AdSense Page Ads

Monday, November 27, 2017

At The Edge Of The World

I am standing at the edge of the world
Brimming with happiness
Lit with satisfaction
Filled with life

My eyes are glowing with passion
Mouth curved into a wicked smile
Body taut, prepare to pounce
Soul wide open and ready to fly

I have lost, I have found
I have wept, I have laughed
I have loved, I have hated
I have kept, I have let go

And this is me right now
Standing strong
The river of events flowing fast
Still I stood tall

I am the little witch in the night
I am the perfect girl next door
I am the faery beneath the stars
I am the flower under the sun

Yet the feeling won't ebb away
It grew stronger and deeper
The love for life
This passion inside

Look at me and behold
The creature that God created
Forged in trials and tribulations
Honed with love and affection

Here I am standing at the edge of the world
A final leap, a final jump
Immersed myself into the real world
And be lost in all its glory

So long, mediocre life
Goodbye dissatisfaction and unhappiness
I won't look back to the emptiness I felt
Instead fix my gaze on the wonder it promises

See my radiance with the fire of expectation
Watch my cool with the water of acceptance
Observe my stand with the deep root of my faith
Witness my beauty with the preciousness of life

For I am life itself, and death as well
Walked in the light, rest in the darkness
Balancing between the law and chaos
Forever tempted between good and evil

Look at me and rejoice
Join me and set yourself free too
The promise of life lies not in the words
But in the courage of the heart

For I am the fire that burns
I am the water that flows
I am the plant that provides
I am the metal that strengthens

Here I am standing at the edge of the world
Won't you come, won't you play?
One brave jump to a whole new world
Come love, take my hand.

Saturday, November 25, 2017

Pelaku Dan Bukan Pelakor

Celotehan saya soal pelakor di fesbuk mendapat reaksi keras dari berbagai pihak, baik yang pro maupun kontra.

Pelakor itu apa sih? Apakah semua yang 'merebut' laki orang? Apakah semua selingkuhan seperti itu, yang menggoda dan merayu demi harta belaka, demi status sosial dan rasa "Gue menang!"? Apakah alasan menjadi selingkuhan itu bisa digeneralisir?

Saat tulisan saya viral, saya mendengar sekian banyak cerita perselingkuhan. Banyak diantaranya cocok dengan deskripsi diatas. Saya menyebutnya pelakor profesi, karena ya mereka mencari nafkah atau kepuasan diri dengan cara seperti itu.

Para pelakor profesi inilah yang biasanya dihujani hadiah dan kemewahan lainnya. Sekarang saja baru pada bersuara, padahal dari jaman saya kecil cerita tentang (istri) simpanan itu sudah jamak. Gosip artis jadi tentengan pejabat pun sudah biasa.

Sementara ada yang saya sebut pelakor kondisi, yang mereka menjadi selingkuhan karena kondisi, biasanya karena cinta. Si lelaki menjanjikan dunia, dan akhirnya dia pun luluh. Lucunya orang dengan cepat berpikir pasti seks terlibat, padahal belum tentu. Kadang hanya cinta yang bermain.

Sebagai seseorang yang dua kali menjalin hubungan 'terlarang' ala Romeo Juliet, saya tahu apa rasanya jatuh cinta hingga halangan apapun akan saya jalani demi orang ini. Atau perasaan putus asa: "Nggak apa-apa saya cuma dibalik bayangan dan tak terlihat, asal saya bisa tetap bersamamu". Cinta itu buta dan tak kenal akal sehat.

"Harusnya tahu diri, begitu tahu itu suami orang ya pergi dong!" Tapi bagaimana kalau lelaki itu datang terus? Bagaimana bila rasa itu tak bisa berhenti? Ada banyak alasan untuk menjadi selingkuhan, bagaimana kalau ini bukan tentang harta, tapi tentang cinta? Akankah kita terus menghujat dan memaki?

Kalau bukan dengan si Mbak, suami saya akan menemukan seseorang yang lain. Hubungan kami saat itu memang sudah tidak terselamatkan. Saya pergi pun bukan karena perselingkuhan itu, tapi karena saat ditanya, ia menolak berpisah dengan si mbak. Saya tahu yang saya mau, dan saya tidak mau berbagi cinta. Jadi saya pergi.

Apakah si mbak seharusnya tidak melakukan itu? Oh iya. Jelas. Bukan karena 'terlarang' etc, tapi demi keamanan diri sendiri, demi harga diri. Akan ada pihak yang terluka, pasangan asli atau dirinya sendiri, atau keduanya. Apakah cinta tersebut cukup berharga untuk dibayar dengan kepedihan itu?

Tapi saya saat ini berada di posisi yang jauh lebih baik dari saat saya bersama suami saya. Saya lebih percaya diri, lebih menarik, lebih menikmati hidup. Jadi untuk apa semua cacian dan persekusi terhadap si mbak ini? Yang tiap ada berita pelakor pasti ada 'serangan' baru terhadapnya? Yang sampai sekarang nggak bisa punya akun sosial media karena terus dikejar. Kalian itu membully untuk 'membela' siapa sih? Saya saja yang mengalami sudah memaafkan dan merelakan.

Dan pertanyaan ini terus berulang di kepala saya tiap orang ramai-ramai membully pelakor, tiap orang memposting nama dan data lengkap sang pelakor. Terus lu pikir abis itu laki lu mo balik lagi sama lu? You are hideous, darlin'. Elu horor banget. Dan yang lain yang nggak ada urusannya ikut menyerang, konon "agar tahu rasa", konon "memberi pelajaran", konon "biar lain kali nggak diulangin".

Berfungsi nggak? Ada juga nambah dosa karena melukai orang lain tanpa alasan. Yang "pelakor profesi" dapat iklan gratis, besok-besok bapak-bapak gatal tahu kontak siapa. Yang "pelakor kondisi" teraniaya, dan walau dia mundur pun, kalau dasarnya si suami gatal atau hubungan suami-istri sudah tidak harmonis, si suami akan menemukan pelakor lainnya dan siklus ini terus berulang. Buat apa terus kita membully?

Saya mengerti. Sudah terlalu banyak yang terluka. Entah sejak kapan kita dipaksa nrimo soal selingkuhan, istri muda, simpanan, dan segala bentuk ketidaksetiaan lelaki. Tapi jaman sudah berubah. Mobilitas sosial wanita tidak lagi tergantung pada siapa yang dikawini atau ditiduri. Kita tidak perlu lagi melihat sesama wanita sebagai saingan yang akan merebut kebahagiaan kita.

Ini bukan berarti kita tutup mata atas perselingkuhan ya. Yang paling menyakitkan bagi saya adalah janji pernikahan yang ia ingkari. Dan inilah esensi perselingkuhan, bahwa si pasangan memutuskan mengingkari kontrak pernikahan yang kalian sepakati bersama. Apapun andil pelakor, yang membohongi anda dan mengingkari janji adalah pasangan anda.

Anda ingin perselingkuhan berhenti terjadi? Bisa lho. Benar-benar hilang dari muka bumi sih nggak mungkin, tapi kita bisa membuatnya sebegitu nista dan memalukan sehingga orang pikir-pikir untuk melakukannya. Kita bisa memberi hukuman sosial untuk orang-orang yang memutuskan berselingkuh, bukan hanya untuk orang-orang yang menjadi selingkuhan.

Di Amerika yang konon free sex dan sebagainya, perselingkuhan itu hukuman sosialnya berat. Gini lho, saya kalau sekarang saat ini juga mau seks, saya bisa langsung dapat tanpa usaha dan tanpa dihakimi. Suka-suka saya mau ngapain. Segini bebasnya Amerika. Tapi seandainya kemarin saya cerai minta tunjangan atau gono-gini, pasti saya dapat karena si suami yang selingkuh, bukan saya. Makanya saya diancam mau dicabut Green Card nya pun saya cuek, karena tahu hukum berpihak pada saya. Dia yang melanggar janji, bukan saya.

"Tapi itu kan Amerika, beda sama Indonesia..." Kenapa kita nggak bikin sama? Kenapa kita nggak bikin norma dimana orang yang ketahuan selingkuh itu dianggap lemah dan memalukan, nggak bisa dipercaya? CEO perusahaan dan pejabat yang harus mundur saat ketahuan punya cem-ceman, bukannya malah memangsa artis muda dan memamerkan 'tentengan' baru? Rekan kerja/teman yang harusnya kita jauhi dan bukannya kita kagumi karena gonta-ganti wanita? Janji suci ke Tuhan saja diingkari, apalagi ke elu yang cuma teman/rekan kerja.

Dunia nggak akan berubah dalam semalam. Anda mau perselingkuhan tidak terjadi lagi, anda harus berani mengubahnya. Anda harus berani berkata dan bersikap "Brengsek loe!" pada orang-orang yang anda tahu berselingkuh. Anda harus berani menjadi Solange Knowles yang konon menyerang Jay Z di lift saat dia dengar Jay Z selingkuh/tidak setia pada Beyoncé. Anda harus mampu melihat dan mengerti bahwa yang salah adalah orang yang mengingkari janji.

Apakah anda harus selalu aktif? Ya nggak ya. Jangan ikut campur urusan yang bukan urusan anda. Banyak juga orang yang curhat sama saya membuat saya berpikir nggak heran pasangan mereka kabur, saya saja yang dicurhatin mau kabur. Anda nggak akan tahu cerita lengkapnya kecuali anda memang terlibat. Nggak banget kan anda sudah dosa membully orang, padahal mungkin salah si 'korban' juga?

Tapi perubahan itu mungkin. Amerika yang dulunya terkenal dengan 'Marlboro Man', sekarang lumayan anti rokok. Orang yang merokok dianggap nggak sehat dan menjijikkan, nggak menarik. Sekali lagi, ini nggak terjadi hanya semalam, ini butuh waktu, butuh penjelasan dan pemahaman terus menerus. Semua pihak dan berbagai lapisan masyarakat harus terjangkau dan harus sepaham agar perubahan bisa terjadi.Tapi apakah mungkin? Mungkin banget.

Kalau anda masih terjebak dalam perangkap jender, "harusnya kan sebagai wanita.." dan "namanya juga lelaki...", mari kita lihat ini dari segi bisnis. Ada pihak yang mengingkari isi kontrak. Ada pihak yang memanipulasi keuangan 'perusahaan' untuk pemakaian pribadinya. Ada pihak yang melakukan 'kerja sampingan' sehingga menelantarkan kerja dan tanggung jawab utamanya di 'perusahaan'.

Kalau anda rekan kerja atau bahkan rekanan milik dalam perusahaan itu, apa yang akan anda lakukan? Kalau anda hendak mempekerjakan orang ini atau menjadi rekanan milik dengan orang ini, tidakkah anda merasa ragu dengan track recordnya yang terlihat tidak memiliki loyalitas di tempatnya 'bekerja'?

Inilah wajah perselingkuhan yang sebenarnya. Bukan sekedar drama sinetron dimana si istri teraniaya karena tokoh antagonis yang menor. Kalau anda didalamnya, silakan lho kalau masih mau marah sama pelakor. Saya tahu sakitnya. Tapi jangan sampai menolak melihat bahwa ini sebenarnya tentang hubungan anda dan pasangan anda, bukan tentang pasangan anda dan orang lain. Setelah dia memutuskan selingkuhannya, anda masih berjuang untuk memaafkan dan mempercayainya kembali, bukan?

Buat yang nggak terlibat dan nggak tahu cerita lengkapnya, huss jangan ikut-ikutan. Seperti anda-anda yang sibuk mencaci si mbak saya, padahal bisa jadi saya dan dia sudah best pren poreper, sms an dan ngobrol tiap hari. Apa ini benar atau tidak hanya saya dan dia yang tahu, jadi jangan ikut-ikutan. Bersikap boleh, tapi jangan menyerang yang anda nggak tahu. Jangan ikut-ikutan memukuli orang hanya karena semua orang terlihat melakukannya.

Saya benar-benar berharap lebih banyak orang membaca dan membeli buku saya "Dear, Mantan Tersayang" terbitan Grasindo. Membaca saja sudah bagus, tapi memiliki lebih bagus lagi karena karena ibarat text book, buku ini bisa terus dibaca dan dibaca ulang. Buku itu menjelaskan tentang bagaimana mencintai diri sendiri, mencintai pasangan secara realistis, dan apa yang harus dilakukan saat perselingkuhan terjadi. Buku ini bisa menjadi pegangan untuk tetap rasional saat yang terburuk terjadi.

Bagi saya, mengerti apa yang terjadi itu lebih sehat daripada balas dendam mempersekusi pelakor. Mimpi anda sudah hancur, kenapa terus menghancurkan hidup anda juga dengan amarah yang tak terkontrol? You deserve better. Anda berhak mendapat yang lebih baik.

Mari kita memberikan porsi amarah yang sepantasnya pada yang memutuskan selingkuh. Orang pikir-pikir untuk tergoda narkoba dan alkohol karena mereka tahu resikonya, kenapa kita tidak berpikir yang sama dengan ketidaksetiaan? Bahwa ketidaksetiaan tidak bisa diterima secara norma dan resiko pribadinya terlalu berat. Ini yang akan meredam tingkat ketidaksetiaan. Ingat, pelacuran yang profesi tertua belum punah dari muka bumi ini, jangan berharap "pelakor profesi" akan hilang dengan supresi para pelakor.

Perselingkuhan bukan tentang pelakor, tapi tentang hubungan yang sudah tidak harmonis, tentang pasangan yang memutuskan tidak setia, tentang dinamika kedua orang ini. Mari kita memberikan porsi yang seharusnya, dan terutama 'menghukum' orang yang berulang kali tidak setia. Lu bolak balik menyakiti orang lain dan lu berharap gue percaya dan respek sama elu? Jangan harap bo'.

Tuesday, November 21, 2017

What Ifs

The beauty danced and smiled
Yet frozen inside
"What if he knew I am poor
And doesn't even have a gown of my own?
Let alone the glass slipper
Or the ashes that I have to clean?"

The sweetheart lowered her eyes shyly
Yet gripped inside
"What if he learned of my scaly legs
That I can't partake of seafood dine
Or that I don't know human manners
Because I am not even one?"

The alluring tilted her head innocently
Yet crushed inside
"What if he realized my fear for human
And for everything else under the sun
Which is why I am so pale
That I am no beauty, just a coward?"

The lovely blinked her eyes beautifully
Yet nauseated inside
"What if he found out about my depression
So crippling I can't force myself to work
Motivation and ambition means nothing to me
Caught in it too deep I resort to sleep?"

The enchanting giggles behind her book
Yet horrified inside
"What if he found out my low self-esteem
Thus my books and my loneliness
That I am a reject of the society
And I am absolutely nobody?"

The fairytale continues
And happily ever after is guaranteed
But states of mind are untold
Restlessness inside is unspoken
A thousand "I love you" is possible
But a million "What if" is definite

The true fairy tale is to live without the "What if"
Find the perfect setting
Find the perfect character
Slay the Monster of Doubt
Then live happily ever after
The end.

But who has such luck?
Who has such strength?
Life is not a 10-page storybook
So here we are with our "what if"
Looking for the closure and acceptance
Looking for the happily ever after

For every "What if" we need someone
Who smile and say "It's alright"
For every "But, really, what if" we need someone
Who holds our hand and say "It's ok"
For every "No, you don't understand. What if?" we need someone
Who look into our eyes and calmly say, "I am here."

That would be my fairy tale
That would be my happily ever after
Because doubt is a thousand-headed Hydra
You chopped off one and another one sprung
Till it renders you cripple
Till it eats you alive

Stay with me and have faith in me
And remind me to have faith in myself
Be the lighthouse of my stormy life
Be the anchor that tied me safe in your harbor
This is my fairytale
This is my happily ever after

Till then I will dance with the beauty
I will swim with the sweetheart
I will stay inside with the alluring
I will cuddle with the lovely
I will read with the enchanting
And together we'll say to each other, "But what if..?"

Saturday, November 18, 2017

Dare to Love

I cleaned out my computer files today, and I found a picture of me and an ex-boyfriend. That beaming smile, that confident eyes, that certainty that he was the one, that for once my life will be alright. I was so pretty. Even prettier than when I was with my ex-husband, and back then I thought he was the one too.

Just like my marriage, it didn't work out.

Why do we love, anyway? Nothing lasts forever. Human is too finicky for our own good. Mind changes faster than politicians taking sides. That, or us blinding ourselves of the truth, only seeing what we want to see and refuse to accept the whole package. Either way, disappointment is bound to happen.

When that one moment arrives, it is that special feeling as if everything falls right into place and for a brief moment you can see the whole completed jigsaw, or you'd like to think so. You are Disney's Cinderella, transfixed to your Prince(ss) Charming, quietly and dazedly mumbled: "So this is love… So this is what makes life divine..." Nothing, nothing can go wrong.

At least for a minute or two. Then the world starts to go crashing down, or stagnation crept in. Then it's like a bad series of franchise movies, where it gets worse and boring with every new production but you don't have the heart to stop watching it because you are already committed to it.

And when it is all over, you sat there and weep. You walk around acting like nothing happened, other than how the world seemed so dead to you. You flinched every time someone smiled at you, or when they showed the slightest interest in you. Not again. Not so soon, anyway. That last one was special, therefore it shouldn't be forgotten that soon, right?

Yet even after that, your heart will give way again. And then you'll be in love again. You'll forget how awful it will make you feel, or the amount of hard work you have to put to make it work. It doesn't matter. The fun right now is what matter. You are going to be drunk on love, and it feels so damn good. Come what may, you'll be careful anyway. Or so you say.

Then the morning comes, along with regrets and 'hangovers'. And you swore never, never again. You closed your eyes and heart. No more, you promised yourself. Until the next person arrived, and you fell in love yet again.

Was it worth it? I don't know. For me it was. I make a name by writing about romance and such, which almost all stemmed from my own romantic escapades. For some, it wasn't. They'll guard their heart carefully and even rejecting the notion of happiness, devoid of all emotions. It's akin to choosing to eat minimally spiced food to protect yourself from adverse health risk, as opposed to getting all crazy with explosive spices and exotic herbs. Nothing wrong with either.

I live for those moments. I live for those tender touch and hungry eyes, for the nervous smiles and warm embraces. I live for love. Whose love, I cannot tell, as I observe my locked soul. The fires that burn outside has nothing on the icy cold soul inside. 'The one' might never arrive, and honestly, I kinda hope he won't arrive. I am good with where I am right now.

The fear of love debilitates me, the same love that gave me wings. "You'll heal," they say, "you'll love again." Maybe. Not really counting on it, but maybe. When the time is right. When the grief has ebbed. When the heart is strong again. When I finally dare to love again. For now, I am my own friend, my own companion, my own lover. Honestly, it's been great so far 😉 .

Thursday, November 16, 2017

Berpindah Haluan

Kemarin saya ke Universal Studio lagi. Akhirnya menyerah beli Annual Pass (tiket setahun), dengan alasan untuk menemani teman SMA yang sedang main ke LA. Ini epic banget lho, karena sebelumnya saya males banget pergi ke taman hiburan. 

Saya selalu berpikir pergi ke taman hiburan itu garing, apalagi saya jomblo. Saya juga nggak fanatik banget sama film dan sebagainya. 3 tahun lebih tinggal di LA, nggak pernah sekalipun pergi ke Disneyland atau Universal Studio yang notabene sejengkal dari rumah. Yah, nggak sejengkal amat sih. "Mahal," alasan saya yang lainnya, padahal Annual Pass Universal Studio itu lebih murah dari budget jajan saya sebulan. Pokoknya nggak deh.

Perasaan saya berubah saat dapat kesempatan masuk ke Universal Studio secara gratis. Siapa sih yang nggak suka gratisan? Orang-orang yang bersama saya itu menyenangkan. Saya masuk atraksi nggak pakai mengantri karena kebetulan teman saya punya Fast Pass. Pokoknya semua menyenangkan deh. Segala iming-iming yang saya dengar sebelumnya mendadak masuk akal. Dunia terasa indah. Saya nggak mikir dua kali untuk beli Annual Pass dan minta cuti dengan alasan 'menemani teman'. 

Kenapa sih agama nggak seperti ini?

Seriusan lho. Kalau saya pertama kali ke Universal Studio ini dengan paksaan, baik karena ancaman, karena diledek, atau karena dibuat merasa tak nyaman dengan diri saya, pasti saya yang nggak lagi-lagi deh main kesana. Males banget kan. Nggak butuh-butuh amat juga. Tapi pengalaman saya dengan Universal Studio ini sangat positif, sangat menyenangkan, dan saya merasa sangat bermanfaat untuk diri saya. Seperti saya bilang, malah saya yang antusias untuk menjadi 'warga' Universal Studio.

Kebayang nggak kalau ini agama dan/atau kepercayaan? Saya sih nggak mengerti ya kenapa orang suka repot mengajak orang masuk agama/kepercayaan lain. Apakah karena merasa benar sendiri? Apakah karena mengharap pahala (baca: recruitment bonus) bagai pekerja MLM? Apakah karena memang ingin membantu orang? Tapi kalau mau membantu orang, berlaku agresif dan memaksakan pendapat kayanya malah bikin orang kabur, bukan?

Soal rekomendasi, saya pakarnya. Kalau ada orang yang duduk ngobrol sama saya, pasti saya akan memberikan rekomendasi ABC. "Coba deh jalan-jalan naik kereta, asik lho!" "Nonton opera itu bisa cuma seharga $16 lho!" "Naik blue line ke Santa Monica itu paling top deh…" Kenapa? Karena hal-hal yang saya rekomendasikan itu membuat saya bahagia, dan saya ingin membagikan kebahagiaan saya kepada orang lain. 

Namun kalau terlihat orangnya nggak nyaman atau nggak tertarik rekomendasi saya, ya sudah, nggak apa-apa. Saya harus menghormati perasaan lawan bicara saya. Lagipula, yang cocok buat saya belum tentu cocok dengan orang lain. Ada orang yang nggak suka pedas, ada orang yang takut ketinggian, ada orang yang nggak suka bergaul. 

Nggak ada satupun rekomendasi yang semua orang pasti cocok. Kalau buat saya itu memang cocok buat orang tersebut, pendekatannya yang saya ubah agar sesuai dengan kebutuhannya. Kalau masih nggak cocok ya nggak apa-apa. Mungkin belum saatnya. Nggak usah dipaksa.

Adem kan kalau begini? Seperti saya dan Universal Studio tadi. Yang mengajak saya pertama kali (dengan gratis) itu orangnya baiiiik banget, dan saya percaya sama dia. Kalaupun saya harus bayar setengah harga mungkin saya masih mau bela-belain, karena ya itu, orangnya yang suuuper baik dan sudah menunjukkan dia bisa saya percayai. 

'Trust is earned, respect is given, and loyalty is demonstrated.' Kepercayaan itu didapatkan (dari usaha), rasa hormat itu diberikan, dan kesetiaan itu ditunjukkan. Teman saya telah memperoleh kepercayaan saya, telah memperoleh rasa hormat saya, dan telah menunjukkan kesetiaannya. Jangankan disuruh datang main (gratis) ke Universal Studio, disuruh menemani main ke kuburan pun mungkin saya mau.

Dikala riuhnya kesinisan soal artis yang lepas jilbab, atau cerita teman berjilbab yang dibentak ibu-ibu yang juga berjilbab saat mencari tahu lebih lanjut tentang pendaftaran di sekolah Kristen, saatnya kita bertanya, apa sih yang kita cari dari agama kita? Jangan salah, semua agama dan kepercayaan memiliki orang-orang yang seperti ini, para ekstrimis yang menggunakan agama untuk menjustifikasi tindakan dan hasrat mereka. Baca deh soal ekstrimis Hindu di India, ekstrimis Katolik di Irlandia, ekstrimis Kristen, Buddha, semua lengkap kok. 

Kalau memang niatnya baik, sampaikanlah dengan baik. Nggak ada lho ceritanya Tuhan menilai dan menghakimi: "Ih jijay deh eike sama yu," Ada juga bertebaran cerita betapa pengasih dan pemaafnya Tuhan, yang bahkan mahluk terkecil dan terhina pun dikasihi. Siapa kita sih yang dengan pedenya takut ketularan jelek, makanya sibuk menghakimi? Bila iya, apakah itu nilai agama bagi kita, sekedar pembenaran diri bahwa kita lebih baik dari yang lain?

Kita mencari kebaikan di dunia ini, dan kita ingin membagikan kebaikan itu, ingin membagikan hal-hal yang membuat kita bahagia agar orang lain ikut bahagia. Wajar banget kok, dan terimakasih banyak sudah menjadi seseorang yang super dengan mau berpikir tentang kebahagiaan orang lain. Ini yang harus ada dalam tiap langkah kita: ketulusan hati ingin membuat orang lain bahagia.

Kalau dia nggak bahagia dengan rekomendasi kita, ya pendekatannya yang kita ubah, atau bahkan diri kita sendiri. Sudahkah kita menunjukkan kita layak mendapat kepercayaannya dan membuatnya percaya kita memikirkan kebahagiaannya? Kalau masih tidak bisa, biarkan dia dengan pilihannya. Ingat, nggak semua orang cocok dengan apa yang cocok untuk kita. Pilihanmu pilihanmu, pilihanku pilihanku.

Nah sekarang, kalau ada pembaca yang main ke Los Angeles kasi tahu ya, kita main ke Universal Studios bareng hihihi.

Monday, November 13, 2017

Narasi Hidup

Kemarin saya diajak masuk ke Universal Studio gratis. Karena dadakan, saya hanya sempat berada disana 3 jam saja, tapi itu sudah lumayan banget, mana teman punya fast-pass pula jadi nggak usah mengantri. Rejeki anak baik.

Lho, memangnya saya anak baik? Nggak tahu ya. Mungkin bagi banyak orang saya biasa saja, mungkin bagi beberapa orang saya horror dan tidak baik. Tapi bukti berbicara, rejeki saya lancar jaya dan orang-orang baik sama saya.

Sering kita melihat postingan: "Nggak bisa kalah kalau bersama Tuhan". Ya ini maksudnya. Kalau ada yang kita percayai, apapun sebutannya, kita nggak akan kalah atau bertekuk lutut. Begitu dapat masalah nggak gentar, karena percaya Tuhan (atau kosmos atau apapun) akan membantu kita dan menguatkan kita. Masalah tetap berlangsung, kita berpikir itu ujian dan makin pede menjalaninya. Masalah membuat kita terkapar, kita berpikir kalau sedang dicoba oleh Tuhan. Bagaimana energi negatif mau menang kalau begini caranya?

Begitupula saat mendapat anugerah. Biarpun kita pantas mendapatkannya, tetap merasa bersyukur dan nggak pantas karena kan Tuhan (atau kosmos atau apapun) itu keren banget, sementara siapa pula kita? Kita yang merasa perlu membagi anugerah ini pada sesama karena mungkin hanya numpang lewat/titipan saja, atau yang ingin orang lain merasakan nikmatnya anugrah Tuhan juga. Lagi-lagi, bagaimana energi negatif mau menang?

Kelihatannya enak ya hidup saya, nggak kurang satu apapun. Tapi kalau saya mau protes dan merasa hidup saya itu berat, bisa banget kok. Narasi hidup kita, kan kita yang atur. Ada orang yang hidupnya terlihat berkecukupan tapi hati merasa kurang, ada orang yang hidupnya nggak banget tapi hati merasa cukup. Kurang-lebihnya kita, kita yang mengatur.

Kalau soal kecukupan kebutuhan hidup, itu sudah jelas. Kita butuh dan harus berusaha agar setidaknya kebutuhan dasar seperti sandang pangan papan itu terpenuhi, begitupula dengan akses pendidikan dan kesehatan. Bukan hanya untuk diri kita sendiri, tapi juga untuk orang lain, untuk semua orang.

Dan disinilah kita terpaku: semua orang. Hidup kita bukanlah melulu tentang diri kita sendiri. Hidup bukanlah sebuah perjalanan mengejar 'surga', apapun definisi 'surga' itu, entah kenikmatan setelah mati atau kenikmatan duniawi. Hidup bukanlah seperti game yang pelaku utamanya maju terus pantang mundur mengejar garis finish. 

Hidup itu bagaikan sebuah mosaik yang indah, yang tiap bagian yang berbeda bersatu membuat sebuah karya seni yang indah. Hidup itu bagaikan film atau novel yang tiap orang memiliki peranan tertentu dan di akhir cerita kita berkata, "Whoa…". Hidup itu bagaikan pohon, yang setiap bagiannya tumbuh dan berkembang dan menjadi tempat hidup/habitat mahluk lain.

Kita yang sibuk melihat kedalam, seringkali tidak sadar dampak apa yang kita berikan pada orang lain disekitar kita, pada dunia yang kita tinggali. Senyuman kita, keramahan kita, kepedulian kita, semua ini berdampak bagi orang disekeliling kita, baik yang terkena imbas langsung atau tidak. Entah berapa kali kesedihan saya lenyap saat melihat dua orang yang tidak saling mengenal sibuk berbincang dan tertawa lepas. Atau saat melihat seseorang yang tampak begitu bahagia, walau saya tak mengenalnya.

Sebaliknya, saat berada di dekat orang yang marah-marah, saat berada di dekat orang yang tampak membenci dunia, rasanya dunia menjadi ikut kelam. Tidak ada yang lebih menular daripada energi negatif, yang bagaikan awan gelap menutupi matahari membuat semua orang menggigil dan tak nyaman. Dan terkadang, orang dengan sengaja menularkan energi negatif ini untuk membuat dirinya sendiri merasa lebih baik.

Tapi itu gunanya kita punya Tuhan, kita punya sesuatu yang kita percayai. Kita belajar rendah hati, bahwa ada yang lebih 'besar' daripada kita. Kita belajar tahu diri, bahwa kita bukan siapa-siapa. Kita belajar percaya, belajar memberi, belajar berbagi, karena bukankan Tuhan yang kita percayai telah memberi, membagi, mempercayai kita?

Terkadang kita sibuk meng-secure tempat kita di kerajaan Tuhan, kita lupa kitalah perpanjangan tanganNya. Kalau pas bagian menghukum orang lain, langsung mengaku-ngaku utusan Tuhan, pede banget gitu ah hahahah. Padahal ya, Tuhan kan konon maha pengasih dan penyayang, kok bukan bagian itu yang kita berjuang untuk sebarkan di dunia ini?

Kita nggak pernah perlu alasan untuk baik pada seseorang, untuk menyapa hangat atau tersenyum ramah. Satu-satunya alasan yang valid adalah kalau orang tersebut terlihat dalam kesulitan, kehangatan hati menjadi sebuah keharusan dan bukan hanya pilihan. Kita nggak perlu pilih-pilih siapa yang akan kita perlakukan dengan baik, karena Tuhan juga nggak pilih-pilih saat membagi anugerah kan? 

Mungkin hidup saya nggak enak-enak banget, tapi saya saja yang berdelusi ria. Tapi rasanya enak lho. Saya pernah hidup terbakar amarah. Saya pernah hidup beranggapan semua harus seperti apa yang saya percayai, dan orang-orang yang tidak sesuai standar saya adalah warga negara kelas dua, nggak level dan nggak penting. Terus dan terus api itu membakar sampai tak ada lagi yang tersisa kecuali arang yang menghitam didalam jiwa.

Namun perlahan tunas baru muncul, pucuk hijau yang menjanjikan kehidupan. "Sudah ah marahnya," "Nggak apa-apa kalau mereka beda," "Emangnya loe siapa?" "Tiap orang punya cerita sendiri," "Dunia itu… indah ya." Satu demi satu mereka muncul dari arang yang menghitam itu, menutupi kelam yang tersisa dan melahirkan jiwa yang baru: Jiwa yang percaya, jiwa yang welas asih, jiwa yang berperasaan.

Dan sekarang, hidup saya indah. Kulit saya berseri dan rambut saya tergerai indah. Senyuman saya membuat orang merasa hangat, dan keberadaan saya membuat ruangan terasa terang. Hampir tiap kali saya selfie saya harus meng-sms teman saya setelahnya: "Gilak, kok gue cakep banget ya??" Bukan pamer, tapi beneran nggak percaya. Soal rejeki… jangan ditanya. Indahnya hati akan tercermin pada indahnya diri, dan secara kolektif akan terlihat pada indahnya dunia.

Hidup kita adalah narasi yang kita buat sendiri, yang kita pilih dan terapkan dalam hidup saya. Narasi saya adalah senyuman dan iman, gelak tawa dan petualangan, hangatnya hati manusia dan indahnya kasih Tuhan. Apa narasi hidup anda?

Thursday, November 9, 2017

Indonesia Berbenah

Ngebaca keluhan orang soal nggak bisa sms banking di luar negeri karena kartu SIM Indonesianya nggak bisa di registrasi. Antara kasihan dan pengen tepok jidat rasanya hahaha.

Jadi gini yaaaa.... Sistem bank di Indonesia itu minta diurek-urek rasanya. Makanya saya nggak pulang-pulang 😅. Jangankan yang SMS banking, saya yang murni pakai online banking saja ingin nangis dayak tiap kali harus transfer uang antar bank di Indonesia. Repooooot.

Asal tahu, lebih cepat saya transfer uang dari bank saya disini ke akun saya di Indonesia daripada dari sesama akun Indonesia hahaha. Dan SMS "Mama minta pulsa" itu ga ngefek buat saya, karena untuk tiap belanja/transfer online mesti pakai pinpad itu, sementara pinpad saya biasanya saya tinggal dirumah hahaha.

Disini transfer etc itu sih nggak perlu pinpad etc. Mau transfer antar bank kalau sesama teman/saudara tinggal pakai PayPal atau Venmo, bebas biaya. Mobile banking sebegitu canggihnya sampai mau deposit cek tinggal foto dan unggah di aplikasi hape bank tersebut. Saya terakhir ketemu teller itu cuma pas buka tabungan.

Keamanan kartu pun terjamin. Jarang banget saya pegang tunai, karena semua tinggal gesek. Mau pakai kartu debit atau kredit, bisaaaaa. Kalau tempatnya mencurigakan saya pakai kartu kredit, karena nanti bisa dicancel transaksinya kalau kenapa-kenapa. Bank pun aktif membatalkan transaksi yang mencurigakan. Saya pernah lho ditelp bank karena tumben beli Sephora (titipan teman) dengan jumlah besar. Ketahuan nggak pernah dandan xixixi.

Sementara itu di Indonesia... Pulkam tahun lalu saya nggak berani pakai kartu kredit saya, takut dibobol. Pake kartu debit akun bank Indonesia takut dicolong, dan tiap narik duit yang sibuk parno lihat kanan kiri. Belanja pakai kartu pada nggak ada mesinnya/nggak aman, bayar tunai yang "Wah ga ada kembalian mbak". Urgghhhhhh!!!

Mulailah anda mengangguk-angguk. "Tul, tul. Emang Indon itu yah...." Bentar bentar. Jangan salah. Di Amerika bisa gampang begini karena... Eng ing eng... Semua terdata! Yup. Karena semua punya nomor induk penduduk yang disini sebutannya Social Security Number (SSN). SSN ini juga yang dipakai untuk perpajakan, data gaji, buka usaha, semua deh.

Saya sampai disini nggak bisa begitu saja buka rekening bank, harus punya SSN baru bisa buka rekening. Waktu ingin buka rekening saat green card lagi diperpanjang, ditolak oleh bank, disuruh datang lagi saat kartu saya jadi. Dampaknya jelas, saya nggak bisa macam-macam. Nggak ada tuh cerita rekening dicuekin sampai mati sendiri karena proses menutup rekening terlalu berbelit. Selain karena prosesnya gampang, saya juga bisa masuk daftar hitam.

Sekali lagi kuncinya: terdata! Makanya saya yang sorak sorai bergembira saat program e-ktp mulai, atau sekarang saat registrasi kartu prabayar. Langkah bayi banget ini, tapi kedepannya semoga semua akan jadi lebih baik dan lebih mudah bagi rakyat Indonesia. Kalau dari awal sudah terdata, verifikasi dan proses apapun nggak perlu berbelit.

Apakah ada dampaknya? Jelas ada. Pencurian identitas adalah masalah besar disini. Karena semua tersambung dengan SSN itu, kalau ada yang bisa mendapatkan SSN plus data pribadi (tanggal lahir etc), orang bisa 'menjadi' kita: cari utangan, melakukan penipuan etc; dan kita yang bisa jadi tersangka. Oh noooo....

Karena semua terlacak, kita juga tidak bisa tipu-tipu disini. Nggak bisa punya rekening siluman dimana-mana atau money laundering. Mau urusan ilegal atau esek esek pun dana bisa terlacak. Transaksi tunai diatas $3000 itu wajib dilaporkan lho. Sementara di Indonesia banyak banget yang dengan santai jual tas/barang mewah sekian milyar di sosmed hahaha.

Jadi mending nggak usah dong. Ngapain bikin repot dan mengekang? Kita kan senang bebas bo'. Kita kan maunya bisa hura-hura tapi semua lancar jayahh. Idealnya tetap nggak repot daftar diri kanan kiri, tapi hidup teratur terjamin dan aman kayak di luar negeri. Err... Situ mengigau?

Penduduk yang terdata = turunnya tingkat kejahatan. Lho iya dong, kalau gampang kelacak males banget kan tipu menipu ria.

Penduduk yang terdata = mudahnya meningkatkan perekonomian. Pajak ketahuan siapa yang mesti bayar, dan duit pajak bisa dipakai untuk infrastruktur etc. Bukan buat pelesir ya sodara-sodara...

Penduduk yang terdata = penduduk yang terjamin. Karena jelas berapa banyak orang yang ada, tingkat pendapatan etc. Mau hitung subsidi silang orang ga mampu itu lebih mungkin. Kalau ada institusi yang menipu orang juga ketahuan, ada buktinya kan siapa setor ke apa.

Apa iya pendataan itu nyusahin? Iya bangeeeet. Apa iya pendataan itu perlu? Perlu bangeeeeeeet. Untuk alasan-alasan yang saya sebut diatas. Lagian, kalau kita iya-iya saja dengan pendataan dan pengecekan saat kita keluar negeri, yang kemana-mana harus siap nunjukin paspor, kenapa di dalam negeri malah sensi sendiri?

Apa iya proses ini bakal babak belur seperti BPJS? Pastinyaaaaa. (Ngumpet sebelum disambit sama temen temen yang orang DepKeu). Tapi siapa sih dari kita yang nggak pernah nyungsep cium tanah saat baru belajar jalan? Atau yang lahir langsung berjalan anggun ala model runway? Semua pada awalnya memang harus babak belur dulu sebelum terkoodinir. Awesome took effort. Keren itu butuh usaha.

Yang khawatir ini bakal balik lagi ke semrawut dot com begitu ganti pemerintahan, jangan dong ah. Berhenti berharap pejabat pemerintah mendadak jadi X-Men atau Justice League atau Ksatria Piningit. Kan kita negara demokrasi. Orang-orang yang baik, bersih, jujur di pemerintahan datangnya dari orang-orang yang baik, bersih, jujur di masyarakat. Jadi siapa yang mesti mulai berbenah sodara-sodara??

Colek juga oom tante encang encing mas mbak yang pernah merasakan atau sedang di luar negeri. Bantu mencerahkan yang di Indonesia gitu, dibagi pengetahuan dan pengamatannya kenapa disana lebih teratur, dan dibantu dipraktekkan disini juga. Jangan jauh-jauh melanglang buana eh pulang-pulang cuma nyebar hoax di watsap n fesbuk.

Jangan takut repot saat disuruh berbenah, saat dipaksa rapi. Nantinya demi kita juga kok. Kamar berantakan dan kamar yang rapi, mana yang lebih membuat anda bahagia dan ingin pulang? Yang kenal saya pasti tahu banget maksud saya hahahaha. #nggakbisarapi . Jadi jangan putus asa ya. Ingat, demi Indonesia yang lebih baik!

Saturday, November 4, 2017

Welcome To The New America

Imagine waking up in the morning, and reaching out to your phone. "Hello world," you said with a smile, or maybe with a grumpy tone. After all, like it or not, social media *is* a part of your world.

You unlocked it. You hit the button. Nothing happened. That's weird.

You tried pressing the button again. And again. And again. It keeps showing the message that your account was inactive. Maybe if you log out. And log in. And log out. And log in.

It takes a while to realize that somebody, somehow, deactivate your social media. You got tingle all over your body. If 'they' can deactivate it, what else can 'they' do with it?

Somebody told you your account was deactivated because it is nasty. Because you are a horrible, horrible person. And you just don't get it.

You are not a horrible person. You tried to bring people to their sense. You are speaking the truth. You are protecting what you think is important. And it is your right to speak. First amendment, right?

Maybe people take it the wrong way. But it is their business, their problem, not yours. You have the right to voice your opinion, and nobody has the right to silence it as long as it still within the acceptable scope. You are not breaking the law.

And for that reason, you do not deserve one-sidedly cut off like this. If you are not breaking the rule, nobody has the right to block your social media account. Just like nobody has the right to refuse you service in restaurants or other business. It will be discrimination.

But you still got blocked. And it is scary. It is scary because it shows rules doesn't matter. People can disagree with you and silence you. Your right to voice your opinion was taken away from you. What's next?

You remember the stories told by that Indonesian girl, how in her country people can get in trouble by saying something against the grain. You remember the teen in Singapore who got jailed for proclaiming he was an atheist. You remember the 'disappearances' of people who speak out against tyrans in other countries. It makes you shiver to the bones.

You absent-mindedly check your social media again. It was on now. You are back on track. It should made you leap with joy, right? Instead, it made you even feel colder and scared. No purpose, just because *they* disagree with with what you said, or who you are. Is this even America?

You check the statuses, likes, and such, and *they* are congratulating whoever did this. You don't break the rules, but people take matter in their own hand. Does that mean next time a majority decide on something and you are against it, they have the right to take corrective action towards you, regardless on what rules that has been laid out?

A lynch mob is a lynch mob. Just because *they* think it is right doesn't mean they can go at it, regardless whether the person who is prosecuted is right or wrong. That's why there is law, there are rules, so people don't infringe on other people's right just because they think they are the *good side*.

So people wont hurt others with different race.
So people wont hurt others with different belief.
So people wont hurt others in the name of "Truth".
So people wont hurt others (innocently) because they think they are doing the world a favor.

Yet people think what happen to you is ok, because they don't like you. Don't *they* understand this could work against them? That next time *they* are against bigger voices, *they* will get silenced too?

Your social media is back on again, but your rights are forever infringed. You will forever feel insecure, unsafe. Your safety net, the laws and rules around you, has been violated. You have been judged and prosecuted even though you are not breaking any rules.

All because you are not what majority wants you to be. All because you say things that doesn't corespond to 'the spirit' even though many silent ones might feel the same way you do. But you got prosecuted nevertheless.

Welcome, my dear, to the new America.

Search This Blog