AdSense Page Ads

Sunday, December 31, 2017

Ayunan Di Puncak Bukit

Saya nggak suka hiking. Tahu diri banget akan kemampuan fisik yang payah, yang bakalan pas-pasan saat disuruh menjelajah alam terbuka. Saya juga nggak suka sendiri, apalagi di alam terbuka. Panikan kalau nggak ngeliat orang.

Tapi di hari setelah Natal saya malah pergi sendiri. Namanya Secret Swing. Jalannya sih aspal tapi masih pake acara mendaki bukit kecil berdebu sekitar 10 menit. Terjal pula, jadilah saya harus merangkak separuh jalan.

Saya bisa saja nggak pergi. Saya bisa saja menunggu orang yang mau saya ajak hiking bareng. Di kaki bukit mungil itu logika saya berontak. Bagaimana kalau ada macan gunung, ular berbisa, atau bahkan penjahat?

Tapi saya ingin pergi. Saya ingin bisa berkata "I did it. Gue berhasil." Jadilah saya menapak perlahan, berusaha nggak memikirkan apa yang terjadi kalau saya tergelincir. Satu kaki, lalu kaki lainnya, fokus selalu pada jalan dibawah kaki saya dan dimana saya akan menapak berikutnya.

Lalu saya sampai di Secret Swing ini. Hanya ada saya disana, gedung pencakar langit di downtown LA di kejauhan, dan kota serta pangkalan kereta yang membentang dibawah. Saya memberanikan diri naik ayunan yang terlihat rapuh itu. Satu foto saja untuk Instagram, batin saya.

Satu jam kemudian, saya masih berayun pelan, menikmati kesendirian saya. Udara dingin yang mencubit kulit saya menggoda saya untuk pergi, tapi kesenyapan itu begitu indah, begitu damai. Saya nggak ingin bersama orang lain saat itu. Saya hanya ingin bersama saya.

Cerita hiking saya adalah analogi perjalanan hidup saya, dan perjalanan hidup orang-orang lain yang mengalami kepedihan.
• Jangan pikirkan seberapa berat tantangannya, namun terus maju selangkah demi selangkah dan fokus pada langkah tersebut.
• Lakukan sesuatu yang membuat anda harus konsentrasi dan tak sempat lagi larut dalam duka, sesuatu yang membuat anda mampu merasa bangga dengan diri anda.
• Jangan menunggu orang lain. Seberapa banyak pun teman yang anda miliki, perjalanan hidup anda anda sendiri yang harus menjalani.
• Sendiri itu bukan akhir dunia. Sebaliknya, bila kita mampu merasa nyaman dengan diri kita, sendiri itu bisa asyik.
• Terkadang kita harus merangkak, berlumur debu, dan tergores atau bahkan terluka untuk meraih legitimasi diri. Nggak apa-apa. Maju terus.

Bukan berarti menafikan orang lain ya. Saya bisa seperti saya sekarang ini karena dukungan dari pembaca sekalian. Kalau bukan karena saya ingin menginspirasi pembaca saya, nggak repot-repot saya bertualang dan upload foto di Instagram. Kalian memberikan saya alasan untuk jadi lebih baik, dan saya amat bersyukur.

Tapi nggak banyak foto saya yang menangis dalam kepedihan. Nggak banyak cerita saya yang masih bertanya dengan pedih, "Kurang apa sih gue sampai dia pergi?". Nggak banyak curhat keparnoan saya yang menolak percaya lelaki lagi, atau punya pacar lagi. Dan semua ini harus saya jalani sendiri. Nggak ada yang bisa membantu saya menutup masa lalu saya.

Satu kaki menapak, lalu kaki lain. Tangan yang penuh debu dan duri tajam dari semak kering. Legging yang berlumuran debu coklat terang. Berusaha fokus pada pencapaian dan bukan apa yang terjadi bila saya gagal. Sedikit lagi, batin saya saat itu. Saya bisa. Saya pasti bisa. Saya harus bisa.

Di ayunan yang berayun perlahan di puncak bukit saya melihat kesempatan. Jalan tol yang terhampar panjang, gedung-gedung tinggi yang menatap angkuh. Kemana lagi langkah saya akan membawa saya? Yang saya tahu saya siap menjalaninya. Hidup saya masih panjang, dan begitu indah. Tuhan itu baik sekali lho.

Tambahan: Hampir 1.5 tahun saya dan pasangan berpisah, namun perjalanan 'move on' saya masih panjang. It's ok. Nggak apa-apa. Ini wajar. Bila anda masih atau baru memulai perjalanan ini, atau ingin menguatkan dan mengembangkan diri, cari buku saya "Dear Mantan Tersayang" di toko buku. Perjalanan ini penuh tantangan dan perlu waktu, namun walau anda harus mrnjalaninya sendiri, akan lebih ringan saat tahu anda tidak sendiri.

Terimakasih para pembaca sekalian. Semoga tahun 2018 anda menemukan kebahagiaan dan kekuatan anda. Salam penuh cinta dari Los Angeles.

Friday, December 29, 2017

The Unsent Text

The texts were written and then erased, never sent to the recipients. They were written in various platforms: text messages, WhatsApp, Facebook Messengers, Snapchats. The way they were written varies depend on who the recipients are, but the intent was similar:

"Please save me. I don't want to be alone today. Please help me."

When memories hit and the sense of loss became profound, there wasn't much I can do but to frantically ran away from it, before it overcame me and leaving me drowned in my own tears, kicking and grasping uselessly for air. And it always catches up with me.

This is the time where I became reckless. Where I would do impulsive shopping or eating my pain away. Where I would have copious amount of Bloody Marys or find myself flirting with a guy I don't really care about. Anything, anything to keep the sharp edge away. To keep me numb enough to not feel the pain.

But the running and the hiding won't do me any good. It wont make the ghosts dissappear. The pain will keep coming back. The 'what if's, the 'did I f*ck up?', the 'I used to be so happy' wont stop pestering my mind. Not always, but when these ghosts visit me, it leave me crumpled on the floor.

I know what happen can't be prevented. I know I'm holding on only to happy memories, and if I stay it probably wont be as pretty. I know that I did very, very well in taking care of myself and my sanity, and to turn my grief into energy to power my growth. I love who I am right now, more than ever.

But logic doesn't work well with emotion. Here I am crying on the train as I write this, because I feel so lost and so lonely, because the pain cuts me like a thousand blades. Somebody please save me. Somebody please take the pain away. Somebody please dull the sharp edges. Somebody please comfort me, tell me I am not a f*ck up and it is ok to be sad.

In my madness a text was sent. I regret that instantly. No person can save me from the ghosts of my past. No person can rescue me from my own grief and loss. Not even if I have all the love in the world could I escape from this pain. Only I can save myself. Only I can put my past to rest.

Forgiveness, acceptance, and all that jazz. Been doing that for what like seems forever, and I still have to do some more. When will it stop, I do not know. Will I eventually grew tired and 'meh' about the pain that it stops bothering me? Will I woke up one day and finding out I have stop caring about it? Will this ever, ever end?

In my solitary I found power inside me, the power and strength to face the ghosts of my past, the power and strength no one else have or can give to me. I need to stop running and hiding. I need to face and conquer my ghosts. And I have to do this alone.

I imagine myself unsheathing my sword as I stood firm against the treacherous mass of darkness. I will slay it again this time. It will come back. I will slay it again. On and on the cycle will continue, but I will not back down. I will slay it as many time as I need to. It can kiss my pretty ass once I am done with it.

Wednesday, December 27, 2017

Si Dayu di Los Angeles

Kalau hidup saya cerita dongeng, saya adalah putri yang gagal. Sudah, cerita dongengnya berakhir disitu. Dan cerita superheronya pun dimulai. #lho

Saya selalu meringis saat melihat kebelakang. Nasibmu nak: sudah jelek, gendut, nggak rapi, dan selalu nggak 'masuk' didalam lingkungan. Bukan cuma karena besar di luar Bali, tapi karena dasarnya memang aneh, queer.

Jadilah si Dayu bodoh ini mempertanyakan segala sesuatu, termasuk peranan yang bisa dia lakukan dalam masyarakat sebagaimana diharapkan dari namanya yang konon darah pendeta. Dan dia nggak suka jawabannya.

Gini ya, nggak mungkin peranan wanita cuma pemanis acara, sibuk mengurus banten dan konsumsi. Kalaupun bisa mandiri, tanpa suami masih dianggap nggak komplit dan kemudahan 'bergerak' di masyarakat terbatasi. Ini dunia pria, mbak bodoh.

Namun dia juga nggak sudi sekedar cari suami. Bisa kan jatuh cinta karena kepribadian dan otaknya, nggak selalu fisik, pikirnya naif. Sayangnya dia ga seberuntung itu.

Logika sih, di struktur sosial dimana si lelaki diperbolehkan mengambil istri siapa saja (atau paling nggak dimafhumi untuk punya simpanan lain) sementara si perempuan harus dari grup itu, pilihan perempuan nggak banyak. Syukur kalau terpilih.

Kalau kebetulan terlahir sempurna, hidup lebih mudah. Kawin kalau bisa dengan yang lebih 'wah' baru bisa lebih 'dimaafkan'. Turun kasta atau kawin beda suku bangsa lebih bisa diterima kalau pasangan tajir melintir. Nyebelin kan.

Si Dayu tahu harapannya nyaris nol disitu. Ogah banget mengemis cinta, apalagi dia sadar nilai dirinya yang (uhuk) lumayan. Tapi disisi lain ia ingin melayani umat, ingin berguna di masyarakat.

Apakah bersuami itu sebuah syarat mutlak untuk tidak menjadi Dayu gagal? Tidak bisakah ia melayani tanpa harus ditatap aneh, "kasihan ya dia nggak kawin", atau tak bisa lagi melayani karena keluar kasta?

Dan karena dia nekat, akhirnya dia ke Amerika dan menikah disana. Terlanjur basah, mandi sekalian. Toh sudah anak buangan dan gagal, sekalianlah cari kebahagiaan. 4 tahun kemudian Dayu ini jadi penulis dan 'melayani' lewat tulisannya. Oh, dan dia bahagia banget dengan hidupnya.

Si Dayu ini hoki, pas banget bisa kabur dari situasi yang ia rasa tidak menguntungkannya, dan kaburnya pun dapat hidup yang jauh lebih baik. Dia juga hoki punya keluarga yang mengerti dan mau mendukung apa yang sebenarnya ia butuhkan. Ceritanya bakalan beda kalau nggak.

Dan ini sih yang penting. Nasib baik si Dayu dengan hidupnya mungkin susah terduplikasi, tapi banyak Dayu-Dayu yang lain yang bisa tertolong dan terjamin dengan dukungan keluarga serta lingkungan yang memadai.

Bagaikan bunga, tiap wanita adalah bunga yang berbeda dan memiliki keindahannya sendiri. Jangan paksakan: kalau bukan bunga yang tampilannya begini dan warna serta ukurannya begini maka nggak masuk hitungan. Wanita bukan sekedar fisik belaka.

Punya standar pun oke asal tahu diri. Jangan maunya istri yang fisik dan kualifikasi yang mumpuni sementara fisik dan kualifikasi calon suami jeblog. Standar tinggi untuk wanita harus berlaku untuk pria juga. Nama kan dibawa keduanya.

Di dunia yang terus meluas dan batas-batas yang runtuh, terlalu naif berpikir wanita akan terus diam dalam sangkarnya. Pertukaran ide dan interaksi dengan orang lain di luar grupnya akan membuka mata, menerbitkan keingintahuan, menimbulkan hasrat untuk melebarkan sayap dan terbang meraih impian.

Pria tidak lagi cukup hanya memberi makan dan mengajak burung dalam sangkar ini bersiul sesekali. Pria harus siap menjadi pohon yang berakar kuat tempat si burung cantik ini terbang kembali, tempat dimana ia merasa aman dan dicintai.

Repot banget ya? Padahal kalau ga cocok tinggal memitra, tinggal cari selingkuhan. Memitra gigi loe. Mungkin masyarakat cuma bisa bergunjing saat (lelaki) memitra/ berselingkuh, tapi ada baiknya ingat ini: anak itu 100% pasti anak ibunya, bapaknya siapa belum tentu. #senyumbengis

Oh yeah. We have power too. Kita wanita punya kekuatan juga. Sudah saatnya para Dayu, para wanita diperhitungkan, bukan cuma sekedar pemanis ruangan dan penghangat tempat tidur. Kita bisa mekar sempurna tanpa lelaki yang harus menopang kita.

Perubahan paradigma ini perlu usaha kolektif. Semua orang harus belajar menempatkan wanita dan pria setara, di tempat yang seharusnya. Di dunia yang berubah dengan amat cepat, keluwesan beradaptasi penting untuk memastikan adat dan tradisi bisa terus berjalan dan tidak terpuruk mati. Bukankah ini yang kita perlukan?

Di puncak sebuah bukit yang menghadap kota Los Angeles, si Dayu bermain ayunan sendirian, memikirkan ide tulisan berikutnya dan bagaimana tulisan itu bisa bermanfaat. Di mata masyarakat mungkin ia Dayu yang gagal, namun ia tetap melayani sebisanya, dan ia tetap bahagia dengan hidupnya.

Tidakkah itu yang kita semua butuhkan? Kebahagiaan dan kedamaian dalam hidup. Itu saja cukup.

Tuesday, December 26, 2017

Hari Raya dan Syahdu Hati

Dengan satu foto ini saya bisa sukses menyinggung sekian banyak orang.

• Yang anti-Yahudi bisa menuduh saya pro-Yahudi karena foto di depan Menorah

• Yang Yahudi bisa menuduh saya melecehkan agama Yahudi karena foto seolah saya ga ngerti Menorah itu apa

• Yang Kristen bisa menuduh saya melecehkan semangat Natal karena baju saya yang ala Santa ga jelas

• Yang Islam bisa menuduh saya memaksakan kesekularitasan saya kepada follower saya

• Yang konservatif bisa menuduh saya mengajak follower saya menjadi orang nggak bener karena pose dan baju saya

• Yang Hindu pun bisa menuduh saya memalukan nama keluarga dan kasta karena iseng ga jelas begini

Saya padahal nggak ada maksud apa-apa. Sebenarnya malah cuma ingin menggoda teman saya yang campuran Yahudi tapi nggak bisa ikut nonton konser itu hahaha.

Tapi berasa sedih dan capek hati ga sih, terus tersinggung dan terbakar amarah? Terus merasa dikejar dan harus waspada akan 'godaan setan' di dunia ini?

Godaan setan mah buat saya belanja hihihi. Perilaku konsumtif yang membawa ke lingkaran ketidakmampuan dan ketidakpercayaan diri, membuat kita terpuruk tak berdaya.

Tapi nggak ada yang ngomongin ini. Lebih riuh membicarakan bagaimana masuk surga daripada bagaimana hidup tenang di dunia. Lebih ramai pembenaran akan siapa kita daripada mencoba mengerti orang lain.

Sedihnya, si kecil dan si miskin lah yang terjebak dalam lingkaran ini. Si orang yang kurang berpendidikan dan orang yang terpencillah yang terperangkap dalam pola pikir ini. 

Horang kayah mah lain cerita. Teman-teman bos ato yang posisi lumayan bagus tetap mengucapkan selamat natal di fesbuk, atau minimal nggak posting 'dilarang mengucapkan selamat Natal'. Belum lagi para pejabat.

Ya iyalah. Kolega mereka di dalam maupun di luar negeri pasti banyak yang merayakan Natal. Cari mati banget mengiklankan menolak mengakui hari raya Natal. Sikap bermusuhan bukan sesuatu yang dianggap enteng dalam dunia bisnis/kerja.

Tapi yang kecil dan miskin? Yang lingkungannya orang-orang yang segolongan? Kibas terus api kebenciannya, entah demi apa. Mungkin para petinggi ini pun memiliki perasaan negatif yang sama, tapi mereka mampu main cantik. Tinggal yang kecil yang membara.

Jadi buat apa membenci? Buat apa marah dan merasa dikejar oleh 'hal-hal yang tak baik', disaat para petinggi tidak memberi contoh? Buat apa jadi pion belaka, sapi-sapi yang dicocok hidung, bara api yang terbakar habis?

Boleh kok berpendapat. Boleh kok merasa tak nyaman. Boleh kok memiliki preferensi dan pilihan. Tapi lihat sekeliling anda. Apakah orang yang lebih tinggi daripada anda melakukan hal yang sama, ataukah anda saja yang dipergunakan seenak hati?

Semua agama dan golongan mengalami ini, dimana para petinggi seolah bebas melakukan apa saja, namun pengikut yang kecil diadu. Pengelompokan dan solidifikasi massa itu penting untuk tahu seberapa kuat suatu grup. Dengan mempertentangkan terhadap grup lain akan terlihat seberapa kuat dan solidnya grup tersebut.

Petinggi, sekali lagi, lain cerita. Lihat para ketua dan pejabat partai berseberangan yang bisa menjadi mesra walau sebelumnya para pendukungnya dibuat tawuran. Atau pejabat dan pemuka agama yang lain dibibir lain di kelakuan. Atau petinggi agama yang duduk manis menikmati buffet di hotel sebelum demo 212 sementara pendukungnya hanya menyesap kopi gelas diluar sana.

Sudah cukup para petinggi ini menjual emosi tanpa mereka melakukan atau bertanggung jawab akan barang jualan mereka. Sudah cukup kita membeli emosi yang hanya akan membakar kita dan menguntungkan pihak lain.

Hidup ini cuma sebentar. Jangan habiskan dengan mengkritik dan membenci pilihan bunga di taman orang lain. Fokus kepada bunga-bunga di taman anda sendiri, bagaimana agar bisa berkembang indah dan kuat. Karena kedamaian adalah hadiah terindah yang bisa anda berikan pada diri anda dan orang lain disekitar anda.

Salam hari raya dari Los Angeles.

Thursday, December 21, 2017

Dear Kiddos

I spent more money than I should this year, and paying it up next year won't be pretty. Still, I did it. 5 new board games, 2 new jackets, a pair of over-the-knee boots, a pair of earrings, 2 bodycon dresses, 5 new t-shirts, and even a haircut. And I still feel lonely.

What I would give to buy the two of you gifts instead.

Cute gifts, not expensive gifts. Gifts that'll make you both 'Oooh' and 'Aaah'. Unique gifts to suit your quirky personalities. Fun gifts where both of you and me and your dad can play as a family. Gifts that will make you feel special.

---

I made boozy-filled treats for people at work. Cutest prosecco wine gummy bears that sparkle and shine, and popped with joy in your mouth. Fancy champagne cupcakes with champagne frosting that are just so chic. Savory cheese crackers that are so damn addictive.

What I would give to bake for the two of you instead.

That DIY ice cream bar on Pop-Pop kitchen counter, where you two had a blast making your own pretty little sundaes. The arguments you have between you, telling on one another. Then the cry, the tears, the pouting. Then the laughter and the giggles.

---

I went roaming the nights almost every day. Cocktails and flirts and endless dances. Romping through life with a careless abandon. Singing while navigating my way through the beautiful concrete jungle. Invincible, unbeatable, untamable. 

What I would give to stroll with the two of you instead.

A picnic in the park or on the beach then flies kite afterward. Or simply playing tag or hide and seek. Museums and off-beat path and many more. Amusement park and trampoline zone and some ice cream in between. And maybe some cricket chips, too.

---

I woke up in many different arms. Spending my free time in delicious cuddles and happy moments. Lost in conversations with numerous strangers. Be comforted and appeased whenever I pout or sad or unhappy. I was never truly alone.

What I would give to be with you two instead.

The warmth of your little bodies in my arms. The feeling of your hair brushing my chin and my cheek. The tiny fingers that hold my fingers tight. The smooth hands that cupped my face, and your voice that says: "Ibu (mommy), you are so pretty."

---

The promises of how I'll still be in your life that never came true. The soothing words "They'll never forget you" that I know is a lie. You both will forget me soon enough. I hope you do. It is better for both of you. I did not carry you in my womb, and I was not there long enough. I understand.

Still, I wish I still had you.

I wish for many things that won't or can't come true. It's ok. I made my choice to be in your life. Then I made my choice to not be in your life. This emptiness inside is what I choose for myself, and despite the chilling pain, I can, and will, live through it.

---

The world is bigger than we think, and much kinder too. All the adventures we'll have, all the excitement we'll feel, all the love that we'll have. The kisses and hugs we'll get, the loving and caring we'll experience, all that and so much more. Our life, though separate, has just begun.

Goodbye, my dearest, for the gazillion times.

I love you then. I love you now. No matter how many times I say goodbye, you never truly leave my heart. You never will. The memories with you are like a pearl hidden in the darkest abyss. It's there. It's not forgotten. Goodbye, precious, goodbye.

Tuesday, December 12, 2017

The Problem With Sex Is

Have you ever look at someone and start enacting scenes from Anne Rice's Sleeping Beauty Trilogy in your head (because homie doesn't do meekly Fifty Shades of Grey)? No? Just me? Alrighty then…

Come on. Be honest. There must be once or twice moment where you feel it. The heat rising to your cheek, the palpitating heart, the burning desire inside you. After all, we are human.

Which brings us to some interesting questions: to what degree such passion is acceptable? Is it objectifying or improper? How can we stop ourselves from desiring it or to have feeling about it?

Heck, I can't even stop myself from drooling over sexy bras or board games. Yes, Saturday night with me can be very interesting. And even though I didn't end up buying them, they still make me excited.

Is it bad? Should I not have feelings like that? Is it not enough that I lowered my gaze and not look at the temptation? Am I supposed to suppress the excitement and kill the emotions? But we're humans. We're not robots.

The problem with sex is, it is scary. In that singular moment where the spark is lit, it can be either an uncontrolled wildfire that burned down everything or the warm fire of the hearth that you come home to.

Some sex are bland, nothing more than an upgraded version of masturbation. Some are supposed to be magical and the unification of soul. The last description is usually found in many women-targeted media.

Whatever you think what or how it is, the fact of the matter is, when you are in the moment, you literally lost yourself. Everything else lost its importance. And if you have a feeling for your partner, that's even more better.

Understandably, its intoxicating effect is the reason why it is considered a no-no. This is why it gets repressed. Strictly for reproduction only, please. Apparently, humans can't deal with so much excitement.

We talked about sex in a hushed voice, and for women in some part of the world, not at all. These women lose the opportunity to know about their reproductive system, their sexual rights, and the chance to bloom in spirit.

On the other side, men mostly talked about their bravado, which at times can't be confirmed anyway. They, in turn, lose the opportunity to make their sexual encounters a meaningful one, to understand more about women and about themselves.

I looked at him once again. Something inside me still stirred. That face. That body. The unsaid promise of joy and excitement. I want him to take me higher and pushed me to the edge where I will fly. And I want to do the same for him.

Maybe I shouldn't feel this way. It is objectifying. It is improper. As an old phrase go: First you think about it, then you talked about it, then you do it. I probably should stop right now.

But what if we both consent? What if we both like each other and we enjoy such passion from one another? Will it still be wrong? Will it still be objectifying and morally improper?

This is a dangerous slope I am treading because many people can use my arguments to justify their one-sided advances as 'mutual attractions' when they're actually not. Psychos are everywhere.

I don't want these psychos to defined what I am feeling. I don't want to get the nasty look of "Gluten is bad for you" because some people have bad gluten-related experience. Is it still bad even when I don't get the adverse reaction?

My feelings are valid. In a world where (some) women are still treated like objects, where sexual assaults and oppressions still happen to the weak, my feelings may sound like an insult to those who suffer. But it is still valid. 

I have the right to feel elated. I have the right to enjoy myself. I have the right to understand more about my feeling, to choose who I want to be with, to develop the connection that I want.

The problem with sex is, it shouldn't be a problem. Just as other things in life, it should be done with proper consent and equality on both side, and obtained without inflicting harm or manipulating other people.  

I, for one, am not ashamed for wanting it; nor will I be okay to be shamed for wanting it. There's nothing and there shouldn't be anything shameful about sex as long as it's done with consent and respect on both side. 

Hey, if it fits, I sits.

Friday, December 8, 2017

Self-Love dan Transformasi Impian

Foto transformasi saya dari tahun 2013 ke 2017 itu lumayan mencengangkan lho. Sekarang sih lebih ndut paling ga 5 kg, tapi yang mukanya jauh lebih segar, lebih ceria, lebih pede. Saat kita tahu bagaimana menghargai diri kita, akan terlihat bedanya.

Saya yang di 2013 penuh keraguan. Suami ganteng (uhuk-uhuk), tinggal di Amerika, kisah cinta yang seperti di dongeng, tapi tetap nggak pede. Kebahagiaan saya saat itu tergantung kebahagiaan pasangan saya. Kalau dia nggak bahagia, berabe saya.

Konyol? Banget. Kita kan nggak bisa membuat orang lain bahagia. Kalau dirinya sendiri pundung/bete atau nggak mau hepi, bukan tugas kita untuk membuatnya, apalagi memaksanya bahagia. Bodohnya saya percaya kalau dia nggak bahagia, saya yang 'kurang'.

Ini ketidakpedean yang berakar sejak lama. Di Indonesia, diledek kumel, gendut, hitam, dan segala ejekan lainnya dianggap biasa. Diskriminasi kalau kita nggak sesuai 'standar' pun biasa, padahal siapa sih yang bisa terus tampil seperti model, apalagi yang ga bermodal?

Sekalinya kita dapat pasangan, kadang keluarga pasangan masih yang: "emang ga bisa cari yang putihan?" Padahal cuma sanggup ngemodalin motor, gimana mau terus putih. Kita negara tropis juga kali, wajar kulit gelap badan bohai.

Pas dapat bule, lagi dihina: "Ish wajar, muka pembantu. Bule kan demen muka pembantu." Yeah, tapi kalo jadi 'pembantu' yang disayang dan dihargai seperti perhiasan berlian kan lebih mending daripada jadi istri 'terhormat' tapi diperlakukan sebagai pembantu beneran.

Sayangnya, walau logika tahu dan bisa membantah diskriminasi dengan lancar, hati lain cerita. Dapat akang yang lumayan ganteng ga membantu kepedean saya. "Gimana kalau dia tahu saya nggak sebagus itu?" "Gimana kalau dia kenal yang lebih cantik?"

Akhirnya ya itu: muka penuh keraguan yang sama sekali nggak menarik. Saat kebahagiaan saya tergantung orang lain, tanpa sadar saya menjadi terpenjara. Dunia saya adalah dia. Walaupun ini terdengar romantik, namun ini sebenarnya nggak sehat.

Di buku "Dear, Mantan tersayang" saya menjelaskan tentang pentingnya self-love, mencintai diri sendiri. Saya belajar ini dengan kepahitan hahaha. Saat ketidakcocokan saya dan pasangan semakin membesar, saya dipaksa belajar untuk berinteraksi dengan diri saya sendiri.

Jangan ditanya perihnya saat itu, segala "Kenapa sih dia nggak sesayang dulu?" dan semua perasaan bersalah saat saya tahu saya bisa bahagia tanpanya. Tapi perlahan tapi pasti, bukan dia dan kenegatifan yang mendefinisikan saya, namun sikap positif saya dan tanggapan lingkungan yang positif. 

Saya nggak perlu lagi berharap dia perduli, karena ada banyak orang yang perduli. Saya nggak perlu lagi takut dia pergi, karena saya tahu saya sudah memberi yang terbaik, jadi kalau dia pergi ga ada lagi yang bisa saya lakukan. Saya tidak lagi harus hanya bahagia bila ia bahagia. 

Semua diskriminasi yang membuat saya trauma pun tak lagi melukai saya, karena saya belajar untuk nggak ambil pusing. Bawaan lahir begini, mau diapain? Saya tahu apa yang bisa saya berikan untuk pasangan saya, kalau ditolak karena mencari fisik sempurna ya sudah.

Kedengarannya egois, tapi ini masuk akal. Seperti yang saya jelaskan di buku saya, saat kita menyayangi seseorang kita pastinya ingin memberikan yang terbaik; nah kalau kita sendiri nggak merasa kita yang terbaik, berarti kita memberikan barang cacat dong?

Saat kita merasa bahagia dan nyaman dengan diri kita sendiri, saat itulah kecantikan alami kita bersinar. Kenali diri kita sendiri, berdamai dengan diri kita sendiri, sehingga apapun yang terjadi kita tahu dan mampu tetap teguh berdiri, bukannya terpuruk menangis di lantai.

Bayangkan memberikan pasangan sekeren ini ke pasangan kita, top banget nggak sih? Seseorang yang bisa ia andalkan, yang bisa ia kasihi dan puja. Seseorang yang mampu membuatnya bangga dan merasa sebagai manusia yang utuh dan sangat beruntung. Whoa…

Hubungan saya saat itu sayangnya tidak terselamatkan. Ketidakcocokan semakin membara, yang membawa ke perselingkuhan dan akhirnya perceraian kami. Kalau mau jujur, tanpa selingkuh pun sebenarnya kami sudah tamat, sebagaimana kisah perselingkuhan lainnya.

Apakah saat itu saya menangis? Banget. Satu-satunya saat dimana saya merasa benar-benar ingin hidup saya berakhir. Tapi hidup saya nggak berakhir disitu. Pengetahuan akan kelebihan dan kekurangan saya, kepercayaan diri yang saya pupuk, sayangnya saya pada diri saya dan kesadaran bahwa saya berhak mendapat perlakuan yang baik, semua ini membuat saya tetap teguh berdiri.

4 tahun setelah foto itu diambil, saya berfoto sekali lagi di depan pohon natal. Senyum lebar penuh percaya diri, kebahagiaan dan rasa tak sabar untuk memulai petualangan baru, itu saya. Saya yang percaya dunia penuh kebaikan dan kebahagiaan, saya yang siap membagikan kebaikan dan kebahagiaan pula, apa lagi yang kurang?

Bagi yang saat ini masih terpuruk, apapun alasannya, tegakkan punggung anda dan angkat dagu anda. Percayalah, semua yang buruk akan berakhir. Lihat kedalam diri anda dan jadilah teman terbaik diri anda sendiri. Ingat, teman yang baik akan memberitahu kelebihan dan kekurangan anda, menjadikan anda 'penuh'.

Karena pada akhirnya, hanya diri kita yang bisa kita andalkan, bukan orang lain. Karena mencintai dan menghargai diri sendiri membuat kita terlihat begitu berharga, dan jelas sangat menarik. Karena kita berhak bahagia tanpa merebut kebahagiaan orang lain, atau tanpa kebahagiaan kita direbut.

12,800 km jauhnya dari rumah, dan saya masih bisa tertawa lepas. Semua yang pernah saya miliki, semua impian saya, semua hilang, namun saya tetap tersenyum. Karena saya sekarang memiliki impian baru, saya memiliki pengalaman baru, dan yang lebih penting: saya memiliki diri saya sendiri.

Angkat dagumu dan tersenyumlah, teman terkasih. Kita masih punya Tuhan, dan kita masih punya diri kita sendiri. Jangan terhempas dan terserak. Kita lebih kuat dan lebih berharga dari yang kita kira. Salam sayang dari Los Angeles.

Btw, jangan lupa beli bukunya ya hihihi. "Dear Mantan Tersayang" tersedia di toko buku besar atau via Gramedia Online. Lumayan banget untuk yang mau belajar self-love dan membina hubungan yang sehat. Stay strong! I

Thursday, December 7, 2017

Hello Boy

I wrote, read, delete, then wrote that damn text again for so many times. I paused for more than I should before hitting the send button. I reread the text again, deleting it, revising it again, and still paused. This is too hard.

I have always been lucky in love. It was never hard or a chore for me. Dates that matter, the ones worth remembering, those were always swift. Often times it only took a week or so of intense texting before we met and sort of hit it off. 

And we will hit it off. I am the epitome of Taylor Swift's "Blank Space", minus the crazy part. Well, some say that too. It's easy either because the people I dated know what they want, or because I know what they want. Maybe even both.

I look at the phone again, frustrated and unsure what to do. This is a child's play, I cuss. I ain't got time for things like this. I told my friend: "This is not normal! Why does it take so long?!" She gave me a weird look, "What are you talking about? This is the normal dating procedure."

Apparently 'normal' is the courting period where each will exchange text now and then, trying to look like we're not too desperate for each other. Normal is probing each other gently, to gauge interest so to speak. Normal is actually getting to know each other before committing to anything.

As someone who was in a relationship after 2 weeks of talking, and pretty much confirmed to get married by the end of the 3rd month, I was shooked. I have no idea that that's how dating work. For real. Apparently, this is 'normal', and my speedy relationships were not. 

All of them were pretty darn impressive, mind you. I learned a lot from each of them. I have had a fiery love that will burn the world down, a loving love that will shield it, and even a trusted love whom I feel I can take over the world with. 

Within the last 12 months, I have learned a whole lot more. I learn that I am attractive. I learn how to divorce and how to dump a guy. I learn how to have preferences and how to stand by my standards. I learn how to love myself. And now, I am learning how to do 'normal dating'. 

Which, apparently doesn't involve getting proposed by the first week. Or have daily texts at least once a day. I finally understand why my friend was all aglow when she talked about having a two-hour phone conversation with her crush. Back then I was like, "Wait, that's not normal? I did that every day with [insert name here]…."

I checked my phone again. No reply. This is frustrating. Yet at the same time, this is exciting. Does he like me? Does he not like me? Is he playing hard to get? Do I come across as too desperate? It feels like standing on the dance floor with a stranger, not knowing what song will be played next. And dammit, it feels so good.

I have had the luxury of experiencing loves that were pretty much straight out of novels or storybooks; not only once, but several times. Heck, one was made into two books. By this time, I am not looking or worry about happily ever after because I know can always make my own happiness. This is yet another adventure, which I am thrilled to go through.

An Instagram message popped up. I repressed a smile, which inadvertently turned into a silly grin. We're dancing in the dark, full of expectation, threading with caution, with invisible butterflies around us. Come what may, I will remember this feeling. Come what may, I will cherish this experience. 

Hello boy, wanna dance?

Tuesday, December 5, 2017

The Lonely Heart

The dapper girl looked blankly at the room around her. The slight rosy tinge that colored her cheek was a stark contrast to her pale skin. Her heavily-lined eyes and the red, red lipstick added even more shock of color. Yet she still looked so fragile, so innocent.

The glittering hairpiece on her thin blond hair, the glamorous curls that accentuate her face and leaving her neck bare opened, all carefully put together to enhance her features and tantalized her audience. She was a masterpiece, a diva, a star. 

Yet she pulled her thick fur coat even tighter around her, hiding the shiny expensive dress she wore underneath it. One arm beneath the coat, and another grasping the opening of the coat desperately, as if it was a shield that protects her from the evil outside.

The crowd was there, she knew it. She could hear them calling out her name, feel their energy and excitement. Even in the most hushed parties, she could still see them eyeing her, approving her, adoring her. She's seen it all. She knows it all. 

But the coldness was still there, the hole that no one understands. The chance meeting with her long-gone ex-lover opened up the abyss inside her. What if she could pull it through? What if they didn't separate? Why won't, can't, he loved her back?

Deep inside the shards of the knife still exist, the cold sharp blade that turned her heart into ice. At times her heart will be filled with glow and warmth that she'd forget that the shards existed, and other times she was struck down by them, sent to the debilitating coldness.

Guilty till proven innocence, she whispered. A grimace ran across her face, a painful reminder of the abyss inside. The beautiful eyes tainted with a wild, desperate expression. Trust no one, she chanted. Trust no one. Beneath the exquisite look a beast ready to spring.

"Miss Daisy!" someone called, "Are you ready??" The door opened and a gentleman walked in, arms covered in fiery orange roses, her favorite. Her assistant scrambled to gather the roses from him, and her makeup artist run inside to gave her the finishing touch.

Her gentleman bent over and kissed her cheek ever so slightly, sending a shiver down her spines. "You look lovely," he murmured. She blushed prettily and smiled with excitement, and one can barely notice the wildness in her eyes or the cold empty abyss inside.

"Miss Daisy!" They called her again. She touched his cheek gently with her gloved hand and saw passion sparked in his eyes. She smiled. He too, shall pass. She rose from her sofa, letting her fur coat fall, and stood with grace. It's time. The world is her stage, and she'll take it by storm.

"Will you still love me
When I'm no longer young and beautiful?
Will you still love me
When I got nothing but my aching soul?"

Search This Blog