Saya ingin pergi. Saya tak tahu saya mau pergi kemana, tapi saya ingin pergi melihat dunia. Saya ingin melihat dengan mata kepala saya indahnya Indonesia, dan ingin merasakan seperti apa di negeri orang. Mungkin ini efek tinggal di pulau kecil dan memiliki pekerjaan yang (lumayan) monoton, mungkin ini efek tekanan keluarga atas status single saya, mungkin ini efek kesetressan saya menjadi single sekian lama, tapi saya benar-benar ingin pergi jauh. Dulu-dulu saya tidak perduli, dulu-dulu saya sudah cukup senang 'mengunjungi' tempat-tempat eksotis tersebut hanya lewat bacaan, entah kapan perasaan saya berubah dan hasrat untuk bepergian semakin menyeruak. Sayangnya mimpi hanyalah mimpi. Pelesir itu butuh uang, dan rasanya tidak masuk akal membuang uang untuk tamasya beberapa hari saat uang tersebut bisa dialokasikan untuk hal yang lebih penting, uang sekolah adik atau cicilan motor misalnya. Paling tidak, begitulah alasan saya bila ditanya teman. Alasan yang sebenarnya adalah saya pengecut. Saya tidak berani meninggalkan zona aman saya.
Lalu saya memenangkan voucher tiket AirAsia senilai Rp 500,000. Saat itu saya belum pernah sekalipun naik AirAsia, walaupun tiket murah dan promo-promonya sudah melegenda. Rasanya seperti menang golden ticket-nya Willy Wonka! Hitung-hitungannya dengan voucher ini saya bisa membeli tiket PP ke destinasi wisata seperti Jogja, Makassar, bahkan Singapura atau Thailand dengan hanya menombok Rp 500,000 saja, bahkan kurang. Selama beberapa minggu setelah saya menerima voucher tersebut via e-mail, hampir tiap hari saya membuka e-mail tersebut dan tersenyum-senyum sendiri. Sumringah rasa hati ini. Sekarang saya bisa pergi, pikir saya. Saya bisa melihat dunia (atau setidaknya tempat lain selain Jakarta dan Bali). Saya bisa bertemu dan berkenalan dengan orang lain. Saya bisa menjadi petualang sejati dan bukannya wanita kantoran yang membosankan. Walau nominalnya tidak banyak, voucher ini membuat saya 'mampu' untuk melihat dunia, dan alasan ketakutan saya menjadi tidak valid sama sekali.
Hijaunya kaki Gunung Merapi |
Hari berganti dan bulan berlalu, namun voucher tersebut masih belum juga terpakai. Berbagai alasan saya kemukakan pada diri saya sendiri: mulai dari susah mendapat cuti, banyak hari raya, sampai (lagi-lagi) biaya. Bisikan-bisikan pesimis pun muncul, “Sudah tidak usah dipikirkan, menangnya juga kebetulan dan kamu tidak rugi apa-apa. Kamu juga sudah dapat pengalaman yang menarik dan teman baru saat memenangkan tiket ini. Jangan rakuslah.” Untungnya sifat keras kepala (plus irit) saya bersikeras dan tidak mau begitu saja melewatkan kesempatan melihat dunia. “Ke Singapura saja,” kata si keras kepala. “Beli tiket PP diskon ke Singapura, cukup satu malam atau bahkan pulang hari saja. Paling tidak kamu bisa melihat bandara Changi dan jalan-jalan via MRT tanpa harus membayar hotel. Tidak seberapa memang, tapi setidaknya kamu tahu rasanya terdampar di luar zona amanmu.” Cukup masuk akal menurut saya, dan jadilah saya mulai bermimpi dan merencanakan petualangan saya.
Kalau di buku novel, pastinya saya sudah terbang ke Singapura dan setelah itu menjadi petualang sejati dan hidup bahagia selamanya. Sayangnya ini bukan buku novel. Tiga minggu sebelum masa berlaku voucher ini berakhir saya bertemu seseorang istimewa di internet, dan dia akan ada di Jakarta hanya dua hari sebelum pulang ke negaranya, Amerika Serikat. Pertanyaannya, apakah saya sebodoh dan seputus asa itu menggunakan 'golden ticket' saya untuk bertemu pria ini? Saya baru berkenalan dengannya hanya dua hari di internet waktu ia menawarkan untuk bertemu muka, bagaimana kalau ternyata dia psikopat atau jaringan trafficking? Apakah satu-dua jam bersamanya setara dengan petualangan satu-dua hari di Singapura atau Jogjakarta? Apa iya saya akan rela membuang begitu saja kesempatan saya untuk melihat dunia, yang mungkin tidak akan bisa saya dapatkan lagi, hanya demi seseorang yang mungkin akan mematahkan hati saya lagi? Saya sudah capek berurusan dengan romansa, dan ini juga salah satu alasan kenapa saya ingin 'pergi', saya ingin bebas menjadi diri saya sendiri. Tapi saya kesepian, dan saya tak ingin melihat dunia sendirian. Saya akhirnya menggunakan voucher tersebut untuk membeli tiket ke Jakarta dan bertemu dengan prian ini hanya 4 hari setelah kami pertama kali berkenalan dan berbincang di internet. Saya tahu saya pengecut, saya tahu saya mungkin telah menutup kesempatan terakhir saya untuk melihat dunia, tapi saya telah memilih. Petualangan terbesar adalah petualangan bersama seseorang yang kita kasihi, dan saya menginginkan seorang belahan jiwa lebih daripada saya menginginkan melihat dunia.
26 bulan kemudian saya asyik memandangi gedung-gedung tinggi Singapura dari kolam renang di lantai 57 hotel Marina Bay Sands saat suami saya berseru, “Ary, smile!” dan menjepret foto selfie kami berdua. Yup, dia pria yang temui dengan menggunakan voucher AirAsia tersebut. Secara tidak langsung, voucher tersebut sudah 'menerbangkan' saya ke The Getty, Santa Monica Pier, Los Angeles, Very Large Array, Tombstone, Singapura, Malaysia, Toraja, Bromo, Pura Gunung Salak, Surabaya, Pare-pare, Makasar, Lombok, dan area-area di Bali yang belum pernah saya jamah sebelumnya. Namun itu hanyalah bonus bagi saya. Voucher tersebut memberikan saya hal yang paling saya inginkan: pasangan hidup yang mencintai saya, teman berpetualang yang super asyik, seseorang yang mengisi relung kosong di hati ini. Berkat voucher itu pula saya menemukan sahabat sehati dan keindahan Bali yang sebenarnya. Saya harus membayar Rp 10,000 dengan kartu kredit untuk menggenapi harga tiket tersebut, sementara saya tidak memiliki kartu kredit sehingga harus meminta bantuan seorang sepupu. Kami menjadi dekat setelah itu dan menemukan bahwa kami memiliki banyak kesamaan terutama dalam kecintaan kami terhadap Bali, yang akhirnya terkulminasi dalam proyek pertama kami "Journey To Bali: The Best Festivals and Events in 2014". Oh ya, dan saya pun menemukan hasrat dan cita-cita saya: saya ingin menjadi penulis.
26 bulan kemudian saya asyik memandangi gedung-gedung tinggi Singapura dari kolam renang di lantai 57 hotel Marina Bay Sands saat suami saya berseru, “Ary, smile!” dan menjepret foto selfie kami berdua. Yup, dia pria yang temui dengan menggunakan voucher AirAsia tersebut. Secara tidak langsung, voucher tersebut sudah 'menerbangkan' saya ke The Getty, Santa Monica Pier, Los Angeles, Very Large Array, Tombstone, Singapura, Malaysia, Toraja, Bromo, Pura Gunung Salak, Surabaya, Pare-pare, Makasar, Lombok, dan area-area di Bali yang belum pernah saya jamah sebelumnya. Namun itu hanyalah bonus bagi saya. Voucher tersebut memberikan saya hal yang paling saya inginkan: pasangan hidup yang mencintai saya, teman berpetualang yang super asyik, seseorang yang mengisi relung kosong di hati ini. Berkat voucher itu pula saya menemukan sahabat sehati dan keindahan Bali yang sebenarnya. Saya harus membayar Rp 10,000 dengan kartu kredit untuk menggenapi harga tiket tersebut, sementara saya tidak memiliki kartu kredit sehingga harus meminta bantuan seorang sepupu. Kami menjadi dekat setelah itu dan menemukan bahwa kami memiliki banyak kesamaan terutama dalam kecintaan kami terhadap Bali, yang akhirnya terkulminasi dalam proyek pertama kami "Journey To Bali: The Best Festivals and Events in 2014". Oh ya, dan saya pun menemukan hasrat dan cita-cita saya: saya ingin menjadi penulis.
Besarnya Very Large Array (total 27 antena satelit) di New Mexico |
No comments:
Post a Comment