AdSense Page Ads

Showing posts with label Kerukunan Beragama. Show all posts
Showing posts with label Kerukunan Beragama. Show all posts

Wednesday, August 5, 2015

Manusia vs Tuhan: Sebuah Perjalanan

Kalau dipikir2 ya, Tuhan menciptakan manusia serupa satu sama lain. Cetakannya sama persis gitu lho, adonannya juga. Terus apa hak kita songong banget ngebeda2in satu sama lain? Kalau dibilang Tuhannya beda ya gimana ya. Samsung sama Apple yang produknya mirip2 (dari jauh) juga nggak 100% sama toh. Kalau pake nalar juga semua manusia sama, sejenis dan satu species. Buktinya bisa menghasilkan keturunan bukan, terlepas dari ras atau agama atau status sosialnya? Tuhan yang Maha Pencipta dan Maha Kuasa pastinya bisa dong menciptakan jenis manusia yang berbeda-beda dan eksklusif. Kodok aja spesiesnya banyak bener. 

Ini bukan berarti anda harus percaya atau nerima agama/kepercayaan orang lain ya. Yang anda percayai ya hak anda. Urusan sama Tuhan/kata hati itu urusan paling asasi menurut saya. Paling mendasar. Yang nggak boleh itu memakai alasan agama/kepercayaan untuk ngebedain orang lain. Bukan apa-apa, Tuhan aja nggak rempong kok. Kenapa situ yang repot? Kalau Tuhan mau rempong, semua manusia diciptakan jelek dan buruk rupa lalu hanya yang mengikuti ajaranNya yang benar yang perlahan-lahan jadi tambah mendingan, tambah berkilau. Hmmm.... Sebenarnya ini udah kejadian bukan? Yang benar-benar orang baik mengasihi sesama etc biasanya terlihat lebih gimana gitu, yang kita ngeliatnya jadi adem. Bukan cantik fisik, tapi cantik hati.

Lain kali anda melihat seseorang, lihat kedalam matanya. Ingatkan diri anda bahwa orang tersebut bernafas seperti anda, perlu makanan dan minuman seperti anda, punya kebutuhan fisik untuk bisa bertahan hidup sama seperti anda. Ingatkan diri anda bahwa orang tersebut juga bisa marah, sedih, gembira, dan terikat berbagai ikatan emosi lainnya seperti anda. Lihat orang tersebut sebagai seorang manusia, sama seperti anda. Ini juga berlaku online ya. Kenapa harus begini? Karena metode jualan masa kini adalah penggiringan opini dan pengkotak-kotakkan. Anda vs Saya itu lebih menjual dan lebih gampang disetir daripada Kita dan/atau Kami. Kita yang memang dasarnya punya sifat kompetitif dengan mudahnya terjual dan percaya. Padahal seperti kata pepatah soal perang: menang jadi arang kalah jadi abu.

Sekali lagi, melihat seseorang sebagai manusia tidak berarti anda harus mendadak mengiyakan/menyetujui perbedaan. Anda tidak nyaman dengan LGBT? Tidak apa-apa. Itu hak anda. Anda sebal melihat perempuan pamer bodi? Tidak apa-apa. Itu hak anda. Anda berpikir agama anda yang paling benar? Tidak apa-apa. Itu hak anda. Tapi jangan semerta-merta mengambil sikap "Saya Benar Kamu Salah". Percaya deh, Tuhan lebih dari mampu untuk menghukum orang yang bersalah padaNya. Jangan menyepelekan Tuhan apalagi meninggikan diri dengan berpikir anda perpanjangan tangan Tuhan. Perpanjangan tangan Tuhan yang valid itu cuma saat anda memberi dan menolong, karena Tuhan Maha Pemurah dan Penyayang bukan?

Kalau masih bingung kapan harus bersikap, lihat secara objektif kondisi keseluruhan: apakah ada yang tertindas atau haknya dirampas? Saat ada ibu-ibu dijambret reaksi anda tentunya langsung mengejar jambret itu bukan? Atau pura-pura bego sih. Yang jelas reaksi anda pastinya bukan klarifikasi dulu si ibu agamanya apa. Contoh lain: apa iya pura disamping masjid anda membuat anda tertindas, misalnya. Kalau jawabannya ya karena mereka potong babi tiap hari, ini masuk akal. Tapi harus dilihat juga, siapa yang duluan ada. Jangan kayak orang sini yang pindah ke dekat airport lalu menuntut airportnya karena terlalu bising. Kalau jawabannya ya karena menurut buku suci mereka orang berdosa, monggo dipikirkan lagi: siapa anda mengatur-atur siapa yang dosa atau tidak? Anda aja mungkin nggak bisa nebak siapa yang korup dan yang tidak, atau bahkan siapa yang masih perawan, boro-boro nebak hitung-hitungan doa dan dosa. Lagian seperti buka toko, walau banyak saingan tapi toko yang paling bagus dan paling berfaedah untuk konsumennya biasanya paling laku. Percaya sama 'toko' anda sendirilah.

Semua agama menjanjikan nirwana, surga, dan apapun namanya. Pokoknya tempat yang aman damai indah dan sebagainya setelah kita mati nanti. Syaratnya gampang, jadi orang baik dan taat aturan Tuhan. Nah, yang orang banyak nggak tahu itu sebenarnya surga bisa diraih saat masih hidup. Kalau semua orang hidup damai dan menghargai satu sama lain apa bukan surga namanya? Seberat-beratnya hidup, pasti perasaan anda akan sedikit terangkat/legaan saat mendengar sapaan ramah atau senyuman tulus. Ini target yang harus anda capai, jadi pelita untuk orang lain agar dunia semakin cerah. Jangan tunggu surga pas meninggal bo', masih lama itu. Apalagi dengan ilmu kesehatan yang makin canggih. Kalau nantinya masuk Surga yang beneran anggap aja bonus gitu. Tapi ini cuma bisa dicapai dengan kerendahan hati yang mengakui bahwa Tuhan Maha Pencipta, dan kekaguman akan ke Maha Kuasaan Tuhan, serta keterbukaan hati+pikiran bahwa kita tidak tahu rencana Tuhan. Dengan kata lain, tahu diri gitu lho. Jangan rempong mengklasifikasikan dan mengkotak-kotakkan orang, cukup sarung saja yang motifnya kotak-kotak.

Saturday, May 31, 2014

Sebangsa vs Seiman

Seorang teman menulis status di Facebook: "Semoga masa kampanye ini cepat selesai. Prihatin melihat saudara seiman saling serang dan saling fitnah." Pikiran saya yang jahil langsung tergelitik dan bertanya: memang kalau ga seiman ga sebangsa ya??

Saya tidak prihatin melihat saudara-saudara seiman saya (Hindu Bali) saling gontok-gontokan soal capres 2014. Maksudnya, saya tidak prihatin atau khawatir akan kelangsungan agama saya. Saya pribadi yang ngejalanin kok, ga ada urusannya siapa capres yang bakal terpilih atau yang dijagokan rekan-rekan seiman saya. Siapapun itu asal bisa bikin Indonesia lebih maju kenapa nggak. Urusan kenegaraan dan urusan keagamaan itu dua hal yang berbeda, toh presiden RI harus mengayomi semua WNI walaupun yang berbeda agama dengan beliau bukan?

Yang saya prihatin adalah saudara-saudara SEBANGSA (yup, pake huruf kapital biar lebih joss) yang saling serang dan saling fitnah. Semua hal bisa dipake adu domba kok, mulai dari masalah kuat-kuatan agama, suku, kekayaan, ras, sampai muka pun bisa jadi bahan serangan (balik). Para WNI yang terpelajar (macam saya dan anda para penulis dan pembaca Kompasiana) harusnya ngeh kalau ini cerita lama. Pemilu Malaysia, pemilu Amerika, dan saya rasa pemilu-pemilu di banyak negara lain pun pasti jurkamnya sibuk saling serang karakter dan bukannya adu program. Pertanyaannya, apa gosip dan/atau fitnah ini mempengaruhi kepemimpinan mereka?

Kampanye Amerika tahun 2012 adalah salah satu yang paling "ganas" yang pernah saya lihat, dan kedua kubu sibuk menjatuhkan satu sama lain dengan berbagai fitnah dan cerita lebay, yang mana membuat publik Amerika terbelah dua. Akhirnya yang menang tetap Obama, karena memang dia yang punya program yang paling solid untuk kenyamanan hidup warga negara Amerika. Jadi buat apa sibuk saling memaki dan mencibir dan mati-matian menolak hanya karena yang satu hanya ayahnya yang Islam dan yang satu lagi konon keluarganya berantakan? Apakah ini yang akan menyejahterakan rakyat Indonesia, atau akankah program-program yang ditawarkan?

Tapi sebagus apapun presidennya, tidak banyak gunanya kalau kita masih cuma berpikir soal "seiman" dan bukan "sebangsa". Bangsa Indonesia itu luar biasa besar lho, dari Sabang sampai Merauke. Sementara kalau bicara soal seiman, Hindu saja bermacam-macam di Indonesia. Bahkan di Bali sekalipun tiap daerahnya ada sedikit perbedaan dalam menjalankan agama dan adatnya. Inilah kenapa dulu kita punya Sumpah Pemuda : Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa; karena tanpa itikad persatuan ini sulit mempersatukan tiap suku/agama/golongan di Indonesia yang masing-masing punya agenda dan egoisme sendiri. Inilah kenapa akhirnya Belanda dan Jepang bisa kita tendang dari bumi Indonesia, dan kita bisa bilang ke dunia: "Merdeka!"

Pasti banyak dari anda yang berpikir: "Buat apa saya pikirkan orang yang tidak seiman/sesuku/segolongan dengan saya?". Ini wajar, karena banyak pemuka agama (bukan agamanya lho!) yang memproklamirkan kalau orang yang tidak seiman itu akan masuk neraka atau bahkan dilarang didekati apalagi diakui. Pertanyaannya, mau dibawa kemana sikap ini? Bayangkan anda mau bikin mobil, tapi bukannya bekerja sama tiap departemen (mesin, cat, bodi, etc) malah sibuk dengan agenda masing-masing dan tidak mengakui departemen lain. Jadilah mesin yang super gede dan maha kuat yang tidak masuk di dalam bodi yang dirancang super ramping dan cepat dengan paint job yang sangat girly dan ABG-to-the-max ala JKT48. Jangankan dijual, belum tentu itu mobil bisa jalan. Atau bagaimana bila tiap departemen menolak bekerja sama sekali karena tidak seiman/sesuku/segolongan? Walhasil itu blueprint cuma jadi alas mouse, itupun syukur kalau sudah jadi blueprint dan bukan masih cuma post it/kertas tempel, ato sekedar saran di e-mail. Inilah kondisi Indonesia sekarang.

Suami saya yang orang Amerika berkali-kali mengeluh penuh frustrasi akan lemotnya internet di Indonesia, padahal kami cuma berkunjung di Jawa dan Bali yang harusnya infrastruktur dan jaringan komunikasinya lebih baik daripada daerah lain di Indonesia. "Harusnya pemerintah kamu investasi ke jaringan komunikasi dan perhubungan. Bagaimana Indonesia bisa membela diri terhadap invasi asing kalau tidak ada jalan untuk tentaranya? Bagaimana orang Indonesia bisa belajar kalau internetnya saja nyaris tidak ada? Kenapa tidak kirim orang-orang untuk belajar di Amerika atau negara maju lainnya agar bisa punya tenaga ahli di Indonesia?" Konon begitu omelan kakanda saya, dan saya cuma bisa manggut-manggut. Bagaimana mau berpikir sejauh itu, jawab batin saya, kalau jabatan menteri dibagi-bagi kaya kacang gratis ke orang yang tidak punya kompetensi. Dan kita yang orang Indonesia tidak protes, padahal kita yang paling berkepentingan.

Ini yang harusnya kita perjuangkan di pemilu ini, masa depan Indonesia. Harusnya kita bisa protes dan meminta para pejabat terpilih adalah pejabat yang punya kompetensi dan punya track record yang bagus di bidangnya, keselektifan harus diterapkan untuk semua menteri dan bukannya untuk menkes menkeu dan menlu saja (karena saya sangat ragu menteri kominfo yang sekarang punya kompetensi di bidang kominfo dengan segala celetukan doi yang ga jelas). Harusnya kita bisa berpikir lebih jauh dari cuma sekedar "Ih, dia kan tidak seagama". Harusnya kita bisa berpikir dan bertanya: "Negeri seperti apa yang nanti akan ditinggali anak cucu saya?"

Suka tidak suka, kita satu bangsa: bangsa Indonesia. Anak cucu kita pun (kecuali yang membelot ke luar negeri ya) akan tetap jadi WNI, dan tinggal di bumi Indonesia ini. Bahkan yang sudah bukan WNI pun pasti tetap ingat tanah leluhur, karena darah tidak bisa bohong. Anda boleh cari, tapi saya rasa tidak ada satu negara pun di dunia ini yang hanya dihuni secara eksklusif oleh satu agama/suku/golongan. Kita bisa main gontok-gontokan antar golongan dan agama seperti Mesir dan Thailand, saling usir-mengusir sesama warga negara seperti Myanmar, atau kita bisa menguatkan diri dan bersatu untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Sekarang saatnya kita memilih.

Search This Blog