AdSense Page Ads

Showing posts with label Islam Indonesia. Show all posts
Showing posts with label Islam Indonesia. Show all posts

Wednesday, June 17, 2015

Jagalah Hati, Jangan Terpercik Muka Sendiri

"Jagalah hati, jangan kau kotori/Jagalah hati, lentera hidup ini..."

Siapa yang masih ingat dengan lagu ini? Seiring waktu sudah banyak versi yang beredar, tapi buat saya versi Bimbo [kalau nggak salah, yang versi paling pertama muncul] tetap yang paling menyejukkan. Adem gitu lho. Biasanya lagu ini akan marak/baru ketemu di bulan Ramadan/bulan puasa, padahal menurut saya liriknya valid banget untuk kehidupan sehari-hari. Menjaga hati kan tidak hanya saat bulan puasa saja toh? Sama saja seperti di Amrik sini yang baru heboh menyiarkan damai Natal saat bulan Desember. Itu pun kalah dengan yang menyiarkan diskon akhir tahun. Waduh.

Balik lagi soal menjaga hati, di era sekarang ini kayaknya susah banget ya. Setiap harinya kita dibombardir dengan informasi dan tergantung kitanya yang menyisir dan memilah yang mana yang harus kita simpan. Kalau dulu lebih gampang, cuma tahu berita dari koran [Kompas] atau televisi, dan pilihannya hanya TVRI dan RCTI/SCTV saja. Itu pun beritanya masih yang propaganda. Saya masih ingat berita Pak Harto memancing ikan di laut dan selalu dapat ikan yang guede, dan kami sekeluarga berspekulasi kalau ada penyelam di bawah perahu yang mengaitkan ikan tersebut ke pancingan Pak Harto. Padahal sudah cuma itu-itu saja sumber beritanya tapi teteup nggak percayaan hahaha. Terbayang dong apa rasanya sekarang ini, dimana kita tiap hari, tiap detik dihujani dengan informasi yang sayangnya tanpa filter: dari fesbuk/medsos, dari aplikasi berita yang kita ikuti, sampai via SMS/BBM. Mau berita benar atau salah urusan sekian, pokoknya kalau 'seru' kita paling pertama yang mengklik like/share, atau mengklik tautan/link karena judulnya sangat bombastis. Gimana mau menjaga hati kalau begini caranya?

Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi, semakin sulit menentukan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Jujur, buat saya dunia ini sekarang tampaknya terbuat dari kebohongan yang berlapis-lapis dan kesalahpahaman yang diulang-ulang. Masih ingat kan soal Aga, yang berita hoaxnya bilang ia bunuh diri karena dipukuli orang tuanya? Atau berbagai kasus anak hilang seperti di Gandaria City dan lainnya? Baru-baru ini di fesbuk saya beredar kabar kalau ada seorang pria yang dibilang pedofil di Bali dan orang-orang harus waspada. Memang gampang sih nge-share untuk mengingatkan, tapi saya teringat seorang teman yang ceritanya difitnah oleh rekan kerja dan mantan istrinya sampai harus memberi klarifikasi kepada saya bahwa ia bukan gay. Padahal dia gay pun saya nggak perduli, tapi buat dia saat itu penting sekali saya tidak menjauhi dia karena percaya dengan kabar tersebut. Sedih saya mengingatnya. 

Kalau anda pikir ini masalah cuma di Indonesia saja, anda salah besar. Di Amrik sini ada orang yang sampai mencuri identitas orang lain untuk eksis di media sosial. Ada juga orang-orang yang menebar cerita sedih soal dia kena kanker/penyakit lainnya demi mendapatkan respon/perhatian pembacanya. Ini mungkin sudah masuk ranah sakit jiwa sih ya. Dan jangan ditanya soal info-info hoax nggak jelas seperti mentega itu sebenarnya margarin yang dikasi pengawet dan pewarna. Intinya itu ya, membuat berita hoax demi mendapat perhatian, demi mendapatkan 'pengikut', atau bahkan demi balas dendam/menyakiti orang lain. Pemain berita besar pun tidak luput dari kesalahan ini. Baik media Amerika maupun Indonesia bisa dibilang sama, sama-sama 'pesanan'. Saat meliput berita, apalagi berita kontroversial, biasanya yang diliput dari sisi yang menjualnya saja atau yang sesuai dengan platform mereka. FoxNews misalnya sangat anti Obama, jadi apapun yang ditulis cuma soal salahnya Obama. Pembacanya juga jelas orang-orang yang anti Obama. Masalah isi beritanya akurat atau tidak bukan masalah, yang penting laris ris ris. Berapa banyak media Indonesia yang juga melakukan hal ini?

Celakanya, ketidaktahuan ini seringkali berjalan bersamaan dengan ketidakpedulian dan kemalasan. Klop deh. Padahal google sedikit saja setidaknya bisa tahu sisi lain ceritanya, tapi siapa sih yang repot-repot nge-google sekarang ini? Kalaupun nge-google, biasanya yang dicari versi yang ingin dilihat. "Kebiadaban umat Buddha terhadap Rohingiya" vs "Kasus Rohingiya" hasilnya bakalan beda lho. Sudah begitu, kalau di kepala sudah terbentuk opini yang dipercaya setengah mati, kalaupun ditegur atau diberikan fakta yang berbeda tetap keras kepala membenarkan apa yang dipercayainya. Seperti contoh mbak dibawah ini yang kekeuh mempertahankan haknya untuk mengshare foto jenazah Angeline, walau sudah diigatkan untuk tidak melakukannya demi menghormati almarhumah. Karena majunya informasi, kita lupa bahwa sekedar aksi klik dan share dengan jempol kita tetap akan membawa konsekuensi. Dan karena luasnya dunia maya kita tidak tahu [atau tidak mau tahu] seberapa besar dampak dan implikasi yang terjadi dari tindakan kita mengklik like dan share berita yang tidak bisa dipertanggung jawabkan, padahal kita masih akan harus mempertanggung-jawabkannya terhadap yang diatas nantinya.


Mungkin buat banyak orang konsep menjaga hati demi mempertanggung-jawabkannya ke Tuhan agak terlalu jauh ya, nggak masuk logika gitu lho. Sekarang ya sekarang, urusan Tuhan mah entaran. Apalagi dalil soal internet tidak ada [secara gamblang] di kitab suci agama manapun jadi tidak ada pengingat. Tambah lagi kalau kebetulan yang dipakai sebagai alasan adalah soal agama. Seperti si Mbak dibawah ini yang kekeuh bilang kalau media liberal Indonesia kafir dan jangan dipercaya [Foto diambil dari artikel menarik ini]. Nggak apa-apa sih, tapi apa iya komen seperti ini membantu citra dirinya sendiri? Kesan yang saya tangkap di mbak diatas yang menshare foto jenazah adalah Sadis. Kesan yang saya tangkap di mbak dibawah ini adalah Rasis dan picik. Mungkin di Indonesia persona online masih belum penting ya, tapi di Amerika sini apa yang kita tulis di medsos bisa dipakai untuk melawan kita. Sudah banyak cerita bagaimana orang sini dipecat karena postingan mereka di media sosial. 



Sebagai pribadi pun apa iya anda nyaman berada bersama orang yang sibuk mengumbar kemarahan dan kebencian? Tiap kali nongol yang seperti ini di fesbuk saya, saya biasanya mengubah settingan orang tersebut menjadi 'unfollow' agar berita yang ia sampaikan tidak ada lagi di fesbuk saya, atau sekalian saya unfriend kalau saya anggap sudah tidak terselamatkan. "Baguslah!" pikir beberapa orang, "Buat apa juga temanan sama orang yang tidak satu ide??!". Salah besar. Dunia ini luas lho Mas/Mbak. Memilih untuk bergaul hanya dengan teman yang seide berarti membatasi pengetahuan kita sendiri. Secara profesional pun ini bisa menjadi masalah, karena kita tidak akan bisa beradaptasi dengan lingkungan kerja kita. Banyak hal yang bisa kita pelajari dari orang lain, dan banyak hal yang bisa kita dapatkan dari orang lain. You'll never know what you can find in the next person, anda tidak akan tahu apa yang bisa anda temukan di orang lain. Bukan berarti anda tidak boleh beropini lho, tapi tatalah opini anda agar menyejukkan dan (syukur-syukur) membuat orang justru jadi mempertimbangkan opini anda tersebut. Jangan istilahnya memercik air di dulang terpercik muka sendiri. 

Sepertinya berat ya kalau harus selalu waspada, kalau harus selalu mengecek dan menimbang sebelum melakukan tindakan. Padahal like share dan komen itu cuma sejempol saja jaraknya. Tapi inilah konsekuensi menjaga hati di era teknologi informasi, dimana tidak ada lagi hukuman sosial dan maraknya godaan pengakuan instan dari follower yang bahkan tidak anda kenal. Konon katanya ini jaman edan, jaman Kaliyuga, jaman sebelum kiamat. Tergantung kitanya mau seperti apa, ingin ikutan gila atau tetap kokoh dengan mencoba menjaga hati kita. Seperti lirik lagu "Jagalah Hati", harusnya jawabannya sudah jelas:

"Bila hati kian bersih
Pikiranpun akan jernih
Semangat hidup nan gigih
Prestasi mudah diraih

Namun bila hati keruh
Batin selalu gemuruh
Seakan di kejar musuh
Dengan Allah kian jauh"

Sekarang, yang mana yang akan anda pilih? Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang merayakan. Saya harap anda sekalian (yang puasa maupun yang tidak) akan memilih yang terbaik untuk anda :)

Monday, June 15, 2015

Buka/Tutup Warung Makan: Tersandung kata 'Menghormati'

Buat saya, orang-orang yang sibuk mempermasalahkan soal warung makan yang buka saat Ramadan/bulan puasa dan terutama yang mati-matian ngotot dan ga bisa 'move on' dari kata 'menghormati' kemungkinan besar pengertian Bahasa Indonesianya kurang. Atau paling nggak pas tes pemahaman bacaan nilainya jeblok. Menurut saya lho ya. Jangan marah, kan menuduh ga jelas lagi trending hohoho. Tapi tidak ah, tidak baik membuka artikel dengan bikin marah orang. Maaf ya yang merasa tersinggung, tapi monggo lho ikut saya mencoba menelaah soal buku/tutup warung ini.

Masalah utama dengan bahasa adalah kita cuma bisa melihat satu sisi, satu fakta yang tersaji diantara kata-kata yang terjalin dalam kalimat, tanpa mengetahui kondisi sebenarnya. Misalnya saja, "Amir terlambat datang ke sekolah". Yang heboh ga jelas sibuk nge-judge "Dasar Amir anak malas!", yang membela kebebasan (konon katanya), "Terus kenapa??". Padahal bisa saja Amir sudah datang tepat waktu, tapi sekolah dimajukan (lho?!).  Bisa saja Amir terlambat karena ia berjiwa sosial dan menolong rombongan nenek-nenek menyeberang jalan. Bisa juga karena Amir menonton bola semalam suntuk dan ketiduran. Banyak versinya gitu lho. Fakta yang kita pakai (dan mungkin yang dipakai guru Amir) adalah ia terlambat. Titik. Tidak ada toleransinya, salah ya salah, terlambat ya terlambat. Begitu pula dengan kata 'menghormati' yang dipakai Menteri Agama soal buka/tutup warung di bulan Ramadan. Banyak orang menghujat dan memaki, bilang pak Menteri tidak Islami. Saya juga jujur ikutan menyesalkan, soalnya kata 'menghormati' itu menyesatkan.

Kalau dibilang warung makan boleh buka untuk menghormati orang yang tidak puasa, memang rasanya gimana gitu. Siapa juga pasti emosi, ibaratnya karena satu orang tamu undangan kebetulan tidak bisa makan daging/vegetarian, semua hidangan yang tersaji di pesta/resepsi menu vegetarian semua. Ada juga si vegetarian ini yang mengalah dan tahu diri, toh kue-kue dan buah pencuci mulut juga nggak pakai daging. Sama saja, memangnya yang puasa nggak bisa bekal makanan dari rumah gitu? Stok Popmie buat lunch sebulan apa susahnya sih? Orang Indonesia itu hampir 90% muslim, jelas lebih banyak yang puasa (baca: beragama Islam) daripada yang nggak, bahkan setelah dihitung para Muslimah yang kebetulan sedang datang bulan atau orang lansia/sakit yang memang tidak bisa berpuasa. Nggak masuk akal kan kalau sekian banyak warung makan itu boleh buka untuk mengakomodir sekian sedikit orang? Bukan masalah yang kecil/sedikit harus tahu diri, tapi nggak efektif gitu lho. Menghormati boleh jalan terus, tapi mbok ya yang masuk akal.

Nah tapi bagaimana kalau warung makannya buka bukan karena menghormati yang tidak puasa, tapi karena memang harus buka demi pemasukan? Mama saya punya usaha toko fotokopi di Bali, dan tiap kali libur panjang atau libur hari raya Hindu Bali berurutan Mama bakalan pusing tujuh keliling. Pas libur begitu nggak ada yang datang fotokopi/belanja, jadi biasanya Mama akhirnya tutup toko sampai hari raya/liburnya lewat, dan terkadang bisa sampai seminggu/dua. Gaji pegawai tetap harus dibayar full, listrik dan sewa toko juga tidak didiskon, dan pengeluaran sehari-hari plus cicilan dan sebagainya juga tetap ada. Tambah puyeng saat hari raya Hindu Bali karena pengeluaran untuk upacara juga tidak sedikit. Kebayang tidak perasaan pemilik/pekerja warung makan yang dipaksa tutup saat bulan puasa? Buka saja sudah ngap-ngapan, turun drastis pemasukan karena makin sedikit orang yang makan; tapi kalau tidak buka bunuh diri namanya apalagi Lebaran menjelang. Buka menjelang buka puasa agar orang-orang bisa beli makanan berbuka mungkin bisa jadi solusi, tapi yang saya tahu banyak tempat makan yang gantian jualannya: yang dagang berbeda pagi dan sore. Bentrok lagi dong jadinya. Yang tega mungkin akan dengan tenangnya merumahkan pegawainya, tapi itu cuma memindahkan masalahnya ke pegawai. Kebayang nggak kalau anda nggak kerja, nggak punya penghasilan, dan Lebaran sudah didepan mata? Panik nggak sih? 

Poin lain adalah, kenapa cuma warung makan yang disuruh tutup? Yang fair/adil dong ah. Harusnya semua tutup dong, termasuk di mal yang wangi dan mahal. Gerai-gerai kopi, restoran fastfood, segala macam yang jual makanan dan minuman kecuali toko bahan makanan/supermarket harus ditutup. Masa cuma yang rakyat kecil saja yang disuruh tutup, yang mentereng dan perlente juga harus ikutan dong. Termasuk restoran di hotel bintang lima yang harga seporsi menunya cukup untuk beli tajil satu RT. Makanan via room service pun nggak boleh ada. Pokoknya kalau belum berbuka, semua juga jangan buka. Nah lho, jadi tambah banyak kan orang yang repot? Bukan cuma pemiliknya, pelayan dan petugas kebersihan, sampai supplier pun pastinya jadi tertohok karena jam kerja/pesanan yang menurun. Toko-toko lain di Mal yang nggak jual makanan pun jadi kena imbasnya. Siapa sih yang mau pergi belanja/jjs ke tempat yang seperti kota hantu? Di Mal itu yang dagang makanan buanyak banget lho. Kalau sudah begini, orang juga jadi malas untuk buka toko makanan di mal. Gerai-gerai besar seperti Starbucks pasti pikir-pikir untuk ekspansi kesini, rugi dong cuma bisa buka 11 bulan dalam setahun. Kalaupun masih nekat buka toko makanan, pastinya harga dinaikkan karena harus mengcover satu bulan yang tidak bisa jualan sementara sewa toko etc harus full dibayar satu tahun (plus thr pegawai yang lebaran ya). Mati banget kan?

Karena di Indonesia hampir 90% Muslim, yang repot ya mayoritas yang Muslim juga. Warung-warung tegal dan rumah makan kecil lainnya yang tidak bisa berbisnis, pegawai-pegawai warung yang dirumahkan, pekerja kasar yang tidak bisa mendapatkan asupan yang mereka butuhkan, dan jelas, Muslimin/Muslimah yang tidak bisa berpuasa karena berhalangan atau sakit atau faktor usia. Tidak semua umat Islam di Indonesia keren dan berdasi, bekerja di kantor ber-AC dan melewatkan waktu dengan mendengarkan khotbah ustad kondang di smartphone mereka. Masih banyak umat Islam Indonesia yang bekerja kasar, yang sekian hari harus berpuasa bukan karena kewajiban tapi karena memang tidak bisa membeli makan. Tidak semua umat Islam di Indonesia punya pekerjaan tetap dan stabil, masih banyak yang takut menghadapi pagi hari karena bisa jadi di hari itu mereka dipecat atau usaha mereka harus tutup. Merekalah yang dihormati, dibantu dengan kebijakan membolehkan buka warung makan saat bulan puasa. Bukan untuk yang non-Islam, namun untuk umat Islam sendiri. Apa iya anda mau merampas hak mencari penghasilan orang lain? Bisa saja sih, tapi siapkan solusinya dong; jangan cuma bisa melarang saja. Kalau mau bawa ayat agama juga silakan, tapi siapa anda mau (dan berhak) nge-judge? Percaya deh, kalau anda percaya Tuhan segitu maha kuasanya dan segitu bencinya sama para penista (baca: orang yang menggoda orang lain saat puasa dengan makanan etc), apa nggak Tuhan sendiri yang bakal turun tangan. Anda nggak perlu ikutan rempong/repot juga Tuhan yang bakal 'menyelesaikan' kok.

Selama seperempat abad lebih saya tinggal di Jakarta (jiahhhh bahasanya...) saya nggak pernah mengalami kesusahan mencari makan saat bulan puasa. Warung makan buka walau ditutup dengan gorden, intinya saling menghormati lah. Saat SMA saya bahkan pernah ditegur teman saya karena saya heboh banget ngumpetnya untuk makan saat bulan puasa, dia bilang: "Biasa aja kali." Makanya saya heran kok sekarang jadi polemik berkepanjangan. Di fesbuk banyak komentar yang memuji dan bilang kalau Menteri Agama sekarang Pancasilais dan melindungi semua umat beragama di Indonesia. Kalau kata saya yang dilindungi Menteri Agama bukan non-muslim, tapi perekonomian dan kestabilan Indonesia. Repot dong kalau harus ngurus negara yang ormasnya bisa menekan sesama warga negara dan mendikte jalannya pemerintahan (baca: FPI dan acara 'menggerebek' mereka). Semua warga negara Indonesia berhak mendapatkan perlindungan hak hidup mereka dari pemerintah Indonesia, dan hak mencari penghasilan dengan cara halal jelas salah satu diantaranya. Hak ini, sekali lagi, hak ini yang dihormati dengan membolehkan mereka membuka usaha warung makan mereka saat bulan puasa. Apa ini menguntungkan umat non-Islam? Jelas. Enak toh kalau tahu urusan perut lancar (walau dibalik korden). Apa ini menguntungkan umat Islam? Apalagi. 90% Islam bo'! Kalau ada 100 warteg di Jakarta dengan masing-masing 5 pegawai, berarti setidaknya sudah 450 orang yang paling tidak bisa Lebaran dengan tenang karena tahu usaha mereka masih bisa jalan saat bulan puasa. Kalau usaha makanan di Jakarta sekitar 50% dari total jenis pekerjaan di Jakarta, maka dari sekitar 10 juta jiwa di Jakarta, 4.5 juta jiwa terbantu dengan dibolehkannya usaha makanan buka saat puasa. That's a lot lho. Itu banyak bo'.

Buat yang masih stuck/mandeg soal 'menghormati', mari lho saya ingatkan sekali lagi kalau hak buka/tutup warung makan saat bulan puasa itu bukan untuk menghormati yang non-Islam, tapi menghormati hajat hidup/hak hidup seseorang untuk mendapat penghasilan. Gak papa kalau anda kekeh menyebut para umat Islam yang nekat buka warung saat puasa itu kafir/pendosa etc. Hak anda juga menjudge orang, walau benar tidaknya tudingan anda itu urusan Tuhan hehehe. Sebelum anda menuding, tolong diingat bahwa berbagai orang di seluruh dunia berpuasa dengan kondisi yang berbeda. Di Los Angeles sini misalnya, jam 4 kurang sudah terang dan baru gelap lagi lewat jam malam. Kebayang nggak berpuasa seperti itu? Apa Tuhan yang salah, nggak kasihan sama umatnya di LA sini karena memaksa mereka puasa jauh lebih lama dari rekan-rekan mereka di negara lain? Restoran juga buka seperti biasa, begitu pula para wanita dengan baju seksi mereka (berhubung ini summer/musim panas). Apa mereka semua berdosa karena menjalankan aktivitas mereka seperti biasa tanpa mengindahkan orang yang berpuasa? Kalau iya, berarti semua restoran etc yang buka saat anda puasa Senin-Kamis atau (bagi yang wanita) membayar hutang puasa juga berdosa dong. Peduli amat mereka nggak tahu kalau anda puasa, salah ya salah. Seperti si Amir yang terlambat di atas. Apalagi kalau dilakukan saat tahu anda puasa. Setan, penggoda, iblis, (menurut anda) itulah mereka semua, masuk neraka mereka semua!!! Waduh, serem amat ya jadi anda. Puasa itu setahu saya menekan/mengontrol hawa nafsu, percuma kan puasa menahan lapar dan haus tapi pikirannya emosi jiwa dan sibuk mencaci dan menuduh. Kata saya lho. 

Mungkin saya salah, mungkin saya benar. Buat saya Lebaran selalu bahagia, selalu identik dengan keceriaan dan rasa syukur yang amat sangat. Buat saya setiap orang berhak merayakan hari raya (baca: Lebaran) dengan perasaan bahagia dan berkecukupan. Kalaupun anda masih gagal move on dari 'menghormati', setidaknya pikirkan dan bayangkan hal ini di kepala anda tiap kali anda melihat warung makan yang buka di bulan puasa: kebahagiaan para pemilik dan pegawainya saat Lebaran tiba, saat mereka mampu merayakan hari suci tersebut selayaknya dan membagikan kebahagiaan mereka ke orang lain juga. Itu saja sudah cukup kok. Selamat menunaikan ibadah puasa :).

Saturday, January 10, 2015

Charlie Hebdo dan Muslim Indonesia: Buka Mata, Buka Suara!

Saya baru pulang dari kencan bersama si Akang tercinta, kita habis menonton konser LA Philharmonic Orchestra. Kebetulan konser yang dibawakan adalah karya Beethoven, Missa Solemnis. Pasti anda berpikir kalau konser ini religius, musik Misa gitu lho. Kereligiusan yang saya lihat hanyalah dua Suster yang kebetulan duduk disamping kami, mereka pun bukan orang Amerika melainkan orang Korea. Saya tidak yakin para pemusik dan penyanyinya dari kalangan religius, karena mereka membawakan nomor lain juga dan kebetulan saja kali ini yang dibawakan nomor religius. Penontonnya jelas bukan kalangan religius, contoh nyata: suami saya jelas-jelas Ateis dan tidak percaya agama. Yang membawakan konser ada disitu untuk alasan pekerjaan, yang mendengarkan konser ada disitu untuk menikmati musik. Mungkin lain cerita kalau musik ini dibawakan saat misa yang sebenarnya di gereja, tapi malam ini di Walt Disney Concert Hall musik ini semata untuk menghibur dan tidak ada nilai religiusnya sama sekali. Setidaknya bagi saya.

Hal ini sama dengan kasus penyerangan kantor majalah Charlie Hebdo di Perancis. Yang menyerang mengaku Islam, tapi baik saya maupun anda para pembaca budiman tahu bahwa mereka tidak merepresentasikan Islam yang sebenarnya. Agama Islam dijadikan alasan untuk melakukan tindak kekerasan, yang kalau saya lihat dari kelakuan teman-teman saya yang Islam dan cihui-cihui sebenarnya merupakan tindakan yang amat sangat tidak Islami. Sayangnya timeline fesbuk saya yang dulu sempat meledak dengan hoax pelarangan jilbab dan pelarangan pemotongan hewan kurban (dan pelarangan pengucapan selamat natal dan kontar pemakaian atribut natal untuk umat Muslim) justru sepi seperti kuburan. Dari semua teman saya hanya beberapa yang mengangkat topik ini dengan tagar #JesuisCharlie, dan mereka semua yang memang terekspos budaya asing, dan hanya satu orang yang berani membuat status menyatakan bahwa itu bukan Islam. Yang lain sibuk mengangkat soal salahnya Charlie Hebdo melecehkan Nabi Muhamad, soal teori konspirasi bahwa para penyerang ini sebenarnya mau mendiskreditkan Islam, bahkan membandingkan antara serangan ke kantor Charlie Hebdo dengan umat Islam yang terbunuh di Palestina. Serius, apa susahnya sih buka mulut dan menyatakan dengan tegas bahwa penyerangan tersebut tidak mencerminkan Islam?

Ada komentar yang menarik dari postingan teman saya tentang penyerangan ini: "Kita yang mayoritas tidak tahu apa rasanya jadi minoritas". Referensinya adalah terhadap para umat Muslim yang kebetulan minoritas di negara lain. Umat Islam Indonesia yang mayoritas bisa tenang-tenang saja posting status negatif yang memperkeruh suasana, sementara yang minoritas di negara barat ketar-ketir karena jadi sasaran. Jangan salah, Islamophobia itu bukan karena Islam adalah ajaran yang buruk atau mengerikan, dan jelas bukan monopoli umat Kristen saja. Islamophobia terbentuk berkat media yang hobi menjual berita buruk karena laris (termasuk media di Indonesia) dan ketidaktahuan akan Islam yang sebenarnya, Yang tidak beragama pun jadi terbawa mengecap Islam sebagai sesuatu yang buruk. Apalagi kalau yang kebetulan Islam itu adalah pendatang, lengkap sudah penderitaan. Anda boleh bilang itu karena para Zionis ingin menghancurkan Islam (kok Hinduis tidak dituduh seperti itu huhuhu), tapi fakta yang sebenarnya adalah manusia pada dasarnya takut dan sulit menerima hal baru. Wajar kalau orang yang tidak tahu takut pada Islam, sama halnya dengan orang yang tidak pernah lihat pesawat parno saat disuruh naik pesawat; wajar kalau orang lokal benci para pendatang, sama seperti saat ada anak baru di kantor/sekolah anda yang anda anggap membahayakan posisi anda. Jangan tersinggung, ini fakta manusia.

Teman saya yang konservatif ngomel-ngomel di fesbuk soal dia terus ditanya: mana buktinya Islam cinta damai? Ada juga yang komen bilang jalankan Sunah dan Sabda Rasul serta taat Quran untuk membuktikan hebatnya Islam. Buat saya ini semua tidak cukup. Terkadang kita perlu buka mulut dan menyatakan sikap. Saya merasa beruntung, saya dikelilingi teman-teman beragama Islam yang baik-baik dan sangat menyenangkan. Buat saya Islam identik dengan teman-teman yang rajin shalat Dhuha, teman-teman yang kuat puasa tanpa harus menyentak saya "Jangan makan depan gue, gue puasa!", teman-teman yang selalu ada buat saya walaupun saya bukan Islam, teman-teman yang menerima saya apa adanya walaupun saya agak bengal dan kadang berangasan. FPI bukan Islam yang saya tahu, ISIS bukan Islam yang saya tahu, Al Qaeda dan Boko Haram bukan Islam yang saya tahu, Bali Bomber bukan Islam yang saya tahu. Tapi untuk orang-orang yang tidak memiliki kesempatan, maaf, menurut saya kehormatan untuk berakrab ria dengan orang-orang yang mencerminkan Islam yang sebenarnya, itulah Islam yang mereka ketahui. 

Indonesia memiliki jumlah penduduk Muslim terbanyak di dunia. Catat, di dunia! Kalau umat Islam di Indonesia bersatu dan bersuara, dunia pasti mendengarkan. Bila ada yang mampu 'membetulkan' persepsi dunia tentang Islam, itu pastilah umat Muslim Indonesia. Kegigihan orang Indonesia serta potensi sumber daya manusia Indonesia yang berlimpah menjadikan orang Indonesia bibit unggul di kancah dunia. Bila ada yang mampu melambungkan nama Islam, mengubah Islam dari cap agama teroris menjadi agama yang membawa kebaikan bagi dunia, itu pasti orang Indonesia. Dan sebagai 'raksasa', umat Islam di Indonesia memiliki kemampuan, bukan, kewajiban untuk melindungi umat Islam lainnya terutama di negara dimana mereka minoritas. Caranya ya itu tadi: terus kabarkan bahwa Islam menentang kekerasan, bahwa segala tindakan kekerasan yang dilakukan atas nama Islam sama sekali tidak mencerminkan Islam yang sebenarnya.

Jangankan anda yang umat Islam, saya yang bukan Islam atau Kristen saja sakit hati melihat kartunnya Charlie Hebdo tersebut. Membaca komentar di media massa yang bilang umat Islam itu bangsa onta juga bikin saya sakit hati. Islam itu baik, Islam itu damai, Islam itu - sama halnya dengan agama dan kepercayaan lain - tidak pantas dijadikan bahan olok-olokan. Tapi dengan mencoba melogiskan alasan tindakan para penyerang ini (karena Nabi Muhammad bahkan seharusnya tidak digambar), atau sibuk dengan teori konspirasi, atau malah membandingkan dengan perang di Palestina, anda mengirimkan sinyal yang jelas terhadap dunia: anda mengamini tindakan kekerasan yang dilakukan atas nama agama anda. Jangan berharap anda bisa membuat dunia mengerti tentang kebaikan Islam bila anda sibuk mengurusi hoax-hoax tidak penting di negara anda yang aman dan damai tapi menolak bersuara saat dunia seharusnya bisa mendengar anda. Jangan berkoar anda mendukung Palestina tapi menolak menyelamatkan umat Islam lain yang minoritas di negeri lain karena anda kekeh Islam tidak pernah salah. Islam memang tidak pernah salah, begitu pula dengan agama dan kepercayaan lain. Yang salah biasanya manusianya. Tagar #Illridewithyou dibuat oleh umat non-muslim yang mencoba menolong wanita muslim. Apakah anda tidak malu bahwa sumbangsih anda saat umat Islam di negara lain terancam disakiti sebagai pembalasan hanya teori konspirasi dan pembenaran terselubung akan tindakan para penyerang tersebut? Disaat kita bisa membuat #shameonyousby mendunia, disaat kita bisa membuat Jokowi naik daun dan jadi cover majalah Time, kita memilih diam seribu bahasa disaat suara kita bisa membantu umat Muslim lainnya yang sedang kesulitan. Kalau sekian banyak orang Indonesia yang punya fesbuk dan twitter membuat tagar #thisisnotIslam misalnya, saya yakin itu akan mendunia juga.

Ada istilah di dalam bahasa Inggris: Two wrong doesn't make a right. Majalah Charlie Hebdo bersalah dengan free speech mereka yang kebablasan, tapi tindakan para penyerang tesebut juga tidak bisa dibenarkan. Perdebatan antara siapa yang salah duluan ibaratnya seperti memperdebatkan mana yang lebih dulu, ayam atau telur; dan berdebatnya saat kandang ayam tersebut sedang kebakaran. Jelas tidak relevan dan sangat salah prioritasnya gitu lho. Umat Muslim minoritas di negara lain saat ini membutuhkan dukungan anda, membutuhkan suara anda untuk berkata dengan lantang: Islam tidak identik dengan kekerasan. Dunia perlu tahu bahwa para pelaku kekerasan hanyalah oknum dan bukan pelaku ajaran Islam yang sebenarnya, agar dunia bisa lebih ramah terhadap umat Islam secara keseluruhan. Bisakah, atau lebih tepatnya, maukah anda melaksanakan hal ini? Maukah anda menyiarkan dengan lantang bahwa Islam bukan agama kekerasan? Pilihan anda menentukan pandangan dunia terhadap Islam.

Thursday, December 18, 2014

Sudah Siap Untuk #Illridewithyou ?

Kalau baca komen di berita ini, komennya menyakitkan dan nggak enak dibaca. Tapi ada satu yang menarik: seseorang yang bertanya kenapa di Indonesia kalau Natal gereja dijaga ketat. Kalau dipikir-pikir benar juga. Apa salahnya orang Kristen merayakan Natal?

Walau saya penganut agama minoritas, saya sebenarnya tidak terlalu mengalami diskriminasi yang sampai gimana gitu. Setidaknya menurut pikiran saya. Waktu saya SD dulu ada teman saya yang menuduh saya memuja batu. Saya ingat saya tidak tersinggung, karena saya sembahyang di Pura memang terbuat dari batu. Lagipula, saya juga tidak mengerti kenapa teman-teman saya kalau sholat menungging-nungging. Jadi impas kan, sama-sama tidak tahu. Masuk kuliah saya gencar ditawari pindah agama, baik Islam maupun Kristen. Jengkel? Jelas. Tapi jengkel saya bukan dendam kesumat gitu, jengkel saya sebatas seperti ditawari masuk MLM atau asuransi. Nggak kepikiran buat saya untuk merasa terhina atau diuji oleh Tuhan, saya cuma ga ingin diganggu. Semakin saya dewasa semakin banyak cerita-cerita ketimpangan, yang konon di BUMN/kementrian kalau mau naik jabatan harus beragama Islam, yang konon izin pembuatan rumah ibadah lain dipersulit. Saya tetap saya, dan hidup saya tidak terpengaruh oleh diskriminasi tersebut.

Tapi saya nggak akan bohong, kadang sakit hati kalau membaca rumah ibadah di Indonesia diserang, atau orang-orang yang mengumandangkan anti-natal atau anti hari raya agama lain. Atau Borobudur yang peninggalan umat Buddha diakui sebagai peninggalan kebudayaan Islam. Di Bali yang punya tradisi unik Hari Raya Nyepi banyak umat non-Hindu Bali yang protes dan tidak mau menghormatinya, padahal mereka nggak disuruh ikut sembahyang, cuma disuruh diam di rumah saja seharian. Saat natal begini juga kayanya sibuk semua polisi menjaga gereja agar tidak ada bom atau serangan lainnya. Sedih ga sih? Hak menganut kepercayaan itu ada di Pancasila, tapi kenapa orang mau berdoa dengan khusuk malah dipersulit?

Entah berapa banyak teman saya di FB yang men-share berita tentang #Illridewithyou , tapi saya jadi bertanya, apa bisa di Indonesia teman-teman dan warga negara Indonesia yang Muslim melakukan hal yang sama untuk agama minoritas? Wong kasi selamat Natal saja dipermasalahkan kok, atau soal sinterklas dan rusa kutub/reindeer yang sumpah nggak ada di mention sama sekali di Alkitab. Teman saya memberikan argumen bahwa itu sesuai menurut kepercayaan Islam, bahwa mereka tidak mengakui Tuhan (dan agama) lain selain Allah. Tapi tapi tapi, kalau mbak-mbak yang memulai #Illridewithyou di Australia juga punya kepercayaan yang sama (menolak mengakui agama Islam), bukankah #Illridewithyou itu tidak akan terwujud? Bukankah wanita muslim disana akan lebih sengsara jadinya?

One good turn deserve another. Mbak-mbak yang bukan muslim di Australia itu melindungi mbak-mbak yang berjilbab walau mereka berbeda kepercayaan. Kaum muslim di Indonesia bisa melakukan apa untuk kaum non-muslim di Indonesia? Kalau masih mau 'anti', kalau masih nggak mau mengakui, coba bayangkan bila anda diposisi minoritas. Bayangkan anda mau sembahyang tapi deg-degan rumah ibadah anda diserbu. Bayangkan sekian ribu orang mengumandangkan anti agama anda. Bayangkan saat ada bencana alam yang maha dahsyat agama anda yang dituduh penyebabnya. Sakit hati kan. Sedih kan. Mbak-mbak di Australia itu tidak melihat si mbak berjilbab sebagai "Muslim", ia melihat si mbak berjilbab sebagai seorang manusia yang ketakutan dan harus dibantu. Tidak bisakah kita melihat sesama kita seperti itu? Bukan dari agama, warna kulit, status sosial atau segala atribut duniawi lainnya, tapi bahwa mereka manusia, titik.

Natal sudah dekat. Saya cuma berharap para kaum Nasrani di Indonesia bisa beribadah dengan tenang dan aman, dan bebas dari kutukan atau kecaman atau gangguan lainnya dari umat non-Nasrani. Mungkin dari sekian ratus ribu orang Indonesia yang men-share #Illridewithyou akan ada sekian orang yang menggunakan tagar yang sama untuk melindungi sesama warga negara Indonesia yang kebetulan beragama lain. Mungkin. Alangkah indahnya persatuan dalam perbedaan bukan? Salam!

Friday, August 15, 2014

Hypermart Bali melarang Jilbab? Ini Ceritanya...

Sudah mendengar kabar bahwa Hypermart Bali melarang karyawannya berjilbab? Yuk mari kita cermati sama-sama :)

1. HYPERMART BALI MELARANG KARYAWATINYA MENGGUNAKAN JILBAB! INI PERAMPASAN HAK HIDUP BERAGAMA!!! 


Sabar, sabar... Silakan dibaca surat edaran diatas dengan baik dan benar. Disana tercantum kata-kata "...keberatan pemakaian busana muslim (kerudung dan peci nasional) bagi kasir Hypermart Mall Bali Galeria..." dan "...kami telah menghentikan pemakaian kerudung dan peci..."

Nggak ada soal pelarangan pemakaian jilbab toh? Kerudung dan Peci memang identik dengan busana muslim, namun yang diamanatkan dalam Al Quran setahu saya adalah jilbab yang menutup aurat, dan kerudung jelas tidak sama dengan jilbab. Ini berarti tidak ada pelanggaran atau pemaksaan terhadap seseorang untuk tidak mengikuti ajaran agama yang dianutnya.

Memang ada kata-kata 'penghentian pemakaian', tapi buat saya ini indikasinya pihak Hypermart sempat mengeluarkan instruksi bagi kasir Hypermart (baik muslim maupun non-muslim) untuk mengenakan kerudung dan peci saat bulan Ramadhan. Ini bukanlah hal aneh, karena setahu saya di Jakarta biasanya para front-liner dan CSO 'kompak' berkerudung dan berpeci di bulan Ramadhan, lagi-lagi terlepas apakah mereka muslim atau bukan.

Di Bali hal ini menjadi sorotan karena mayoritas penduduk Bali bukanlah penganut Muslim, dan terlebih lagi kerudung dan peci bukanlah budaya Bali. Wajar saja bila penduduk Bali merasa risih dan terganggu dengan pemaksaan 'budaya asing' tersebut. Kasus ini bukanlah hal baru, dan sebelum kasus Hypermart ini masyarakat Bali sudah terlebih dahulu memprotes peraturan dimana petugas jalan tol Bali juga diharuskan mengenakan kerudung dan peci saat bulan Ramadhan tiba, terlepas dari agama yang mereka anut.

2. MUNAFIK KAMU! BUKTINYA BANYAK KARYAWAN/KARYAWATI NON-HINDU DIPAKSA MENGGUNAKAN PAKAIAN BALI SAAT HARI RAYA HINDU!! APA ITU KALAU BUKAN PEMAKSAAN?!!
Ibu-ibu kondangan.... 
FYI tidak ada satupun diantara teman saya yang ikut sembahyang,
kecuali saya yang memang harus mengikuti persembahyangan karena acara keluarga saya

Wah, mungkin anda perlu buka-buka lagi buku SD anda tentang pakaian adat tiap propinsi hehehe... Pakaian adat ya pakaian adat. Di Bali pakaian adatnya (kebaya, kain, selendang untuk wanita serta kemeja dan kain untuk pria) memang dipakai untuk sembahyang ke Pura, namun bukan spesial untuk sembahyang saja. Pakaian adat Bali bukan seperti mukena yang wajib dipakai saat sholat, atau jilbab yang tercantum di kitab suci, dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama Hindu. Anda bisa memakai pakaian adat Bali untuk mengunjungi acara sosial seperti Ngaben, Potong Gigi, Perkawinan, dan sebagainya; beberapa gereja di Bali bahkan mengadakan misa dengan pemeluk agamanya datang berpakaian adat Bali. Logikanya, kriteria pemakaian baju adat adalah apakah orang yang memakai berasal atau tinggal di daerah yang bersangkutan dan bukan agama apa yang dianut orang tersebut.

Kebaya sendiri bukanlah pakaian asli Bali, melainkan 'produk impor' dari Jawa yang kemudian diadaptasi oleh orang Bali. Bisa dibilang kebaya bahkan merupakan budaya nasional, karena bukankah kebaya bahkan sudah sering diadaptasi menjadi pakaian pengantin, bahkan bagi kaum Muslim? Seragam resmi pramugari Garuda Indonesia pun diadaptasi dari kebaya, begitu pula saat pemilihan Abang None Jakarta yang menggunakan Kebaya Encim. Sekali lagi, tidak ada korelasi antara agama dan pakaian adat Bali. Sebaliknya, tidak ada salahnya mencoba menghormati adat-istiadat yang berlaku di daerah yang anda kunjungi/tinggali. Waktu saya dan si akang ke Makassar dan Pare-pare dia berkeras bahwa saya harus pakai baju yang sopan untuk menghormati penduduk disana yang mayoritas Muslim. Akang saya dari Mamarika eh Amerika lho. Tapi tanpa dibilang pun saya pastinya akan berbaju tertutup, lagi-lagi demi menghormati adat istiadat setempat. 

Bali termasuk unik karena memiliki peraturan yang cukup ketat demi melanggengkan kebudayaan Bali, misalnya saja ketentuan bahwa setiap bangunan harus memiliki sentuhan Bali (yang sayangnya sudah tidak diacuhkan) dan tidak boleh melebihi ketinggian pohon kelapa (yang untungnya masih diterapkan). Peraturan pemakaian busana adat Bali bermanfaat karena menghormati dan melestarikan budaya asli Bali serta menambah nilai jual, karena turis asing tentunya lebih tertarik dengan tampakan kebaya Bali daripada seragam sales biasa. Namun peraturan pemakaian baju adat ini pun tidaklah baku melainkan terserah masing-masing perusahaan. Selama saya tinggal di Bali saya belum pernah melihat pegawai rumah makan Warung Steak atau rumah makan Ayam Bakar Wong Solo yang memakai busana adat Bali walau di hari raya sekalipun. Ada hotel-hotel yang seragamnya terinspirasi busana adat bali (semi kebaya, selendang, rok), tapi ada juga yang tetap casual (kaus putih dan celana panjang). Jadi bila anda bekerja di Bali belum tentu anda harus mengenakan pakaian adat Bali.

3. BACOT! BACOT! KAMU TIDAK BISA MEMUNGKIRI BAHWA BANYAK DISKRIMINASI TERHADAP KAUM MUSLIM DI BALI!!!
Menurut KBBI, diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
Saat saya dan akang naik angkot di Bogor kami harus membayar lebih mahal dari penumpang lainnya karena akang saya Bule. Discrimination detected!

Oh, saya tidak akan repot-repot mengingkari kok. Diskriminasi itu banyak dan bukan hanya di Bali, dan bukan hanya terhadap kaum Muslim. Seorang teman saya yang bekerja di LSM yang bertujuan mengentaskan kemiskinan memberitahu saya bahwa mereka menemukan beberapa kasus di Bali dimana aparat desanya mempersulit pembuatan surat keterangan miskin bagi warga Islam disana. Pertanyaannya adalah, apakah mereka melakukan itu karena membenci Islam atau karena mereka membenci pendatang (yang kebetulan beragama Islam)? 

Saya orang Bali yang menganut ajaran Hindu, dalam kitab suci dan naskah suci kami tidak ada himbauan atau ajakan untuk membenci agama lain, apalagi untuk 'menjajah' dan 'menguasai'. Serius deh, ngurusin upacara dan banten/sesaji kami sendiri saja sudah luar biasa repot dan makan waktu kok. Tapi saya juga tahu rasanya jadi pendatang dan didiskriminasi kanan kiri, mulai dari dijutekin sampai dikasi harga berbeda dengan orang yang medok Balinya. Padahal saya asli Bali, tapi saya tetap didiskriminasi karena dianggap cuma pendatang/orang Jakarta berhubung logat dan gaya Jakarta saya sangat kental. 

Lagi-lagi, ini bukan masalah agama/kepercayaan ya. Ini cuma masalah insecurity, ketidak-pede an. Sama seperti Tiffie tercinta yang main ngeblokir internet kanan kiri karena takut masyarakat Indonesia terpengaruh 'liarnya' budaya barat. Pendatang pasti akan membuat tatanan sosial masyarakat berubah, dan belum tentu semua warga masyarakat mau dan bisa menerima perubahan tersebut. Belum lagi bila pendatang yang dimaksud berkeras membawa dan menerapkan adat istiadat mereka sendiri dan bukannya berasimilasi terhadap kearifan lokal. Siapa sih yang mau tanah kelahiran mereka, daerah yang mereka cintai jadi berubah total atau bahkan hancur? Sekedar gambaran, umat Bali yang bertransmigrasi ke Lampung pun banyak 'diserang' oleh penduduk lokal. Ini bukan masalah agama, ini masalah insecurity dan kemampuan bertenggang rasa plus saling menghormati.

Balik lagi soal diskriminasi, yang mungkin ada yang bilang kalau mereka ditolak lamaran kerjanya di Bali karena mereka berjilbab. Saya pribadi sih percaya. Tapi lagi-lagi itu bukan kasus yang jamak dan sangat tergantung kebijakan perusahaan. Ini Indonesia bung, diskriminasi terjadi di berbagai sektor dan karena berbagai alasan. Kemungkinan anda ditolak karena memakai jilbab sama besarnya dengan kemungkinan saya ditolak karena tidak memakai jilbab di perusahaan lain. Tolak-menolak ini bukan hanya di Bali lho, tapi merata di seluruh Indonesia karena lemah atau bahkan tidak adanya hukum anti diskriminasi. Anda bisa mencantumkan kriteria apa saja untuk karyawan anda, dan tidak akan ada yang perduli atau teriak: "Tidak adil!!!!"

Coba anda iseng baca iklan di koran, banyak iklan lowongan kerja yang dengan jelas mencantumkan batasan umur, status pernikahan, dan bahkan agama. Sudahlah kalau agama ya, karena bisa jadi ini berkaitan dengan visi misi perusahaan. Soal umur pun masih bisa dimaklumi karena pegawai yang lebih tua biasanya kurang sigap. Tapi soal status pernikahan, siapa pula anda mempertanyakan status saya? Bagaimana kalau saya single tapi lebih rempong/repot dari orang yang menikah, atau sudah menikah tapi suami saya jauh jadi saya 'seperti' single? Apalagi bila di iklan itu tertera kata-kata 'Berpenampilan menarik'. Buat saya lebih sakit hati dan lebih tidak manusiawi kalau saya ditolak bekerja karena saya kurang menarik menurut perusahaan. Bukan karena mungkin visi dan misi saya berbeda dengan perusahaan, bukan karena saya tidak becus, namun karena saya kurang menarik yang notabene bawaan lahir dan tidak bisa saya ubah. Sakit hati ga sih kalau dipikir-pikir? 

4. TAPI KAMU MEMANG MAU MENGHANCURKAN ISLAM!! BUKTINYA KAMU MENOLAK SYARIAH!! 

Jelaslah masyarakat Bali menolak syariah, orang bukan budaya aslinya kok. Seperti yang saya bilang tadi, anda tidak mungkin ujug-ujug ke tanah orang dan memaksakan budaya/adat-istiadat anda sendiri. Apa mungkin anda yang WNI ke Singapura dan kekeh berdebat dengan polisi sana bahwa anda merasa hak anda sebagai manusia terampas dengan pelarangan permen karet di negara Singapura? Saya tinggal di Amerika eneg seeneg-enegnya dengan kelakuan orang sini yang asal buka mulut tanpa mempedulikan perasaan orang lain karena mereka tahu kebebasan berbicara mereka dilindungi pemerintah. Serius, eneg. Sudah ngebacot dan bikin sakit hati, tapi pas dibantah dan disuruh bertanggungjawab sama ucapannya langsung cari pengacara dan malah mengadukan 'perbuatan tidak menyenangkan'. Buat saya yang benar ya seperti di Indonesia, yang kalau buka mulut mikir-mikir perasaan orang karena hak bicara disini tidak dilindungi, dan walhasil kedamaian lebih terjaga karena orang selalu harus bisa mempertanggungjawabkan perkataannya. Mana yang lebih masuk akal? Pandangan saya toh? Tapi biar sampai berbusa pun saya tidak bisa memaksakan orang sini berubah jadi mengikuti cara pandang saya, yang bisa saya lakukan cuma menjalankan apa yang saya percayai.

Saya pribadi merasa tidak mungkin syariah Islam bisa dipaksakan untuk dijalankan di Bali, jadi spanduk diatas menurut saya nonsense. Bagi para umat Hindu bukan berarti saya tidak percaya ada 'usaha-usaha' ya, saya masih ingat waktu kuliah dulu setidaknya satu orang mahasiswa Hindu dikampus saya berpindah agama dengan suksesnya. Sebaliknya saya percaya dengan para umat Hindu sendiri, yang pastinya masih berpegang teguh dan menghargai ajaran asli leluhur dan agama yang kita anut. Mungkin saja akhirnya memang umat Hindu Bali tersapu bersih, tapi tidak dalam waktu dekat ini dan kita masih bisa mempertahankan ajaran agama dan adat-istiadat yang merupakan bagian dari diri kita. Jadi jangan terpancing dengan isu-isu 'syariah Islam' atau 'Islamisasi Bali', dan tetap fokus dengan kepercayaan kita sendiri. Tidak ada yang bisa menghancurkan Bali kecuali orang Bali sendiri, mari kita jaga agar generasi-generasi seterusnya bisa tetap mencintai dan menghargai budaya dan agama kita.

Buat teman-teman Muslim yang masih kekeuh bilang orang Bali mau menghancurkan Muslim atau ada agenda-agenda 'penghancuran' dan/atau 'pelaknatan' muslim di Indonesia, coba dibaca paragraf diatas. Itu bisa diterapkan di agama anda juga kok. Saya suka bingung bin ajaib kalau membaca posting di FB yang menyatakan "Islam Indonesia digoyang!". Siapa pula yang ngegoyang, pikir saya? Inul kah? DePe kah? Serius, coba pikir deh. Indonesia adalah negara dengan umat muslim terbanyak di dunia. Bukan di Asia tenggara saja atau di Asia keseluruhan, tapi di dunia. Bagaimana caranya kami yang kaum minoritas mau menggoyang anda-anda yang juuuuauh lebih banyak daripada kami? Posisi-posisi penting di pemerintahan pun semuanya diduduki oleh umat Muslim. Coba saja cek kabinet SBY, berapa banyak diantara para menteri tersebut yang beragama non-muslim? Ahok si wagub Jakarta memang bukan muslim, tapi mayoritas bawahannya pun Muslim dan dia bisa dengan mudah digoyang bila melakukan hal-hal yang merugikan umat muslim: membatalkan bulan puasa misalnya, atau melarang sholat Idul Fitri. Jadi bagaimana kami yang minoritas mau menghancurkan anda? Dan apapula faedahnya? Saya jelas tidak mau perang rebutan tanah seperti di Palestina. Apakah itu yang anda pikir akan terjadi? Pede dikit lah bro dengan agama anda sendiri.

5. TAHU DIRI KAMU! JANGAN KURANG AJAR! SUDAH BAGUS KAMI YANG MAYORITAS MAU TENGGANG RASA SAMA KAMU! JANGAN NGELUNJAK!!!!
Si Akang bersama teman-teman barunya di Sulawesi. 
Tidak ada pertanyaan "Agama anda apa mister??" ataupun "Tahu diri ya di tanah orang mister!!" 
Terus kenapa kita yang sesama orang Indonesia malah saling baku hantam?

Waduh, tapi saya di Indonesia ini kan juga punya hak yang sama dengan anda. Kami yang minoritas bukan ujug-ujug pindah ke Indonesia setelah Indonesia merdeka, namun sudah ada disini bahkan sebelum terbentuknya Republik Indonesia. Dulu pas perang kemerdekaan tidak ada yang protes, "Oh loe jangan ikut-ikutan kita perang ngelawan Belanda ya. Loe lain agama/suku sama kita soalnya. Biar kita mati pun jangan ikut-ikut bantuin ya, pokoknya ini eksklusif perang agama/suku gue aja." Saya tahu tidak ada yang seperti itu karena di buku sejarah ceritanya seluruh rakyat Indonesia bersatu melawan penjajah. Seperti cerita sapu lidi itu lho, bersatu kita teguh bercerai kita runtuh, dan dengan bersatu kita semua (termasuk pejuang-pejuang minoritas) sukses menyapu bersih penjajah. 

Anda boleh saja mencoba main diskon dan bilang "Tapi agama saya mayoritas, jadi jasa saya lebih bermakna", tapi apa anda bisa yakin 100% bahwa Indonesia ini bisa merdeka dan menjadi sebesar ini tanpa sedikitpun bantuan dari umat non-muslim? Silakan anda cari dengan baik dan benar negara mana di dunia ini yang bisa bertahan tanpa bantuan sedikitpun dari negara (dan agama) lain. Kita manusia hidup sendiri saja nggak bisa kok, apalagi suatu negara. Coba anda hidup 100% dari produk buatan penganut agama anda, bisa tidak? Ini berarti semua kebutuhan hidup harus anda penuhi sendiri dan tidak membeli produk pabrik atau buatan orang lain sedikitpun (karena bisa jadi 'tercemar' tangan pekerja beragama lain dalam pembuatan/pendistribusiannya), dan jelas tidak bisa mengakses internet ataupun telekomunikasi lainnya. Bahkan untuk merpati pos pun anda harus pikir-pikir, karena bagaimana bila burung itu tidak sengaja makan/minum di kebun orang yang lain agama. Untuk jalan kaki pun harus waspada, karena bisa jadi jalan yang anda lewati itu dibangun oleh pekerja yang lain agama. Repot tenan kan? Oh tidak, anda jangan curang dan pakai dalil 'bisa memakai bila tidak ada pengganti yang lebih baik' sebagaimana jawaban banyak orang saat disindir kenapa menyiarkan anti Yahudi via FB yang jelas dimiliki Yahudi. Kalau anda mau protes dan membenci umat agama lain yang konsisten dong.

Anda masih berkeras bahwa anda 'lebih benar' dari saya karena ajaran agama yang anda anut? Hmm... Gimana ya...? Perasaan anda bagaimana saat mendengar umat Islam yang minoritas di negara-negara Barat diperlakukan tidak adil? Kesal dan marah kan? Kalau prinsip saya yang minoritas ga boleh belagu dan harus berterimakasih anda yang mayoritas mau 'tenggang rasa' sama saya, maka anda nggak boleh protes kalau umat Muslim di negara lain yang jadi kaum minoritas diinjak-injak juga. Itupun kalau benar masalahnya soal agama dan bukan karena mereka pendatang/imigran. Nah kebayang kan perasaan kami yang sudah tinggal disini bersama anda selama berabad-abad, mungkin bahkan dari jaman prasejarah, lalu tiba-tiba disuruh 'terimakasih' karena anda sudah 'tenggang rasa'. Siapa elu gitu... Saya disini ga cuma ngontrak/nyewa tanah anda bang. 

6. SAYA TIDAK PERCAYA KAMU!! SAYA TIDAK PERCAYA!! DASAR PEMBENCI ISLAM!!
We love the blue of Indonesia... It's our kind of blue...
(and we believe it's yours too hehe)

Yo wis kalau tidak percaya. Anda mau baca sampai sejauh ini saja saya sudah beryukur kok :) . Apalagi kalau anda bisa membuka mata anda dan mau mencoba mencerna apa yang saya coba uraikan, makasiiiiih banget lho. Kalau anda malah marah dan bersumpah berjihad melawan saya (duh ekstrim banget deh), mari saya tekankan sekali lagi: saya tidak membenci apalagi melawan Islam. Saya hanya mencoba meluruskan berita-berita yang beredar di masyarakat karena kapasitas saya yang mengetahui kondisi yang sebenarnya di Bali. Saya juga mencoba menekankan 'common sense' karena sangatlah penting bagi bangsa Indonesia untuk bersatu dan tidak terpecah-belah. Saya benar-benar tidak melihat bagaimana Islam yang sudah ratusan, bahkan ribuan tahun di Nusantara ini bisa 'terkhianati' bila umatnya harus hidup rukun dengan umat beragama lain. Benar kan? Kita sudah hidup rukun sejahtera selama berabad-abad, kok kayanya konyol yang sekarang malah sibuk curiga tidak karuan. Ini mengingatkan saya dengan politik Divide et Empera nya Belanda, yang mana Belanda berhasil menguasai Indonesia dengan memecah belah. Bukankah itu yang terjadi sekarang? Selalu antara 'saya dan kamu' atau 'kami dan kalian' (baca muslim dan non-muslim), dan bukannya kita dan mereka (Indonesia dan negara lain). Yang menang ya yang memegang kekuasaan atas kedua kelompok ini, dan belum tentu dilakukan demi kebesaran (atau keruntuhan) agama tersebut. Lebih mungkin demi profit dan kekuasaan, maklum namanya juga manusia.

Ada alasannya kenapa para pencipta kawalpemilu.org itu merupakan orang Indonesia yang berasal dari luar negeri: mereka melihat dan mengerti bahwa Indonesia bisa sama atau bahkan lebih hebat dari negara adidaya. Saya tinggal di Amerika baru setahun, tapi saya sudah bisa membayangkan betapa hebat Indonesia bila kita mau bersatu dan mengesampingkan perbedaan. Disini orang cacat mental maupun fisik bisa hidup normal, bisa mencari pekerjaan dan bahkan mencapai pendidikan tinggi. Diskriminasi pun bisa ditekan, dan masyarakatnya bisa merasa aman dalam lindungan hukum. Kriminal, baik yang kerah putih maupun yang preman, tetap banyak; begitu pula dengan orang-orang egois yang mau mengorbankan orang lain demi kepentingan pribadinya. Tapi setidaknya ada harapan yang lebih baik bagi generasi muda kita bila kita mau bersatu dan bekerja sama demi Indonesia, dan ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama apa yang anda anut. Indonesia hanya butuh dedikasi anda dan kepercayaan anda terhadap rekan sebangsa dan setanah air. Itu saja. Apakah anda siap untuk tantangan ini?

Tuesday, November 19, 2013

Ayo Bangkit Indonesia!!!

Tahukah anda satu kesamaan tiap kali ada artikel tentang Indonesia di media Amrik? Komentar negatif.

Baru saja saya membaca berita tentang gempa bumi di wilayah timur Indonesia. Saya bersyukur tidak ada korban jiwa ataupun efek yang signifikan. Namun yang bikin saya emosi adalah komentar-komentar pembaca yang sinis/negatif. Ada yang bilang Indonesia "muslim crap-hole", ada yang bilang Obama bakal kesini bagi-bagi duitnya Amerika (kaya kita butuh getooo). Menyebalkan banget ga sih?



Masalahnya, komentar-komentar ini selalu ada tiap kali ada artikel tentang Indonesia. Seolah-olah bagi pembaca budiman kita di Indonesia ini: 
A) Perusak lingkungan - karena nebangin hutan
B) Teman kongkow/ce-es annya Obama yang akan selalu dilindungi dan dikasi duit
C) Negara terbelakang dan amat-sangat miskin yang terus minta bantuan ke luar negeri
D) Pusat teroris

Tiap kali komentar-komentar ini muncul saya selalu berusaha mencounternya walau saya tahu tidak banyak gunanya karena orang-orang model begini tidak akan percaya atau peduli dengan pendapat saya. Tapi saya mencounter bukan dengan tujuan membalas si komentator dodol itu, saya mencounter agar pembaca lainnya mengenal Indonesia lebih baik. 

Saya ingin pembaca Amrik tahu bahwa:
A) Hutan kita ditebang dan sumber daya kita dikuras bukan karena penduduk Indonesia rakus, tapi justru untuk melayani demand/permintaan global yang mayoritas datang dari negara maju.
B) Obama bukan ce-es kita. Dia cuma pernah sekolah sebentar disini dan sejujurnya saya ga yakin dia segitu mesra/nge fans nya dengan Indonesia. Jangan nyari2 alasan cuma karena ga suka Obama terus dikait2kan dengan (konon) negara teroris
C) Hello? Situ yang butuh kita. Kearifan lokal Indonesia itu cukup untuk bertahan hidup dimanapun, dan sumber daya alam kita juga melimpah ruah. Jangan salahkan kita miskin, salahkan penanam modal yang maunya ngeruk kekayaan Indonesia saja. Dan kalau ga rela kasi bantuan ya ga usah...
D) Indonesia BUKAN negara Islam, dan Islam juga tidak identik dengan teroris. Hampir semua teman saya yang beragama Islam oke punya dan tidak mengikuti stereotip "teroris" hasil ke-parno-annya orang Barat. Dan lagi, kalau kita segitu terorisnya kenapa ga kita yang diserang duluan setelah Afganistan etc?


Demi meringankan gejala homesick saya, si Akang memasang peta Indonesia yang besar di dinding apartemen kami. Setelah dipasang dia komentar: Indonesia itu ternyata besar ya. Dan dia tidak salah. Indonesia itu memang besar. Pertanyaannya, apakah kita yang orang Indonesia sadar kalau negara kita adalah negara besar, baik dari segi ukuran maupun kemampuan/potensi? Kita cukup besar sehingga negara-negara lain ngeh (dan parno) soal kita. Kita cukup bijak dan tangguh sehingga bisa bertahan dalam kondisi ekstrim sekalipun. Kita tuh... keren. Tapi biar sekeren apapun tidak akan ada pengaruh/manfaatnya kalau kita tidak ngeh kalau kita keren, atau kalau kita tidak sadar siapa dan apa itu orang "Indonesia".

Tiap kali saya baca komentar di media Indonesia, biasanya saling nyolot/ejek mengejek masalah agama. Atau mirisnya saya saat baca "Tanya Jawab Ahok" dimana beberapa pertanyaanya berkaitan dengan rasnya. Sekarang begini ya para pembaca yang budiman, Indonesia itu bukan satu agama saja. Indonesia itu terdiri dari beragam suku bangsa dan beragam agama, dan salah satunya adalah keturunan Cina. So what gitu lho? Si Mbak ini marah-marah karena dia merasa distereotipkan sebagai keturunan Asia timur, padahal dia warga negara Amrik. Saya nggak mengerti kenapa dia harus emosi, mengingat kebanyakan orang Asia belum terlalu lama menjadi imigran disana, paling tidak yang tercatat (untuk asia timur) adalah semenjak 1778 dan abad ke 19. Wajar kalau mereka masih dianggap "asing". Sementara di Indonesia yang keturunan Cina nya sudah berabad-abad dan bergenerasi-genenrasi, beberapa keturunan kerajaan bahkan menikah dengan penguasa lokal, kenapa masih dipertanyakan dan diperdebatkan bahwa mereka warga minoritas? Bukankan Bali yang cuma pulau kecil juga hitungannya minoritas? Atau Lombok dan Sumba?

Kalau kita mau Indonesia bangkit, kalau kita mau Indonesia berjaya, kita harus berhenti berpikir "Saya!!!". Anda ya memang anda, tapi mari berpikir lebih jauh dari sekedar keberadaan anda, mari berpikir tentang keberadaan anda selaku warga negara Indonesia. Indonesia tidak dimerdekakan oleh satu golongan/agama/ras/suku saja, dan tidaklah mungkin Indonesia bisa dijalankan dan meraih potensi maksimalnya hanya dengan satu golongan/agama/ras/suku saja. Kalau mau begitu, pilihannya adalah kembali ke jaman pra-kemerdekaan dimana Indonesia terdiri dari berbagai negara-negara/kerajaan-kerajaan kecil yang dimana mudah sekali dimangsa oleh negara besar. Apa ini yang anda inginkan?

Saya ingin orang tahu hebatnya Indonesia, saya ingin orang menghormati negara dan asal-usul saya dan berhenti mengolok-oloknya. Satu-satunya cara adalah menyadarkan mereka (dan dunia plus orang Indonesia sendiri) betapa hebatnya dan kerennya Indonesia. Dan ini tidak akan tercapai bila kita sibuk bertengkar dengan penuh keparnoan terhadap sesama warga negara yang berbeda agama atau suku, dan bukannya bersatu memajukan Indonesia. Jangan mau dan jangan puas cuma jadi bahan ejekan negara lain. Ayo bangkit Indonesia!!

Monday, September 9, 2013

Yang Kalah saat Perhelatan Miss World



Akhirnya Miss World 2013 seluruhnya diselenggarakan di Bali. Ceritanya Maksiat menang huhuhu. Tapi ada yang tahu tidak siapa yang sebenarnya kalah? Siapa yang sebenarnya dizalimi? Siapa yang sebenarnya terebut haknya?

Yang kalah adalah orang-orang kecil: pekerja dari pulau Jawa yang waktunya tersita karena pemeriksaan tambahan di Pelabuhan Gilimanuk, sopir-sopir truk yang membawa muatan cepat rusak seperti sayuran dan daging yang juga terpaksa menunggu karena pemeriksaan tambahan di Pelabuhan Gilimanuk, pekerja hotel di Jakarta dan sopir-sopir taksi di Jakarta yang bisa saja mendapatkan penghasilan tambahan dari sekian banyak kru acara Miss World ini, orang-orang pekerja migran di luar negeri yang terdiskriminasi karena Indonesia identik dengan kekerasan dan teror, pekerja di Jakarta yang terpaksa harus berangkat jauh lebih awal ke tempat kerja agar tidak tercebak macet akibat aksi demonstrasi FPI di bundaran HI, atau para pekerja yang mendapatkan peringatan atau bahkan dipecat akibat keterlambatan yang disebabkan demonstrasi ini.

Sangat gampang, bahkan terlalu gampang untuk berkoar "Anti Maksiat!" dan berkhotbah akan apa yang "harusnya dilakukan" menurut pandangan anda bila anda kebetulan memiliki status sosial ekonomi yang cukup bagus. Tapi lain ceritanya bila anda dalam situasi sosial ekonomi yang "terjepit". Orang-orang ini hanya butuh penghidupan, itu yang paling utama. Mereka tidak memiliki pilihan atau privilege untuk menolak pekerjaan atau merelakan pekerjaan mereka hilang dengan alasan "Anti Maksiat". Saya yakin sepenuhnya orang-orang ini akan bilang "TIDAK!" bila mereka tahu bahwa jasa mereka dipakai untuk tujuan yang tidak baik (kriminalisme, maksiat, dsb), tapi bagaimana bila mereka tidak tahu? Sopir taksi mengantar wanita muda cantik dan berpakaian rapi, tahu darimana bahwa uang yang dipakai untuk membayar benar-benar dari uangnya sendiri dan bukan dari "uang jajan" yang diterima dari bosnya sebagai istri simpanan? Sopir truk mengantar sprei bersih ke hotel, tahu dari mana bahwa sprei yang ia kirim akan digunakan oleh tamu hotel yang terhormat dan bukan untuk seks bebas dengan para pelacur? Apa yang bisa ia lakukan kecuali menjalankan pekerjaannya sebaik mungkin?

Enteng sekali untuk berkomentar online dengan laptop mulus anda atau dengan hape mahal anda: "Baguslah, jadi para muslimin dan muslimah di Jakarta tidak tercemari oleh kemaksiatan." Waktu saya membantu mengorganisir sebuah event musik di Bali, penyelenggaranya yang orang Amerika memberikan saya tip lumayan besar karena merasa terbantu dan puas dengan pekerjaan saya. Uang ini kemudian terpakai untuk membayar operasi usus buntu saya 2 bulan kemudian. Para pekerja video dari Bali yang kami sewa pun mendapatkan bonus yang lumayan, dan kameramen yang kami bawa dari Jakarta dengan manisnya mendapat wejangan (plus bertukar alamat e-mail) dengan kameramen nya Madonna. Warung Tegal dimana saya membeli makanan untuk kru kami mendapat rejeki nomplok, begitu pula sopir-sopir taksi dan penyewaan mobil yang kami gunakan untuk transportasi. Siapa anda, sekali lagi saya bertanya, siapa anda yang merasa berhak mengambil atau menafikan kesempatan ini dari mereka? Bahkan bila anda adalah salah satu dari mereka dan anda kekeh untuk bilang "Tidak!" dan menolak pekerjaan tersebut, anda tidak punya hak untuk menjudge mereka yang mencoba bertahan hidup dan memberi kehidupan yang layak bagi keluarga mereka. Bagi mereka, mereka melakukan pekerjaan sebaik mungkin dan dibayar sepantasnya. Ya, mereka memang secara tidak langsung bekerja untuk warga negara Amerika yang konon kafir, tapi bukan berarti mereka melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepercayaan mereka.

Umat Islam di Indonesia itu bukan cuma yang sibuk menentang "kemaksiatan" Miss World. Umat Islam di Indonesia itu juga kakek malang ini yang meninggal karena kecewa BSLM nya diambil orang. Umat Islam di Indonesia itu juga pekerja migran di luar negeri yang saat pulang ke Indonesia dipalak oleh pihak berwajib dan agen mereka. Umat Islam di Indonesia itu juga ibu-ibu atau bapak-bapak di "Andai Aku Menjadi" yang melakukan berbagai pekerjaan berat demi penghasilan yang sangat minim. Umat Islam di Indonesia itu juga para WNI yang tinggal dan bekerja di negara Barat dan harus menghadapi tatapan sinis dan kecurigaan karena kentalnya aksi dan ancaman kekerasan yang dilakukan kelompok muslim garis keras di Indonesia. Umat Islam di Indonesia itu juga si tukang sayur keliling di rumah saya di Jakarta, si ibu penjual kue berjilbab yang dengan setia mendorong gerobak kuenya tiap pagi di dekat kantor saya di Bali, keluarga Pak 'Ndut penjual Lontong Sayur Betawi yang setelah Pak 'Ndut meninggal beralih ke pembuat kue kering (nastar dll) sementara tetap mencoba bertahan hidup di Bali karena menurut mereka "lebih adem dan aman". "Maksiat"nya Miss World bukanlah suatu prioritas bagi mereka. Namun kesejahteraan mereka harusnya menjadi prioritas bagi banyak kalangan yang mengaku "Saudara seiman".

Saya bukan seorang Muslim, saya penganut Hindu-Bali. Walaupun saya bukan Muslim, saya juga tidak setuju dengan Miss-miss an dan berbusana yang "mengundang". Bagi saya ada banyak cara yang lebih bermartabat untuk mendapatkan "Pengakuan" dari lawan jenis. Saya juga tidak mendukung seks di luar nikah, karena pada akhirnya wanitalah yang paling dirugikan. Ini bukan dari ajaran agama manapun, ini cuma common sense atau akal sehat. Kemaksiatan Miss World 2013 bisa diperdebatkan sepanjang yang anda mau, tapi tolong, tolong pikirkan seluruh umat Muslim di Indonesia sebelum anda sibuk mengancam dan berdemo dan membuat hidup yang lain susah. Tempatkan diri anda dalam posisi mereka: yang berjuang demi mendapatkan sesuap nasi, yang bahkan tidak tahu apakah mereka bisa makan besok, yang berusaha mendapatkan uang untuk biaya sekolah anaknya, yang bekerja sedemikian keras demi hidup yang lebih baik. Jangan hanya berkoar dan berkhotbah dari kenyamanan rumah anda di kota besar, dengan akses internet tak terbatas dan uang donasi dari umat anda; jangan hanya menuduh dan berkomentar negatif dari hape anda yang keren dengan pulsa yang dibayar ayah bunda tercinta; jangan hanya mencibir dan menilai dari laptop anda yang mulus di kantor anda di gedung tinggi yang anda dapatkan karena anda lahir dari keluarga yang berada dan mendapatkan pendidikan serta kesempatan yang maksimal. Pikirkanlah kaum marjinal, pikirkanlah janda-janda tua dan mereka yang terlahir di kondisi kurang mampu, pikirkanlah para orangtua yang membanting tulang agar anak mereka mendapatkan kesempatan yang lebih baik, baru tanyakan pada diri anda: apakah yang akan saya lakukan membantu mereka?

Saya bukan seorang muslim. Saya adalah warga negara Indonesia, dan orang-orang ini adalah juga warga negara Indonesia. Pikirkanlah mereka. Bantu mereka. Lindungi mereka.

Search This Blog