A little bit of this, a little bit of that, and all the things the cat sees along her way
AdSense Page Ads
Tuesday, July 14, 2015
Home at last. For now.
Friday, August 15, 2014
Hypermart Bali melarang Jilbab? Ini Ceritanya...
Sunday, May 18, 2014
Saat Aksi Berujar di Tengah Pasir Berbisik
Bromo, 16 Mei 2014
Matahari sudah menghilang dari langit, dan hawa dingin semakin menggigit. Gunung Bromo dan Gunung Batok beserta gunung-gunung lain yang tadinya kami nikmati dari kejauhan sudah hampir tak terlihat, ditelan gelapnya malam. Kami pun berjalan kembali ke penginapan untuk tidur cepat, karena esok pagi kami harus berangkat mengejar matahari terbit sedari pukul 3.30 pagi. Terdengar suara nyaring anak-anak kecil membaca ayat dalam bahasa Jawa. Yah, pikir saya, namanya juga Jawa. Namun saya menangkap kata-kata yang saya kenal, dan saya tersentak:
Sang Hyang Widhi Gustiku, Tri Kaya Parisudha lakuku
Saya menyeringai lebar dan memberitahu Kangmas kalau ternyata mereka bukanlah membaca ayat Quran, namun ajaran agama Hindu. Saya jelaskan kalau suku Tengger di daerah Bromo memang pemeluk Hindu dan bahkan beberapa homestay yang ada masih mendirikan penunggu karang didepan rumah mereka, namun saya tetap terkejut mendengar mereka membaca ajaran agama Hindu via speaker, sesuatu yang tak pernah saya dengar di Bali sekalipun.
Keesokan harinya kami meluncur menuju Gunung Penanjakan. Di tengah lautan pasir, di dalam kegelapan malam, saya melihat pelinggih/Penunggu Karang berdiri sendirian. Saya terpesona melihatnya, buat saya itu tampak sebagai relik dari masa lalu saat Hindu masih berjaya di tanah Jawa. Sepanjang jalan berliku tajam menuju sunrise view point saya melihat beberapa lagi tugu penunggu karang, dan saya merasakan betapa besarnya Hindu dahulu di tanah Jawa ini. Tapi ternyata saya salah. Saat kami turun dari Gunung Penanjakan tugu-tugu tersebut sudah terisi canang/banten sederhana. Mereka bukanlah relik belaka, mereka masih bagian dari masyarakat disana. Bukan "dahulu", tapi "saat ini".
Selesainya saya dan kangmas sembahyang di Pura Luhur Poten (yang menyediakan bunga persembahyangan yang sangat segar), bapak driver kami menawarkan membawa kami ke Goa Widodaren yang merupakan tempat suci (tempat nunas tirta) masyarakat Hindu Tengger. Ia menjelaskan kalau ia juga pemeluk Hindu dan dengan senang hati menemani kami sembahyang disana. Sepanjang jalan ia bercerita tentang dirinya, dan saya mendapatkan banyak pelajaran berharga:
Kalau Nyepi disini ya tutup mbak, sehari saja tidak apa-apa. Cari duit bisa setiap hari kok, tidak apa-apa libur sehari untuk agama.
Oh iya, saya Galungan juga libur. Nanti selasa besok saya sudah libur. Demi agama mbak, ga boleh hitung-hitungan. Cari nafkah bisa kapan saja.
Siapapun yang pernah merayakan Nyepi di Bali pastinya ingat kalau situasi sebelum Nyepi seperti besoknya mau kiamat, semua sibuk memborong habis barang-barang di supermarket seolah takut tak bisa bertahan hidup 24 jam saja di rumah sendiri. Begitupula dengan Galungan, saat semua orang sibuk mengeluh cuti mereka terpotong dan biaya banten yang membengkak. Seringkali saya bertanya pada diri saya, agama itu apa sih sebenarnya? Di Bromo saya mendapatkan jawabannya.
Agama itu adalah kepercayaan. Bukan sesuatu yang kita umbar laksana baju, namun setitik cahaya dalam diri kita yang kita pegang teguh. Bapak driver saya dan orang-orang di Bromo tidak perlu memproklamirkan mereka Hindu, namun mereka menjalani agama mereka dengan taat sebagaimana yang sudah mereka lakukan beratus tahun lamanya. Tidak perlu pengakuan atau "salah/benar", mereka hanya menjalankan apa yang mereka percayai. Seperti yang dinyanyikan oleh anak-anak kecil itu, "Tri Kaya Parisudha lakuku", berapa banyak dari kita yang mengajarkan anak-anak kita prinsip dasar Agama Hindu dan bukan hanya banten apa yang harus dibawa ke Pura? Berapa banyak dari kita si orang dewasa yang belajar dan mampu menerapkan ajaran agama Hindu dalam keseharian? Sebaliknya, berapa banyak dari kita yang berpaling dari Hindu Bali dan memilih menjalankan Hindu India karena "lebih murni"? Agama, sekali lagi, adalah kepercayaan; Agama adalah suatu kesatuan antara budaya asli kita dan ajaran untuk memudahkan dan meningkatkan kualitas hidup kita.
Saya teringat kaus Omkara yang dahulu marak dijual kerohanian Hindu kampus-kampus, atau berbagai stiker Omkara dan/atau ayat-ayat kerohanian yang marak diperjualbelikan sebagai hiasan. Setelah bertemu si Bapak saya tak bisa berhenti berpikir betapa memalukannya saya dulu yang selalu berkoar menegaskan: saya Hindu! So what gitu lho? Saya pikir si Bapak muslim, namun ternyata ia penganut Hindu juga. Tapi fakta apa agama yang dipeluk beliau tidak mempengaruhi harga (karena sudah diatur paguyuban/serikat) mereka, ataupun service/pelayanannya. Jadi buat apa berstatement "Saya Hindu", apalagi kalau belum sanggup melakukan ajaran agama Hindu sehari-hari? Paling sederhana deh, siapa yang yakin sudah bisa melakukan Tri Kaya Parisudha? Atau Tat Twam Asi?
Sudah saatnya kita mengevaluasi ulang apa makna menjadi seorang Hindu. Bukan hanya statemen atau banten belaka, bukan pula (bagi Hindu Bali) ayat belaka tanpa adat. Sudah saatnya kita melihat api kecil di dalam diri kita tersebut, menganalisanya dan membuatnya menyala terang sebagai pedoman hidup kita. Sudah saatnya kita menjadi seorang Hindu yang sebenarnya.
Thursday, December 19, 2013
Manifesto Brahmana Bali
Tuesday, November 19, 2013
Ayo Bangkit Indonesia!!!
A) Hutan kita ditebang dan sumber daya kita dikuras bukan karena penduduk Indonesia rakus, tapi justru untuk melayani demand/permintaan global yang mayoritas datang dari negara maju.
Friday, September 6, 2013
Hargai Saya Sebagai Warga Negara Indonesia
Serius mas?? Wow. Makasih ya sudah melecehkan daerah asal saya dan merampas hak saya sebagai WNI.
Saya orang Indonesia. Titik. Saat saya memperkenalkan diri saya di luar negeri, saya selalu menyatakan: "I'm Indonesian." Sebenarnya jauh lebih gampang kalau saya bilang saya orang Bali, karena seperti diceritakan dengan lugas oleh Neng Mila dalam perjalanannya dari Darwin orang pikir Indonesia itu bagian dari Bali, atau lebih parah lagi ga tau Indonesia itu apa. Tapi di paspor saya tulisannya kewarga-negaraan Indonesia; di formulir visa dan sebagainya kewarga-negaraan saya Indonesia. Leluhur saya memang orang Bali (dan sedikit Betawi), tapi saya tulen orang Indonesia.
Waktu saya baca komentar artikel tentang institusi jiwa di Indonesia di Time.com yang bilang: "Maybe if the world's largest Islamic country and its people stopped focusing on the Quran and more on science they country would be in a better place" saya jadi emosi. Dan saya menulis "balasan"/"opini" saya mengenai topik yang ia komentari. Buat saya komentar orang ini menyakitkan karena ini melecehkan Islam. Islam yang saya tahu berbudaya dan bermartabat, dan pengetahuan/sains Islam pun sangat maju. Ini juga menyakitkan karena hanya dalam satu kalimat itu dia "menghilangkan" keberadaan saya. Indonesia memiliki populasi umat Islam terbesar di dunia, namun bukan negara Islam. Dengan ketidak-tahuannya (atau dengan kesoktauannya) orang ini menafikan saya sebagai seorang Hindu, karena menurut dia Indonesia adalah "Negara Islam" yang secara definisi berarti negara yang penduduknya adalah umat Islam dan berjalan dengan hukum Islam. Lalu saya dan kebudayaan saya apa dong?
Yang belajar sejarah (atau mampu bertahan beberapa menit mendengarkan guru sejarah mengoceh di sekolah) pasti tahu kalau kemerdekaan Indonesia diraih dengan darah dan perjuangan para pahlawan kita di seantero nusantara. Mari keluarkan uang kertas dari dompet anda dan periksa bersama saya:
Rp 1,000: Pattimura dari Ambon
Rp 2,000: Pangeran Antasari dari Banjar, Kalimantan
Rp 5,000: Tuanku Imam Bondjol dari Sumatra Barat
Rp 10,000: Sultan Mahmud Baddarudin II dari Palembang
Rp 20,000: Oto Iskandar Di Nata dari Bandung, Jawa Barat
Rp 50,000: I Gusti Ngurah Rai dari Bali
Rp 100,000: Soekarno dari Jawa dan Bali, Hatta dari Padang
Ini uang yang beredar sekarang lho, dan uang kertas versi sebelumnya juga memiliki pahlawan nasional yang lain. Ini bukti konkrit bahwa Indonesia tidak hanya dimenangkan oleh satu golongan saja. Ini juga bukti konkrit kalau tiap daerah di Indonesia berdaulat akan areanya masing-masing. Kami juga orang Indonesia bung.
Bila masyarakat Bali tidak menentang acara Miss World (dan saya tau sebagian besar dari mereka juga mungkin tidak ngeh akan acara ini) apa hak Habieb Reseh untuk menentang dan mengancam? Apa hak mereka untuk membakar boneka Gubernur Bali? Apa hak mereka men-judge dan melecehkan Bali? Begitu pula saat Nyepi: tekanan dan makian orang non-Hindu yang "terpaksa" ikut merayakan Nyepi bersama kami begitu menyakitkan. Bila umat muslim berhak beribadah dengan tenang, tidakkah kami berhak merayakan ibadah kami pula? Dengan kesunyian mutlak dan tanpa suara, dan jelas tanpa orang-orang yang dengan pedenya jalan-jalan dan menyetel TV kencang-kencang hanya karena mereka tidak beragama Hindu. Saya ingat masa-masa saya makan sembunyi-sembunyi saat puasa di SMA saya, bukan dipaksa makan sembunyi tapi karena sungkan dan tidak ingin "menggoda" rekan-rekan saya yang berpuasa. Apakah sedemikian mustahilnya untuk mendapatkan toleransi seperti ini, yang dilakukan bukan karena "harus" melainkan karena "sungkan"?
Indonesia bukan negara agama, atau setidaknya bukan negara satu agama. Dan sebenarnya, saat kita menampilkan "Indonesia", yang kita tampilkan adalah budaya kita dan bukan agama kita. Saat saya pergi ke Festival Indonesia di Los Angeles, yang ditampilkan di brosurnya adalah "Piring Dance", "Tor Tor Dance", "Panyembrama Dance". Ga a da ditulis "Muslim Piring Dance" walaupun tari piring dari Padang yang dominan beragama Islam, ga ada ditulis "Christian Tor Tor Dance" walaupun tari Tor-Tor berasal dari Batak yang dominan beragama Kristen (dan bahkan ditarikan oleh HKBP California), ga ada ditulis "Hindu Panyembrama Dance" walaupun ini tari Bali yang penduduknya mayoritas beragama Hindu. Anda tahu kenapa? Karena memang nggak ngefek! Kebudayaan ya kebudayaan, agama ya agama. Bisa saja tari tor-tor atau tari piring ini ditarikan oleh orang beragama lain, beberapa orang dari grup gamelan Bali malahan orang bule. Jadi jangan paksakan pandangan sebuah agama ke daerah lain.
Kalau memang anda orang Bali yang menentang acara Miss World, monggo wae, silakan saja berdemo. Apapun agama dan/atau alasan anda, anda berhak menyatakan pendapat anda bilamana anda merasa ada ancaman terhadap daerah anda atau anda secara pribadi. Tapi kalau anda bukan orang Bali dan tidak ada kaitannya dengan Bali, dan juga pemerintah cuek cuek aja terhadap acara Miss World, mbok ya tenang dan jangan "serang" daerah saya. Ingat lho, Indonesia itu bukan cuma Jakarta Makassar dan kota-kota besar yang punya TV. Indonesia itu juga isinya janda-janda tua di Gunung Kidul yang bahkan tidak punya air bersih (boro-boro baca koran), penduduk di pulau terpencil yang bahkan tidak punya listrik (boro-boro nonton TV), orang-orang puncak Papua yang masih berburu dan nomaden (boro-boro buka internet). Apa iya mereka sedemikian terancamnya dengan Miss World? Kenyataannya, sampai sebelum saya pindah ke Amerika beberapa bulan yang lalu saya masih menemukan iklan lowongan pekerjaan yang salah satu kriterianya adalah "berpenampilan menarik". Ini bukan iklan untuk cewek kafe atau "spa massage" lho, ini standar iklan untuk front liner di Bank atau perusahaan besar lainnya. Kenapa bukan ini yang dibasmi duluan? Saya rasa sebego-begonya cewek dia ga akan begitu saja copy-paste acara Miss World dan pakai baju seksi kemana-mana. Tapi kalau pekerjaan mengharuskan"berpenampilan menarik", ini yang sulit. Ini yang sebenarnya merendahkan wanita.
Yang konyolnya, Miss World 2013 akan tetap berjalan di Bali apapun ceritanya, dan semua ini cuma akan kelihatan sebagai aksi "unjuk gigi" saja. Saya sudah tahu Miss World 2013 akan diselenggarakan di Bali semenjak awal tahun ini, dan dengan berasumsi kalau organisasi massa ini punya banyak koneksi etc rasanya tidak mungkin kalau mereka baru tahu mendekati hari H. What's stopping you boy? Kenapa ga dari awal didemo saat baru ditetapkan jadi bisa diubah dengan gampang? Kok kaya cuma manfaatin momen aja biar "keliatan"? Bukan cuma momen sih yang dimanfaatin, tapi juga orang-orang yang bener-bener percaya mereka berjuang demi apa yang mereka percayai. Kalau memang bisa jalan damai kenapa harus pakai kekerasan sih, ini cuma akan ngasi cap jelek ke Islam secara keseluruhan. Di Amerika sini kental sekali paranoia terhadap Islam, dan banyak orang Islam yang jadi sasaran diskriminasi etc. Kenapa ga berusaha mengajarkan indahnya dan damainya Islam, yang mungkin bukan hanya membuat orang yang awalnya antipati jadi mengerti tapi juga bahkan bisa bikin mereka tertarik mendalami Islam. Tolong sadari kalau koar-koar anda di Indonesia bisa bikin hidup saudara anda di negara lain susah. Dan jangan nyalahin yang mendiskriminasikan saudara anda ya, siapa juga takut dan parno jadinya kalau anda bawa-bawa nama agama dan menyatakan "perang!" "siap bertempur!" "kepung!" seperti anjing pemburu yang haus darah.
Utopia atau tanah impian saya adalah tempat dimana saya bisa bebas menjalankan ibadah saya, dimana tanah leluhur saya dihargai kedaulatannya, dimana rekan-rekan senegara saya (termasuk yang beragama muslim) bisa bebas menjalankan ibadah dan kepercayaannya. Tapi ini lebih dari sekedar impian, di Indonesia ini juga hak saya selaku warga negara Indonesia. Kalau anda masih berpendapat kalau suara anda selaku mayoritas harus didengar (dan saya ragu, karena banyak yang mengaku "mayoritas" padahal berjalan sendiri alias sepi dukungan), tolong bayangkan apa yang terjadi bila hanya ada Islam di Indonesia dan WNI non Islam ditendang keluar dari bumi Nusantara. Bayangkan bila Bali dan Papua dan Nusa Tenggara serta Ambon dan daerah lain yang memiliki komunitas non-muslim yang tinggi terpisah dari Indonesia. Sanggupkah NKRI berdiri dan berjalan sebagaimana mestinya? Tanpa putra-putri bangsanya dari berbagai daerah dan suku dan agama untuk menggerakkannya? Tanpa pusat turisnya (Bali) dan pusat mineralnya (Papua) dan daerah menakjubkan lainnya?
Sangatlah mudah untuk melupakan apa yang sudah leluhur dan pahlawan dan bapak pendiri bangsa kita sudah lakukan untuk kita, tapi bukan berarti kita bisa begitu saja menmbuang sejarah kita. Menghargai hak-hak warga negara Indonesia adalah cara kita menghargai sejarah dan pendahulu kita, menghargai "kemerdekaan" yang mereka perjuangkan sampai tumpah darah penghabisan. Saya warga negara Indonesia. Anda warga negara Indonesia. Hargai saya sebagaimana saya menghargai anda.
Sunday, March 13, 2011
Nyepi, Balinese Day of Silence
5 March 2011
7 AM Bali Time: It's quiet. Absolute quiet. I can hear the sounds of the rain, the sounds of the birds chirping, the sounds of silence. This day it is prohibited to make loud sounds, so no dangdut or melayu music this morning, no motorcycle sounds, no children or any kind of unnatural sounds. As the neighbors around my house have conveniently leave for their friends and families houses, there are no sounds of human whatsoever.
The silence engulf me, leaving me awestruck and amazed. All of my days were seemed to be filled with noise from the outside: friends, families, strangers, TVs, music. Today, all TV or radio is off, I couldn't communicate by phone or internet without the risk of embarrassing myself as unfaithful (after all, I were specifically told to meditate and contemplate myself on this day, not leisuring around). So there I was, sitting on my porch, hearing myself and my conscience (I finally found her again after so long), enjoying the silence. The rain slowly starts to fall again.
9 AM Bali Time: My little brothers and sister already woke up and huddle with me in the living room. As they were only teenagers, I let them blast zombies on the computer. However, I strictly confiscate the modem and also hide my mobile phone (after put it in silence mode) to prevent any "Social Media" temptation. They were not allowed to venture outside the house as well, though several of their friends were seen wandering around (shortly before the Pecalang came).
At first, they were restless and agitated, however we manage to smooth things and end up laughing and talking about everything. Just like my new found conscience, this is also new for us. It is a rare thing to sit together and have a quality time with my family, as they all have their own agenda even in holidays (just like all "modern" people, I guess). I never realize how pleasant my brothers can be, and they were not God-sent annoying little critters. Not always. And yes, they see me in new light, not the ever-busy-angry-easily-miss-touchy. We're family, after all.
2 PM Bali Time: Time seems to stop. I felt like I've been living almost a week, perhaps even a month swayed in the silence. My brothers and sister have all but sleeping around on sofa and carpet, playing with my dog and cat, and then cuddle up with Mahabharata and Ramayana (they're running out of books and comics. period). It amaze me to see the clock barely strikes 2.
I can't tell you how enjoyable it is for me. Even in my holidays and leaves, I always manage to get "What?? It's this hour already??". But today I can't go out, not even to buy snacks from the nearby stores, or to wander around doing (un)essential things. Thus, my confinement makes the time stops ticking. And there are no TV or radio or other means to check with the time on the outside. I also don't need to ruin my emotion by reading or commenting rude remarks that so often exist in the internet. The outside world just doesn't (seem to) exist.
7 pm Bali Time: Darkness fell. No lights of whatsoever. But stars shining brightly, so brightly I lost my breath upon seeing them. No flashy neon lights, no over-bright house light, no light in any kind of form to distract the brightness of the stars. But no moon as it was new moon.
But I'm scared, dreadfully scared. I'm afraid of the dark, and Balinese horror stories pop up in my mind. The silence and total darkness engulf us and depressed us. We huddled together in my bedroom, all of us sleeping on my little bed, trying to calm each other and in time, pray to God that nothing will befall us till we fall asleep. So if I manage to find myself and my family through out the day, at night I found God. Quite productive for a day's work isn't it? :)
6 March 2011, 7 AM Bali Time.
The air and the world look so clear and beautiful. So pure. Cars and motors are back, people are back, but they looks much nicer. Perhaps not only the world has change and have time to purify herself, I have also purify myself, and perhaps also people around me. It's New Year already.
I know and fully aware that what we Balinese do at Nyepi is probably considered as "Impossible", and images of the horrid day probably sprang to mind. But we did this every year, and without hesitation or exemption. For nay-sayers, please consider these for a minute:
1. Silence is golden. In fact, it worth its weight in gold. Do you know how much major hotels and resort charge for their "exclusiveness", or in another word to keep as silence as possible for their esteemed patrons? In Bali it can range thousands of dollars for a night, yet at Nyepi we got it fairly free.
2. Finding Neverland. Discussing and have a quality time with yourself, your family, and your Creator may be quite like finding Neverland. It's there, but not everyone can find it. Of course, one may differ in this matter, and the so-called social creatures will never approve a day without their friends and peers (even in internet). But think about it, we use to have the quiet time in our mother's womb and it was quite good I think (have you seen an evil baby? Evilness don't come later, and I tend to think it as disease which is infected through other people. We learn to be bad). A bit of silence won't hurt you, just like a bit of fasting. You can always indulge later ;).
3. Earth's day off. Yes, this goes to you vegans and Greenpeace lovers and (so-called) green living addict. What better ways to help our ailing earth than to release her from her daily dose of pollution (sounds, lights, land, water, air, any kind of possible pollution in short). It's just one day, it's only in one area (Bali), but it helps a lot. Bali's Electrical Department (PLN) said they save almost USD 900,000 (IDR 8 Billion) for just one day, and they could have save a whole lot more if the electric-guzzling hotels and resorts join the silent celebration and turn off their lights.
We have "Earth Hour", but Balinese have "Earth Day". It is my sincere hope that the Indonesian government can preserve this beautiful and unique holiday, as there has been increasing urges from the non-Hindu and non-Balinese to make exceptions. If seen from religion point of view, it is understandable. Why should non-follower join the ritual of Hindu Bali? But let's see it in clear light. See what it has to offer for Earth, for your self, for people around you. Be honest with yourself and believe me, you will see it really worth the effort. Come join us next time will you, and indulge in the unique celebration of beautiful silence.
Thursday, March 10, 2011
Nyepi 2011 (Ina)
5 Maret 2011
Apa yang berbeda pada hari ini dibandingkan hari-hari lainnya? Yang pertama saya sadari (dan yang paling signifikan) adalah kesunyian. Pagi ini rasanya semua begitu sunyi dan damai. Tumben banget bisa dengar kicauan burung, ga tenggelam sama musik dangdut (or worse, the melayu's) atau suara-suara aktivitas lainnya. Bahkan udara di sekitar rasanya lebih ringan, lebih damai. Kesunyian ini bukan hanya karena ibadah Nyepi yang dilakukan masyarakat Bali, namun juga karena tetangga disekitar rumah saya dengan manisnya pulang kampung/menginap di rumah sanak famili lainnya. Saat saya masih setengah sadar menikmati kedamaian pagi itu di teras rumah saya, hujan pun turun. Pagi itu saya tak mampu berpikir, tak mau berpikir. Hanya ingin duduk dan meresapi indahnya hujan dan kedamaian yang ada.
Ini mungkin terdengar aneh dan tidak penting ya, bengong sendirian. Tapi buat saya ini sungguh sangat melegakan. Dalam keheningan ini saya mampu "berdiskusi" dengan diri saya, apa yang harusnya tidak saya lakukan dan apa yang harusnya saya lakukan. Biasanya ga ada waktu untuk tenang sendiri, saya selalu merasa saya dikejar waktu, dan dikejar keriuhan yang ada di sekitar saya. Kapan anda pernah memiliki waktu tenang, dan maksud saya benar-benar tenang untuk mengambil sebuah keputusan? Biasanya kita harus selalu mengambilnya dalam keadaan cepat, dan dengan berbagai masukan/pertimbangan walau sebenarnya nurani sudah menyalakan sirene bahaya.
Itulah yang berikutnya yang saya sadari, bahwa waktu seolah berhenti. Larangan keluar rumah membuat saya tak bisa melakukan aktivitas apapun. TV yang tak siaran dan DVD player yang rusak (thank goodness!) membuat saya terpaksa duduk diam dan menikmati hari itu. Untungnya HP saya sudah saya silent dan saya sembunyikan dari malam sebelumnya, sehingga mengurangi godaan untuk nge-tweet dan update status FB. Akibatnya? Waktu berjalan begitu lambat. Hujan yang turun pun berhenti, lalu disambung hujan berikutnya. Adik-adik saya bangun dan kami menghabiskan waktu berbincang-bincang, bercanda dan menikmati kehadiran satu-sama lain. Ini juga suatu berkah, karena biasanya kami nyaris tak bertegur sapa, di hari libur sekalipun, karena semua memiliki agenda masing-masing.
Saat gelap menjelang, harus diakui keheningan menjadi semakin mencekam. I'm afraid of the dark. Kami bertiga bersama dalam kamar saya yang kecil, berdesakan sambil menghibur dan menenangkan satu sama lain. Sebenanya tidak ada yang harus dikhawatirkan, namun manusia pada dasarnya tidak menyukai apa yang tidak mereka ketahui. Dan kondisi yang begitu hening, gelap dan mencekam sedikit banyak mempengaruhi mood semua orang. Yang kemudian menghasilkan efek yang dimau: berdoa sepenuh hati pada Tuhan agar dilindungi :). Kami berdoa, kami menghibur satu sama lain, dan pada akhirnya, terlelap dengan damai bersama. Dan sebelum tidur, saat saya menyempatkan diri mengintip keluar, Bintang-bintang tak pernah terlihat sedemikian indahnya, sedemikian terangnya. Keindahannya benar-benar sempurna karena tak harus berkompetisi dengan lampu neon dan lampu buatan lainnya.
Mungkin tulisan saya ini terdengar sangat kikuk, tapi saya benar-benar tak mampu mendeskripsikan betapa indah dan menyenangkannya hari ini buat saya. Satu hari ini membuat saya merasa jauh lebih segar daripada cuti 2 minggu penuh yang saya ambil akhir tahun lalu. Sangat mudah mencaci hari unik ini, apalagi bila bukan pemeluk Hindu Bali dan/atau bukan berasal dari Bali. Namun seperti saya jelaskan, hari ini membawa berbagai faedah: keringanan untuk bumi dan lingkungan, kedekatan anda dengan diri anda sendiri, kedekatan anda dengan keluarga, kedekatan anda dengan Tuhan. Saya yakin banyak orang yang menganggap ini horor, tapi percaya deh, it's really worth it.
Sekedar informasi, hal yang paling dihargai/dibanderol dengan mahal di resort-resort Bali adalah kesunyian. Semua hotel/resort yang dibandrol ribuan dollar per malam menjanjikan 1 hal yang sama: ketenangan dan eksklusivitas. Dan di hari Nyepi kita mendapatkan hal ini dengan gratis. Buat para pencinta Green Living (atau paling ga mengaku demikian), apa lagi cara paling baik untuk menyelamatkan bumi (dan Manusia) daripara membebaskan bumi dari beban polusi (listrik, cahaya, suara, etc) selama 1 hari saya? FYI, PLN Bali menghemat 8 MILLIAR rupiah selama Nyepi 1 hari ini, dan harusnya bisa jauh lebih banyak kalau saja resort dan hotel ikutan mematikan listrik.
Di saat semua orang sibuk promosi "Earth Hour", Bali memiliki "Earth Day". Masyarakat dalam dan luar negeri (yang beradab) juga sangat menghargai hari raya ini. Atas alasan-alasan diatas saya sungguh berharap tidak akan ada perkecualian-perkecualian selama Nyepi karena cuma di Bali yang bisa melakukan hal ini. Mau minta New York atau London melakukan ini? Jangan mimpi... :)
Wednesday, March 9, 2011
Nyepi, Sesusah Apa Sih?

Ok, ga usah panik LOL. Saya sudah bilang belum kalau Internet juga mati?

LOL... :D
Tapi serius lho, hal ini bisa dilakukan. Masyarakat Bali mengambil cuti sehari dari, ehm, dunia, untuk merayakan Tahun Baru Saka (Internetnya masih nyala sih). Walau terdengar horor, ini bener-bener terjadi dan merupakan salah satu hari yang terbaik di Bali. Penasaran? Stay tuned, will keep you posted ;)
Acknowledgment: Brewster Rockit comic strip by Tim Rickard
Nyepi, How Hard Can It Be?

Ok, no need to get panic LOL. Did I tell you that internet is off, too?

LOL... :D
Seriously, it can be done. Balinese take a day off from, well, world, to celebrate Balinese New Year. (the Internet is still on, though). You think it's impossible? Nope, it can be done, and it is one of the best day of the year. Will keep you posted, so stay tuned ;)
Acknowledgment: Brewster Rockit comic strip by Tim Rickard
Thursday, January 27, 2011
Old Bali at Sanur Pejeng, Ubud
The road that we took was the road to Ubud area. Sukawati, celuk, passing all those beautiful rice fields and old (or should i say ancient) houses and Banjars and many Pura. On the way, the road become more and more narrower and also winding, so if you
get carsick easily you might want to bring some refreshment. However, the view was become more and more lush and greener on the way, so it really compensate the winding road. When we reach their Grya (main house) it was like transported back to the old Bali, with no tourist or hawker or even any signs of modern civilization (yes, I meant those pulsa dealer, PlayStation rental or worse, Cafe and bars).
You can see the moss over the rocks and structures, the thick green forest beyond and the soft sounds of the river below. Some would say I'm mentally ill and absorb too much in tourist-mode. It is , after all, just another deserted Balinese village. Well I lived my life in Jakarta, and travels around the world by means of books, news and literature, and yes, I didn't found any big cities interesting (except for the food). Big (and so-called modern) cities are like coming from cookie cutter or one of mass Chinese product. The "modern" style leaves one so cold and it's really doesn't feel nice to see nor touch. I'm a city girl through and through, but traces of old civilization has always been my secret love. This village is a gem.
Back to Topic, the first picture above was the entrance of their praying place (Merajan). The little statue on the right was a Bali Style Ganesha (I think. See below). I can't resist myself to swept my hands over the soft moss and the cold rock of the statue, thus the nice ladies who were in charge to help on the wedding consequently staring at me with odd look hehehe. Sorry ma'am, it won't happen again.
The trees were also awesome. The one that you saw below is actually a Champaka tree. The tree can grow extremely big, however they did a fabulous job on trimming it so it is still alive but not too big. Among others are Frangipani (of course!), Sandat/Ylang-ylang, Bougainvillea and several others which I don't know the names.
The feast was excellent. period :)
The wedding was nice as well. It is always so great to be with family, sharing stories and gossip (yup, I'm officially a girl). And soon enough, it's time to return home.
The road that we took back to Denpasar was different from the road we took to get there. Fine by me, I'm not driving and get to view the wonderful scenery to my heart's content :). Among other things, I saw a great Pura called Pura Pengukur-ukuran. I was so excited to see it and told my mum it's gotta be a really old Pura. I was right, it was made in year 1194. There are other pura as well in the area. Too bad I'm not at liberty to stop and visit them one by one :(
It was a great trip all together. I would recommend you to visit this beautiful village yourself, but unfortunately there aren't any lodging that I saw there (though I did see a couple of foreign tourist walk backpacking with their guide. Not sure where they stay.)But then again, with lodging and stuff it'd get polluted wouldn't it. If you happen to visit this area, make sure NOT to leave traces that damage the purity of it (over tipping, over whining, over anything!). Enjoy!
Sunday, December 12, 2010
Galungan Dec 2010 Part 1: Flower Power!
As you have probably read in my previous Galungan and Kuningan post, Galungan is a celebration of the Dharma (good) victory against Adharma (not good). Balinese Hindu celebrate it with various offerings and prayers, and all family (commonly) gathered to prepare the big day: the feast, the offering, and so on. It's almost like Christmas or Thanksgiving (but minus the presents and the turkeys) or Ied-ul Fitri (minus the fasting - thank God!).
For women, the preparation starts with preparing the offerings, which consists of flowers, fruits, dainty cakes, and various types of offering complementer made from young coconut frond (which is a piece of art itself). Making the frond arrangement is quite a task for me, but not shopping ;)
As I reside in Denpasar, the best place to shop all the flowers we need is at Pasar (market) Badung. This market is currently undergo renovation, but it still fabulously fantastic to visit especially days berfore a Bali Holy Day. The flowers are just everywhere! The sack that you see on the right below is flower petals of Rose Balsam or Bunga Pacah. Can't believe how many flowers needed for one sack, and there they trade it by tons. They also have shredded pandan leaves, all by sacks.
Also selling lotus flowers, hydrangea, ylang ylang, and sweet smelling champaka. You are welcome to buy it, even just for giving scent in your room. The price is about IDR 1000 per champaka, but it may fluctuates during (or near) Holy days.
Pasar Badung also have various food stalls, fruit stalls, anything you need for your praying and also daily cooking. Imagine going to farm market and multiply it to 10, that would sum it up, and it's only the seller on the outside of the building (Pasar Badung also have a solid building for Balinese Clothes seller, souvenirs and such). The surrounding, however, was well maintained as "old town" complex.
Back to business, I took a shot of what one of the offering complementer will be (Canangs). The case is made from young coconut frond, and it was filled with flowers, pandan leaves, sugar cane, banana, and stuff I'm not sure what it called in English (or even in Indonesia!). It's rich in meaning, rich in color, rich in everything. Balinese did a fine work for God ;).
Shopping for Galungan at Pasar Badung is really fun. I enjoy the sight of the old buildings and shops around, which combine really well with the noise and the sweet flower smell. What can I say, I'm a sensualist hehehe... If you haven't been there, go, and enjoy yourself :). Gajah Mada Town Festival is also a great way to get to know more about this fabulous place, and it is usually held on December 28-30. Who said shopping in traditional places is a nuisance?