AdSense Page Ads

Monday, April 30, 2018

Loyalty



Isn't it funny, no, f*cked up, that I can tell people how loyal I am and nobody will believe it? Isn't it crazy that I can say I don't jump from dick to dick and it sounds like I did exactly that? Isn't it sad how our mind works?

Loyalty these days feels like an LV bag. The more prominent the logo, the more likely it is a fake. Nobody can afford loyalty anyway. Nobody is good enough to earn it, nobody is honorable (or stupid) enough to give it.

The result is we are looking at loyalty like the pearl brooch you found in Goodwill. It's probably worthless. Or like an item on clearance rack. It's probably junk. Loyalty is too good to be true.

A part of it is because how we perceive ourselves. I know I don't think I deserve loyalty. So I never expect it. I am too... difficult. I know people eventually will drift to an easier person to hang with.

Another part of it is the experience we've been through. I will always think that people will cheat, no matter what. A lifetime experience of seeing it happened around me, and with me, made me think loyalty is a myth.

These are my experiences, but look into yourself. When was the last time that special someone failed to answer your text/call/ whatever in timely manner and you immediately think he/she is being unloyal?

In the era where everything is nothing but fleeting moments, where nothing seems real nor tangible, where relationship is as seasonal as Target display, loyalty seems like a joke or as outdated as payphone.

I found myself questioning that concept many, many times. Why do I bother being loyal? To the place I am working. To my friends and family. To the guy I am not even in a relationship with. I don't trust them to be loyal to me anyway.

The answer hits me everytime, like a bitter pill to swallow. I am not loyal because they demand my loyalty, I did it because I choose to. And in any given time I am free to take it back and give it to someone else.

Just like love, loyalty is purely free will. Both cannot be bought. Both cannot be demanded. Both cannot be forced. Both has to be given freely. And yes, the recipient may choose to not reciprocate it.

In life I find this is difficult to accept, this is so unfair. But then, does it mean that my love and loyalty is insincere? That it was offered only for the hope of being loved or getting loyalty back? Is the feeling not pure?

In the end, what we present might not matter to the other person. What we perceive as precious gift might be seen as fake or bizarre, or filled with hidden motive. Loyalty, as we've discussed, is foreign these days.

Why am I still stubbornly loyal? Because that's who I am. Because that's how I choose to be. Because at the end of the journey I want to be able to look back and said to myself, with head held high: "Yea, we did our best".

It aint easy being loyal. It aint easy to steadfastedly stood for your choices, for your belief, weathering it through storms of trials and temptation. Yet cutting it loose is even harder. This is something I still need to learn.

Hallo Hari Senin



Saya benci dunia hari ini. Di media Indonesia melihat soal ibu dan anak yang dibully #gantipresiden2019. Di media Amerika melihat soal karavan migran dari Meksiko yang ditolak masuk Amerika. Di media lainnya beragam kesusahan dan kematian silih berganti.

Mungkin karena pas weekend saya tidak mengecek berita, sibuk menjalani kehidupan saya. Dunia saat weekend berputar pada acara dansa saya, gossip seru bersama teman akrab, sms genit sama gebetan terbaru, dan memasak beragam jenis makanan.

Tapi walau saya tidak ngeh, dunia tetap berputar. Masih banyak orang diluar sana yang menangis sementara saya tertawa. Masih banyak yang meninggal disaat yang lain dilahirkan. Walau saya tidak menyadarinya, bagi orang lain cobaan terus berlanjut.

Lalu datanglah hari Senin. Saya jadi punya waktu untuk mengecek dunia dalam perjalanan saya ke kantor. Sedih. Depresi. Ingin menangis dan bertanya pada Tuhan, "Tuhan, kok begini??" Merasa tidak ada artinya dan malu akan kebahagiaan saya. Saya benci hari Senin. 

Tapi bukan salah hari Senin manusia tak mampu menghadapi godaan nafsu. Bukan salah hari Senin manusia bersikap beringas pada sesamanya. Bukan salah hari Senin dunia terasa begitu timpang dan tidak adil. Ini kejadian tiap harinya. Terus sepanjang sejarah manusia. 

Saya nggak bisa menghentikan perang. Saya nggak bisa jadi wonder woman dan membela si ibu CFD saat itu juga. Saya nggak bisa membuat para gelandangan punya rumah, atau para korban kekerasan menghilangkan trauma mereka.

Yang saya bisa lakukan hanya berada disini. Yang saya punyai hanyalah telinga untuk mendengarkan, mulut untuk memberikan kata dukungan. Yang saya punyai hanyalah tangan untuk menghapus air mata, lengan untuk memeluk, dan kaki untuk menuju ke orang yang butuh bantuan.

Semua ini jelas tidak cukup untuk 'membetulkan' dunia, tapi paling tidak, walau hanya sebentar, saya masih bisa 'membetulkan' dunia seseorang. Paling tidak ada yang merasa ia tidak lagi sendiri, dan hidupnya tidak seberat yang ia pikir.

Halo hari Senin. Saya benci kamu. Kamu nggak seru. Kamu bikin saya stress. Tapi kamu memberikan saya kesempatan untuk sekali lagi berada disini untuk seseorang. Terimakasih ya. Terimakasih banyak. Sampai bertemu lagi.

Friday, April 27, 2018

Dear Artists and Passersby



When randomly googling my name, I found out back in 2015 somebody mentions my work in an article that she wrote. I reached out to her on Instagram, and we happily chatted. She said my article (which she mentioned) helped her a lot. To say I am humbled is a gross understatement.

Here's the thing, 2015 was not a pleasant year for me. It was rife with insecurity, instability, and a lot of anger and grief. To know that somehow my work at that time manage to inspire people was nothing sort of miracle. And my work is not an easy read. It never was.

I thought no one read my work, or maybe just a handful. It doesn't stop me from writing, though. It might help people who read it, I keep telling myself, even if only very few. There are times when I just want to quit, but I can't. My excuse was, somewhere out there, there might be people who think what I write is useful. Of course, when I found it really was the case, it was still mind-blowing.

I immediately told my fellow Indonesian writer in USA about what happened. I told her, because we shared the same loneliness of being far away from home, that even though we feel we're out of place at times, our work may have helped people, even inspire them. We might just don't know about it. 

And it is true to any form of art, or anything that you put in public. I haggled the photographer and the filmmaker I know to keep taking pics and make videos for this exact reason. Hiatus is bad not only because skill is something that can only get better the more you use it, but also because someone out there might break a smile, or awe in wonder because of our work.

I can't tell you how many times I am 'saved' by something someone made and put in public. Pretty much every day, really. There are always things that make me smile, ponder, or amaze. And that makes life worth living, makes the world a better, more fun place to be.

And yes, smile and kind gestures included. Imagine ourselves like dominoes. Everything we do in public will have an impact on other people's lives, even as small as a smile or a frown. We are not made of steel, devoid of feeling and emotions.

So artists, your work matters. So passersby, your existence matters. Thanks for touching my life. Thanks for making the world an exciting place to be.

Thursday, April 26, 2018

Screenshot Bermata Dua



"Jangan harap saya mau membantumu mengurus green card mu! Pokoknya jangan pakai apapun di apartemen ini, bahkan printer pun nggak boleh kamu pakai!" begitu titah calon mantan saya saat kami bertengkar. Saat itu saya memang sedang mengurus green card/izin tinggal saya yang permanen.

Badan saya gemetar saat itu, antara marah, sedih, takut. Bagaimanapun juga, untuk mendapat green card yang 10 tahun saya perlu membuktikan kalau perkawinan saya bukan bohongan. Bagaimana caranya kalau si suami nggak mau membantu saya?

Lalu saya tersenyum sinis. Kan ada screenshot, batin saya. Silakan lho kalau nggak mau membantu saya, saya tetap bisa membuktikan kalau saya istri yang baik. Kalau dia bilang saya nggak benar pun, ada screenshot yang membuktikan sebaliknya. 

Saya benar-benar lho mengurus green card itu bermodal screenshot. Semua e-mail saya yang berkaitan dengan keluarga, saya simpan dan saya screenshot. Saking meyakinkannya saya sampai nggak pakai dipanggil interview. #KibasRambut

Screenshot itu juga senjata simpanan saya. Saat nostalgila melanda dan penuh kerinduan akan dirinya (#jyahhh) saya tinggal lihat screenshot saat kami bertengkar. Rasanya seperti disiram air dingin, langsung sadar ahahahaha. Dan ini berasal dari semua sumber di dunia maya ya. Lengkap koleksi saya.

Intinya: semua yang kita unggah di dunia maya akan bisa digunakan untuk melawan kita. Mau terlihat sesempurna apapun, sekali kita melontarkan kata kebencian, misalnya, bahkan dalam sms yang kita pikir privat, akan bisa tersebar keluar.

Percaya deh. Salah satu ancaman si mantan setelah saya bercerai adalah menyebar foto syur saya. Syok banget saat itu. Tapi mau bagaimana lagi? Toh I look good, saya tampak cantik hahaha. Dan saya bisa seret dia ke penjara bila menyebar foto pribadi saya tampak izin. Sori ya, saya menolak takut.

Jawaban nan ekstrim adalah biar aman sebaiknya kita nggak di dunia maya sama sekali. Tapi hari gini bo', siapa sih yang nggak pernah SMS an? Via telpon pun kalau pas dipasang di speaker phone, semua orang bisa mendengar pembicaraan kita atau bahkan merekamnya.

Jawaban yang lebih masuk akal adalah: belajar bersikap seolah seluruh dunia memperhatikan anda. Sebelum posting foto, komentar, sharing, atau apapun deh, sebelum sms, e-mail, telpon, sebelum anda melakukan semua ini bayangkan bila orang lain yang nggak anda kenal mendengar/membaca/melihat apa yang anda kirim/katakan.

Susahnya banyak orang yang ndableg, yang berpikir: "Oh biar aja! Toh gue benar!" Atau yang kelewat pede "Siapa juga yang peduli?" dan merasa nggak akan tertangkap. Dan saat postingan mereka berbalik melawan mereka, malah sibuk menyalahkan orang lain.

Padahal selalu ada kemungkinan postingan anda berbalik melawan anda. Selalu. Dan sekali itu sudah ada di dunia maya, walau hanya beberapa menit, akan bisa terabadikan selamanya dengan bantuan si screenshot. Nggak bisa di screenshot tanpa ketahuan? Tinggal foto pakai kamera/hape lain. Nah.

Sebaliknya, anda bisa menggunakan teknologi screenshot ini untuk melindungi diri anda. Dapat SMS mesum tak diundang dari bos? Screenshot dan kirim ke orang-orang yang anda percayai. Dibully orang atau disiksa secara emosional oleh pasangan? Screenshot sebagai bukti.

Jaman sekarang kita harus cerdas menggunakan teknologi. Ngobrol di dunia maya (termasuk telepon dan sms) tidak sama seperti ngobrol di dunia nyata, yang kita bisa memastikan hanya antara anda dan dia/mereka. Kecuali kalau mereka pakai kamera/mikrofon tersembunyi yah xixixi.

Masih perlu bukti? Saat saya dituduh selingkuh duluan tebak apa bukti saya? Yep. Screenshot. Begitu pula saat si mantan bilang ke publik bahwa ia bisa mendeportasi saya. Dia bule asli sini, saya baru saja gres dapat green card. Takut? Nggak lah. Kan punya screenshot [#kedipmanja].

Apa yang anda tulis dan tampilkan di dunia maya adalah satu-satunya cara orang yang nggak kenal anda secara pribadi untuk mengenal anda. Pastikan anda menunjukkan yang terbaik bagi dunia, atau paling nggak, nggak kena masalah saat di screenshot dan dishare ke sejuta orang lainnya.

Tetap cerdas dan waspada, Indonesia!

Wednesday, April 25, 2018

Come to Me


Come to me oh Hope
Come hither thither with your glowing light
Come bright and unabashed and strong
Come and reside within my soul

Come to me oh Time
Come running and walking at your leisure
Draped me with old wisdom and young innocence
Come and stay within my life

Come to me oh Courage
Break me free from this cage of fear
Armed me with the will to live
Come and rule within my heart

Come to me oh Silence
Comfort me in my melancholy days
Together with darkness and shadow
Come and rest within my mind

Come to me oh Life
I have been waiting for you for so long
You will not be squandered or neglected
Come and reign within my spirit

Come oh spirits of the world
The tunes this earth sing
The elements this earth is made of
Come and be with me

For human is folly but we love them dearly
And spirits are fickle but we love them so much
The balance is thin and obscure
But what's stopping us from finding it

Here lies magic within us
Courage and Hope, Time and Silence,
And beautiful, serene Life
Come and sit with me

Monday, April 23, 2018

Pahit Manis Cinta



"And when we try to push each other away
When we got disillusioned with life and ourselves
When everything feels useless and meaningless
Let's open this book, dear husband"

"Dan saat kita mencoba menjauhi satu sama lain
Saat kita tak lagi merasa hidup dan diri kita indah
Saat semua terasa hampa dan tak berguna
Mari buka buku ini, suami tercinta"

Lelaki itu menatap istrinya, "Aku tidak tahu kamu menulis ini." Sang istri tersenyum pahit, "Itu selalu ada di buku elektronik yang kubuat untuk ulang tahun pertama perkawinan kita, dua tahun yang lalu. Baru sekarang aku cetak." "Oh," kata si lelaki. Seminggu kemudian ia terbang ke Indonesia untuk bertemu kekasihnya.

Bagaimana rasanya? Pahit. Dan ironis. Harga cetak buku itu hanya seharga makan bersama di restoran. Hanya seharga 3 bra diskonan dari Victoria's Secret. Hanya seharga 1 lusin cupcake terkenal disini. Dan jelas lebih murah dari perceraian, apalagi tiket ke Indonesia. Tapi kan kita nggak bisa memaksa orang. 

Reaksi saya tiap kali melihat buku itu adalah: "Coba saya cetak buku ini lebih cepat…" Karena nggak ada harga untuk kebahagiaan, bukan? Siapa tahu kalau saya cetak lebih cepat, kalau itu buku ada dirumah, saya dan dia ingat akan kebahagiaan kita bersama dan nggak terlalu stress akan kehidupan.

Tapi… Buku itu selalu ada kok, walau versi elektronik. Selalu ada bunga untuknya di hari istimewa. Selalu ada hadiah kecil dari saya di saat spesial. Selalu ada tangan yang siap membelai dan memeluk. Selalu ada foto di fesbuk dan tulisan di blog saya. Kurang apa lagi?

Setiap ada yang cerita ke saya tentang kandasnya hubungan mereka, pertanyaannya selalu: Apa yang sudah mereka lakukan untuk mengusahakannya? Dan apakah masih pantas untuk diusahakan? Pertanyaan yang sama yang ada di buku "Dear, Mantan Tersayang."

Untuk saya, jawabannya sudah jelas. Pahit sepahit-pahitnya saat tahu bahwa segala usaha kita nggak ada artinya, karena kita dan mereka memang sudah tidak sepaham lagi. Pahit untuk memilih pergi karena tahu tidak ada lagi yang bisa diusahakan. Tapi saya harus pergi.

Dua tahun kemudian, saya berada di sebuah pesta di atap gedung di Hollywood. Saya dan teman dansa saya berdansa saat mengantri makanan kami, lalu berdansa lagi setelahnya, terus sepanjang malam. Saya merasa bagai putri semalam, dimanja dan dibuat tertawa.

Apakah keputusan saya untuk pergi sudah tepat? Bagi saya, iya. Malam kemarin hanyalah salah satu saat dimana saya merasa saya sangat bahagia dengan hidup saya. Ada kepuasan dan kekuatan tersendiri untuk tahu bahwa saya telah berusaha semaksimal mungkin, walau akhirnya kandas.

Kita nggak bisa bergantung pada orang lain, berharap orang lain akan membuat kita bahagia. Yang bisa kita lakukan adalah membahagiakan orang lain, membuat orang tersebut merasa dicintai, merasa disayangi; walau belum tentu perasaan itu sampai pada mereka.

Nggak kenapa lho kalau nggak sampai. Pahit memang, menyebalkan, bikin frustasi. Tapi kita, sekali lagi, kita nggak bisa memaksa orang. Itu seperti memaksakan sepatu kaca Cinderella di kaki saudara tirinya. Bagi orang yang tepat, nggak dipaksain juga pasti muat.

Sampai saat ini saya masih dihantui dengan "Coba kalau…" walau sudah jauh berkurang frekuensi/ keseringannya. Saat itu terjadi saya akan terus mengingat: "Coba kalau saya tidak pergi, saya tidak akan sebahagia ini sekarang. Walau dulu saat pergi air mata tumpah, sekarang gelak tawa yang pecah.

Kata orang move on itu merelakan. Move on itu melupakan. Tapi jangan lupa, move on juga berarti menikmati hidup kita yang sekarang. Dunia akan terus berputar walau tanpa kekasih hati. Angkat dagumu dan tersenyumlah, pembaca tersayang. Hidup itu indah lho.

Friday, April 20, 2018

The Change We Need



I suppressed a smile when I watched my date struggled to eat the Indian meal with a spoon. I found it incredibly endearing. And because I am an ass, it is exceptionally liberating, as I had my share of weird look when I struggled with fork and knife. 

World is a lot more diverse and way, way bigger than we can ever perceive. Even in Los Angeles where it is supposed to be a melting pot, you can still be surprised on what people do or think, of different cultures and tradition.

But changes do not come easy. Nor acceptance. As a species, change is bad because it can eradicate our way of living. In any change, there's always a question: "Can we adapt to it?" "Can we handle it?" "Should we just eliminate it?"

Having my feet firmly planted in two vastly different countries (Indonesia and USA), with friends from various race, religions, and social status allow me to see that resistance and fear for change can be found everywhere.

I saw the "no homo" in more rural place of US, and "yes homo" in places that are more diverse like Los Angeles. I saw the "Death to Infidels" in a more rural place of Indonesia, and glorified western culture in cities like Jakarta. Each side vehemently defends their life choices and attack those who disagree.

Is it wrong? Is it right? What if it is not about right or wrong? What if it's just about not getting used to things and fear of changes? What if, compassion and willingness to see from other people's perspective is the way to go?

But it's hard. Especially if you are surrounded by people who think like that. For the first few years, I lived in the USA, I was made to believe that black people are psychos, Hispanics can't be trusted, and burger flippers are bad. Free from that toxic influence, my life is so much better.

And if you put violence into the equation, it gets progressively harder. Why should we calm down and look at their perspective when they [read: people with opposing view] viciously attack us and disregard our perspective?

It then creates this endless cycle of "Well, they should go first", the refusal to back down or listen to what others have to say before the others back down and listen to us first. A giant messed-up catch-22, so to speak. Change is an impossibility.

Just like everything else, it can only start with ourselves. Each of us can learn to agree to disagree internally. Each of us can learn to see things objectively, and always ask: "How does the other person feel about this?"

Prejudice can only take us so far, we've established this. How we think and feel is not necessarily how others think and feel. In this divisive world, compassion and empathy is the answer: the cure and the shield from insanity, the agent of change.

I know it sounds so dreamy, so full of moral BS. There are bad guys out there, bad guys that will not be stopped by kind beautiful words. We need to stand up for ourselves, don't we? Yes. Yes, we do. But not with hatred and fear in our heart.

Given enough time and practice, my date will master the use of spoon and fork together. The next time he had to do it again, it won't feel as weird as the first time. This is what change is all about: the subtle transition into something new, the acceptance for what is previously unknown, the willingness to do what is unheard of.

It's an oversimplified analogy for such complex problems, but it is a start. We are more similar to one another than what we previously think, down to reaction and response to change regardless of where we stand. It's time that we unite.

Tuesday, April 17, 2018

The Sun Is Gonna Shine Again



Fuck me I'm depressed.

No, no, no. Not asking you to really fuck me. Unless you are cute. Then hey boy, what's your number? Wait, no. That's not what I meant. I guess this is one of those times where punctuation matters.

One more time then. Fuck me. I'm depressed. Now, that's better.

I realized it as I wait on the bus stop, trying to tell myself to go home and sleep. And when I keep arguing I don't want to take the 30 min uphill walk to the office. And when not even chocolate can cheer me up.

The lazy bitch, so fat but she doesn't want to work it. The heinous slouch that won't do her work right. The disgusting drama queen that was all me, me, me. To say I hate myself right now is an understatement.

Maybe it's my period, the hormone raging inside me. Maybe it's my own disenchantment with life and human race. Maybe it's my frustration with people around me, all seemed full of lies and agendas.

Does the why actually matters, though? The fact is, I have no energy to do my things. I wasn't making it up when I said I don't want to, I actually felt like I physically can't. I do need that sleep. I do need to heal.

Inside my head the war commenced, masked with heavy fog of confusion. One part keep telling myself I am useless, which is the side that is winning; and the other keep saying "You did great!" Yeah. They're losing fast.

I want to curl up in my bed, no, under a bed. Because under the blanket is not a good enough protection for me, because the bad voices in my head will come and take me away and oh God please hide me.

But here I am, smiling as if nothing happened, laughing gaily as usual. Nobody cares. And I don't want them to care. It is too ugly to be seen. Go. Go away. Leave me alone. Don't come near. You're just gonna hurt me more.

Every excuse I came up to justify my condition was eliminated as quickly as it come. Others have been hurt too. It's my own fault that I got hurt. I am being a wuss. And why won't people hate me for that? I hate myself for that.

Can I just turn off the light and sat in the darkness right now? I don't even want to drink alcohol to drown my sorrow. It'll be back when I sobered up, anyway. I just want the world to leave me alone, forget about me.

"Stop it. You are being a wuss." I can hear my best friend saying it, even though he wasn't around. I know he'd care. I know he'd be worried. And I know he trust me enough to know I can get up by myself.

Having a friend, nay, knowing you are loved and accepted for who you are really makes a difference. It's like having a Patronus or good luck charm that will keep away the evil away. 

They're out there, you know. We just need to be ready to open ourselves and find them. Which is the scariest part, because trusting somebody is like handing over a part of our body to them. "Here, Gary, keep my spleen in which I will die if you crush it!"

Fuck. Maybe being depressed is better? Sadness is definite, anyway. You will be sad. You will feel helpless. You will feel meaningless and an absolute utter failure in which you will then hate everything.

God. What a way to live, though. I don't think anyone deserve to live like that. What an existence to live in negative emotion and feeling powerless against everything. I don't want that, not at all.

"Then don't," my best friend responded in my mind. Ughh…. I know! So hard, though! So very hard. I just want to give in. Fuck this life. Fuck this cold weather. Fuck these shitty humans. Let me be!

"Kay. Call me up when you're done," how he would reply to my tantrum. Fuck him too. Well, I can't. It'll be awkward and the gf will come after me. But he's right. I will be done soon. The sun is gonna shine again. I will be alright. I know I will. And so will you.

Monday, April 16, 2018

Fesbuk Nggak Tutup



Fesbuk nggak akan ditutup. Sekali lagi, Fesbuk nggak akan ditutup.

Jadi yang sudah galau dan panik, plus sudah merana syalala berpikir fesbuk akan ditutup, yuk mari baca penjelasan saya. Intinya sih 3 hal: besarnya fesbuk, pengetahuan penggunaan fesbuk, dan pemikiran kritis.

1. Besarnya Fesbuk
Fesbuk itu besar banget. BANGET. Kalau kita bandingkan jumlah akun fesbuk dengan total penduduk dunia, maka kasarnya 1 atau lebih dari 4 orang (28%) memiliki akun fesbuk. Memang banyak akun fesbuk yang palsu atau orang memiliki lebih dari satu akun fesbuk, tapi tetap jumlah yang sangat signifikan. 

Ini nggak terhitung China dengan populasi sekitar 18% penduduk dunia, yang memang tidak memiliki akses ke fesbuk. Atau orang tua dan anak-anak. Atau yang nggak punya akses internet, karena hanya sekitar 51% penduduk dunia memiliki akses internet.

Oh ya, dan Facebook itu pemilik aplikasi Instagram dan Whatsapp. Siapa sih yang nggak tahu Instagram? Dan berdasarkan data 2017, Whatsapp dianggap sumber informasi utama di beberapa negara. Yang kayak begini mau ditutup?

2. Cara Fesbuk dapat uang
Dari iklan. Mereka pasang iklan tapi iklannya yang cantik, yang nggak kelihatan kalau itu iklan. Jangan kira hanya brand ternama yang pasang iklan, blogger kere macam saya pun bisa. Saya bayar berdasarkan berapa banyak yang nge-klik.

Harga otomatis naik kalau saya terus bayar untuk mem-boost artikel/laman fesbuk saya. Dari yang $5 bisa dapat 1000 klik, mungkin berikutnya $5 hanya dapat 700 klik. Angka ini hanya contoh ya, bukan beneran. Dan ini hanya salah satu contoh darimana mereka dapat uang.

Apakah bermanfaat? Iya banget. Fesbuk itu terkenal perusahaan tajir mampus. Jadi segala "Fesbuk sudah nggak sanggup lagi beroperasi" itu bohong banget. Tahun lalu saya ditawari kerja di Whatsapp. Bo'…. Sumpah bikin ngiler. Sayang banget saya nggak tembus.

Jangan lupa, kalau kita lihat lagi betapa banyak orang di seluruh dunia menggunakan fesbuk, termasuk brand/merek ternama untuk menjangkau peminatnya, kalau fesbuk ditutup pasti semua kalang kabut. Terlalu banyak kepentingan disini.

3. Budaya berpikir kritis
Kalau fesbuk sampai ditutup, pasti akan keluar di berita dimana-mana. Berita yang bener yaaa… yang pemilik dan redaksinya bisa dipertanggungjawabkan, bukan cuma sharing dari watsap atau bahkan (ironisnya) dari status atau pesan berantai di fesbuk.

Nggak ada di berita Indonesia? Cari di berita luar negeri seperti Yahoo, CNN, Time dan sebagainya. Sekalian belajar Bahasa Inggris. Kalau kepepet banget, coba tanya sama orang yang terpercaya, yang rajin baca berita. Atau ke laman fesbuk model Indonesian Hoaxes.

Kadang nggak perlu cari sumbernya saja harusnya sudah berasa. Berapa kali sih pesan fesbuk ditutup itu muncul? Kayanya tiap berapa bulan sekali ada saja versi barunya. Atau yang video Mark bilang fesbuk ditutup, itu editan mulutnya si Mark jelek banget, ketahuan bohongnya.

---

Di masa sekarang ini yang informasi bebas didapat, sedihnya kita justru harus selalu mempertanyakan informasi yang kita dapat: "Apa benar?". Terlalu banyak orang dengan agenda tersendiri di luar sana, baik yang hanya iseng atau memang ada niat memanipulasi.

Selalu bayangkan informasi seperti kue. Anda kalau ditawari kue dari orang nggak dikenal atau nggak tahu asalnya/siapa yang bikin, pasti enggan kan? Atau kalau dari teman tapi beberapa kali kue yang ditawarkan selalu basi atau bikin kita sakit.

Terlalu mudah untuk tidak bertanggung jawab. "Toh cuma sekedar sharing", "Yang penting pada waspada," dan sibuk ngeshare plus sibuk panik sendiri. Walhasil kita cuma jadi mainan orang yang berkepentingan. Males kan?

Kata orang information is power, informasi adalah sumber kekuatan. Anda dan saya yang pengguna internet memiliki akses informasi yang luar biasa. Yuk kita gunakan sebaiknya. Sudah cukup kita seperti domba yang digiring kanan kiri. Salam hari Senin dari Los Angeles.

Monday, April 9, 2018

Panjat Pinang Senegara



Ini berita tahun 2015, dimana seorang remaja Muslim keturunan Afrika lolos seleksi masuk 8 universitas paling bergengsi di Amerika. 8 lho para pembaca. Plus segala penghargaan lainnya.

Minoritas ganda dari kalangan yang terkenal kurang mampu, dan tetap bisa bersinar. Pertanyaan saya di tahun 2015 dan 3 tahun kemudian sayangnya tetap sama: Indonesia apa kabarnya?

Masalahnya adalah kita tega dengan bangsa sendiri. Kita nggak membiarkan sesama kita berkembang. Dan yang lebih parah, kita pamrih. Kita mau baik kalau ada maunya, kalau berfaedah bagi kita.

Kita yang meremehkan orang nggak punya. Kita yang menggunjingkan para janda. Kita yang berbisik soal anak korban perceraian. Kita yang menganggap hal yang dilakukan orang kita 'biasa'.

Tentunya sebelum diakui orang luar. Kalau sudah diakui orang luar atau yang kita anggap keren, lain cerita. Langsung deh "Oh mai gottt, gue bangetttt!". Tapi waktu belum tenar, "Ngapain gue peduli??"

Sedih. Karena saat berhadapan dengan orang tenar/status sosial dianggap tinggi banyak dari kita yang "Silakan Pak/Bu, mau saya jadi keset juga nggak apa-apa", biar dianggap best pren. Bohong kalo nggak pernah lihat begini.

Atau fenomena bule beken di Indonesia. Sacha Stevenson yang lumayan solid saja, kalau orang Indonesia asli yang bikin parodi begitu pasti (lebih) habis dihujat dan dikejar-kejar. Bagus nggak dibui.

Bule ojek online, contoh lain. Dia bercerita bahwa pelanggannya dengan bangga bilang anaknya mau jadi supir ojol saat besar nanti biar seperti dia. Sama supir ojol lokal ada juga kita yang buang muka.

Atau yang tenar karena berbahasa lokal (Jawa/Bali/Indonesia/etc). Serius loe? Coba deh dengar videonya tanpa melihat wajah si bule, apa iya kita yang orang lokal nggak meringis?

Dan kenapa saat yang lokal berbahasa Inggris yang berantakan malah kita hina dina? Sama-sama baru belajar, kan? Atau yang bernyanyi dengan suara ngepas kita bully? Sementara kalau itu bule yuk mari?

Saat kriteria kita masih berdasarkan status sosial dan ketenaran orang, masih berdasarkan "kata orang..." atau siapa koneksinya, selama itu juga kita nggak maju karena nggak akan ada kesempatan untuk orang 'biasa'.

Tidak mudah untuk melihat secara objektif, untuk menerima atau bahkan mengagumi seseorang dari apa pencapaian pribadinya, dan bukan dari apa yang ia miliki dari awal. Tapi kita harus belajar.

Mau ganti presiden berapa kali pun, kita nggak akan maju bila kita masih begini, bila kita masih menepikan orang-orang yang butuh dukungan kita untuk maju namun kita tepis karena kurang keren.

Tiap manusia ada lebihnya dan ada kurangnya. Miskin, status sosial kurang, keluarga berantakan, itu bukan kekurangan. Sebaliknya, kaya, kewarganegaraan, keluarga terpandang, itu bukan kelebihan.

Untuk kamu yang berusaha menorehkan jejak di bidangmu namun terasa percuma karena bibit, bebet, bobotmu dibilang kurang jadi kamu nggak dianggap, you can do it. Kamu bisa. Teruslah berkarya.

Untuk yang lain, lihat sekitar anda dan cari orang yang butuh dukungan anda. Tanyakan pada diri anda: "Gue bisa nggak mencapai seperti yang dia capai?" Kalau jawabannya "Nggak", silakan lho dukung dia.

Hidup bernegara ibarat lomba panjat pinang. Nggak mungkin menang kalau manjat sendirian. Tapi kalau ramai-ramai dan saling mendukung, nah ini baru seru. Iya nggak sih? Salam Senin malam dari Los Angeles.

Running Shoes Fiasco



I spent two hours trying to find running shoes Saturday night, armed with only "It's gonna be around $100" suggestion from my friend. Running shoes. It should be easy, right? A piece of cake.

But then there were rows and rows of shoes in my local WSS, all which looks the same with absolutely no way for me, a complete newbie in running-shoes-hunting, to discern which ones actually work for running and which ones for style only.

I ended up eyeing the boxes and choose the ones that say "running" to try on while comparing the prices online to make sure I did not over-paid. It was frustrating. It wasn't until the next day my friend told me: "I'd just buy it from a Nike store."

Wait, I can do that? I can effing do that??? It took a while for me to let it sink in. Whoa. I can go to a Nike store and buy a goddamn pair of shoes. No, I am not being sarcastic here. It absolutely did not cross my mind that the current me can do that.

I have been fortunate enough in life to never go hungry, but $100 can easily pay up my rent back in University for 2 months. When I left Indonesia, I made about $300 per month. Yes. PER MONTH. $100 Nike is out of the question.

And say I want to be brazen and get it, I still have to endure the storekeepers' gaze of "wtf is this bum doing in our prestigious store?". Yeah, I'll pass. And even if I get one, it's definitely not for daily use. Which again, what's the point?

This is what culture shock looks like. Just like a child, many things I do in the US I learned it from observing the people that took me along or reading it online. Many, like shoe shopping or bicycle hunting, I am completely lost.

Making doctor's appointment. Dealing with the insurance system. Trying to enroll in college. Surprisingly, getting my social security number and green card is easier than all the above. Anything with clear instruction is ok; anything using local common sense, not so much.

"This is not how it was in my country," is probably the woes of many first-generation immigrants, either in shock or in frustration, and on a better note, often in amazement too. I, for instance, am still trying to understand the love for running and outdoor activities. 

Or tipping. I am still at lost for it. Or social graces. Even though there are many times I screamed internally "Didn't your mum or society teach you any manners you dim-witted peasants??" Oh yes, I do have a haughty off-with-their-head princess side. Was born into the hierarchy, what can I say.

My point is, don't scold off a newcomer. First generation immigrants, people who just moved from a different part of the country, anyone who is new on the block. Be helpful instead of "How come you don't know this??"

Don't immediately get offended by things that we might do wrong, or for things we seemed to fumble with. Don't brand us as 'hopeless' or 'stupid' just because we are still learning how things work here. There is ignorance, and there is "I effing don't know what I am doing here" panic sobs.

I kid you not, the one fight that finally broke the camel's back and snowballed into my divorce was over my ex-husband refusal to call up the driving school for me. "You can talk to them directly!" Uhhh, no b*tch, if I can I won't ask for your help. 

Oh and yeah, being here where your degree and previous work experience means jacksh*t doesn't help. My favorite quote was "I already own 3 different houses and cars when I was your age, what do you have?" Obviously not decades of experience born and raised in the US, and definitely no mum and dad that helped with the down payment and/or getting me my first car.

Many of us new kids on the block are resetting our lives to zero by relocating here. We have to catch up with things that the locals already know for all of their lives. Do we need a break? Not really. It'll be helpful if you can be nice and less judgemental, though.

Again, this is not just us first-generation immigrants. Anyone who is a recent transplant will need this kind of welcoming arms, or at least no mouth. Trust me, it'll help all of us, including yourself. Be kind, love, we can do this.

Thursday, April 5, 2018

Menjanda di Los Angeles



Hari ini di Indonesia sudah Jumat, tapi di Los Angeles masih Kamis malam. Saya menulis ini di bis sambil menempuh perjalanan pulang.

30 menit lebih berjalan kaki ke halte bis. 3x ganti bis. 3 jam total perjalanan. 56 km. Satu arah. Bolak balik ya semua ini dikali dua. Tiap hari, Senin sampai Jumat. Bangun jam 5.30, sampai apartemen jam 8.30.

Sebenarnya hanya sekitar 1-1.5 jam kalau naik mobil, tapi saya nggak punya mobil hahaha. Biaya punya mobil di Amrik sangat tinggi, dan karena saya tinggal di tengah kota parkirnya sulit dan mahal.

Tapi biar saya nggak punya mobil, tetap lho saya bisa beredar. Teman sampai bingung bagaimana jadwal sosial saya bisa padat dan menyeluruh padahal dengan transportasi publik+taksi online.

Jawabannya: karena saya ingin. Dunia luas gitu lho, mumpung masih bisa. Dan karena saya yakin saya bisa. Kalau saya nggak tahu, ya cari tahu. Semua pasti ada jalannya.

Hidup di Amerika itu nggak gampang. Mengurus dokumen keimigrasian, KTP, buka rekening bank, kartu kredit, mengurus asuransi, segala macam deh. Ini ditambah kendala bahasa ya.

Banyak yang harus saya pelajari sendiri, apalagi saat hubungan saya kandas. Untungnya dari sebelum pindah saya mempelajari proses birokrasi disini, sehingga saya tidak kaget atau hilang arah.

Jangan ditanya babak belurnya saya saat perceraian terjadi, baik emosional maupun finansial. Teman dekat saya tahu betapa berantakan dan buruknya saat perceraian saya.

Tapi disinilah saya, 14000 kilometer jauhnya dari rumah. Saya memutuskan kesini karena jatuh cinta dengan seorang pria. Saya memutuskan tinggal karena jatuh cinta dengan kota ini. Nggak kenapa.

Manusia ibarat bibit bunga yang beterbangan di musim ini. Beberapa dari kita akan jatuh di tanah yang subur dan kaya gizi, namun akan ada yang jatuh di tempat yang gersang. Tapi bukan berarti kita tidak bisa mekar.

Saya bukan orang kaya. Saya nggak cantik atau seksi. Saya bukan anak pejabat. Saya hanyalah wanita Indonesia biasa. Tapi saya bahagia. Kerasnya hidup tidak bisa merebut kebahagiaan saya.

Dan saya harap anda pun bahagia. Anda yang mungkin sedang putus asa. Anda yang mungkin merasa hidup tidak ada artinya. Anda yang mungkin muak dengan segala derita anda.

Ya. Saya harap anda akan bisa menemukan kebahagiaan anda. Saya harap anda akan mampu mengalahkan medan dan mekar dengan indahnya, walau tampak tak mungkin, walau tampak sulit.

Selangkah demi selangkah terus menapak maju, fokus pada tujuan anda. Bagai bibit bunga yang memanjangkan akarnya dan berjuang untuk merekah tanah demi melihat matahari.

Pasti bisa. Anda pasti bisa. Selamat berakhir pekan, para pembaca tersayang.

Wednesday, April 4, 2018

A Witch in LA



When I told people here about our witchy ways back home, I can see their eyes drifting uneasily and their manner changed. There will be some vague good-willed "That's nice", or an abrupt change of subject.

The incense burning and offerings, as well as chant and prayers to the ancestors, do not belong in the current world. And especially
not sacrifices or ghosts and ghouls. Magic is not real. It is spooky.

Yet growing up among ancient traditions and beliefs allow me to see magic in every way. I can't see spirits or things like that, nor can I 'feel' the energy or envision the chakras and auras.

It's the laughter of the Uber driver as we shared silly drunk stories of Uber passengers throughout the drive home, making my
disastrous 4-hour commute suddenly feel a lot nicer.

It's the sight of wild flowers growing, bringing up memories of the old storybook about flower parades during springtime. It's also the sign of life, the touch of nature herself.

It's me crying over Moana's climax scene, touched by the very women-empowerment storyline and the hard, hard effort on making
thebeautiful movie a reality.

It's sensing hard effort, feeling, emotion of everything around you, wrapped in them like a storm of cherry blossom petals. Everything is so real, yet so surreal.

Everything around me is magical. Me, the living, breathing me; this complex mechanism of a human body that my soul ride in is magical. Every breath I inhale and exhale, every beat of my heart and every twitch of the muscle is magical.

The magic is in us. It's the ability to breathe life in other people, as well as to take it, just by our action and thoughts. The smile that lifts, the words that strike, we are capable of both and so much more.

Life is tough, and dull, and boring, and painful. It's the color of grey upon grey, all the way till the black shroud of death comes. But is it really? Is it not bright colored, in every imaginable way possible?

Feel the things around you. Use all your five senses and let your heart tell you more. The world, and life, is magical. Be magical, too.

Monday, April 2, 2018

Tidak Selebar Layar Henpon



Saya dulu kerja jadi sales wedding photography di Bali. Ingat banget pernah dapat klien dari Huntington Beach, California. Iseng nge-google dan tempat itu terlihat indah banget. Laut biru, cowok ganteng surfing, semua terlihat sempurna.

Dua tahun kemudian saya tiba di Amerika dan ternyata tinggal di Huntington Beach dong. Nyampenya tengah malam, jadi nggak bisa lihat apa-apa. Paginya saya dengan semangat menuju pantai dan ternyata tertutup kabut.

Serius lho, itu sudah jam 8an dan masih tertutup kabut. Mana pernah pula kita orang tropis lihat kabut di pantai. Jadilah saya sibuk meratap: "Ini apaan siiiih???" Bahkan setelah matahari bersinar pun tetap lho suhunya dingin.

Weekend kemarin saya main kepantai, dan teringat saat pertama itu. Venice Beach, Santa Monica Beach, dan Sunset Beach yang saya datangi semua dingin. Jangan harap bisa berenang, seperti masuk ke air dari kulkas.

Tapi saya yang dulu nggak tahu. Kalau saya nggak kesini mengalami sendiri mungkin saya nggak akan tahu. Kalau anda nggak rajin banget baca tulisan saya (#terimakasih) anda mungkin nggak tahu dan terus berpikir lagu Katy Perry soal California Girls itu benar. Padahal nggak.

Kata orang jangan sampai kurang piknik, kata orang banyak travelling agar tambah wawasan. Tapi piknik dan travelling itu kan nggak harus secara fisik. Bisa kok jalan-jalan secara online agar tahu lebih banyak hal. Dunia bisa lho cuma selebar layar henpon.

Tapi seperti travelling dan piknik secara fisik, via henpon pun terbatasi oleh apa yang kita pilih untuk nikmati. Kalau yang kita rajin baca tentang gossip artis, ya gossip artis terus yang keluar di pilihan berita atau linimasa kita.

Terkadang ini bukan pilihan kita pribadi, terkadang ini algoritma/komputasi komputer berdasarkan berita yang pernah kita baca. Semua social media dan situs berita mengandalkan ini, karena kalau anda cocok dengan kontennya anda akan terus memakai akun/situs tersebut.

Makanya bagi yang membaca tentang Indonesia bubar, terus mendapat berita baru tentang Indonesia bubar. Sebaliknya yang membaca tentang Indonesia maju, terus mendapat tentang Indonesia maju. Kita ya apa yang kita pilih.

Nggak hanya situs berita/social media, siapa kita juga ditentukan oleh siapa teman kita. Gencaran broadcast via Whatsapp dan Line, misalnya. Jadilah yang negatif makin negatif, dan yang positif nggak bisa melihat kenyataan.

Padahal ternyata salju di Gaza itu fenomena biasa. Ternyata pantai di barat Amerika (Los Angeles dan sekitarnya) terlalu dingin untuk direnangi. Ternyata banyak juga California Girls yang nggak ala supermodel.

Satu-satunya cara agar travelling dan piknik itu bermanfaat adalah dengan mencoba sesuatu yang nggak umum. "Off the beaten path" kalau istilah sini. Diperlukan keberanian dan kelapangan hati untuk menemukan dan mengakui sesuatu yang berbeda.

Kelapangan hati? Oh iya. Nggak akan ada yang berubah dari cara pikir anda bila anda tidak mau merubahnya. Bila anda percaya seseorang jelek dan tidak baik, misalnya, anda akan terus berpikir seperti itu walau seribu bukti menyatakan sebaliknya.

Hasil akhir? "Gila, gue baru tahu lho!" Dan anda pun mendapat pengetahuan baru, anda lebih bijak daripada waktu anda memulai petualangan tersebut. Padahal anda hanya memilih main ke warteg dibelakang hotel, misalnya, dan bukan duduk aman dan nyaman di restoran hotel.

Di dunia maya pun seperti itu. Diperlukan keberanian, keingintahuan, dan kelapangan untuk tahu lebih banyak tentang dunia kita. Kalau tidak, anda akan terus berpikir unta memiliki satu punuk, padahal ada jenis unta yang punya dua punuk. 

Melangkah dari jalur yang sudah ada, dari rasa aman itu sangat menakutkan. Ngapain sih? Toh kita sudah nyaman disini. Tapi keingintahuan itulah yang membawa manusia ke dunia sekarang ini, dengan berbagai inovasi manusia.

Jadi jangan takut ya untuk ingin tahu, jangan takut untuk ingin melihat lebih banyak, jangan takut menantang diri untuk melihat dari sudut yang berbeda. Karena dunia tidak hanya selebar layar handphone, dan jelas tidak hanya sebesar grup Whatsapp alumni SMA.

Search This Blog