, karena orang yang membaca adalah orang yang berpikir.

Konon Katanya..... Makanannya keju semua, bikin gemuk dan nggak sehat plus nggak halal!! 

Kalau yang ini ada benarnya juga sih sebenarnya hahaha. Tapi untungnya karena saya tinggal di Los Angeles yang banyak imigrannya, nyari makan nggak segitu susahnya. Apalagi karena makanan Amerika Latin itu hampir sama dengan makanan Indonesia. Benar lho, nggak bohong. Itu yang pojok kiri atas menu makanan Guatemala: Ayam goreng (mirip ayam goreng kunyit/kuning di Indonesia), tumis sawi pedas (tapi karena disini nggak ada sawi maka pakenya Kale), semur/gule iga, dan tortilla. Sadisss... Di kanan atas itu buah potong ala Meksiko, disini nggak pake cabe garam tapi, cuma disiram air jeruk nipis dan bubuk cabe yang super pedas. Nyammm... Pojok kanan bawah itu menu lengkap dari Colombia: nasi, telur ceplok, pisang goreng, sosis (sejenis Urutan Bali) sayur kacang, kerupuk kulit babi (dekatnya sayur kacang), alpukat, keripik singkong (dekatnya alpukat), dan daging bakar. Ini kita makan berdua kok hohoho. Dan jelas, yang pinggir kiri bawah itu Starbucks yang tetap nggak kebeli biar di Amerika juga huahahaha. Itu belinya pas diskon Frappucino 50% dan pake gift card hadiah natal dari perusahaan suami saya pula. Kalau nggak mah nggak rela ngeluarin $5 lebih cuma buat minuman....

Untuk sehari-harinya, masak sendiri sebenarnya lebih mudah, apalagi kalau memang harus yang halal. Kalau kebetulan tinggal di kota besar/banyak imigran timur tengahnya, mencari toko yang menjual daging halal pun masih memungkinkan. Paling sial tinggal cari produk Kosher di supermarket. Produk Kosher ini sebenarnya untuk para Yahudi (jreng-jreng-jreng!!!), tapi definisi Kosher ini menurut saya sama seperti Halalnya Islam: Tidak mengandung Babi dan hewan potong harus disembelih lehernya hingga darahnya keluar. Mungkin bisa jadi kajian/pertanyaan saat diskusi setelah berbuka puasa? Tapi menu lain yang seperti tuna kalengan dan bahkan sarden seperti sarden ABC juga banyak disini. Kalau masih tidak yakin juga, yang paling aman adalah cari menu vegetarian bila harus beli makan diluar/diundang makan malam. Vegetarian disini terkenal sadis hahaha, jadi peralatan yang dipakai pun khusus untuk menyiapkan menu vegetarian ini/tidak boleh bercampur daging. Pasti halal kan kalau begitu?

Dan yang terakhir...

Hollywoodnya mana?? Mana?? Saya kan mau lihat bintang pelem!!!


Ini Hollywood. Udah lho, emang cuma seginian aja hahaha. TCL (ex Grauman's) Chinese Theatre itu tempat mereka menyelenggarakan Academy Award. Tapi jangan berharap banyak ya, pas acara Academy Award stasiun kereta persis didepan sini (plus jalannya) ditutup, jadi nggak bisa main selonong untuk melihat bintang film. Seperti yang anda lihat, hari biasa itu isinya turis semua kanan kiri hohoho. Bintang film aslinya mah nggak nongkrong disini, mereka biasanya tinggal di daerah eksklusif yang penjagaannya ketat. Studio film juga nggak disini tempatnya. Kalau orang bilang mau main ke Hollywood, ya ini dia tempat mainnya di sepanjang Hollywood Boulevard. Ada walk of famenya dengan nama bintang film/artis terkenal, ada Wax Museum dan musium lainnya, dan percaya atau nggak, ini tempat paling afdol untuk belanja oleh-oleh untuk orang rumah karena harganya terjangkau. Jangan lupa beli patung Oscar imitasi untuk si nyinyir teman kantor, cari yang tulisannya Drama Queen. Pasti berkesan deh.

Semoga tulisan ini bisa mencerahkan hari anda :) . Kalau ada lagi yang ingin anda ketahui/tanyakan kebenarannya silakan komen lho ya. Salam dari Los Angeles!!

Wednesday, June 17, 2015

Jagalah Hati, Jangan Terpercik Muka Sendiri

"Jagalah hati, jangan kau kotori/Jagalah hati, lentera hidup ini..."

Siapa yang masih ingat dengan lagu ini? Seiring waktu sudah banyak versi yang beredar, tapi buat saya versi Bimbo [kalau nggak salah, yang versi paling pertama muncul] tetap yang paling menyejukkan. Adem gitu lho. Biasanya lagu ini akan marak/baru ketemu di bulan Ramadan/bulan puasa, padahal menurut saya liriknya valid banget untuk kehidupan sehari-hari. Menjaga hati kan tidak hanya saat bulan puasa saja toh? Sama saja seperti di Amrik sini yang baru heboh menyiarkan damai Natal saat bulan Desember. Itu pun kalah dengan yang menyiarkan diskon akhir tahun. Waduh.

Balik lagi soal menjaga hati, di era sekarang ini kayaknya susah banget ya. Setiap harinya kita dibombardir dengan informasi dan tergantung kitanya yang menyisir dan memilah yang mana yang harus kita simpan. Kalau dulu lebih gampang, cuma tahu berita dari koran [Kompas] atau televisi, dan pilihannya hanya TVRI dan RCTI/SCTV saja. Itu pun beritanya masih yang propaganda. Saya masih ingat berita Pak Harto memancing ikan di laut dan selalu dapat ikan yang guede, dan kami sekeluarga berspekulasi kalau ada penyelam di bawah perahu yang mengaitkan ikan tersebut ke pancingan Pak Harto. Padahal sudah cuma itu-itu saja sumber beritanya tapi teteup nggak percayaan hahaha. Terbayang dong apa rasanya sekarang ini, dimana kita tiap hari, tiap detik dihujani dengan informasi yang sayangnya tanpa filter: dari fesbuk/medsos, dari aplikasi berita yang kita ikuti, sampai via SMS/BBM. Mau berita benar atau salah urusan sekian, pokoknya kalau 'seru' kita paling pertama yang mengklik like/share, atau mengklik tautan/link karena judulnya sangat bombastis. Gimana mau menjaga hati kalau begini caranya?

Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi, semakin sulit menentukan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Jujur, buat saya dunia ini sekarang tampaknya terbuat dari kebohongan yang berlapis-lapis dan kesalahpahaman yang diulang-ulang. Masih ingat kan soal Aga, yang berita hoaxnya bilang ia bunuh diri karena dipukuli orang tuanya? Atau berbagai kasus anak hilang seperti di Gandaria City dan lainnya? Baru-baru ini di fesbuk saya beredar kabar kalau ada seorang pria yang dibilang pedofil di Bali dan orang-orang harus waspada. Memang gampang sih nge-share untuk mengingatkan, tapi saya teringat seorang teman yang ceritanya difitnah oleh rekan kerja dan mantan istrinya sampai harus memberi klarifikasi kepada saya bahwa ia bukan gay. Padahal dia gay pun saya nggak perduli, tapi buat dia saat itu penting sekali saya tidak menjauhi dia karena percaya dengan kabar tersebut. Sedih saya mengingatnya. 

Kalau anda pikir ini masalah cuma di Indonesia saja, anda salah besar. Di Amrik sini ada orang yang sampai mencuri identitas orang lain untuk eksis di media sosial. Ada juga orang-orang yang menebar cerita sedih soal dia kena kanker/penyakit lainnya demi mendapatkan respon/perhatian pembacanya. Ini mungkin sudah masuk ranah sakit jiwa sih ya. Dan jangan ditanya soal info-info hoax nggak jelas seperti mentega itu sebenarnya margarin yang dikasi pengawet dan pewarna. Intinya itu ya, membuat berita hoax demi mendapat perhatian, demi mendapatkan 'pengikut', atau bahkan demi balas dendam/menyakiti orang lain. Pemain berita besar pun tidak luput dari kesalahan ini. Baik media Amerika maupun Indonesia bisa dibilang sama, sama-sama 'pesanan'. Saat meliput berita, apalagi berita kontroversial, biasanya yang diliput dari sisi yang menjualnya saja atau yang sesuai dengan platform mereka. FoxNews misalnya sangat anti Obama, jadi apapun yang ditulis cuma soal salahnya Obama. Pembacanya juga jelas orang-orang yang anti Obama. Masalah isi beritanya akurat atau tidak bukan masalah, yang penting laris ris ris. Berapa banyak media Indonesia yang juga melakukan hal ini?

Celakanya, ketidaktahuan ini seringkali berjalan bersamaan dengan ketidakpedulian dan kemalasan. Klop deh. Padahal google sedikit saja setidaknya bisa tahu sisi lain ceritanya, tapi siapa sih yang repot-repot nge-google sekarang ini? Kalaupun nge-google, biasanya yang dicari versi yang ingin dilihat. "Kebiadaban umat Buddha terhadap Rohingiya" vs "Kasus Rohingiya" hasilnya bakalan beda lho. Sudah begitu, kalau di kepala sudah terbentuk opini yang dipercaya setengah mati, kalaupun ditegur atau diberikan fakta yang berbeda tetap keras kepala membenarkan apa yang dipercayainya. Seperti contoh mbak dibawah ini yang kekeuh mempertahankan haknya untuk mengshare foto jenazah Angeline, walau sudah diigatkan untuk tidak melakukannya demi menghormati almarhumah. Karena majunya informasi, kita lupa bahwa sekedar aksi klik dan share dengan jempol kita tetap akan membawa konsekuensi. Dan karena luasnya dunia maya kita tidak tahu [atau tidak mau tahu] seberapa besar dampak dan implikasi yang terjadi dari tindakan kita mengklik like dan share berita yang tidak bisa dipertanggung jawabkan, padahal kita masih akan harus mempertanggung-jawabkannya terhadap yang diatas nantinya.


Mungkin buat banyak orang konsep menjaga hati demi mempertanggung-jawabkannya ke Tuhan agak terlalu jauh ya, nggak masuk logika gitu lho. Sekarang ya sekarang, urusan Tuhan mah entaran. Apalagi dalil soal internet tidak ada [secara gamblang] di kitab suci agama manapun jadi tidak ada pengingat. Tambah lagi kalau kebetulan yang dipakai sebagai alasan adalah soal agama. Seperti si Mbak dibawah ini yang kekeuh bilang kalau media liberal Indonesia kafir dan jangan dipercaya [Foto diambil dari artikel menarik ini]. Nggak apa-apa sih, tapi apa iya komen seperti ini membantu citra dirinya sendiri? Kesan yang saya tangkap di mbak diatas yang menshare foto jenazah adalah Sadis. Kesan yang saya tangkap di mbak dibawah ini adalah Rasis dan picik. Mungkin di Indonesia persona online masih belum penting ya, tapi di Amerika sini apa yang kita tulis di medsos bisa dipakai untuk melawan kita. Sudah banyak cerita bagaimana orang sini dipecat karena postingan mereka di media sosial. 



Sebagai pribadi pun apa iya anda nyaman berada bersama orang yang sibuk mengumbar kemarahan dan kebencian? Tiap kali nongol yang seperti ini di fesbuk saya, saya biasanya mengubah settingan orang tersebut menjadi 'unfollow' agar berita yang ia sampaikan tidak ada lagi di fesbuk saya, atau sekalian saya unfriend kalau saya anggap sudah tidak terselamatkan. "Baguslah!" pikir beberapa orang, "Buat apa juga temanan sama orang yang tidak satu ide??!". Salah besar. Dunia ini luas lho Mas/Mbak. Memilih untuk bergaul hanya dengan teman yang seide berarti membatasi pengetahuan kita sendiri. Secara profesional pun ini bisa menjadi masalah, karena kita tidak akan bisa beradaptasi dengan lingkungan kerja kita. Banyak hal yang bisa kita pelajari dari orang lain, dan banyak hal yang bisa kita dapatkan dari orang lain. You'll never know what you can find in the next person, anda tidak akan tahu apa yang bisa anda temukan di orang lain. Bukan berarti anda tidak boleh beropini lho, tapi tatalah opini anda agar menyejukkan dan (syukur-syukur) membuat orang justru jadi mempertimbangkan opini anda tersebut. Jangan istilahnya memercik air di dulang terpercik muka sendiri. 

Sepertinya berat ya kalau harus selalu waspada, kalau harus selalu mengecek dan menimbang sebelum melakukan tindakan. Padahal like share dan komen itu cuma sejempol saja jaraknya. Tapi inilah konsekuensi menjaga hati di era teknologi informasi, dimana tidak ada lagi hukuman sosial dan maraknya godaan pengakuan instan dari follower yang bahkan tidak anda kenal. Konon katanya ini jaman edan, jaman Kaliyuga, jaman sebelum kiamat. Tergantung kitanya mau seperti apa, ingin ikutan gila atau tetap kokoh dengan mencoba menjaga hati kita. Seperti lirik lagu "Jagalah Hati", harusnya jawabannya sudah jelas:

"Bila hati kian bersih
Pikiranpun akan jernih
Semangat hidup nan gigih
Prestasi mudah diraih

Namun bila hati keruh
Batin selalu gemuruh
Seakan di kejar musuh
Dengan Allah kian jauh"

Sekarang, yang mana yang akan anda pilih? Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang merayakan. Saya harap anda sekalian (yang puasa maupun yang tidak) akan memilih yang terbaik untuk anda :)

Tuesday, June 16, 2015

In The Midst of Lies

Lately I learn much about deceit. I have always known that life is never what it seems to be, but what I learn lately has been disheartening. It seemed to me that everything around me are lies, carefully and cunningly designed to make me feel they speak to me, they speak for me. In reality, they lure me into quicksand and left me there, slowly drowned in my own weight. 

From the slope of Mount Hollywood, sitting at the Griffith Observatory and looking down to the city of Los Angeles below I ponder: is this the only real thing in life? The nature and all its might? The cool breeze touch my face and I shivered. The fog still gathers in the cold cloudy morning. Everything feels so real, yet I know the unreal world is only a few minutes away. The unreal world starts when I step into the car, fully equipped with things that I do not need but sold to me as things that I need, cleverly confusing me between my needs and my wants. Lies, lies, and more lies.

It has always been that way, the clever design where I lost my true identity and became a sheep in the flock. In the end, the only true Lord that people worship these days is Power and Profit, despite whatever reasoning one may say. Everyone needs money. Everyone want money. Money brings power, an elevation of status, stability. And actually, it is not that bad. In the world of today, money equals to what you can or can not do in life. Regardless on how brilliant a person is, he/she will not last long if he/she do not have enough money to sustain themselves. Gone are the days where people plow their land to make a living and be independent, but even in those early days you still need money or some sort of bartering items to get things that you can't make/produce yourself. 

When done right, money gives us a mean of living, a mean to reach our goal and fulfill our life. You can easily gauge how good you are at things with the money you can generate with your work. You can set a goal and know how to reach it since money is a valid and stable variable. Money itself is not evil. Nor is power. Yet money breeds power, which then breeds more money. This cycle quickly generates the temptation that human finds impossible to resist, and sucked us in like a big whirlpool in the ocean. This is not brand new, human has been fighting greed since the beginning of time, or to be precise, the beginning of human conscience. We look up to the underdogs, or to people who have power but do not abuse their power and instead stay humble. Yet at the same time, we adore power and wanted to be lead. We look up to people who have power (and money), and consequently, we too want to be looked up and adored.  

For big players, this means generating things in a way that speaks to (read: brainwash) the audience to fell in favor with whatever the big players want us to think. Whether they are selling products or ideas, we are buying them in astonishing speed because, you know, those guys have money and power so they must be right, right? A good campaigner made us feel like we are a part of an exclusive group by joining their cause, be it as an owner of a specific brand or a religious devotee. And that's the thing. We want to be exclusive. We want to feel the power of being right. We want to be, ah, a cut above the rest. The big players tapped into these instincts and present us with things that we want to see, things that we want to be. In the end, we were sold to their presentation and they too make their much wanted profit and power. In the end, we are defeated by greed and lust.

Sit and think for a moment. Can you really believe everything said in the media? Do you really need every item sold? The realization came to me when I realize I spent unhealthy amount of time doing online shopping. They all seemed to make sense to me: I need the clothes for this and that reason. Yet it took me a great deal of strength to say to myself: Stop, you don' t need that. It took more strength to actually stop browsing the websites to satiate my need, no, my want. With so many choices bombarded in your face, it is difficult to keep track of things that you actually need vs things that you are conditioned to need (a.k.a the wants disguised as needs). How many people spent nights thinking how their life will be better if only they have a bigger house/better car/finer life? It is one thing to be ambitious and actively reach for betterment, it is another thing to keep looking ahead and being consumed by the emptiness and hunger in you. The same thing happen with the media, that, depends on which channel/outlet you choose seemed to accurately (or inaccurately) speaks for you. We got swept away in the stream of opinion, convinced that our belief is right without stopping to think how that opinion could help fix the problem. Speak up, they say. The Oppressor will listen if you speak up.  Will they really though? Or are we merely pawn, an asset that unknowingly contributes their ever growing power? Everyone has his/her own agenda. Everything in this world is a facade.

It feels so disheartening. I do not trust media, I do not trust corporation, I do not trust people. My life is crumbling beneath my feet and I do not know what to do. But the sun stays the same, is it not? And smile and kind words from a stranger feels good anytime. I love the city too, the unnerving city with all her flaws and beauty. These are the things I could hold on to. These are the things that I have to hold on to, the real tangible things in the world of lies. I look at the city below once again. I have come a long way, yet even in my native country greed and ignorance and lies spread like wildfire on a hot summer day. In times, there might be nothing left but ashes and amber, burned to the ground by human greed and lust. But trees can still grow out from the ashes. I can not lose hope.

Monday, June 15, 2015

Buka/Tutup Warung Makan: Tersandung kata 'Menghormati'

Buat saya, orang-orang yang sibuk mempermasalahkan soal warung makan yang buka saat Ramadan/bulan puasa dan terutama yang mati-matian ngotot dan ga bisa 'move on' dari kata 'menghormati' kemungkinan besar pengertian Bahasa Indonesianya kurang. Atau paling nggak pas tes pemahaman bacaan nilainya jeblok. Menurut saya lho ya. Jangan marah, kan menuduh ga jelas lagi trending hohoho. Tapi tidak ah, tidak baik membuka artikel dengan bikin marah orang. Maaf ya yang merasa tersinggung, tapi monggo lho ikut saya mencoba menelaah soal buku/tutup warung ini.

Masalah utama dengan bahasa adalah kita cuma bisa melihat satu sisi, satu fakta yang tersaji diantara kata-kata yang terjalin dalam kalimat, tanpa mengetahui kondisi sebenarnya. Misalnya saja, "Amir terlambat datang ke sekolah". Yang heboh ga jelas sibuk nge-judge "Dasar Amir anak malas!", yang membela kebebasan (konon katanya), "Terus kenapa??". Padahal bisa saja Amir sudah datang tepat waktu, tapi sekolah dimajukan (lho?!).  Bisa saja Amir terlambat karena ia berjiwa sosial dan menolong rombongan nenek-nenek menyeberang jalan. Bisa juga karena Amir menonton bola semalam suntuk dan ketiduran. Banyak versinya gitu lho. Fakta yang kita pakai (dan mungkin yang dipakai guru Amir) adalah ia terlambat. Titik. Tidak ada toleransinya, salah ya salah, terlambat ya terlambat. Begitu pula dengan kata 'menghormati' yang dipakai Menteri Agama soal buka/tutup warung di bulan Ramadan. Banyak orang menghujat dan memaki, bilang pak Menteri tidak Islami. Saya juga jujur ikutan menyesalkan, soalnya kata 'menghormati' itu menyesatkan.

Kalau dibilang warung makan boleh buka untuk menghormati orang yang tidak puasa, memang rasanya gimana gitu. Siapa juga pasti emosi, ibaratnya karena satu orang tamu undangan kebetulan tidak bisa makan daging/vegetarian, semua hidangan yang tersaji di pesta/resepsi menu vegetarian semua. Ada juga si vegetarian ini yang mengalah dan tahu diri, toh kue-kue dan buah pencuci mulut juga nggak pakai daging. Sama saja, memangnya yang puasa nggak bisa bekal makanan dari rumah gitu? Stok Popmie buat lunch sebulan apa susahnya sih? Orang Indonesia itu hampir 90% muslim, jelas lebih banyak yang puasa (baca: beragama Islam) daripada yang nggak, bahkan setelah dihitung para Muslimah yang kebetulan sedang datang bulan atau orang lansia/sakit yang memang tidak bisa berpuasa. Nggak masuk akal kan kalau sekian banyak warung makan itu boleh buka untuk mengakomodir sekian sedikit orang? Bukan masalah yang kecil/sedikit harus tahu diri, tapi nggak efektif gitu lho. Menghormati boleh jalan terus, tapi mbok ya yang masuk akal.

Nah tapi bagaimana kalau warung makannya buka bukan karena menghormati yang tidak puasa, tapi karena memang harus buka demi pemasukan? Mama saya punya usaha toko fotokopi di Bali, dan tiap kali libur panjang atau libur hari raya Hindu Bali berurutan Mama bakalan pusing tujuh keliling. Pas libur begitu nggak ada yang datang fotokopi/belanja, jadi biasanya Mama akhirnya tutup toko sampai hari raya/liburnya lewat, dan terkadang bisa sampai seminggu/dua. Gaji pegawai tetap harus dibayar full, listrik dan sewa toko juga tidak didiskon, dan pengeluaran sehari-hari plus cicilan dan sebagainya juga tetap ada. Tambah puyeng saat hari raya Hindu Bali karena pengeluaran untuk upacara juga tidak sedikit. Kebayang tidak perasaan pemilik/pekerja warung makan yang dipaksa tutup saat bulan puasa? Buka saja sudah ngap-ngapan, turun drastis pemasukan karena makin sedikit orang yang makan; tapi kalau tidak buka bunuh diri namanya apalagi Lebaran menjelang. Buka menjelang buka puasa agar orang-orang bisa beli makanan berbuka mungkin bisa jadi solusi, tapi yang saya tahu banyak tempat makan yang gantian jualannya: yang dagang berbeda pagi dan sore. Bentrok lagi dong jadinya. Yang tega mungkin akan dengan tenangnya merumahkan pegawainya, tapi itu cuma memindahkan masalahnya ke pegawai. Kebayang nggak kalau anda nggak kerja, nggak punya penghasilan, dan Lebaran sudah didepan mata? Panik nggak sih? 

Poin lain adalah, kenapa cuma warung makan yang disuruh tutup? Yang fair/adil dong ah. Harusnya semua tutup dong, termasuk di mal yang wangi dan mahal. Gerai-gerai kopi, restoran fastfood, segala macam yang jual makanan dan minuman kecuali toko bahan makanan/supermarket harus ditutup. Masa cuma yang rakyat kecil saja yang disuruh tutup, yang mentereng dan perlente juga harus ikutan dong. Termasuk restoran di hotel bintang lima yang harga seporsi menunya cukup untuk beli tajil satu RT. Makanan via room service pun nggak boleh ada. Pokoknya kalau belum berbuka, semua juga jangan buka. Nah lho, jadi tambah banyak kan orang yang repot? Bukan cuma pemiliknya, pelayan dan petugas kebersihan, sampai supplier pun pastinya jadi tertohok karena jam kerja/pesanan yang menurun. Toko-toko lain di Mal yang nggak jual makanan pun jadi kena imbasnya. Siapa sih yang mau pergi belanja/jjs ke tempat yang seperti kota hantu? Di Mal itu yang dagang makanan buanyak banget lho. Kalau sudah begini, orang juga jadi malas untuk buka toko makanan di mal. Gerai-gerai besar seperti Starbucks pasti pikir-pikir untuk ekspansi kesini, rugi dong cuma bisa buka 11 bulan dalam setahun. Kalaupun masih nekat buka toko makanan, pastinya harga dinaikkan karena harus mengcover satu bulan yang tidak bisa jualan sementara sewa toko etc harus full dibayar satu tahun (plus thr pegawai yang lebaran ya). Mati banget kan?

Karena di Indonesia hampir 90% Muslim, yang repot ya mayoritas yang Muslim juga. Warung-warung tegal dan rumah makan kecil lainnya yang tidak bisa berbisnis, pegawai-pegawai warung yang dirumahkan, pekerja kasar yang tidak bisa mendapatkan asupan yang mereka butuhkan, dan jelas, Muslimin/Muslimah yang tidak bisa berpuasa karena berhalangan atau sakit atau faktor usia. Tidak semua umat Islam di Indonesia keren dan berdasi, bekerja di kantor ber-AC dan melewatkan waktu dengan mendengarkan khotbah ustad kondang di smartphone mereka. Masih banyak umat Islam Indonesia yang bekerja kasar, yang sekian hari harus berpuasa bukan karena kewajiban tapi karena memang tidak bisa membeli makan. Tidak semua umat Islam di Indonesia punya pekerjaan tetap dan stabil, masih banyak yang takut menghadapi pagi hari karena bisa jadi di hari itu mereka dipecat atau usaha mereka harus tutup. Merekalah yang dihormati, dibantu dengan kebijakan membolehkan buka warung makan saat bulan puasa. Bukan untuk yang non-Islam, namun untuk umat Islam sendiri. Apa iya anda mau merampas hak mencari penghasilan orang lain? Bisa saja sih, tapi siapkan solusinya dong; jangan cuma bisa melarang saja. Kalau mau bawa ayat agama juga silakan, tapi siapa anda mau (dan berhak) nge-judge? Percaya deh, kalau anda percaya Tuhan segitu maha kuasanya dan segitu bencinya sama para penista (baca: orang yang menggoda orang lain saat puasa dengan makanan etc), apa nggak Tuhan sendiri yang bakal turun tangan. Anda nggak perlu ikutan rempong/repot juga Tuhan yang bakal 'menyelesaikan' kok.

Selama seperempat abad lebih saya tinggal di Jakarta (jiahhhh bahasanya...) saya nggak pernah mengalami kesusahan mencari makan saat bulan puasa. Warung makan buka walau ditutup dengan gorden, intinya saling menghormati lah. Saat SMA saya bahkan pernah ditegur teman saya karena saya heboh banget ngumpetnya untuk makan saat bulan puasa, dia bilang: "Biasa aja kali." Makanya saya heran kok sekarang jadi polemik berkepanjangan. Di fesbuk banyak komentar yang memuji dan bilang kalau Menteri Agama sekarang Pancasilais dan melindungi semua umat beragama di Indonesia. Kalau kata saya yang dilindungi Menteri Agama bukan non-muslim, tapi perekonomian dan kestabilan Indonesia. Repot dong kalau harus ngurus negara yang ormasnya bisa menekan sesama warga negara dan mendikte jalannya pemerintahan (baca: FPI dan acara 'menggerebek' mereka). Semua warga negara Indonesia berhak mendapatkan perlindungan hak hidup mereka dari pemerintah Indonesia, dan hak mencari penghasilan dengan cara halal jelas salah satu diantaranya. Hak ini, sekali lagi, hak ini yang dihormati dengan membolehkan mereka membuka usaha warung makan mereka saat bulan puasa. Apa ini menguntungkan umat non-Islam? Jelas. Enak toh kalau tahu urusan perut lancar (walau dibalik korden). Apa ini menguntungkan umat Islam? Apalagi. 90% Islam bo'! Kalau ada 100 warteg di Jakarta dengan masing-masing 5 pegawai, berarti setidaknya sudah 450 orang yang paling tidak bisa Lebaran dengan tenang karena tahu usaha mereka masih bisa jalan saat bulan puasa. Kalau usaha makanan di Jakarta sekitar 50% dari total jenis pekerjaan di Jakarta, maka dari sekitar 10 juta jiwa di Jakarta, 4.5 juta jiwa terbantu dengan dibolehkannya usaha makanan buka saat puasa. That's a lot lho. Itu banyak bo'.

Buat yang masih stuck/mandeg soal 'menghormati', mari lho saya ingatkan sekali lagi kalau hak buka/tutup warung makan saat bulan puasa itu bukan untuk menghormati yang non-Islam, tapi menghormati hajat hidup/hak hidup seseorang untuk mendapat penghasilan. Gak papa kalau anda kekeh menyebut para umat Islam yang nekat buka warung saat puasa itu kafir/pendosa etc. Hak anda juga menjudge orang, walau benar tidaknya tudingan anda itu urusan Tuhan hehehe. Sebelum anda menuding, tolong diingat bahwa berbagai orang di seluruh dunia berpuasa dengan kondisi yang berbeda. Di Los Angeles sini misalnya, jam 4 kurang sudah terang dan baru gelap lagi lewat jam malam. Kebayang nggak berpuasa seperti itu? Apa Tuhan yang salah, nggak kasihan sama umatnya di LA sini karena memaksa mereka puasa jauh lebih lama dari rekan-rekan mereka di negara lain? Restoran juga buka seperti biasa, begitu pula para wanita dengan baju seksi mereka (berhubung ini summer/musim panas). Apa mereka semua berdosa karena menjalankan aktivitas mereka seperti biasa tanpa mengindahkan orang yang berpuasa? Kalau iya, berarti semua restoran etc yang buka saat anda puasa Senin-Kamis atau (bagi yang wanita) membayar hutang puasa juga berdosa dong. Peduli amat mereka nggak tahu kalau anda puasa, salah ya salah. Seperti si Amir yang terlambat di atas. Apalagi kalau dilakukan saat tahu anda puasa. Setan, penggoda, iblis, (menurut anda) itulah mereka semua, masuk neraka mereka semua!!! Waduh, serem amat ya jadi anda. Puasa itu setahu saya menekan/mengontrol hawa nafsu, percuma kan puasa menahan lapar dan haus tapi pikirannya emosi jiwa dan sibuk mencaci dan menuduh. Kata saya lho. 

Mungkin saya salah, mungkin saya benar. Buat saya Lebaran selalu bahagia, selalu identik dengan keceriaan dan rasa syukur yang amat sangat. Buat saya setiap orang berhak merayakan hari raya (baca: Lebaran) dengan perasaan bahagia dan berkecukupan. Kalaupun anda masih gagal move on dari 'menghormati', setidaknya pikirkan dan bayangkan hal ini di kepala anda tiap kali anda melihat warung makan yang buka di bulan puasa: kebahagiaan para pemilik dan pegawainya saat Lebaran tiba, saat mereka mampu merayakan hari suci tersebut selayaknya dan membagikan kebahagiaan mereka ke orang lain juga. Itu saja sudah cukup kok. Selamat menunaikan ibadah puasa :).

Monday, June 8, 2015

Bunuh Diri dan Bunuh Orang: Sebuah Risalah Kematian

Kadang kalau baca komen di medsos yang isinya bunuh-bunuhan (misalnya saja dibawah ini), rasanya jadi mengelus dada dan pengen bilang, "Kok gampang banget bilang begitu? Terus kalau hidup orang lain nggak dihargai, apa iya bisa menghargai hidup diri sendiri?"


Yang namanya mati itu ya, kayaknya seram sekali. Sekarang ada, besok tidak ada. Belum lagi kalau ditakut-takuti: "Ih nanti masuk neraka lho...", atau diiming-imingi: "Ayo, biar nanti masuk surga!". Sementara pengalaman saya melihat sekian banyak mayat saat pelajaran anatomi dulu adalah kalau sudah mati ya sudah. Urusan rohnya bakal ke surga atau ke neraka atau nyangkut di dunia bukan urusan saya, nggak bisa saya bantuin juga kok. Hal itu membuat saya berpikir, kematian sebenarnya bukanlah melulu urusan orang yang meninggal, kematian sebenarnya juga urusan orang yang masih hidup. 

Tulisan ini terbersit setelah membaca cerita tentang seorang gadis yang bunuh diri dengan melompat dari jembatan. Ia meninggal, namun orang yang kebetulan mobilnya kejatuhan badan si gadis ini menjadi trauma seumur hidup. Orang-orang berkomentar, "There is no victimless suicide". Dan mereka benar. Waktu saya abg dulu dan dengan segenap emosi jiwa seorang abg saya sempat terpikir untuk bunuh diri dengan menenggak cairan pembersih tipe-ex. Nggak penting banget kan. Setelah lebih besar dan mengalami broken home sempat terpikir ingin bunuh diri dan menimbang-nimbang cara paling efektif. Saat itu saya mahasiswa kedokteran, jadi cara yang dipakai harusnya bisa tokcer. Semuanya saya batalkan karena a) kalau tidak mati nanti saya bakal sangat kesakitan, dan saya tidak mau sakit; b) biaya rumah sakit untuk pemulihan bakalan mahal; c) biaya pemakaman juga sama atau bahkan lebih mahal; dan d) kalau nanti roh saya nyangkut di dunia/tidak bisa move on bisa gawat. Realistis banget kan? Belum lagi nanti keluarga saya yang harus menahan pedihnya kepergian saya dan rasa malu. Saya mungkin tidak ngeh lagi dengan masalah di dunia, tapi itu karena saya melemparkan masalah tersebut ke orang yang saya tinggalkan. Nggak bisa begitu dong.

Waktu saya sekali 'main' tidak aman saya langsung panik karena takut saya terinfeksi HIV. Sekedar intermezzo saja ya, main tidak aman itu lebih banyak ruginya daripada enaknya dari segi fisik dan mental, apalagi kalau sampai terinfeksi penyakit atau bahkan hamil. Kalau bisa dihindari deh, serius. Lanjut soal kepanikan saya, walau saat itu saya belum dites HIV saya sudah sibuk membayangkan berbagai rencana agar orang tua saya tidak tahu kalau saya kena HIV, apalagi sampai meninggal karena HIV. Salah satunya adalah rencana untuk memalsukan kematian saya, seolah terseret arus laut gitu, dan memulai hidup baru di pulau/negara lain. Lebih baik keluarga saya berpikir saya meninggal karena sebab alami dan bukan karena HIV. Lebay banget ga sih. Tapi itulah yang saya rasakan saat itu. Anda tidak bisa, atau sangat sulit, menjernihkan pikiran orang yang kalut. Apalagi kalau anda tidak tahu orang tersebut kalut. Saya ternyata tidak tertular HIV, dan langsung pikiran saya jadi jernih dan bisa berpikir kalaupun saya kena HIV buat keluarga saya mungkin lebih menyakitkan bila saya tiba-tiba menghilang/meninggal. Kebayang ga kalau saya tidak menunggu hasil dan langsung menjalankan rencana saya?

Terkadang yang dibutuhkan orang-orang kalut seperti saya adalah kesempatan kedua. Perpanjangan waktu istilahnya. Beda 10 atau 15 menit saja bisa berarti hidup dan mati bagi seseorang. Sebuah senyuman atau kata-kata ramah bisa berarti hidup dan mati bagi seseorang. Dan kalaupun anda berpikir kalau cuma orang pengecut yang bunuh diri, setidaknya lakukan kebaikan ini demi orang-orang yang mungkin akan merasa sakit bila si pengecut ini meninggal. Karena (lagi-lagi) kematian itu bukan cuma tentang si orang yang meninggal, namun juga tentang orang-orang yang ia tinggalkan. Seorang teman memposting tulisan ini: "The worst thing about the death of your loved one is that it repeat itself every morning". Yang hiduplah yang harus berjuang memahami dan mengisi luka dan kekosongan/kehilangan tersebut. Kita hidup untuk Tuhan, kata orang agamis. Kita hidup untuk diri kita sendiri, kata orang egois. Kita hidup untuk orang lain, kata saya yang realistis. Manusia adalah mahluk sosial yang sedemikian kompleksnya, sehingga setiap hal yang kita lakukan tidak peduli sekecil apapun akan mempengaruhi hidup orang lain.

Balik lagi soal postingan marah-marah diatas, mungkin saja orang-orang tersebut kebanyakan testosteron atau masih Ababil (ABG Labil). Mungkin saja mereka masih belum bisa menghargai betapa berharganya hidup manusia. Namun mungkin saja mereka memang percaya kalau mereka memang berhak menyakiti orang lain. Ini yang bisa jadi masalah, saat segala justifikasi/pembenaran dipakai untuk membenarkan kesadisan diri sendiri. Kalau anda menghargai hidup anda tidak akan bisa membenarkan tindakan yang menyakiti orang lain, apalagi sampai membunuh. Sayangnya, orang-orang seperti ini kalau diajak bicara frontal pasti tidak akan mendengarkan. Tapi anda yang mau membaca artikel ini sampai akhir pastinya masih lebih bisa diajak berlogika. Anda pastinya mau (mencoba) mengerti betapa penting dan berharganya hidup, baik untuk orang yang bersangkutan maupun orang lain yang mengenalnya. Mari kita coba membuat hidup kita sendiri dan hidup orang-orang lain di sekitar kita menjadi lebih baik. Surga konon ada setelah kematian, tapi tidak ada alasan kenapa kita tidak bisa menciptakan surga kita sendiri yang damai dan tentram di dunia. Mari mencoba. Salam damai untuk semua.

Sebab Akibat dan Si Padi yang Merunduk

Barusan saya baca postingan temannya teman tentang kisruh PSSI, yang diakhiri dengan kalimat "Gara-gara masalah di 2 tim, menpora menghancurkan persepakbolaan satu negara." Lah, kok nyalahin menpora?

Saya nggak tau kisruh di PSSI, dan sama sekali nggak perduli dengan persepakbolaan manapun. Jadi saya nggak tahu siapa yang salah (dan seberapa kadar salahnya) atau siapa yang bener (dan seberapa kadar benarnya). Yang saya tahu sih kelakuan menyalahkan pemerintah/atasan/pembuat peraturan begini sudah jamak terjadi, walau sebenarnya seringkali salah sasaran. Terkadang ya, yang harus disalahkan dan dijitak ramai-ramai itu bukan pembuat peraturan, tapi orang yang membuat peraturan tersebut jadi ada.

Saya sebenarnya sudah lama ngeh soal ini, terutama saat saya termasuk pihak yang dirugikan. Misalnya saja waktu SMA peraturan harus pakai baju batik yang benar-benar batik, nyebelin dan bikin susah saja karena baju batik yang oke itu nggak murah . Tapi itu juga peraturan yang ada karena terlalu banyak murid (termasuk saya) yang malah pakai baju batik hawai, yang motif kembang sepatu/pohon kelapa ceria gitu deh. Atau saat kuliah yang saya sampe menangis dan membentak wakil dekan saya karena si ibu ini tidak mau memberikan keringanan jadwal kuliah demi pekerjaan saya, alasannya karena banyak mahasiswa minta keringanan dengan alasan kerja padahal sebenarnya tidak. Padahal saat itu saya memang kerja untuk menghidupi diri saya sendiri. Wakil dekan itu memang ngeselin, tapi yang paling saya benci adalah mahasiswa-mahasiswa yang bohong dan bikin hidup saya jadi susah.

Tentunya tidak selalu mudah untuk 'menelan' aturan dadakan seperti ini, apalagi kalau rasanya tidak adil buat kita. Misalnya saja saat perusahaan tempat saya kerja dulu menetapkan aturan dilarang mengirim barang ke kantor, karena salah satu freelancer kami menyalahgunakan kantor sebagai 'gudang' barang dagangan online nya. Saya yang butuh alamat aman untuk dikirimi berkas-berkas visa saya saat itu jelas merasa terzolimi. Walaupun saya tetap sebal sama si pelaku, namun buat saya aturan itu tidak tepat sasaran karena hanya satu orang yang berbuat. Lebay gitu deh. Tapi ya itu tadi, biasanya peraturan tidak akan dibuat kalau tidak ada yang duluan berbuat. Di Indonesia mungkin tidak terlalu terasa karena semua bisa 'diatur', tapi di Amerika sini terasa sekali karena sampai hal-hal kecil juga diatur berkat orang yang rajin nyari celah.

Di Amerika sini misalnya, pernah ada kasus dimana seorang anak wanita (saya lupa umurnya, 9 atau 11 tahun mungkin?) yang berjualan cupcake diharuskan memiliki izin bisnis karena omzetnya sudah omzet bisnis dan dikelola secara profesional. Yang kontra bilang tidak adil pemerintah mau memajak anak sekecil itu, dan maki-maki pemerintah sebagai rakus dan seterusnya. Yang pro bilang "rules are rules", aturan ya aturan; perijinan itu bukan cuma narikin pajak, tapi juga mengatur kebersihan dapurnya dan barang dagangannya agar pemerintah dan penjual terlindung dari tuntutan kalau ada yang sakit karena cupcake tersebut misalnya. Masuk akal juga kan kalau dipikir-pikir.

Apa ini penting? Jelas iya. Bisa berpikir jernih dan tahu siapa yang harus disalahin itu penting lho. Itu akan melatih kita belajar sebab akibat, jadi nggak main hantam dan dengan mudahnya menunjuk "Oh, itu dia yang salah!". Contoh nyata banjir di Jakarta. Pas penduduk bantaran sungai digusur, bilangnya tidak manusiawi. Pas banjir gede, bilangnya pemerintah nggak becus mengurus Jakarta. Repot kan? Mengerti soal sebab akibat ini juga penting buat kita agar kita tidak jadi orang reseh yang menyebabkan ketidaknyamanan bagi orang lain. Misalnya soal buang sampah. Kalau kita mau berpikir sebentar saja, itu sampah setelah kita buang kemana nasibnya, pasti kita jadi mikir sebelum buang sampah sembarangan. Sekarang kan ibaratnya out of sight out of mind, kalau nggak kelihatan nggak usah dipikirin. Padahal sampah kan nggak bisa bim salabim hilang bo'. Yang ada juga nyangkut entah kemana dan jadi masalah buat orang lain.

Mental menyalahkan orang lain tanpa berpikir panjang itu buat saya bukan budaya asli Indonesia. Kalau melihat budaya asli Indonesia, suku apapun terbiasa mendengar dan melaksanakan petunjuk dan petuah sang pemimpin/yang dituakan tanpa banyak cingcong. Iya sih, terkadang dibumbui mistis agar lebih tokcer begitu, tapi siapa sih yang berani berdebat dan mempertanyakannya? Budaya kita budaya manut dan menghormati pemimpin/tetua/Tuhan. Sayangnya keterbukaan teknologi dan kemudahan akses informasi semakin menggusur budaya ini. Kalau dulu orang yang lebih tua dianggap gudang ilmu, kalau sekarang dianggap nggak update, kalah sama mbah Google. Kalau dulu cuma orang tertentu bisa jadi dokter atau ahli agama, sekarang semua orang bisa jadi dokter/ahli agama online. Tinggal google dan copas saja kok, jadi deh kelihatan pintar/bijak, masalah benar nggaknya ya nggak masalah. It is on the internet, so it must be true.

Di bukunya Michael Crichton yang Jurrassic Park, ia menuliskan bahwa ilmu pengetahuan instan ini membuat manusia jadi sombong. Karena didapatnya instan dan tidak lewat perjuangan, jadi dipakai dengan semena-mena dan akhirnya manusia berlagak seperti dewa yang mahabisa dan mahatahu. Kalau dipikir-pikir sama seperti ilmu padi sih: makin penuh makin merunduk, sementara yang kosong mah mengacung dengan pedenya. Sayangnya kebodohan itu seperti hama yang meluas jauh lebih cepat daripada padi-padi yang bagus matang. Menginfeksi gitu lho. Apalagi di era keterbukaan informasi seperti sekarang, yang mudah sekali mencari info yang kita maui. Yang kita maui lho ya, bukan berarti dapatnya akan berimbang. Misalnya saja soal pengungsi Rohingiya, pencarian dengan keyword "kebiadaban umat buddha terhadap Rohingiya" dan "kebohongan Rohingiya" pasti menghasilkan dua hasil yang bertolak belakang satu sama lain. Padahal kalau mau pintar dan repot sedikit, tinggal cari "Konflik Rohingiya" dan memilah berita dari sumber yang resmi, jadi deh tahu jalan cerita yang berimbang.

Kebodohan ini juga seperti gangren/kebusukan yang kalau dibiarkan akan menyebabkan kelumpuhan. Di Amerika sini ketidakpercayaan akan aturan/penguasa itu sudah kronis sekali. Kebijakan apapun yang diambil oleh pemerintah, pasti ada saja yang protes. Apalagi kalau kebijakannya menyulitkan diri mereka. Saat ada orang yang mencoba taat aturan (seperti saya) malah dibilang "Kamu mau saja jadi budak sistem!". Lah, aturan kan ada untuk memudahkan hidup karena banyak orang yang mentalnya keledai, mesti dicambuk biar patuh. Kalau nggak ada aturan sementara mentalnya masih mental keledai yang suka-suka gue ya repot. Lihat saja jalanan Jakarta saat rush hour, yang macetnya benar-benar total karena semua tidak taat aturan dan menyerobot jalan. Inilah kenapa penting bagi kita untuk melihat lebih dekat, menganalisa secara subyektif keputusan atasan/pemerintah kita sebelum menyalahkan. Selain untuk mencegah ketidakpercayaan kronis yang akan melumpuhkan negara (seperti di Amerika sini), pemahaman sebab akibat juga membuat anda sebagai pribadi lebih maju. Dan bila rakyat maju, negara pun maju.

Ini bukan berarti anda tidak boleh mengkritisi atasan/pemerintah ya. Mereka juga cuma manusia, dan namanya politik titipannya banyak. Kalau anda merasa kebijakannya tidak tepat, silakan lho protes atau komplain, dengan catatan anda tahu cerita lengkapnya. Jangan tahu cuma satu versi lalu sibuk mencaci, misalnya saja soal pelarangan pemotongan hewan kurban di sekolah atau di tepi jalan. Kita diberikan Tuhan kemampuan untuk menganalisa, dan alat-alat yang diperlukan untuk menimbang dan mengukur (i.e internet). Pergunakanlah sebaiknya, seadilnya seperti Nabi Sulaiman. Jangan malah dipakai untuk memperbodoh diri sendiri dan memelihara kegelapan di dalam diri sendiri. Bersinarlah Indonesia!

Search This Blog