AdSense Page Ads

Thursday, July 30, 2020

Gengsi



Ngeliat postingan Instagram tentang artis Mary-Kate Olsen yang tas Birkin nya dipakai dengan cuek banget sampai kelihatan goresan kanan kiri. Duh itu lifegoal banget ya.

Buat saya, orang yang 'mampu' beli barang adalah yang nggak takut barangnya rusak. Ya udah gitu kalo rusak, tinggal beli baru. Barang juga dibeli untuk dipakai kan, bukan untuk dipajang? Kalo kena noda setitik udah stress kayak ditinggal pacar, yeah mohon maaph ye abang none mungkin elu belum sanggup beli berarti.

Beda lho sama barang sentimental. Mungkin kado terakhir dari Papa atau hadiah pertama dari Ayang, jadilah disayang-sayang takut rusak. Mau cari dimana lagi yang ada nilai sentimental begitu? Tapi kalau beli sendiri dan stress karena takut rusak soale beli mahal, duh gimana ya bilangnya…

Saya lupa artis mana yang bilang: kalo elu nggak sanggup beli barang itu dua kali sekaligus, berarti elu nggak sanggup beli. Mau ipon, kalo elu nggak sanggup beli dua sekaligus ya berarti elu ga mampu. Apalagi kalo elu beli satu tapi angsurannya 3 tahun. Yakin emang benar perlu ipon itu?

Atau saat heboh sepeda Brompton yang konon paling murah $1600. Saya iseng ngecek sepeda Brompton di website amrik masih sold out lho, yang saya curiga diborong sama orang Indonesia semua. Mohon maaph ya sodara-sodara, ini emang punya duit dan butuh, ato (sebenarnya nggak) punya duit dan kagok?

Masalahnya kita cepat banget silaunya. Ngeliat barang mahal dan langsung mata berbinar. Mahal lho, belum tentu bagus atau berkelas. Langsung orang yang ngebawa barang ini kita pandang dengan berbinar-binar dan bahkan penuh harap agar kecipratan kaya. Si orang yang ngebawa barang pun jadi terbawa dan merasa paling te o be sedunia.

Akhirnya besok-besok yang cuman ngeliat jadi ingin punya, ingin ngebawa supaya juga jadi te o be. Yang ngebawa pun jadi kecanduan dengan perasaan te o be ini dan tertantang untuk terus upgrade barang bawaannya biar bisa tetep jadi tenar. Yang untung ya para mas mbak online shop dan jastip. Sama rentenir atau tukang gadai #eh . 

Buat saya orang mampu itu bukan yang gonta-ganti tas mahal atau aksesoris mewah tiap ketemu. Orang mampu itu yang kalau barang yang dia pakai/punyai rusak, dia nggak panik. Orang yang jadi histeris nggak mau jaket anti air bermerknya basah dikala hujan ya gimana ya. Atau yang tiap hang out selalu sibuk "HATI HATI SAMA BARANG GUE".

Sekali lagi, memang ada orang-orang yang super neat, super rapi dan bersih. Kita harusnya bisa melihat bedanya. Kalau bajunya yang cuma kaos oblong terpercik minuman dia udah blingsatan, wajar kalau hapenya kena saos capcay dia seperti mau mati. Tapi kalau raungannya "Mahal inihhhhh" ya lagi-lagi, yakin elu mampu beli?

Pamer barang adalah tanda ketidak-percayaan diri dan kebutuhan untuk divalidasi oleh lingkungannya. Lagi-lagi ya, nggak kenapa kalo hobinya memang koleksi Hermes (melirik sirik), atau memang menggunakannya sebagai sarana investasi. Tapi saat punya barang sekedar untuk "LOOK AT ME GUE SANGGUP" itu kok kasihan banget ya.

Tugas kita bukan menertawakan orang-orang ini, walau kadang memang konyol dan kocak. Tugas kita untuk memastikan kita pribadi nggak sekonyol ini. Syukur-syukur bisa membantu mengingatkan teman-teman yang sekiranya menuju jurang kegelapan ini. Bahwa nggak kenapa elu ga punya barang mahal asal pikiran damai dan bahagia. Nggak kenapa elu emang malas punya barang mahal karena tahu nggak bisa ngurus.

Lalu setelah ini tulisan saya dipakai untuk justifikasi "tuh kan memang pamer itu kesian banget" dan ajang nyinyir raya. La elah, sama aja dong. Ingat bahwa sirik itu tanda tak mampu. Tulisan ini faedahnya untuk mengingatkan agar kita punya barang mahal saat kita mampu dan butuh, jangan karena terlena oleh orang-orang yang memuja dan menyembah saat kita punya barang.

Ini susah karena kebanyakan orang di Indonesia saya rasa masih silau. Kalau menenteng iPhone mendadak bikin orang yang interview pekerjaan kita jadi nggak banyak tanya, kenapa nggak? Atau pinjaman ke Bank bisa lancar jaya karena bawa tas mahal (sewaan)? Terkadang hal-hal seperti ini membuat memiliki, atau setidaknya menenteng, barang mahal jadi bermakna.

Sekali lagi pelan-pelan. Semua harus dimulai dari diri kita sendiri. Kita yang harus sanggup membedakan kapan kita sanggup (dan butuh) membeli sesuatu dan kapan kita tidak mampu (dan tidak butuh). Kita yang harus bisa jujur dan bilang, "Nggak deh". 

Gengsi itu nggak akan habis dikejar. Selalu ada langit diatasnya langit. Selow aja jadi ya mas dan mbak.

Thursday, July 23, 2020

HeyHo To Disney Parks We Go



A year ago to date I went to Disneyland for the first time. It was a birthday gift from my BFF, a promise we both made and finally fulfilled after a while.

It was magical. Reality aside (me counting tally: "How do all these people afford this thing???"), I don't think I've ever grinned as wide as I was that day. The rides, the characters, the joy. I remember BFF looking at me and smiled widely "Are you enjoying yourself?". I smiled happily and answered, "Yes. Yes I am."

Three months later I returned to Disneyland with my BF. We had 4 Disney visits for the rest of the year, and I dressed up for all of them. Each time we are done with the visit I told BF "This is too much. The expense, the aching feet, I don't know if I want to do this again." Yet when the next Disney date came I can feel myself being all excited and happy again.

If you told me, say 5 years ago, that I would be this much into Disneyland I would have laughed at you. I like theme parks and fun things in general, but not '$250 a pop' like. Once would be enough, thank you. And here I am, missing the place already. Dreading it still because of the cost and the tiredness that will follow, but missing it nevertheless.

It's the memory of sharing chicken dinner with my BFF and hearing him laugh as I did a funny pose with Captain Hook. It's the memory of sitting and dancing at Oga's Cantina and sipping cocktail with BF at Carthay Circle. It's the way my BFF smiled after hearing my particularly happy scream at Matterhorn. It's the way BF and I laughed maniacally on the Tea Cup and dancing together while waiting in line for the Haunted Mansion.

Disneyland (and Adventure Park) for me means love. I experienced it with the right people, and it made me feel loved and wanted. The good feeling became a core memory for me, and I know even if I go back there alone I will still feel happy and elated. It will require a very hard push to change that feeling.

I think a lot of people feel this way. I also think a lot of people don't understand this feeling. They are both right. Both feelings are valid. I don't think my BF or BFF experienced Disneyland the same way I do, or have this emotional connection. It doesn't make my feeling less valid, nor does it make me a more lunatic than they are (which I am, but it's a totally different subject). 

We are not robots. Even close siblings or twins can perceive and process feelings and thoughts differently, let alone your friends or, heaven forbid, strangers on the internet. The issue should never be about how a feeling is right or wrong. The issue should be how can we addressed this feeling. 

Disney Parks can't close forever. It will be open again soon enough and considering Disney Parks are one of the main international attraction in the US, one should be aware on the potential risk that might involve. Is it worth risking transmission or is it something that we can hold off for a little bit more? Just a little bit more? 

We won't get people to consider their action when we refuse to understand their reasoning. If you called me a childish adult for enjoying on going to Disney Parks, boy have I got some choice of words for you. If you express your concern on the safety of my action, even citing responsible data and facts related to huge gathering, I might just consider it. 

To simplify this: You will get more result by not attacking my personal core belief and instead sticking to the fact. You are not attacking err asking me to not go back to Disneyland, but you are asking me to consider being in a large group of people with a big risk of transmission. As a sane person, that makes more sense.

This approach can be use in virtually anything else. Don't attack someone with their race or political belief or even their level of smartness for not wearing mask. Stick to the fact that it is a safe precaution. Don't attack someone for being selfish when they say they want to go to hair salon or restaurant. Stick to the fact that it is difficult to clean everything indoor or even engage in a discussion on what they think can be done to keep everyone safe.

It is not a foolproof way. As a matter of fact it has all the high probability of failing when you meet a fool. Yet an offense, especially when you do not know how they feel like, will almost ensure the other person refuse to listen to you. Vice versa, if someone approached us with something we don't like to hear but in a respectful clear concise way, it doesn't hurt to hear what they have to say because we too don't know how they feel.

Soon enough Disney Parks will be open again, and insults will fly towards (and within) loyal Disney-goers. The scaredy rabbits vs the grandma killers. Other part of the country will be opened as well, and more flares will come up. It is time to learn to listen and to communicate. We need this. Badly.

I miss you already, Disneyland and Disney Adventure Park. See you in about a year or two, kay.

Sunday, July 19, 2020

Harta Karun



Saya dapat kalung mutiara. Dan sepasang anting mutiara. Wow.

"Baru mutiara udah seneng. Emas dong. Berlian dong. Sepeda brondong dong." Tapi bagaimana saya nggak bahagia? Saya cuma sekali mention saya ingin membeli kalung mutiara kalau lain kali pulang ke Indonesia karena yang waktu ini dibekali ibu saya putus. Cuma sekali mention lho.

Seperti biasa, saya telmi. Dikasi hadiah kemarin, lewat 36 jam baru realita mulai terserap. Kalung mutiara. Punya saya sendiri. Dibeli karena si kangmas mendengarkan celotehan nggak penting saya. 

Saat pagi ini dia menunjukkan kotak dari toko permata saya sesak nafas. Saya terima perhiasan ini dalam kotak permata cantik berlapis mother-of-pearl, bagian dari hadiah saya. Itu saja sudah bikin wow. Tapi melihat kotak asli dari toko permata itu, duh gusti. Pertama kalinya lho.

Ini punya saya. Pokoknya punya saya. Dikasi sama orang yang perduli akan perasaan saya, yang mendengarkan celotehan saya dan menganggapnya penting. Dan dia terlihat begitu bahagia melihat wajah saya "bercahaya bagai pohon natal" saat saya membuka hadiah saya. 

Saya bilang ke Kangmas, apapun yang terjadi saya nggak akan melepaskan kalung dan anting ini. Saya ingat seberapa entengnya saya melepas cincin pertunangan rubi dan berlian saya, dan seberapa cueknya saya saat anting berlian dari suami saya hilang. Benda-benda itu tidak pernah terasa punya saya. Walau diberi untuk saya, saya serasa hanya numpang pakai. Perhiasan mutiara ini lain cerita.

Ada rasa dibalik benda yang kita dapatkan, ada energi dan ada cerita. Saya ingat berbunga2nya saya saat mendapat cincin pertunangan dari si mantan, berikut surat cinta darinya. "Ini perlambang cintaku berputar dengan kamu dipusatnya, kamu lah harapan dan mimpiku." Yeah right.

Kali ini nggak ada surat cinta. Nggak ada bunga-bunga ala kartun Jepang. Tahu apalagi yang nggak ada? Rasa ragu. Ini punya saya. Orang yang memberi merasa yakin saya pantas mendapatkannya, dan amat sangat rela saya memilikinya. 

Saya mohon maaf sekali untuk semua pembaca yang sedang gundah gulana dan saya malah cerita kebahagiaan saya. Boleh ya para pembaca kalau saya bahagia. Sekian lama saya serasa duduk dalam gelap dan sekarang ada yang menyalakan lampu untuk saya. 

Boleh ya para pembaca saya memberikan harapan. Bahwa kita semua berhak bahagia. Bahwa Tuhan nggak tidur. Bahwa energi positif yang kita berikan pada dunia, segala kepedulian kita pada sesama dan ketegaran kita untuk menjalani cobaan tanpa sibuk menyalahkan orang lain, itu semua akan dibayar berkali lipat.

Kangmas masuk ke kamar dan melihat saya sibuk bermain dengan kotak perhiasan dan perhiasan baru saya, entah untuk keberapa kalinya. 

Saya: Kamu tahu kan kamu nggak akan pernah mendapatkan barang ini balik.
Dia: Aku nggak pernah minta perhiasan balik.
Saya: Oh aku yakin. Tapi ini hartaku sekarang. Aku nggak akan kasi ke siapapun. Ini milikku. Punyaku. Harta karun ku.

Nggak semua benda bisa dinilai dengan uang. Untuk pertama kalinya saya memiliki sesuatu yang saya bakal histeris kalau hilang, karena energi dan cerita yang terkandung didalamnya. Rasanya menakjubkan lho pembaca.

Ini punya saya. Pokoknya punya saya.

Tuesday, July 14, 2020

Minus 15





Jadi di Amerika ada juga acara TV sampah yang isinya orang berantem. Model talk show gitu tapi biasanya pasangan yang konflik dan berusaha membuktikan dirinya yang benar. Kalau kasus selingkuhan maka si selingkuhan pun diajak manggung dan bisa berantem on stage.

Bingung kan? Si mbak asli bakal sibuk jejeritan sama si mbak baru. Lalu pas si lelaki naik panggung ternyata mukanya cukup sekian dan terimakasih. Jeng jeng jeng. Biasanya saya pun jadi rusuh jejeritan: "THROW AWAY THE WHOLE MAN! BUANG LELAKI ITU!"

Saya jarang sih nonton, karena saya suka ikut stres sendiri. Emang nggak ada lelaki lain apa sampe yang punya orang diembat juga? Emang ga ada lelaki lain sampe yang udah jelas-jelas ga menyesali perbuatannya diperebutkan sampai sebegitunya?

Saya mengerti sih. Ini bukan lagi masalah cinta, tapi masalah ego. Marahnya si mbak asli marah macan betina saat ada yang masuk teritorinya. Belagunya atau alasannya si mbak baru juga karena memang kadang cari teritori baru.

Sementara si lelaki yang seadanya cengar cengir bahagia ada dua perempuan yang berantem memperebutkan dia. Rugi banget ga sih?

Saya jadi teringat berbagai curhat orang ke saya. Kurang lebih sama seperti acara TV itu tapi nggak on air dan ceritanya berhenti di saya. Ya itu, hampir selalu si mbak asli ngejar mbak baru dan bukannya dibuang aja itu lekaki.

Susah ya. Berdasarkan skala privileged yang lagi ramai di medsos saya tuh minus 15 hahahaha. Tahu banget susahnya dapat lelaki di Indonesia. Saya rasa para perempuan di Indonesia yang segitu marahnya sama pelakor ya karena itu. Biar si lelaki seadanya tapi dapatnya sudah susah payah. Belum lagi resiko jatuh martabat di mata sekitar. Kalau ada pilihan janda/ga perawan di skala privileged itu mungkin minusnya 200, sedikit diatas biseksual.

Walau logikanya lelaki yang selingkuh dibuang saja, tapi kenyataannya ga semudah itu. Apalagi kalau dia tulang punggung keluarga. Iya dia brengsek. Iya mungkin dia nanti cari perempuan baru lagi. Iya mungkin dia kabur dan akhirnya anak ga dinafkahin lagi. Tapi itu kan nanti. Yang penting sekarang nggak malu. Yang penting sekarang anak bisa makan.

Inilah kenapa jadi perempuan harus bisa mandiri, apalagi kalo tahu skor dibawah rata-rata dan underprivileged. Kita harus punya opsi ya. Kalau bapak nggak bisa diandalkan, ibu harus siap berjuang. Orang yang sudah tahu nikmatnya cinta terlarang seringkali ketagihan, apalagi kalau berasa nggak ada hukuman yang berarti.

Sekali, dua kali, lalu terus saja. Lalu sampai kapan mau bertahan? Berapa banyak mbak baru yang harus dilabrak, bahkan mereka yang nggak tahu si lelaki punya mbak asli karena bangke ini bohong? Pada akhirnya kita harus mampu untuk menilai diri kita dan bilang: "I worth more than this. Gue lebih bernilai dari ini. Rugi bandar kalau terus begini."

Mengutip Robin Williams:
"I used to think the worst thing in life was to end up all alone. It's not. The worst thing in life is ending up with people who make you feel all alone."
"Aku dulu berpikir hal terburuk dalam hidup adalah hidup sendiri. Aku salah. Hal terburuk dalam hidup adalah hidup bersama orang yang membuatmu merasa sendirian."

Semoga ya para pembaca nggak berakhir konyol seperti orang-orang di acara tv saya. Semoga yang lagi stress diberikan kedamaian, semoga yang ingin cabut diberikan kekuatan. Jangan menyerah ya para pembaca. Kamu tidak sendiri.

Saturday, July 11, 2020

Golden Age



Watching Midnight in Paris makes me think, what do I consider as the Golden Age?

Do I love going out dancing and playing dress-up with my BF, exploring every inch of LA with him with kisses and hugs in between? Yes I do. Theme parks galore and city-life dinners, what else is missing?

Do I love being the huntress and off doing whatever I please? Yes I do. Flirting and be flirted all the time, capitalizing on both my singleness and my exotic look.  It was a game, I know. But a game that I enjoy playing.

Do I love driving my little scooter in Bali, feeling the magic and the love of the land? Yes I do. Do I love catching buses and navigating traffic jams in Jakarta, drunk with people's hope and dream? Yes I do.

But do I want to go back to any of those moments? No I don't. Looking at my BF who studiously printed out more Clue sheet because I asked to play board game made me realize this is where I want to be.

This is anything but a romantic story. This is about realizing the good of the moment and enjoying it. It's more than just being content. It's the ability to see things objectively and act on it.

Do I want to go out dancing again? I do. But I can't. My desire and subsequent inability to go out dancing does not reduce the happiness I felt on spending time with my BF during this lockdown. We're both very outgoing and it's good to be able to hog I mean focus on each other.

Do I want to just keep this moment forever? I don't. And I won't. Times will come when we can go out again and live the bright light bright night life I dearly love. Yet that expectation does not in anyway diminish the quality of life I am having right now.

We are living in an unprecedented time, people say. But isn't life is always unprecedented? Nobody knows what the future hold, so obviously the current time is unprecedented. Which is good, because if it is something that we've done before it means we are not making any progress.

Just like the movie, it's easy to dream of a "Golden Age" or "Golden Place". When you don't have to deal with real life pesky details and only see the part you want to see, any place or era is better than where you currently are. 

But change, true change comes from love. It comes from wanting to preserve the beauty that we recognize despite all the flaws. It is not chasing dreams. It is building one. But first we need to accept. We need to love.

There's so much hate and discontentment around it is not healthy at all. We are never as united as we are before as we are now in the wave of hate. What we are hating might differ, but the emotion is the same. The "Golden Age" is as far as our reach as ever. But is it really, though? Or are we just too blind to see it?

Thursday, July 9, 2020

Summer Afternoon



You are the beautiful summer afternoon
Where the wind gently blows
And the sunlight dance with the cloud

A time to sat and watch white rabbit that ran
Making comments about the little girl that follows
And oh that angry, angry little red queen

A time to drink a proper 1420, rare as it is
Just after afternoon tea and right before dinner
And smoking that good pipe-weed

A time to raise the tent for proper celebration
Even knowing death eaters are near
Because there's always time to celebrate love

You are the calm, quiet time
A safe space after scorching midday heat
A resting phase before the night's adventure

You are the place to let the sweats dry
A place to smile and laugh after the tears
The soft grass to lie and nap and finally feel safe

Days will be short, night will be long
Yet that summer afternoon will always be there
I know now it will.

Monday, July 6, 2020

God Bless America



I kept finding these posts about how ashamed American people is about US and I was like, what?

History wise, US is the fourth country that transitioned into republic. The other two (Netherlands and Englands) switch back into Monarchy. The next big thing is France 94 years later. Almost a whole century later.

Do you know how badass it is to keep a republic for so, so, so long? You don't have a single person appointed by God to shift the blame or hope for. You have a string of people. To have so much trust in your fellow countrymen truly defines the words: "we the people".

And we are so, so, so diverse. 

US is not a pristine nuclear family all nice and cozy in a small gated townhouse complex with a mom, a dad, and two kids plus maybe one cousin.

US is a huge family in rural area with Mom and dad in the brink of a divorce, 2 old grandparents in the attic, 1 kids from current marriage, 2 from previous marriages, 4 foster kids from across the ocean and 3 other God knows from where but since they are here might as well feed them and try to take care of them. 

We didn't do well, but considering the circumstance we did pretty good. We got so much to fix, but it is not in any way a reason to be ashamed of being an American. Why focus on the bad when you can focus on the good?

And I understand it's hard, especially when the news and social media keep blasting how horrible things are, how malicious everyone is. I missed the days when I can be on the road again, giving love and accepting it from random strangers during my commute. That's America. The true soul of America. Not the impostor the click-baiters wants you to believe.

We can't change history. We can't be where we are right now without Columbus, without the Declaration of Independence, without all the things that had happened. Saying it is bad and denounced it, even attempting to erase it, does not change the fact that we are where we are now because of all that happened.

We've achieved victories after victories for human rights, and it will keep getting better. Because we as a nation learn to care for each other. Such progress is achieved because we learn from our mistakes and fixed things up as we go. In the future we will learn that our predecessor band-aid fix is not good, and we will fix it accordingly. And our future generation will do the same with our band-aid fix, and so on.

If you really hate America so much and ashamed to be one, you can always release your citizenship. It is honestly something that we first generation immigrants coveted so much, but we understand. We too have to let go of our homeland citizenship with a great sorrow because we believe US will be better for our future. I think more people should research and find a place, a country that will be better for their future. Yes, you are risking all. Aren't we all?

Friday, July 3, 2020

Kontrol Tanpa R



Jadi elu pikir karena gue pake baju terbuka boleh loe pelototin dari atas ke bawah, di rewind di CCTV? Oooh baiklah. Berarti kalau elu cukup goblok buat ngunjukin kontol loe boleh dong gue foto dan sharing buat ketawa-ketiwi ma temen-temen gue?

Jadi elu pikir karena gue pake baju terbuka boleh loe kata-katain pelakor? Mbak, kalau kelakuan loe panik ngamuk ga jelas begitu jelas aja suami/pasangan mbak kabur. Insecurity itu sangat nggak menarik lho mbak.

Jadi elu pikir karena gue pake baju terbuka boleh loe ajak ngamar? Ngaca dulu lah oom. Sanggup ngasi apa elu? Bayar makan di S*laria aja megap-megap, boro-boro sewa kamar yang agak bagusan di R*tz-C*rlton. Belom lagi kalau cuma secelup dua udah kelar, kalah lama sama teh celup.

Rasanya luar biasa untuk memiliki kendali akan apa yang terjadi pada badan saya. Apa yang saya mau, saya kejar. Nggak cocok, yuk bye bye. Bahwa saya konon cuma dipakai untuk pemuas nafsu belaka juga saya nggak bisa marah. I did the same. Saya melakukan hal yang sama. Kalau elu mau menutupi patah hati loe dengan bilang gue sampah murahan ya gpp. Silakan. Monggo. Apapun yang bisa membuatmu merasa lebih baik karena gue mendadak hilang setelah kencan pertama.

Dan itu mengerikan lho. Bagi laki-laki sini sih mungkin nggak. Mereka sudah cukup terbiasa sama perempuan yang banyak maunya dan ga keberatan menendang lelaki kalau dianggap tidak sesuai. Hukum pun berlaku sangat ketat dan model-model mas CCTV ini bisa dengan mudah dipenjara walau tanpa aduan. Bahkan sesama lelaki pun sangat mungkin bakal speak up kalau melihat rekannya melecehkan perempuan, walau hanya karena takut ikut dipecat.

Di Indonesia dan negara konservatif lainnya? Jangan ditanya… Kalau nggak ikut melototin atau bilang risih, nanti dituduh cemen dan bahkan gay, lalu nanti dibully. Makanya perempuan seperti saya nggak laku. Siapa yang siap dibandingin ukuran jawaranya atau diberi nilai untuk performanya? Karena itu berarti si perempuan yang memegang kontrol/kendali atas aktivitas seksual tersebut.

Lagi-lagi soal kontrol kan. K*ntol memang berhubungan dengan Kontrol. Paling gampang deh: Keperawanan yang harusnya menjadi bukti cinta dua insan (berarti lelaki juga yeee) dan bukti ikatan dua insan untuk membangun keluarga sekarang hanya menjadi sebuah penanda "itu bekas gue", atau kalau janda, "itu bekas orang". 

Menggoda wanita atau mempergunakan mereka sebagai sumber kepuasan seksual (bahkan 'sekedar' catcall/disuitin) itu juga bentuk kontrol berdasarkan k*ntol.  Kontrol tanpa R, dimana R itu untuk 'respek', ya cuma sisa K*ntol aja. Nggak berfaedah banget-banget. I mean, all natural-born men got one kan. Tiap lelaki yang lelaki dari lahir pasti punya.

Saya tahu lelaki berpikir hot banget kalau mereka gantian digodain wanita. Percaya deh, nggak ada hot-hotnya digodain sama orang yang menurut kita nggak menarik. Yang lelaki digodain sesama lelaki, misalnya? Atau yang digodain sama orang kayak saya yang ndut hitam jelek pula? Sudah gitu digodainnya dengan niat dan dibikin seperti seonggok daging mentah. Ya emang daging. Ngapain melihara sapi kalau cuma perlu hotdog nya sesekali?

Saya pernah dibilang saya harus malu sama diri saya, bahwa sexual awakening saya ini memalukan. Nggak usah dibahas karena ketahuan betapa murahannya saya. Tapi saya masih lho berbincang dengan mantan-mantan saya yang lain. Saya masih main game, saya masih berdiskusi politik, bahkan masih saling ngelike dan nge-reply story di IG. Mereka semua tahu saya punya pacar dan nggak ada satupun yang kurang ajar. Yang kurang ajar ya saya ga repot kontak, langsung saya block.

Karena bagi orang-orang ini riwayat penghangat dipan saya itu nggak mendefinisikan saya. Baju saya seperti apa pun nggak mendefinisikan saya. Ini yang saya terus berharap orang Indonesia akan mengerti, baik lelaki maupun perempuan. Terutama perempuan karena biasanya kita korbannya, dan juga kita yang memiliki kesempatan lebih besar untuk mendidik lelaki muda (i.e. anak/keponakan/cucu kita) untuk mampu melihat wanita sebagai manusia dan bukan sekedar benda.

Wanita yang terhormat adalah wanita yang mampu menjaga kehormatannya, begitu konon cerita. Well, apanya yang terhormat bagi lelaki yang bersikap seperti anjing kelaparan? Para wanita, please understand this. Mengertilah akan hal ini. Alasan akan selalu ada. Karena baju loe, karena gaya loe, karena bentuk badan loe, karena muka loe. Kalau kita membuang alasan itu, yang tersisa hanya mahluk najis yang menganggap ia berhak atas kita. Nggak ada bedanya dengan copet atau rampok.

This is our body. Ini badan kita. Mobil yang diparkir di pinggir jalan atau parkiran mobil dan dicuri itu kan bukan salah mobilnya. Salah pencurinya. Rumah yang dirampok pun salah rampoknya. Jadi kenapa saat orang mempergunakan kita, merampas kehormatan kita (langsung atau tak langsung), malah kita yang salah?

Search This Blog