"Kita perlu presiden yang cerdas dan pintar berbahasa Inggris, dan bukannya yang menipu rakyat dengan pencitraan palsu!"
Darah saya mendidih membaca status diatas. Bukan soal capres jawara saya dianggap 'bodoh' dan 'penipu', tapi karena Bahasa Inggris dijadikan tolok ukur 'kemampuan' seseorang, dijadikan salah satu persyaratan untuk jadi presiden Indonesia. Saya marah karena bahasa asli kita adalah Bahasa Indonesia, dan bukan Bahasa Inggris; dan karena 'persyaratan' Bahasa Inggris ini secara efektif mengeliminasi hampir seluruh warga negara Indonesia yang tidak bisa berbahasa Inggris dengan fasih karena strata sosial dan kondisi keuangan mereka. Bisa berbahasa Inggris itu suatu privilese, suatu 'kemewahan' yang didapat karena nasib anda lebih baik dari orang lain. Serius.
Buat kita (yang konon) orang terdidik, Bahasa Inggris mungkin sudah seperti bahasa kedua kita. Saya lebih fasih berbicara Bahasa Inggris daripada bahasa Bali, dan saya rasa banyak orang seperti saya. Tapi kita tidak sadar bahwa untuk bisa belajar Bahasa Inggris dengan baik dan benar merupakan suatu 'kemewahan' tersendiri. Biaya les bahasa asing di lembaga seperti LIA, EF, IALF dan sebagainya tidak terjangkau bagi kebanyakan orang Indonesia, dan butuh kemampuan pemahaman yang super hebat untuk bisa Bahasa Inggris secara otodidak/hanya belajar dari lagu buku atau film. Dan bahkan setelah anda menghapal segala grammar/tata bahasa dan vocabulary/kosa kata yang diperlukan, anda tetap harus berlatih dan menggunakannya setiap hari agar anda fasih berkomunikasi baik lisan maupun tulisan dalam Bahasa Inggris. Buat kita yang terdidik di sekolah-sekolah (elit), ini tidak masalah. Tapi bagaimana dengan warga negara Indonesia yang tidak memiliki akses/kemudahan seperti ini?
Ini bukan lagi soal capres 2014, ini soal bangsa Indonesia dan bahasa persatuan kita.
Pengalaman saya selaku guru Bahasa Inggris selama 4 tahun membuka mata saya tentang ketimpangan kemampuan Bahasa Inggris diantara penduduk Indonesia (atau lebih tepatnya Jakarta). Dan ya, ketimpangan ini disebabkan oleh kemampuan finansial mereka. Saya dibayar 2 kali lipat lebih banyak untuk period mengajar yang sama antara kelas privat A dan kursus masal B. Di kelas privat A saya duduk dengan manis bersama 2 murid saya di kamar belajar mereka, dikelilingi buku-buku dan game/mainan-mainan dengan Bahasa Inggris; orang tua dan bahkan nanny mereka pun berbicara dengan saya dalam Bahasa Inggris walau tak sempurna. Di kursus masal B saya memiliki 15 murid yang beberapa diantaranya berpikir Bahasa Inggris itu buang-buang waktu saja, dan di dalam ruangan kursus yang kecil itu saya berusaha sebisa saya memasukkan dasar-dasar Bahasa Inggris ke dalam otak mereka hanya berbekal buku kursus yang tidak lengkap dan materi tambahan yang saya unduh dari internet dan saya print/cetak dengan menggunakan uang saya sendiri. Tebak yang mana yang sekarang mampu berkomunikasi dengan Bahasa Inggris secara lancar jaya?
Butuh bukti lagi? Buku pelajaran Bahasa Inggris yang benar-benar bagus dan lengkap (misalnya saja dari Betty Azar) harganya sekitar Rp 200,000; buku cerita berbahasa Inggris yang impor harganya paling sedikit Rp 50,000. Buku pelajaran berbahasa Inggris yang terjangkau buatan Indonesia memang bisa dicari di pasaran dan bisa didapat dengan hanya Rp 10,000, begitupula dengan buku cerita bergambar yang sudah terlihat cantik dan menarik bisa didapat dengan hanya Rp 25,000; tapi isinya lain cerita. Suami saya yang orang Amerika membeli buku-buku murah ini untuk membantunya belajar Bahasa Indonesia, tapi kemudian ia bertanya "Kenapa terjemahannya banyak salah begini ya?". Sayangnya buku murah ini yang lebih mungkin dimiliki mayoritas warga negara Indonesia, yang penuh typo/salah ketik, tata bahasa yang kurang tepat, bahkan sebutan kuno (garpu diterjemahkan sebagai 'spoon fork' alias sendok garpu di salah satu buku yang kami beli).
Intinya: saat anda melecehkan kemampuan bahasa Inggris sesama warga negara Indonesia yang memiliki kesempatan dan sumber daya yang lebih sedikit dari anda untuk lancar berkomunikasi dalam bahasa Inggris, anda sebenarnya berkata pada orang tersebut: "Gue lebih kaya daripada loe. Hohohoho."
Pastinya ada segelintir orang yang mampu memaksimalkan sumber daya di sekitar mereka untuk belajar Bahasa Inggris secara otodidak, tapi orang-orang jenius ini tidak banyak; begitu pula orang-orang yang memiliki kesempatan untuk belajar bahasa Inggris dengan baik tanpa membayar. Dan ini yang harus kita sadari, bahwa kemampuan Bahasa Inggris yang kita miliki bukan jatuh dari langit, bahwa kemampuan Bahasa Inggris kita ini suatu privilese, suatu kemewahan; dan tidak pantas kita menilai sesama warga negara Indonesia dari kemampuan bahasa Inggrisnya saja. Saya sering sekali melihat diskriminasi ini, saya sering melihat teman-teman saya yang sebenarnya kompeten tapi sulit mendapatkan pekerjaan karena ketidakmampuan mereka berbahasa Inggris; dan sebaliknya, saya bisa semena-mena menaikkan tarif saya karena kemampuan bahasa Inggris saya. Bila anda bekerja di bidang yang memang membutuhkan bahasa Inggris, tentunya wajar bila anda dituntut bisa berbahasa Inggris sebaik mungkin; tapi apakah anda punya hak menertawakan atau menganggap remeh teman anda saat anda kongkow/nongkrong bareng hanya karena ia tidak bisa berbahasa Inggris sebaik anda?
Diskriminasi ini juga terlihat saat saya bekerja dengan klien asing, dimana klien-klien saya menganggap saya lebih baik (dan lebih berpendidikan) dari sales lain hanya karena saya bisa lancar berbahasa Inggris; sementara rekan saya seringkali tidak dianggap (padahal dia lebih bagus daripada saya). Padahal ini bukan bahasa kita lho. Serius. Coba pikir deh.
Di Amerika Serikat sini kemampuan berbahasa Inggris makin lama makin penting karena banyaknya immigran yang tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik dan benar; hal ini menyebabkan para anti-imigran sangat vokal untuk menegaskan keharusan berbahasa Inggris disini. Sementara di Indonesia, kita malah sibuk melecehkan salah satu capres karena konon ia tidak bisa berbahasa Inggris. Capek deh. Apa ini bukan bentuk 'tunduk' terhadap kekuasaan asing? Saat kita menghargai bahasa asing lebih tinggi daripada bahasa kita sendiri? Sudah cukup kita tergila-gila dengan muka artis asing/blasteran di layar TV dengan nama-nama bule yang pasti si mbok dan mbah di kampung tidak bisa melafalkan, haruskah kita juga merelakan bahasa kita dianggap lebih rendah dari bahasa asing? (Buat yang mau komen bahwa tidak benar masyarakat Indonesia maniak muka artis blasteran, saya cuma ingin memberitahu bahwa sepanjang liburan 3 bulan kami di Indonesia yang mencakup Jawa-Bali-Lombok-Sulawesi semua orang Indonesia yang kami temui menyarankan agar saya segera punya anak dari suami bule saya agar anak saya bisa jadi 'artis').
Bila anda benar-benar tidak suka dengan si krempeng ndeso itu, monggo/silakan anda 'menyerang' dia dan membeberkan bukti betapa tidak kompetennya dia sebagai presiden nantinya. Tapi saya mohon, saya benar-benar mohon, untuk tidak berkata ia tidak pantas jadi presiden karena dia tidak bisa berbahasa Inggris; setiap warga negara Indonesia memiliki hak yang sama di mata hukum, hak yang sama untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan, hak yang sama untuk menjadi presiden terlepas dari latar belakang dan kekayaannya. Memang benar presiden Indonesia nantinya harus berkomunikasi dengan bahasa Inggris kepada pemimpin dunia lainnya, tapi bukankah beliau akan jauh lebih banyak berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dalam menjalankan pemerintahan Indonesia? Pendapat bahwa presiden Indonesia harus fasih berbahasa Inggris agar tidak memalukan di tingkat dunia melecehkan Bahasa Indonesia, karena Bahasa Indonesia tidaklah inferior/lebih rendah dari bahasa Inggris. Menyulitkan mungkin, tapi jelas tidak memalukan. Tidak ada yang memalukan dari ketidakmampuan berbicara dalam bahasa asing yang bukan bahasa nasional kita, apalagi bila anda tidak memiliki sumber daya/kesempatan untuk mempelajarinya dengan sempurna.
Suami saya menguras tabungan untuk bisa tinggal dan belajar bahasa Indonesia selama 3 bulan di Indonesia. Dia membeli berbagai buku, mulai dari yang murah sampai yang mahal; dan mengalami frustasi tingkat tinggi karena ketidakmampuannya menguasai bahasa Indonesia dengan cepat. Tapi dia tetap bertahan, walau sebenarnya bahasa Indonesia tidaklah diperlukan untuk bekerja di Amerika Serikat. Dia bertahan karena keinginannya untuk bisa berkomunikasi dengan saya menggunakan bahasa asli saya, untuk meredakan kerinduan dan kehampaan yang saya rasakan saat jauh dari keluarga di Indonesia. Ini makna bahasa Indonesia, sebagai sebuah pemersatu. Saya bisa berbincang dengan teman saya dari Padang, dari Sulawesi, dari Jawa, dari berbagai penjuru Indonesia berkat bahasa Indonesia. Dalam 'petualangan' kami pun kami cukup banyak bertemu orang Indonesia yang tidak terlalu fasih berbahasa Indonesia (hanya bisa berbicara dalam bahasa dareah mereka), namun dengan bahasa Indonesia seadanya kami mampu berkomunikasi dengan mereka. Inilah kenapa Mohammad Yamin dalam Kongres Pemuda Kedua mendeklarasikan Sumpah Pemuda dimana sumpah tersebut menjadi tonggak utama pergerakan kemerdekaan Indonesia. Inilah kenapa kita akhirnya bisa merdeka sekarang ini. Bukan karena bahasa Inggris, tapi karena bahasa Indonesia. Mari kita hargai bahasa nasional kita.
PS: Masih keukeuh/ngotot kalau tidak bisa bahasa Inggris kita bakal diejek dan dipermalukan? Saya menemukan artikel dari Washington Post dimana mereka 'meledek' batik yang dipakai pemimpin dunia saat konferensi APEC sebagai 'baju konyol'. Apa karena ini kita juga mau menghilangkan batik karena 'tidak sesuai standar dunia' dan 'malu-maluin'? Stop didikte asing lah...
No comments:
Post a Comment