AdSense Page Ads

Showing posts with label Indonesian. Show all posts
Showing posts with label Indonesian. Show all posts

Saturday, December 8, 2018

Foto Impian



Mungkin pelajaran paling berharga dalam hidup itu saya dapatkan saat 5 tahun bekerja jadi sales untuk wedding/event photography di Bali. Saya diajar untuk melihat cerita dibalik sebuah foto sempurna.

Saat teman saya mengirimkan video pernikahan Priyanka Chopra, yang saya bayangkan ribetnya kru kamera dan foto plus kru WO/EO yang harus memastikan semuanya serba sempurna. Lalu setelahnya para editor yang harus membuat foto dan film terlihat ciamik dan dramatis.

Dari pihak mempelai pun, nggak kebayang pressure untuk memastikan semua seperti di jadwal/script. Asal tahu saja, satu wedding foto 'natural/alami' itu bisa entah berapa kali diambil dan diulang gayanya agar bisa dapat yang pas.

Dan setelahnya, masih ada mempelai yang tidak bahagia dengan hasil fotonya walau bagus banget. Atau yang fotonya sebenarnya biasa saja tapi si editor mampu memilih dan menempatkan foto-foto yang tepat di wedding albumnya sehingga terlihat wah.

Saya belajar nggak semua yang terlihat sempurna itu benar-benar sempurna. Saya belajar kalau foto impian nan menawan itu hasil kerja keras dan modal yang nggak sedikit.   Saya jadi nggak bisa merasa sirik pada orang yang terlihat lebih sempurna dari saya. Ya udah sih, belum tentu saya mau bekerja sekeras dia.

Foto IG misalnya. Foto bagus perlu kamera/hape bagus. Perlu makeup/prop yang bagus. Perlu diambil berkali-kali sampai dapat yang pas. Perlu nenteng orang lain sebagai fotografer terpercaya. Perlu diedit dan diberi tagar yang tepat.

Saya melihat foto IG yang sempurna malah pegal karena tahu saya nggak bisa investasi waktu, tenaga, dan uang sampai sebegitunya. Realistis sih. Saya suka lihatnya tapi saya tahu saya nggak akan sanggup, jadi saya nggak bisa sirik. Kagum iya, sirik nggak.

Di era dimana semua diedit untuk terlihat wah dan sempurna, bagi saya ini pelajaran tak ternilai. Saya seolah mampu melihat dibalik topeng yang dikenakan orang-orang. Dan disaat orang lain terjual impian diatas awan, saya bisa tetap menginjak bumi.

Karena dibalik indahnya suara seruling bambu ada tangisan bambu yang disayat, dan sekian tahun latihan si pemain seruling. Karena dibalik halusnya batik sutra ada sekian ulat sutra yang mati, dan sekian lama waktu menenun dan membatik.

Hidup ini nggak seindah dan sesempurna foto impian, jadi nggak perlu kita merasa kurang atau sirik melihat sekilas kesempurnaan orang lain. Kita nggak tahu cerita mereka. Bukan berarti lalu kita sibuk sensi ya. Nggak ada salahnya ber-Wow ria dan menghargai gegap gempita hidup.

Karena manusia begitu indah. Bahkan dikala mereka terpuruk pun ada keindahan yang bisa kita lihat, dalam kedukaan nan tragis sekalipun.  Lihat segalanya lebih dekat dan penuh rasa cinta, tanpa rasa cemburu dan keserakahan. Kita manusia itu hebat lho.

Wednesday, December 5, 2018

Tuhan, Ary Pulang



"Gue tuh bukan wanita baik-baik," kata saya. Saya bahkan nggak berani melihat matanya. Duduk di mobil bersama teman kencan saya, saya memutuskan bercerita tentang emotional abuse/siksaan emosional yang saya alami saat masih menikah.

Saya bercerita tentang bagaimana saya dikata-katain, bagaimana saya dibuat merasa rendah dan nggak berharga. "Walaupun gue tahu itu nggak benar, tapi ada bagian dari gue yang percaya. Mau gimana lagi. Itu ya gue. Gue udah terima kalau gue bukan wanita baik-baik."

"Ary," kata teman kencan saya sambil mengelus rambut saya perlahan, "You are created in the image of God. Kamu diciptakan dalam imaji Tuhan." Saya terdiam. Terhenyak. Walau saya tahu dia Kristen taat, saya nggak menduga itu responnya. 

Ternyata begini rasanya bertemu dengan orang yang taat beragama karena memang mencintai agama dan Tuhannya. Adem. Hangat. Lega. Rasanya saat itu seperti Tuhan sendiri yang mengelus rambut saya dan mengingatkan saya: "Kamu nggak kenapa, Nduk. Saya tetap menyayangimu."

Padahal dia bisa memperlakukan saya dengan buruk. Saya yang berangasan dan sangat seksual sangat berhak diperlakukan tanpa hormat oleh orang beriman sepertinya. Apa sih saya? Hanya seorang pendosa, seorang wanita murahan kalau menurut mantan suami saya.

Nggak lho. Diantara semua lelaki yang saya kencani, mungkin dia yang memperlakukan saya benar-benar dengan penuh hormat dan bukan hanya karena ingin meniduri saya. Yang lain sih baik dan hormat juga, tapi orang ini bisa banget bertingkah karena dia orang baik-baik dan saya bukan. Tapi nggak.

Dicurhatin sekian banyak wanita, banyak sekali yang bilang: "Walau selingkuh, suami saya itu orang baik-baik, taat beribadah, doanya lancar dan nggak putus." Saya sering juga mendengar teman 'disergap' dan dihakimi gengnya karena dianggap kurang agamanya. Jangan ditanya di medsos, yang ganas banget jadi pejuang keyboard konon demi membela agamanya.

Saya nggak mengerti. Agama apapun harusnya membuat diri kita dan sekeliling kita merasa aman dan damai. Ini yang kita bela dan kita pamerkan ke dunia itu ego kita atau agama kita? Nggak heran banyak orang yang kelihatan beragama sekadarnya. Males juga kali kalau jadinya malah deg-degan dan dipersekusi oleh orang yang konon lebih beragama.

Padahal harusnya enggak. Nggak perlu pamer dekatnya kita sama Tuhan kalau kelakuan kita nggak mendukung. Nggak perlu sombong merendahkan orang lain karena Tuhan juga nggak sombong. Nggak perlu mencari surga kalau nggak mau menciptakan surga di bumi ini.

Kami bertiga di mobil itu: saya, dia, dan Tuhan. Tuhan mengingatkan saya berharga lewat dirinya. Saya pun melihat jumawanya, kuatnya manusia lewat dia. Inilah kenapa agama dan kepercayaan itu ada, karena kita manusia mampu menjadi lebih baik, karena Tuhan ingin kita kembali kepadaNya.

Sesampainya di depan apartemen saya kami berpelukan. "Terimakasih," kata saya, "Terima kasih sudah menyelamatkanku." Saya tahu ia bahagia mendengarnya. Saya tahu Tuhan bahagia mendengarnya. Tuhan, Ary pulang.

Saturday, November 17, 2018

"Mama Bangs*t!"



"Mama bangs*t!" Keluar lagi deh postingan itu, yang mengingatkan wanita agar selalu ada buat anak agar anak nggak durhaka.

Nggak banyak yang mengingatkan si lelaki jangan kurang ajar pada wanita, karena anak kan menggugu dan meniru. Dilihat bapak/paman/kakek/sosok lelaki di keluarga mengkasari wanita, ya dianggap normal.

Nggak banyak yang mengingatkan si lelaki kalo kawin bukan cuma modal kont*l saja. Bahwa kont*l nggak cukup buat bayar kontrakan atau beli beras kecuali itu kont*l diberdayakan via jual diri.

Nggak banyak yang mengingatkan si lelaki kalo punya anak itu tanggung jawab dia juga. Bukan cuma sekedar materi, tapi juga iman dan takwa dan pembawaan secara sosial. Jadi kalo anak bertingkah ya cerminan bapaknya juga.

Nggak banyak yang mengingatkan si lelaki kalau melanggar janji suci yang dibuat di hadapan Tuhan itu berat. Setia sehidup semati sampai ada cewek cantik yang jadi pengganti. Loe pikir Tuhan produser serial tv The Bachelor?

Tetap lho, apapun yang terjadi si Emak yang salah. Padahal bikin anak kan kudu pake lelaki, bukan kayak stek mangga yang tinggal tanam potongan batang. Terus faedah lelaki apa dong? Cuma nyumbang sesendok teh sperma aja kok lebay banget.

Jujur aja sih kalo nggak sanggup menafkahi lahir (baca: materi) dan batin (baca: perasaan). Bilang aja "Eh gue pengen ngewe tanpa ada ikatan dan gue ga akan mau ngebiayain anak tapi gue mau ngewe tanpa kondom dan keluar di dalam."

Gue akan tersenyum penuh gairah dan menyodorkan kartu nama dokter vasektomi.

Lah iya dong. Kalo elu ga mau tanggung jawab ya elu vasektomi lah, sama gue mau lihat hasil tes penyakit seksual loe. Kalo elu nikahin gue mesti sanggup support finansial dan perasaan,  kalo nggak rate perek berlaku tiap kita main. Enak aja mau gratisan.

Kita perempuan juga mesti mikir. Pilih suami karena yakin bisa jadi pasangan yang setara dengan kita dan jadi ayah yang mampu memgayomi dan membesarkan anak kita. Dan yang bisa dipegang sampe akhir nanti.

Tapi kita pilih suami karena takut dicap nggak laku. Kita pilih suami yang bisa dipamerin di sosmed. Kita pilih suami yang konon bisa mendekatkan kita ke surga. Kita nggak mikirin nasib anak dan keluarga kita.

Padahal kalau kita miskin, anak kita pun akan tambah miskin karena nggak mendapat kesempatan untuk memperbaiki hidupnya lewat pendidikan atau kecerdasan/kearifan sosial pergaulan.

Padahal kalau anak besar melihat kekerasan (yang seringkali dampak stres karena kekurangan finansial) maka dia besarnya juga kasar atau merasa kekerasan itu wajar, baik sebagai yang melakukan atau sebagai korban.

Tapi gpp lah anak kehilangan masa depan karena terjebak lingkaran kekerasan dan kemiskinan. Yang penting kan mama+papa sekarang eksis dan bakal masuk surga. Nanti tinggal drama dan sharing artikel "Mama bangs*t" sambil ngetag pasangan untuk saling mengingatkan.

Enak ya hidup tanpa tanggung jawab.

Sunday, November 11, 2018

Sebut Nama Dong



Saya ingin lihat nama pelaku terduga pemerkosaan UGM disebut. Saya ingin namanya ditulis lengkap di semua media, berikut cerita hidupnya.

Adil dong. Korban pemerkosaan biasanya dikulik lengkap, mungkin sampai baju apa yang dia pakai dan kelakuannya. Kenapa pelaku nggak? Toh bukan anak dibawah umur.

Kalau korban berani melapor dan diganjar malu seumur hidup (plus trauma diperkosa), pelaku juga harus diumumkan dan diganjar malu seumur hidup. Kalau perlu bikin data base sex offender biar orang hati-hati sama bangsat ini.

Sama halnya dengan perselingkuhan, nama si pelakor dan identitas pribadinya yang disebar luas. Sis, gue mau tahu nama dan identitas laki loe. Biar gue tahu jangan jadi korban buaya ini. Biar dia tahu ada konsekuensinya mainin wanita.

Hidup kita wanita sengsara ya karena ini. Kita getol menyerang sesama wanita. Mungkin kita segitu nggak pedenya sama diri kita sendiri, atau segitu takutnya nggak disukai pria dan jadi nggak laku. 

Sis, loe pikir Tuhan tidur? Loe pikir Tuhan segitu rendahnya melihat wanita sehingga kita ga mampu ngapa-ngapain tanpa pria? Loe pikir Tuhan nggak ngasi kita kemampuan setara, bahwa kita bisa mandiri dan hebat?

Kesetaraan dimulai dari kita wanita yang harus peduli dan berani membela sesama wanita. Bukan cuma buat kita, tapi juga buat anak-anak kita dan generasi seterusnya.

Biar kita nggak disakiti, diperkosa, diperlakukan seperti barang tanpa ada konsekuensi dari pelaku. Biar kita punya hak yang sama untuk edukasi, peningkatan status sosial, hidup mandiri dan tenteram. 

Kalau ini bukan yang loe mau ya derita loe. Gue sih udahan ya dipaksa hidup di jaman kegelapan padahal sudah tahun  2018. Kita bukan barang, sis. Nilai kita lebih dari sekedar beranak sebagai sarana penghasil tenaga tani gratis.

Gue ga benci lelaki. Gue malah respek banget sama lelaki yang bertanggung jawab. Jadi kalau elu lelaki dan berpikir nama pelaku jangan disebut: Kenapa, Mas? Pernah juga 'khilaf' begitu? Karena berarti loe ga ngerasa penting mencegah ini terjadi lagi.

Apakah bisa salah sebut pelaku? Oh iya. Tapi jumlahnya nggak akan sebanyak pelaku yang beneran kesebut dan sebanyak sekian mangsa terselamatkan. Orang nggak akan berulah kalau tahu konsekuensinya berat. 

Kita memberi sanksi sosial pada pasangan kumpul kebo, hamil di luar nikah, pelakor, dan segala yang dianggap melanggar norma sosial agar tidak terus terjadi. Bisa dong kita menerapkan yang sama untuk pemerkosa, KDRT, tukang selingkuh, nggak menafkahi etc.

Eh, sebut nama dong.

Wednesday, November 7, 2018

Kisah Jaka Sembung



Ceritanya saya komen di sebuah komik IG. Saya minta format satu page agar gampang disharing karena menurut saya komik itu bagus, tentang kisah si pengarang yang kena misuh-misuh bapak tua yang menganggap jilbab itu lebih penting dari pelajaran sains.  

Lalu ada yang menjawab komen saya, bahwa saya harus bangga dan berjuang menjadi perempuan yang baik tanpa jilbab atau dengan jilbab, bahwa hanya Tuhan yang tahu amal ibadah kita dan seterusnya. Bengong lah saya membacanya.

Pertama, komen saya tentang minta dibikinkan format satu page kalau memungkinkan, bukan tentang pemakaian jilbabnya. Kedua, ternyata dia seorang pria, yang agak dodol menurut saya kalau mencoba menasihati seorang wanita tentang jilbab. Dia aja nggak pake jilbab. Ketiga, saya Hindu.

Paling males kalau ada orang yang tetiba nimbrung jaka sembung. Kadang niatnya baik, tapi kadang (baca: seringkali) niatnya hanya ingin terlihat baik. Menerima 'masukan' seperti ini rasanya seperti ngemilin kembang tabur: wangi saja tapi nggak ada nutrisi dan jelas nggak enak.

Apalagi kalau orang tersebut jelas-jelas nggak ada kepentingannya, atau bahkan nggak perduli sama kita. Asal terlihat baik dan bijak pokoknya. Yay seleb Fesbuk dan IG! Seperti mas ini yang sama sekali nggak ngeh kalau dia melakukan persis seperti di komik yang kita komenin: memaksakan pendapatnya pada wanita.

Sekali lagi, para pembaca: wanita itu nggak hidup hanya untuk pria. Wanita itu ada di dunia atas kehendak Tuhan, bukan? Jadi yang perlu wanita pikirkan ya Sang Pencipta, bukan jenis kelamin tertentu. Hiduplah sesuai apa yang dikehendakiNya. Jadi orang baik, misalnya.

Banyak agama dan kebudayaan yang menempatkan pria sebagai pilar keluarga, sebagai pemuka dan pembimbing. Wajar. Secara fisik wanita biasanya lebih lemah, plus tugas kita yang terfokus pada mengurus keluarga. Tapi bukan berarti wanita lebih rendah.

Terlalu sering kita wanita mendengar omongan "Nanti nggak ada lelaki yang mau sama kamu". Yang hidup kita seolah berpusat pada bagaimana mendapatkan dan memuaskan pasangan. Nggak penting lah kita pintar, kita baik, kita hebat. Yang akan dinilai hanya kemampuan kita mendapatkan dan mempertahankan pasangan.

Makanya saya ekstra sensi saat jaka sembung di komen komik ini ternyata lelaki. Mas bagus, bukan wanita yang mesti diingatkan untuk tetap hebat dengan atau tanpa jilbab. Yang harus diingatkan rekan-rekan pria anda. 

Anda nggak ngerasain disinisin saat lepas jilbab. Anda nggak ngerasain dihakimi oleh teman dekat yang baru mulai pakai jilbab. Anda nggak ngerasain diteriakin teroris karena jilbab yang anda putuskan untuk dipakai. Anda nggak tahu rasanya jadi wanita.

Tapi anda bisa bersimpati dan berempati, bisa mencoba mengerti perjuangan para wanita. Sana, ceramahi para rekan pria anda. Beranikan diri membela wanita dengan lantang, dan bukan hanya yang secantik artis sinetron. Jangan takut pasang badan saat orang lain menganiaya wanita, baik secara fisik ataupun perkataan.

Sudah saatnya pria menjadi rekan setara bagi wanita, bukannya malah menjajah. Pria bisa lho tetap jadi pembimbing dan pengayom, tapi boleh dong kita wanita mencari yang memang sanggup dan bukan hanya karena dia kebetulan punya penis. Wanita dari tulang rusuk pria, bukan? Setara, seimbang.

Sekedar info saja, saya masih lho sangat menghormati pria. Makanya lelaki disini kadang klepek-klepek menghadapi saya. Kita yang didikan Indonesia masih sangat ngemong dan menghargai, barang langka kalau disini. Tapi ya saya pilih-pilih. Kalau nggak bisa menghargai saya balik ya ngapain juga diladenin.

Para wanita, jangan takut untuk berani memiliki preferensi dan untuk menghargai nilai diri kita sendiri. Wanita yang hebat itu berkah bagi dunia lho. Para lelaki, jangan nggak pede sama wanita hebat. Kalian harusnya merasa tertantang untuk mampu menjadi pasangan ideal mereka. Kita semua ingin menjadi manusia yang lebih baik, bukan?

Dan itu artinya nggak usah lagi sepik-sepik sok bijak di urusan yang mungkin anda nggak mengerti. Itu artinya berusaha berempati dan bersimpati, bukannya malah "Harusnya yah…" Jadilah teman, bukan penjajah. Bisa kan?

Wednesday, September 19, 2018

Bahasa Kita Bahasa Kalbu



"Hi Ms. Ida," begitu pembukaan si oom dari kantor cabang Filipina di Skype, yang dilanjutkan dengan penjelasan berbunga. Kepala saya langsung pening membacanya. Formal to the max.

Dengan kisruh Bahasa Inggris ala anak Jaksel (padahal yang di pelosok juga suka gitu hahaha), Bahasa Inggris seolah menjadi momok, menjadi simbol penindasan dan pengerdilan masyarakat yang status social rendah (*uhuk uhuk* pakde *uhuk uhuk*). Bahasa Inggris juga jadi tolok ukur ke hebring-an seseorang. Yang bisa Bahasa Inggris lebih berkelas, konon.

Kalau saya bisa ya, semua orang yang saya kenal akan saya wajibkan becus berbahasa Inggris. Saat kita bicara soal kesempatan kerja dan penjejakan karir, kemampuan berkomunikasi itu asset yang luar biasa. Tambah lagi, penerjemah baik yang manusia maupun mesin nggak selalu benar/bisa menyampaikan apa yang dimaksud.

Bahasa Inggris juga melatih pikiran kita dan membiasakan kita mengekspresikan diri kita. Konon ada hampir satu juta kosakata Bahasa Inggris. Ada yang bilang *hanya* sekitar 750 ribu, tapi tetap lebih banyak dari Bahasa Perancis, misalnya, yang hanya 100 ribu kata.  

Contoh lain: padanan kata 'Happy' itu ada 48 lho, dengan berbagai tingkat ke-hepi-an. Sebagai penulis, walau grammar saya belepotan saya tetap suka menulis dalam Bahasa Inggris karena saya bisa bercerita dengan lebih tepat. Perasaan dan pemikiran saya bisa sampai dan lebih 'kena' ke pangsa pasar saya.

Dan tentunya yang paling penting: Bahasa Inggris nggak ada hierarki. Nggak seperti Bahasa Indonesia atau kebanyakan Bahasa Asia lainnya, nggak ada kosakata khusus yang ditujukan untuk orang yang lebih terpandang/dihormati. Kita bisa memilih kosakata berbunga, seperti oom Filipina itu, tapi itu lebih ke cara kita merangkai kalimat dan bukan kosakatanya sendiri.

Sebagai contoh, professor saya saat kuliah yang menatap saya dengan bete saat saya menggunakan 'Aku' saat berbicara dengannya dan bukan 'Saya'. Dalam Bahasa Inggris hanya ada 'I'. Ketiadaan hierarki ini membantu membuka pikiran dan bukannya selalu diingatkan bahwa saya bukan siapa-siapa. 

Bukan berarti kalau belajar Bahasa Inggris lalu jadi kurang ajar ya. Karena fleksibilitasnya, Bahasa Inggris bisa lho dipakai untuk merangkai kalimat yang menghormati tapi nggak menghamba. Bisa juga dipakai untuk merangkai kalimat yang kurang ajar tapi kedengarannya terhormat.

"We would like to invite the Honorable XYZ to come on stage to accept the award." Sudah, begini saja. Respectful/sopan dan hormat tapi nggak seperti ala Indonesia yang "Kami memohon dengan sangat Yang Terhormat Bapak XYZ dari ABC untuk berkenan adanya naik ke panggung sederhana ini untuk menerima lalalalala". 

[Sebaliknya bisa juga: "Please be encouraged to depart and proceed with self-help copulation". Terjemahannya: Go f*ck yourself.]

"Baeklah! Semua harus sepik-sepik Inglis kalau begitu!" Ya nggak juga kali. Saya kalau pulang dan ngobrol bareng mama dan saudara-saudara perempuan saya tetap lho Bahasa Indonesia logat Betawi. Kadang malah kita pakai Bahasa Inggris buat nyindir/ngetawain orang. Bahasa Indonesia itu Bahasa kita, jangan sampai lupa.

Kita bisa memaksimalkan Bahasa Inggris dengan cara lain: rajin membaca artikel berbahasa Inggris, atau melatih diri untuk berbicara/menulis dalam Bahasa Inggris. Nggak ada salahnya berusaha bisa berbahasa Inggris dengan baik dan benar, apalagi demi masa depan. Nggak perlu malu kalau belepotan.

Yang jangan sih menggunakan Bahasa Inggris untuk berasa eksis dan merendahkan yang nggak bisa. Buat saya, Bahasa Inggris belepotan atau beraksen kental itu jadi bermasalah hanya kalau si pelaku dengan ga sopan menghina orang lain yang lebih nggak bisa. Tapi yang Bahasa Inggris lancar kalau menghina yang nggak bisa juga tetap saya lihat dengan hina: Jelek banget sih hati loe.

Intinya sih itu ya. Kelakuan. Nggak perduli bahasa apapun yang dipakai, kalau hati nya jelek ya tercermin dari omongan dan sikap kita. Beda lho yang sibuk membumbui pake Bahasa Inggris biar kelihatan 'beradab' dan yang memang nyangkut/terbiasa karena sehari-hari bilingual. Kitanya juga jangan asal emosi jiwa karena diam-diam sirik tanda tak mampu. 

Asal tahu ya, Bahasa Indonesia yang beradab tanpa menghamba itu lebih susah dari Bahasa Inggris hahaha. Jadi yang bisa membawa diri dengan sempurna dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar itu emejing banget deh…. Luar biasa. Maksud saya, Luar biasa. Bahasa nista apa itu Emejing? :p

Hidup Indonesia lah pokoknya. Yuk kita maju tanpa melupakan siapa kita. Karena, ehem, kita keren banget lho.

Wednesday, September 12, 2018

Buzz Buzz Buzzer



Semakin dekat ke pemilu, semakin kencang suara para buzzer politik di timeline fesbuk saya. Berhubung banyak para buzzer yang #GantiPresiden sudah saya unfollow karena mainnya kasar saat pilkada Jakarta, jadilah kebanyakan di timeline saya tinggal #DuaPeriode.

Lega? Nggak. Sudah gatal rasanya ingin meng-unfollow biar nggak melihat yang beginian.

Jangan salah. Saya aktif dalam urusan politik atau menyuarakan kabar benar. Saya yakin grup alumni saya sudah ingin menendang saya saking seringnya saya mempertanyakan berita hoax yang di broadcast. Tapi kan itu kelihatan ada faedahnya. Nah buzzer faedahnya apa?

Ada teman yang bilang "Penting lho orang tahu prestasinya pak presiden!" Saya sih setuju ya. Biar gimana, Indonesia memang ada peningkatan. Tapi kalau memberitahunya dengan cara nyinyir atau dengan mentertawakan lawan, yang ada malah bikin musuh bukan?

Tambah lagi segala puja-puji yang bertebaran tidak mampu menjawab pertanyaan saya: kalau bukan beliau, lalu siapa? Ini pertanyaan valid baik bagi yang mau tetap atau yang mau ganti. Kan Pakde nggak bisa seumur hidup jadi presiden, dan 5 tahun itu singkat lho untuk mempersiapkan pengganti.

Jadi apa yang saya lakukan? Ya unfollow. Capek dengar nyinyiran dan joke yang menjatuhkan. Capek dengar puja-puji seolah Pakde nggak pernah salah. Takut membayangkan apa yang terjadi saat Pakde nggak ada lagi, karena semua seolah berfokus pada beliau.

Pakde adalah bukti bahwa pemimpin yang baik bisa membawa Indonesia maju. Pakde juga bukti bahwa Indonesia bisa maju. Kan yang kerja juga bawahannya, para menteri dan pejabat dan orang-orang kecil. Bisa lho ternyata kita bersatupadu membangun negeri, seperti yang diinginkan pahlawan dahulu.

Tapi gimana mau bersatupadu kalau kita saling serang dan saling menjatuhkan? Nggak jarang saya melihat teman yang biasanya santun jadi begitu garang dan kasar. Yang dijual pun saat ini masih berkutat antara presidenkini dan presidenganti. Ini sama sekali nggak menjual masa depan.

Amerika mengalami masa ini di pemilu 2015-2016, saat semua sibuk mengumbar kebencian terhadap satu sama lain. Yang menang adalah orang yang dipikir nggak bakal menang, si bapak Trump. Padahal yang kencang suaranya adalah orang-orang yang anti Trump, sampai sekarang lho.

Saat kita berbicara dengan sekencang-kencangnya, yang kita dengar hanya suara kita sendiri dan bukan suara orang lain. Tanpa kita sadari, orang yang memilih diam sebenarnya mayoritas dan belum tentu mereka sependapat dengan kita.

Kembali ke Trump, doi dianggap rasis, nggak berkelas, brengsek, pokoknya nggak banget. Nggak ada yang akan memilih dia. Tapi banyak yang memilih dia karena males lho mendengarkan cacian melulu dari lawannya. Banyak yang memilih dia karena merasa biar dia brengsek, program yang ditawarkan beneran bisa membantu rakyat Amerika.

Kita sudah melihat fenomena ini saat Pilkada Jakarta, bahwa suara 'orang waras' yang luar biasa kencangnya itu kalah akan suara bisik-bisik mayoritas yang konon nggak ngerti apa-apa. Sama seperti pemilih Trump, anda mungkin bilang mereka bodoh, mereka nggak berpendidikan dan sebagainya. Kenyataannya adalah, mereka merasa terpinggirkan dengan suara toa kencang anda.

Kita nggak perlu suara toa kencang, kita perlu rangkulan hangat dan kepedulian terhadap sesama. Jangan berjuang demi satu orang, baik mendukung atau menjatuhkan; berjuanglah demi Indonesia. Pikirkan apa yang Indonesia perlukan dengan langkah konkrit menuju itu, bukan cuma "Pasti Indonesia jadi hebat kalau Presidennya…"

Lain padang lain ilalang katanya, dan jelas pendekatan mesti berbeda untuk tiap tipe orang. Akan ada orang yang ndableg, akan ada orang yang troll/emang niat bikin marah. Tapi tetap lho, terus pegangan bahwa niat kita untuk Indonesia, bukan cuma sekedar "Tuh kan gue benerrrrr!!!"

Niat baik kan nggak kemana. Apalagi yang selain niat kita juga memikirkan bagaimana niat itu tercapai, nggak hanya asbun dan cuap-cuap lalala. Bisa ya kita pada beradab dikit? Please? FYI Trump yang tiap hari dicaci media kemungkinan bakal menang lagi lho 2020. So yeah, main cantik kalau nge-buzz.

Wednesday, September 5, 2018

Sang Ratu



Apa rasanya jadi wanita mandiri? Rasanya menyenangkan. 

Duduk manis di stasiun bus menunggu bus datang sambil menyesap kopi susu buatan kedai kopi lokal (yang jauh lebih enak dari Cetarbak), dengan headphone menutup telinga dan menikmati keriuhan disekitar dalam diam. 

Malam hari menyempatkan diri berbelanja sayur dan daging di supermarket, bersantai melihat berbagai barang yang dijual dan keramaian orang-orang. Memilih menu siap saji sesuka hati, termasuk berbagai coklat dan kue dan jajanan lain.

Hidup kurang bahagia gimana, coba? Dan ini belum termasuk berbagai kegiatan yang bisa saya lakukan di saat senggang: menonton opera dan teater, pergi ke konser, berdansa sepanjang malam, main board game nonstop, atau jjs sendirian.

Jangan salah, saya pernah jadi istri idaman dan itu menyenangkan juga. 3 tahun saya menikah adalah salah satu masa paling bahagia dalam hidup saya. Bangun pagi disamping suami tercinta, bersama anak-anak yang saya sayangi, nggak ada yang bisa menandingi rasa itu.

Tapi mandiri bukanlah tentang punya pasangan atau tidak. Mandiri berarti mampu berdiri sendiri. Mampu kemana-mana sendiri. Mampu beraktifitas sendiri. Mampu menafkahi diri sendiri. Mampu hidup tanpa bergantung pada orang lain. Punya pasangan pun kita harus tetap mandiri.

Kenapa? Karena mandiri itu memberikan kebebasan. Mandiri itu memberikan kepercayaan diri. Mandiri itu memberikan kekuatan. Gimana nggak? Kalau tahu diri sendiri mampu, mau badai seperti apapun kita pasti akan sanggup menghadapinya.

Sayangnya, kemandirian ini sering disalah-artikan dengan 'membangkang terhadap lelaki', padahal nggak. Saat saya terlihat lebih mapan secara finansial ataupun emosional daripada para pria yang saya kencani, nggak berarti saya jadi arogan dan kasar. Tetap kok saya ngempu dan ngemong. Tetap saya memperlakukan mereka dengan hormat.

Masalahnya adalah terkadang ego pria yang nggak bisa menerima wanita yang 'lebih'. Saat saya diposisi yang kuat, saya pun punya pilihan untuk melawan bila diperlakukan tidak baik. Ini juga salah satu alasan kenapa 'mandiri' terdengar sama dengan 'membangkang', padahal wanita hanya ingin diperlakukan sepantasnya.

Padahal mandiri itu penting. Para pria yang fokusnya keluarga harusnya mencari wanita yang mandiri sebagai ibu dari anak-anaknya, atau sebagai teman hidupnya. Kalau si pria mendadak tidak ada, lalu siapa yang akan mengurus anak-anaknya, atau merawat orang tuanya yang semakin menua?

Begitu pula bila ada cobaan dalam hidup. Saat di-PHK atau tidak bisa bekerja lagi, apa jadinya bila pasangan hidup tidak mandiri dan malah sibuk merengek? Atau lebih parah, mendadak bye bye mencari kestabilan di tempat lain?

Tapi kita kan nggak bisa mengubah manusia ya. Biarpun anda para wanita memaksa para pria membaca ini, tetap nggak akan bisa mengubah persepsi mereka kalau mereka nggak mau berubah. Apalagi bila lingkungannya masih melihat wanita sebagai barang.

Yang harus dipikirkan adalah, apa yang kita para wanita inginkan? Buat saya jawabannya adalah hidup tanpa rasa takut. Hidup tanpa harus bergantung pada orang lain. Hidup tenang karena tahu saya akan mampu menolong orang yang saya sayangi saat tiba saatnya. Hidup mandiri.

Dan semuanya akan ikut lho. Anak-anak kita, generasi berikutnya, akan melihat bahwa wanita bisa mandiri. Alih-alih menganggap itu ancaman atau aneh, mereka akan menganggap itu biasa atau bahkan diharapkan. Semua orang, baik wanita ataupun pria, harus mandiri.

Karena bukankah wanita seorang ratu dirumahnya sendiri? Apa yang ratu lakukan? Ya berkuasa. Memastikan kerajaannya aman damai tentram dan masyarakat makmur. Kita para wanita adalah para ratu atau calon ratu. Tunjukkan pada dunia bagaimana seorang ratu bersikap.

Duduk sendiri di restoran mahal atau bercanda dengan bartender di bar dekat rumah. Tertawa mesra dengan pacar saya atau tidur sendiri dengan boneka kesayangan di rumah. Ini hidup saya. Ini kemandirian saya. Rasanya sungguh menyenangkan, rasanya sungguh bebas. Ayo, kembangkan sayap anda dan terbang bebas.

Monday, August 27, 2018

Anugerah Ilahi



"Beib, maaf ya kamu jadi nungguin aku," kata saya saat keluar dari gerai baju. Pacar saya nyengir iseng, "Nggak kenapa. Aku sibuk lihat pemandangan kok." Saya memberengut, "Ih kamu tuh cari kesempatan banget deh. Tungguin aku kenapa, kita kan bisa cuci mata bareng." Ups.

Musim panas di Los Angeles itu benar-benar surga dunia. Jokenya adalah, orang-orang yang tingkat kemenarikannya cuma 4 di LA itu bisa 10 di tempat lain. Pas summer, semua manusia cantik dan ganteng dengan bodi sempurna berkeliaran di LA. Anugerah ilahi banget deh.

Tapi walau celana pendeknya sudah setengah bokong atau atasan hanya bikini saja nggak berarti para lelaki langsung mengambil kesempatan. Suit-suitin atau cuma melototin nggak lepas saja bisa jadi masalah disini, apalagi yang berani nge-grepe/sentuh fisik. 

Sepanjang saya bergaul dengan lelaki disini, mereka lumayan hormat sama perempuan. Kita sih melihat dan ngeh saat mahluk Tuhan nan sempurna lewat, tapi nggak ngapa-ngapain. Apalagi saat ngeh itu anak dibawah 18 tahun, kita langsung tahu diri memalingkan muka.

Saya bilang 'kita' karena saya juga ikutan hahaha. Kalau cewek lain memandangi seleb Instagram "Oh makeupnya perfect banget!" saya yang memandangi mbak-mbak cakep di Santa Monica "Oh kakinya perfect banget!". Ketertarikan dan kekaguman itu wajar.

Yang nggak wajar adalah kepemilikan secara paksa. Siapa elu ngerasa elu berhak ngeliatin gue dengan penuh nafsu dari ujung kepala sampai ujung kaki? Siapa elu ngerasa elu berhak suit-suitin dan ngegodain gue? Kapan elu gue kasi izin untuk memperlakukan gue seperti milik loe?

Beda lho rasanya. Sekali waktu saya dipanggil cantik dan ditatap dengan nanar dari ujung kepala sampai ujung kaki. Padahal saat itu saya memakai jaket dan celana panjang, tapi rasanya horror banget. Lain waktu saya pakai baju super pendek ke sebuah acara, tapi rasanya baik-baik saja karena pandangannya sekedar kagum.

"Tapi kan itu lelaki disitu, beda dengan lelaki disini," jawab anda. Yah, syukur kalau lelaki di Indonesia pada membaca ini, tapi bukan untuk mereka saya menulis ini. Saya menulis ini untuk para wanita di Indonesia, untuk mengingatkan bahwa kita punya hak atas badan kita.

Pelajaran yang saya dapat selama 5+ tahun hidup disini adalah, saya berhak berkata tidak. Saya tidak semerta-merta menjadi obyek lelaki hanya karena saya wanita. Lelaki nggak berhak mengambil kesempatan hanya karena 'ada', sama seperti kita nggak boleh jadi maling hanya karena pintu terbuka.

Berapa kali saya berada di posisi rentan, baik fisik maupun emosional, dan nggak sekalipun orang dekat saya mengambil kesempatan. Sebaliknya mereka memastikan bahwa saya baik-baik saja, bahkan yang gay sekalipun. Ini lho lelaki jantan yang sebenarnya. Ini standar yang harus kita pasang untuk lelaki.

Karena godaan akan selalu ada. Bodi oke, kita tutup biar nggak 'mengundang'. Muka cakep, kita tutup biar nggak 'mengundang'. Sekalian kita nggak keluar rumah biar nggak 'mengundang'. Tapi pas saudara suami datang dan lagi konak, tetap lho bisa diperkosa. 

Terus salah gue gitu gue lahir jadi wanita? Atau apa gue harus ngerusak wajah dan badan gue biar ga dilecehkan atau di perkosa, atau mati sekalian? Ya nggak sih. Namanya hasrat, kadang kambing juga bisa digarap. Mati pun masih bisa digarap kalau orangnya 'sakit'.

Itu sih kata kuncinya. "Sakit". Orang yang nggak ngerti batasan, orang yang nggak ngerti bahwa orang lain punya hak dan harus dihormati, orang yang nggak ngerti bahwa dia bukan pusat dunia. Buat orang seperti ini, mau tampil seperti apapun akan tetap dilecehkan. Alasan mah bisa dicari.

Sayangnya kita wanita juga sering ikut membuat wanita lain sebagai obyek belaka, melecehkan 'manusia' nya seseorang. "Dasar pelacur, pamer dada kemana-mana." "Bekasnya bule pasti nggak benar." "Namanya juga janda, gatal minta digaruk." Apa iya selalu begitu?

Saya masih inget banget saat seorang stripper/penari telanjang tahu saya dari Indonesia, dia menunjuk-nunjuk suami saya, "Dia wanita baik-baik, jangan kamu sia-siakan dia! DIa sudah jauh-jauh datang kesini untukmu!" Kita berdua yang bengong dan mengangguk bingung.

Sebaliknya, saat saya bercerita pada teman saya di Indonesia bahwa suami saya selingkuh, jawaban si anak baik-baik ini adalah: "Elunya aja kali, makanya dia nggak tahan sama elu." Saya sampai shock, karena bahkan di Facebook pun sudah jelas postingan suami saya abusive banget terhadap saya.

Bukan salah wanita kita terlahir sebagai wanita. Apa yang kita lakukan, status kita, apa yang kita pakai nggak membuat orang punya hak untuk memperlakukan kita sebagai milik mereka, baik itu siulan iseng, omongan sinis, tatapan jorok, apalagi sampai kontak fisik. Kita berhak diperlakukan sebagai manusia.

Ini berlaku dua arah ya. Tante-tante kaya yang memandang anak kuliahan dengan penuh nafsu dan bilang "Ah gampang bisa dibeli," itu sama nistanya dengan abang-abang yang mengikuti mbak-mbak kantoran karena terlihat cantik. Nggak ada seorang pun yang berhak memaksakan dirinya terhadap manusia lain. 

Ada kepantasan dan ada ketidakpantasan. Lingkup professional, misalnya, membutuhkan pakaian dan kelakuan yang professional juga. Tapi kita nggak pernah berhak untuk menganggap kita lebih baik dari seseorang, atau kita memiliki hak atas seseorang karena penampilannya. Mas, mbak, siapa elu?

Thursday, August 16, 2018

Pejuang dan Penjajah



Saya lagi ketagihan langganan beauty box. Dengan kurang lebih seharga 2 paket MakDe per bulannya saya dapat kiriman beragam sample makeup. Jadilah saya punya sejuta eyeliner mini, lipstick mini, parfum mini, dan lainnya.

Saya tahu saya jelek. Saya tahu saya berlemak mengerikan. Mending dibilang kayak paus, paling nggak paus itu kenceng bodinya. Ini kayak Jabba the Hut, monster siput raksasa di film Star Wars. Horor banger ga sih.

Mau makeup gimana pun kayanya udah ga terselamatkan, ato mau pakai baju dalam seseksi apapun. Ato high heel setinggi pencakar langit. Jadi ngapain saya hobi beli makeup ato dalaman seksi atau sepatu hak yang semua saya pakai juga jarang-jarang?

Karena saya pengen hahaha. Toh mampu. Dan karena saya merasa pantas + berhak untuk tampil sebagaimana saya inginkan. Dulu mah kepikiran banget, tapi sekarang ya persetan yaaa...

Bagi saya, yang penting saat saya bercermin saya suka dengan tampilan si mbak di cermin. Saat ini saya sudah mengerti, mau bagaimanapun orang bisa selalu mengkritik atau ga suka. Daripada mikirin orang yang ga akan pernah puas, mending fokus ke diri saya.

Ada berbagai cara memandang kemerdekaan. Bagi saya, ini salah satunya. Bebas merdeka euy nggak perlu dirantai omongan orang. Saya bisa berkembang sepenuhnya dan memberikan yang terbaik bagi dunia. 

Saya tahu saya beruntung. Saya sekarang tinggal di lingkungan yang menerima saya apa adanya. Tapi dulu di Indonesia pun saya menolak untuk tunduk pada cercaan orang. Menyakitkan, tapi sori ya bo' I am still awesome.

Nggak ada yang bisa mengambil itu dari kita. Mau kita dihina atau disiksa, diancam atau diintimidasi, pikiran kita adalah milik kita semata. Kita hanya terjajah saat kita memutuskan kita terjajah. 

Jadi para pembaca yang dibilang nggak berguna, yang dibilang jelek dan nggak laku, yang dimanipulasi oleh orang dekat sehingga percaya anda gak ada harganya, yang ditekan hingga merasa nggak pantas jadi manusia, anda semua lebih berharga daripada omongan itu.

Sekali lagi. Anda semua lebih berharga daripada semua versi "loe apa sih?" negatif itu. Ingat, orang lain ga bisa mendadak kurus hanya dengan ngatain anda gendut.

Susah sih, apalagi kalau seumur hidup dengarnya yang negatif. Saya nggak kurang cowok yang pdkt tapi tetap lho kalau dipuji "Menarik" langsung berpikir: "Buta ye lo mas???" Rantai mental ini susah lepasnya.

Makanya penting untuk kita menjadi pahlawan-pahlawan untuk memerdekakan orang-orang di sekeliling kita. Kata-kata baik dan penyemangat yang memberikan mereka sayap untuk terbang, dan bukannya rantai cacian yang membelenggu. Semua dimulai dari diri kita.

Akan tetap ada orang yang menjustifikasi 'kritikan' (baca: cemoohan) ini. Mas/Mbak, maaf ya hidupmu sengsara. Maaf kamu segitu nggak bahagianya sampai orang lain harus ikut nggak bahagia. Saya turut berdukacita.

Percaya deh mas/mbak, hidup lebih enteng saat kita saling mengangkat dan menolong dan bukannya menghempas dan menjatuhkan. Kemalangan saya nggak akan bikin kamu lebih berarti lho.

Sebelum berucap, yuk pikirkan apa yang kita rasakan bila kita di posisi orang tersebut, atau yang paling gampang: apakah yang akan kita ucapkan bisa dilakukan/diperbaiki dalam 5 menit. Kalau nggak bisa ya diam.

Makanan nyangkut di gigi? Kancing baju terbuka? Yuk mari kasi tahu. 5 menit bisa diperbaiki, beres. Berat badan, warna kulit, selera berpakaian atau bahkan status hubungan, yuk mingkem mas mbak.

Merayakan kemerdekaan bukanlah semata bawa bendera dan ganti foto profil di FB, karena perjuangan untuk kemerdekaan terus berlanjut. Sekarang pertanyaannya anda sang pejuang kemerdekaan atau si penjajah?

Salam hormat dari Los Angeles!

Saturday, August 4, 2018

Gue Tunggu Undangannya



Sms-an sama mantan, disindir: "Nggak sabar tunggu undangannya." Saya dengan cuek menjawab: "Meh. Gue ga segoblok itu untuk kawin lagi."

Saya tahu maksudnya apa. Bahwa saya segitu nggak laku, segitu nggak berharganya sampai nggak ada yang mau nikahin saya. Padahal sudah dua tahun lebih kami bercerai, tapi saya punya pacar saja baru-baru ini.

Saya yang dulu pasti emosi jiwa: "Eh kampret! Sori ya gue bukan ga laku, tapi gue yang nggak mau! Kalau gue mau mah ga susah nyari suami! Ada juga gue yang sibuk nolak-nolakin lamaran!!!"

Saya yang sekarang nggak se-insecure itu, nggak perlu validasi dan penegasan itu. Saya tahu dia berusaha menyakiti saya dengan membuat saya merasa ga berharga, tapi nggak ngefek karena saya yakin dengan pilihan saya.

Menikah buat saya bukan lagi soal laku nggak laku. Menikah itu komitmen seumur hidup, dan nggak semua orang mampu melakukannya. Saya nggak mau gegabah menjatuhkan pilihan sama orang yang nggak tepat.

Komitmen pada sumpah setia di hadapan Tuhan. Komitmen pada kewajiban sosial dan hukum sebagai pasangan sah dimata hukum (pajak, tanggungan anak, dsb). Komitmen pada keluarga (besar) dan pada anak. Berat lho.

Saya pribadi juga kalau harus terikat sama seseorang, saya ingin terikat pada yang bisa saya andalkan. Jangankan nanti yang sudah tua, pikun, tidak menarik, banyak yang sekarang sakit demam saja pasangan yang "Kenapa sih loe sakit melulu?!"

Makanya saya hati-hati memilih pasangan. Jangankan menikah, pacaran lagi saja baru sekarang saya luluh mau menjalani. Saya berharga, maka dari itu pasangan saya pun harus yang mampu menghargai saya.

Di Asia pernikahan seolah tolok ukur keberhasilan wanita. Seperti anda baca cerita saya di atas, ada juga bule kampret yang berpikir demikian, bahwa nilai saya 'kurang' karena konon nggak ada yang mau menikahi saya.

Berharap mengubah pola pikir ini percuma ya. Banyak generasi tua yang saklek berpikir demikian. Wajar lho. Jaman dulu suami satu-satunya cara wanita mendapat nafkah dan perlindungan, kalau nggak malah jadi beban keluarga.

Tapi kita yang generasi lebih muda masih mungkin mengubah pola pikir kita. Kita yang sadar bahwa kita mampu mencari nafkah, mampu mandiri. Kita yang cukup cerdas (dan pahit hehe) untuk sadar bahwa pernikahan bukanlah jaminan happily ever after.

Buat apa pernikahan yang kita dibuat merasa tak berharga? Buat apa pernikahan yang salah satu tak mampu untuk setia? Buat apa pernikahan yang tidak adil, yang salah satu harus memanggul sepenuhnya beban hubungan karena pasangan menolak membantu?

Walau suara sumbang komunitas terus bergaung, pada akhirnya kita yang harus menentukan pilihan. Menikahlah dengan orang yang kita rasa tepat untuk kita, bukan semata karena takut dianggap nggak laku atau ditekan masyarakat. Kita berharga lho.

"Gue tunggu undangannya," sindir si mantan. Amin ya Tuhan. Makasih saya didoain untuk ketemu orang yang tepat, yang mampu dan mau berkomitmen dan akan mencintai saya apa adanya. Semoga doanya cepat terkabul. Baik ya mantan saya ;)

Friday, July 27, 2018

Tenang Aman Damai Tentram Bahagia



Ada orang kantor yang rasanya ingin saya high-five/toss mukanya pakai kursi. Entah kenapa dia nggak suka sama saya, yang jelas terasa banget semangat 45 permusuhannya. Nyebelin banget, karena bukan hanya saya sering diperlakukan seperti warga kelas dua atau bahkan dianggap nggak ada, semua hal kecil dipermasalahkan. Anak SMA banget sih.

[Habis ini saya disambit Tipex sama anak SMA yang baca… Ampun adek-adek ahahahaha]

Siang ini dia melangkah ceria di ruang makan karena gebetannya membawa kue. Rasanya lumayan jengkel melihat dia begitu manis riang gembira, sambil tetap lho memancarkan aura perang terhadap saya. Tapi senyumnya terlihat begitu tulus dan gembira. Saya pun jadi ikut tersenyum.

Nggak kenapa kan dia bahagia? Entah apa yang dirasakan dalam dirinya sampai dia sebegitu bengisnya dan mendapat panggilan Ratu Es di kantor, yang jelas pasti nggak bahagia karena orang yang bahagia nggak akan memperlakukan orang dengan buruk. Jadi kalau sekarang dia bahagia, walau sebentar saja, syukur banget kan?

Banyak orang yang curhat sama saya soal perselingkuhan, ujung-ujungnya bilang "Semoga dia dan selingkuhannya menderita!" Saya pun sama saat baru-baru pisah. Saya ingin mereka membayar perbuatan mereka. Saya ingin mereka merasakan kepedihan yang saya rasakan. Nggak adil kalau saya yang terpuruk sementara mereka bebas merdeka.

Tapi hidup terus berjalan. Kesibukan baru, teman baru, hobi baru, tanpa terasa saya tidak lagi butuh pengakuan itu. Saat mendengar kabar burung tentang suksesnya si mantan, hati masih menjerit "Nggak adil!!" Tapi sebaliknya, saat mendengar kondisinya kurang baik saya malah sibuk khawatir, sibuk berpikir "Duh, semoga mereka berdua baik-baik saja."

Saat kita bahagia, saat kita 'utuh', kita nggak perlu lagi melihat kesengsaraan orang untuk merasa kita 'lebih' dari orang lain. Yang ada malah rasa ingin membantu karena tahu kita sudah berlebih secara emosional, sudah stabil dan mampu berbagi. Yang penting ditolong dulu. Kemanusiaan nomor satu deh pokoknya.

Kemanusiaan ini yang terkadang tergeser dan terlupakan. Disaat emosi meraja, setiap hal kita taburi bumbu kebencian. Wajar bersuka ria saat rekan kantor yang hobi mengadu-domba akhirnya dapat peringatan dari atasan. Hubungan sebab-akibatnya jelas. Nggak wajar kalau saat mendengar pasangannya sakit keras kita masih sibuk mencibir, bahkan bilang "Karma tuh." Nggak ada hubungannya bo'.

Apa yang kita dapat dari memanusiakan orang seperti ini? Nggak dapat piagam atau tepuk tangan. Ada juga dikatain "Dasar bego, lu!" Tapi kita dapat tenang. Kita dapat pengalaman spiritual 'naik tingkat', berhasil ikhlas. Karena ini sebenarnya ujian Tuhan untuk melihat apakah kita bisa mengendalikan hawa nafsu kita, ujian Tuhan untuk melihat mampukah kita mengasihi sesama manusia seperti Ia mengasihi kita.

Ruginya apa? Nggak ada. Saya nggak rugi merasa bahagia si orang kantor yang reseh itu merasa bahagia. Saya nggak rugi mendoakan semoga si mantan dan keluarga barunya baik-baik saja. Saya nggak rugi kalau orang lain tenang aman damai tentram bahagia. Bagus malah. Karena saya (lumayan) tenang aman damai tentram bahagia, dan jujur, rekomended banget deh.

Ada cerita di majalah Bobo tentang anak kecil yang berharap pencuri jambu di kebunnya dipukuli habis-habisan, namun saat terjadi ia justru tidak tega dan melindungi si pencuri. Ini kita. Atau tepatnya, saya berharap ini kita. Nggak kenapa kalau masih terjebak dalam emosi dan berharap yang terburuk untuk yang menzhalimi kita, tapi jangan sampai tenggelam dalam kebencian dan kebengisan. Tahu sendiri kan kalau tenggelam dalam emosi negatif begini nongolnya dimana.

[Kalau ternyata memang terdampar disana, salam salim sama Babeh. Jangan cerita ya kalau anaknya sibuk merayu lelaki di Los Angeles. Ntar saya dipanggil pulang lagi, disuruh bantuin mengurus rumah.]

Kalau masih bahagia, masih girang, masih bengis melihat kesengsaraan orang lain, yuk coba introspeksi diri. Apa sih yang membuat kita demikian nggak bahagianya sampai butuh ketidakbahagiaan orang lain untuk merasa bahagia? Selanjutnya, bagaimana caranya agar kita merasa bahagia, merasa utuh? Fokus untuk 'membetulkan' diri kita, mereparasi apa yang kurang dan apa yang rusak.

Bahagia aman damai itu nggak perlu menunggu Surga. Terlalu lama hahaha. Eh nggak, bukan begitu maksudnya. Kadang kita terlena menunggu surga tapi nggak ngeh kalau kita hidup di neraka dalam pikiran kita, atau kita membuat hidup orang lain seperti neraka. [Halo Babeh. Iya ntaran saya pulang…] Bahagia, aman, damai, dan utuh itu bisa dimulai dari sekarang lho. 

Gimana? Berani mencobanya?

Tuesday, July 10, 2018

Jangan Lagi



Setetes air mata. Dua tetes. Terus dan terus hingga saya tersedu sesenggukan di lantai apartemen saya. Padahal sudah dua tahun berlalu, tapi saya masih seperti ini.

"Jangan pergi." "Aku janji akan jadi istri yang lebih baik." "Jangan marah." "Aku nggak akan bertanya lagi." "Maaf. Aku nggak tahu salahku apa tapi tolong maafkan aku." "Jangan pergi." Pikiran ini berkecamuk di kepala saya kala gebetan saya terlihat tak nyaman saat saya mengundangnya ke pesta teman saya.

Nafas terasa pendek. Dada terasa sesak. Mata membesar dalam ketakutan. Tubuh yang gemetar. Kepala yang terasa berat dan tak bisa berpikir jernih. Mulut yang kering. Airmata yang terus mengalir. "Jangan lagi," pikir saya. "Jangan lagi." 

Cuma SMS kok, batin kita. Hanya bertanya apa kabar, tukas kita. Hal yang awalnya terlihat nggak berbahaya bisa menjadi calon kiamat bagi pasangan kita. Orang baru akan selalu terlihat lebih menarik. Gairah dan canda riang tanpa beban jelas lebih menyenangkan.

Sementara hidup pasangan anda serasa seperti di neraka. Dia nggak tahu apa yang terjadi, tapi yang dia tahu kasih anda semakin berkurang. Yang dia tahu anda semakin tidak peduli. Dan mungkin, mungkin itu salahnya, walau ia tak tahu apa salahnya.

Anda yang melihat pasangan semakin gelisah akan menjadi tambah tidak suka padanya. Apalagi saat ia mulai mempertanyakan mengapa anda berubah. Anda yang merasa bersalah akan mencari pembenaran, dan sangat mungkin menyalahkan pasangan anda. 

Saat semua terbongkar, dan biasanya memang akan ketahuan, refleks pertama anda pastinya mempertahankan diri anda. Anda menyanjung betapa hebatnya si selingkuhan dibanding pasangan anda. Pasangan anda yang sudah terpukul karena kehilangan cinta anda akan semakin terpuruk karena merasa dirinya tidak pantas, merasa dirinya gagal.

Semua demi sebuah rasa yang fana. Karena porsi besar dari indahnya selingkuh adalah dag dig dug der romansa, lezatnya buah terlarang. Saat tidak lagi jadi terlarang, saat benar-benar harus mengarungi hidup bersama dan bukan hanya curi-curi ketemu, rasa itu sangat mungkin hilang.

Ini bukan hanya dilakukan oleh pria. Wanita juga banyak yang bersalah. Berkirim pesan di dunia maya hingga mengabaikan pasangan, membuat sejuta alasan untuk membenarkannya: "Habis pasangan saya nggak romantis," "Habis pasangan saya kasar," "Habis pasangan saya membosankan."

Ya tinggalkan. Nggak usah cari alasan. Punya pasangan itu komitmen, bukan sekedar baju yang anda bisa ganti pakai sesuka hati anda. Kalau anda sudah merasa tidak cocok, ya pergi. Kalau anda tidak yakin mau pergi, ya jangan cari yang lain. Fokus dengan pasangan anda sampai anda tahu apa yang anda mau.

Dan kita pun berujar dengan patuh: "Oh iya, itu benar." Tapi seberapa banyak dari kita yang berani menentang teman kita yang berselingkuh? Seberapa banyak dari kita yang berani berkata tegas: "Loe ga kesian sama pasangan loe?" 

"Itu kan urusan dia," kilah kita, "Gue mah ga mau ikut campur urusan rumah tangga orang." Tapi saat kepercayaan pecah berkeping-keping akan ada seseorang yang harus membawa kepingan itu seumur hidupnya. Akan ada seseorang yang terluka selamanya.

Jangan terlibat dengan pasangan orang karena dirayu dan diceritakan betapa brengseknya si pasangan. Jangan melibatkan diri dengan orang lain karena berpikir anda berhak mendapat lebih dari pasangan anda. Jangan diam saat anda tahu seseorang akan terluka karenanya.

Gebetan saya menjawab SMS saya dengan nada ceria, menenangkan saya dan bilang ia tak keberatan pergi ke acara saya. Namun saat itu saya sudah bersembunyi di balik selimut, bantal basah oleh airmata. Jangan lagi. Jangan lagi.

Monday, June 4, 2018

Kegagalan Cinta



Hari ini saya belajar tentang 'infatuation'. Tentang pengen sepengen-pengennya ngarep sengarep-ngarepnya. It sucks. Nyebelin banget. Tapi juga seru banget dan bikin perasaan ga karuan hihihi.

Ceritanya kenalan sama abang ganteng pas weekend kemarin. Tinggi, manis, ramah, cerdas dan 'nyeni' pula. Ugh jadi ngarep banget, padahal cuma ngobrol sebentar. Dan begitu SMS saya nggak dibalas, jeng jeng jeng patah hati lah saya seharian.

Padahal saya nggak kenal dia. Bisa jadi sudah punya pasangan. Bisa jadi psikopat. Bisa jadi kalau sudah kenal malah ill feel. Dan karena saya orangnya takut komitmen, ada kemungkinan begitu dekat saya yang kabur. Biasanya sih begitu.

Tapi ya Tuhan rasa ini lohhh. Luar biasa banget. Yang ngintipin Instagramnya dan sibuk meratap kenapa si abang ganteng ga SMS balik. Yang sibuk nelangsa di depan kaca "Emang gue kurang cakep ya?" Yang sibuk berkicau betapa sempurna si abang.

Dan saya nggak mau berhenti. Ntaran dulu ah. Saya masih menikmati perasaan ini. Seperti hubungan-hubungan saya yang lain. Yang walau tahu dari awal nggak akan langgeng, yang akhirnya seperti yang bisa saya duga saya jadi patah hati.

Ada yang nyinyir bilang saya nggak becus menjalin hubungan. Sama suami saya cerai, sampai sekarang saya masih nggak punya hubungan stabil. Paling lama deket orang itu 6 bulan, lalu bubar. Sementara konon si mantan sudah hidup bahagia.

Habis gimana, nggak ada yang cocok. Terjemahan: belum ketemu yang sesuai standar saya. Idealnya sih saya nunggu sampai ketemu yang tepat, bukan sibuk sama orang yang nggak tepat lalu patah hati tiap 4-6 bulan sekali. Cewek gagal banget sih.

Tapi apa iya saya gagal? Tiap hubungan yang saya jalani itu saya belajar sesuatu yang baru. Saya belajar kalau saya menarik. Saya merasakan pacaran ala anak SMA. Saya mengerti apa rasanya infatuation/rasa ingin yang tak terkendali.

Iya saya sedih dan patah hati. Terus dan terus dan terus. Kalau fokusnya cuma sekedar 'punya seseorang' saya jelas gagal total. Tapi kalau fokusnya ke perjalanan hidup dan apa yang saya rasakan, saya merasa puas dan penuh pencapaian banget.

Dalam tiap hubungan saya yang gagal, saya menemukan bagian baru dalam diri saya. Saya yang ternyata memang punya standar intelektualitas. Saya yang makin mengerti seksualitas saya. Saya yang berani bersikap dan mempertahankan diri saya.

Untuk anda yang sibuk meratapi hubungan anda yang nggak berhasil, yuk hapus airmata anda. Selalu ada yang bisa kita pelajari. Bahkan sekedar bisa move on atau setidaknya menjalani hidup seperti biasa juga sudah suatu pencapaian lho.

Jangan pernah menyesali apa yang sudah terjadi, karena itu hanya akan membuat anda merasa pahit. Hidup itu lebih dari sekedar kepahitan. Pastinya pernah ada kebahagiaan disitu, walau mungkin akhirnya tak seperti yang kita bayangkan.

Tarik nafas dalam dan ingat secercah kebahagiaan itu. Lalu ingat seberapa jauh anda telah berjalan. Hubungan yang gagal itu bukan sebuah akhir. Kalau ibarat sinetron, ini baru akhir episode. Bukan akhir musim dan jelas bukan akhir tayang.

Tetap bersinar ya pembaca tersayang. Nikmati hidup anda, baik 'keberhasilan' maupun 'kegagalan'. Salam ganjen dari Los Angeles.

Saturday, May 26, 2018

Pede dan Sepatu




Nggak sangka ternyata saya sampai di titik dimana saya punya terlalu banyak sepatu. Jeng jeng jeng.

Yang sneakers. Yang sandal manis. Yang sepatu flat. Yang high heels. Yang boots. Warna warni. Warna gelap. Tali temali. Jangan ditanya koleksi beha dan baju dalam seksi saya. Padahal badan cuma satu dan kaki cuma dua.

Buat saya ini signifikan banget. Jaman dulu saya nggak mau beli sepatu kecuali kepepet. Itu juga belinya yang yakin bisa dipakai berulang kali. Faktor ke-kere-an mempengaruhi, tapi faktor ketidak-pedean juga besar.

Alasannya selalu "Sayang duitnya, mending dipakai yang lain". Terjemahannya adalah "Toh gue ga pantas. Mau dipakai kemana juga?" Tahu diri lho kaki saya nggak mulus, betis segede talas, naik turun bus pula. Bukan kaki ala Dian Sastro pokoknya.

Tapi disini setelah kembali melajang, saya peduli setan. Elu nggak suka ya ga usah lihat. Yang penting saya suka melihat saya pakai sepatu pilihan saya. Dan ini membuat perbedaan yang luar biasa lho.

Saat kita berjalan dengan percaya diri, dengan mengetahui kita merasa cantik dengan pilihan kita, itu pula yang akan ditangkap orang sekitar kita. Kita kelihatan keren di mata orang lain. Walau hanya pakai high heel seharga paket MakDe.

Tapi pede dan nyaman dengan diri sendiri ini susah dapatnya, apalagi kalau sekeliling kita nggak pede. Yang ada kita terus mendengar suara sumbang, terus berusaha dibawa ke level/situasi yang menurut sekeliling kita 'normal'.

Nyebelin kan? Saya rasa saya nggak sendiri. Pasti banyak dari para pembaca yang sempat mendengar "Aduh, nanti apa kata orang?!" Atau mungkin justru para pembaca yang gencar mengkritik err mengingatkan agar teman anda nggak ditertawakan.

Prinsip saya sih, kalau nggak membahayakan, ya udah mingkem saja. Jangan komen. Mau pakai heels/sepatu hak di acara piknik ke kebun raya, boleh lah diingatkan. Tapi kalau cuma mencibir dan bilang "Elu ga pantes ah pakai heels" yuk silakan ke laut.

Sebaliknya, jadilah pribadi yang selalu mendukung. Semua orang butuh merasa nyaman dengan dirinya, jadi jangan jatuhkan orang hanya karena anda yang nggak pede. Bedakan antara kritikan yang membangun dan cibiran jutek.

Dan boleh lho berbeda. Boleh lho punya selera berbeda dengan orang kebanyakan. Yang merasa 'normal' nggak usah merasa terancam, yang merasa 'beda' nggak perlu sibuk menutupi. Selama nggak merugikan orang lain, selera kita ya hak kita.

Rasanya luar biasa sekali bengong memilih mau pakai sepatu yang mana untuk pergi malam ini. Biasanya pilihannya cuma sandal jepit ato sepatu keds hahaha. Ini rasa kebebasan yang sebenarnya. Bebas menjadi diri sendiri. Menakjubkan.

Semoga para pembaca akan bisa menemukan dan merasakan kebebasan ini. Jangan menyerah ya, para pembaca. Salam pede dari Los Angeles.

Thursday, May 24, 2018

Pelajaran di Kapal Pesiar



Kemarin saya 'pulang kampung'. Resminya sih tur di kapal pesiar, tapi berhubung banyak banget kru kapal pesiarnya orang Indonesia, berasa seperti di Indonesia hahaha. Bedanya hanya saya nggak diliatin saat pakai bikini dan ganjen kanan kiri. Paling nggak sampai mereka lihat nama di kartu kamar saya. Ups.

Waktu saya di Indonesia dulu, kru kapal pesiar identik dengan uang cepat dan kelakuan yang syalala. Konotasinya kadang suka jelek, apalagi untuk yang perempuan. Berapa kali ditawari teman untuk kenalan dengan kru kapal pesiar, saya yang malas.

Tapi di pesiar ini pandangan saya berubah. Para kru ini ramah dan baik banget sama saya. Nggak tahu apa karena saya kebetulan tamu, atau karena pada syok saya dengan manis menyapa mereka kanan-kiri dengan Bahasa Indonesia. Orang rumah, gitu. Jadi bikin kangen rumah.

Apapun alasannya, untuk pertama kalinya saya sadar bahwa pekerjaan mereka sangat berat. Jam kerja yang panjang, tempat kerja yang sempit dan terbatasi, belum lagi tamu yang kadang minta dijitak. Pengalaman cruise/pesiar saya nyaris tak bercela, yang berarti para kru ini bekerja semaksimal mungkin.

Hebat kan? Saya beruntung bisa punya kesempatan untuk mengamati mereka seperti itu. Tapi bukan hanya mereka. Coba anda pikir, semua lapangan pekerjaan apapun mungkin terlihat berbeda bilamana anda mau membuka hati dan pikiran anda. Melihat apa yang mereka capai dan mampu lakukan.

Di Bali akan segera Galungan dan Kuningan. Umat Muslim pun segera menyambut Lebaran. Saat kita duduk bertemu sanak saudara dari berbagai lapangan pekerjaan, terutama yang bekerja jauh dan/atau yang berkelebihan, apa yang kita pikirkan? Atau yang pekerjaannya menurut kita nggak banget?

Pada akhirnya, apa yang kita lakukan adalah cerminan diri kita sendiri. Apakah kita akan melihatnya sebagai dompet berjalan, apakah kita akan melihatnya sebagai orang rendahan, itu semua cerminan diri kita. Dan di hari raya ini, nggak ada saat yang lebih tepat untuk merenungkan hal ini. 

Bukan berarti orang-orang ini nggak mungkin brengsek ya. Semua orang pada dasarnya brengsek. Percaya deh, saya 100% sadar kalau saya mondar-mandir di Indonesia tanpa kesebut 'tinggal di Los Angeles' kebanyakan orang nggak akan peduli sama saya. Padahal menurut saya saya lumayan keren lho.

Begitu pula orang-orang ini. Mereka nggak keren karena mendadak bisa beli mobil atau mentraktir sekampung ke bar. Mereka nggak nista juga karena bukan bekerja sebagai teller/kasir wangi di bank atau kerja kantoran lainnya. Mereka berani mengambil kesempatan yang ada, dan itu saja sudah luar biasa lho.

Mungkin kita perlu belajar melihat orang dari apa yang ia capai, dari perjalanan yang ia lalui, dari siapa dia. Biar Tuhan yang menilai salah-benar atau suci-tidaknya seseorang, dan ingat apa yang ia miliki sebenarnya pinjaman dari Nasib yang bisa diambil kapan saja. Kita cukup melihat mereka sebagai sesama manusia.

Tahun ini saya mungkin belum bisa pulang ke Indonesia, tapi saya sudah mendapatkan sepotong Indonesia di perjalanan saya. Dan saya bahagia. Makasih ya para kru kapal pesiar. Di hari raya ini, mari berusaha untuk menjadi lebih manusiawi. Karena kita memang hanya manusia. Salam rindu dari Los Angeles.

Friday, May 11, 2018

Cuilan Yang Tepat



Kenapa sih yang viral itu yang "Wow, Polwan cantik ini bersuara merdu!" atau "Nggak Nyangka Polisi Ganteng Ini Sangat Pemberani!". Apa mesti penampilan menarik (baik dari tampilan fisik atau tampilan dompet) baru kita mau melirik?

Jawabannya sih iya. Mana ada sesuatu yang viral tapi penampilan seadanya? Biasanya ada juga kalau nggak sanggup berpenampilan seperti superstar, ya sengaja dijelek-jelekkan atau dikonyolkan agar ekstrim dan menarik perhatian.

Di Amrik sini juga sama. Pas ada acara St. Patrick Day (pesta Irlandia), yang digodain teman-teman saya adalah abang ganteng yang padahal sama sekali nggak ada darah Irlandianya. Bapak-bapak gendut yang beneran mukanya Irlandia dan pakai Kilt (rok ala Irlandia) malah nggak ditoleh.

Dibilang wajar, sayangnya iya. Bukan gimana, jauh lebih gampang melihat penampilan (fisik atau finansial). Ibarat melamar pekerjaan, yang ijazah sekolah terkenal pasti lebih dilirik. Rentang perhatian kita kan nggak lama, nggak mungkin setiap orang ditelaah satu-satu.

Tapi buat saya omongan "Elu cetek banget sih" (baca: you are so shallow!) itu hinaan yang nggak penting. Kita budayanya dari awal menghargai sesuatu yang 'lebih', jadi nggak salah kalau hanya itu yang bisa kita lihat. Dogma "Jangan hanya lihat penampilan" itu juga tai kucing belaka. 

Eit, sebelum saya disambit cermin, coba duduk berpikir bareng saya. Seperti saya bilang tadi, manusia rentang perhatiannya sempit. Kita cuma bisa melihat secuil saja. Masalahnya bukan jangan melihat hanya secuil (karena ya memang segitu saja bisanya), tapi bagaimana melihat (dan mencari) cuilan yang tepat.

Orang yang kuat. Orang yang berani. Orang yang welas asih. Orang yang berjuang. Orang yang peduli. Orang yang mampu membuat hidup kita, atau hidup orang lain, menjadi lebih baik.

Ibu yang bisa menenteng tas Hermes dari hasil usahanya sendiri nilainya setara dengan ibu yang menenteng tas berisi jajan untuk kelima cucunya dari ketiga anaknya yang ia besarkan sendiri tanpa suami. Bos yang memastikan karyawannya bisa mendapat THR lebaran nilainya setara dengan OB yang memastikan ibu Akuntan bisa pulang naik taksi yang aman. 

Bukan apa yang mereka punya yang kita lihat, tapi perjalanan dan perjuangan mencapainya. Dijemput naik Avanza yang cicilan sendiri tanpa bantuan orang tua jauh lebih oke daripada BMW yang dikasi ortu, atau lebih parah lagi, hasil menipu/korupsi. Logika saja, kalau bisa usaha sendiri, pas jatuh pun akan bisa bangkit lagi hahaha.

Untuk punya integritas begini susah, apalagi di era yang semuanya serba cepat, semua ingin terkenal. Hasilnya, kemampuan sekadarnya pun tertutupi bilamana orang ini menarik. Kita membiarkan diri kita puas dengan sesuatu yang sekadarnya atau bahkan dibawah standar, akhirnya kita pun jadi dibawah standar.

Jadi lain kali melihat foto/postingan orang di social media, tanyakan pada diri anda: apa sih yang bisa saya dapatkan dari postingan ini? Jangan cuma bisa "Wow Paris aku juga mau like like like ah oh yes ada bulenya juga super duper like"

Buat saya penampilan fisik, orientasi seksual, warna kulit/ras, preferensi agama, seberapa tajirnya orang itu nggak ngefek. Yang akan saya lihat hanya perjuangan mereka, hanya siapa mereka, dan bagaimana mereka memperlakukan sesamanya. Apa yang mereka sudah berikan pada dunia.

Karena ini penting. Batas-batas dunia semakin hilang dan relasi antar manusia menjadi semakin kompleks. Kalau kita masih hanya melihat tampilan luar dan bukannya sifat yang bisa membuat kita lebih baik, kita ibarat manusia purba yang nggak mau berevolusi.

Jadi kalau malam minggu ini masih ada yang bilang sama anda "Duh sori ya, elu kurang cakep/kurang kaya sih…" Monggo lho di toss/di high five orang yang bilang begitu. Bagus ketahuan di awal daripada anda buang-buang waktu sama orang yang prioritasnya beda. 

Dan karena ini Indonesia yang kadang orang mulutnya suka minta disuapin sendal jepit, saya cuma ingin mengingatkan bahwa 'Gendut', 'Jelek', 'Hitam', 'Kusam', 'Dekil', dan berbagai variasi hinaan fisik lainnya itu bukan siapa anda yang sebenarnya. 

Anda adalah apa yang telah anda capai. Anda adalah apa yang (sedang) anda perjuangkan. Anda adalah apa yang anda berikan pada dunia. Anda bukanlah sesosok mahluk yang dipaksakan muncul karena proyeksi ketidak-pedean seseorang. 

Sebaliknya, orang lain pun tidak boleh menjadi nista hanya karena ketidak-pedean anda. Jangan mau dilihat secara utuh tapi mulut sibuk bergunjing dan pikiran sibuk menghina. Nggak fair ah.

Selamat berakhir pekan, pembaca tersayang. Nikmati akhir pekan anda!

Monday, May 7, 2018

Kepo Syalala



#KepoSyalala

Minggu kemarin saya patah hati. Gebetan saya ceritanya menolak serius, sementara saya malas cuma jadi mainan. Jadilah saya bye bye bye. Boleh dong jadi perempuan punya standar.

Tapi kebayang nggak kalau di Indonesia? "Makanya jangan sembarangan cari lelaki," "Cewek ga bener pasti dapatnya juga cowok ga bener," "Badan kayak lemper begitu wajarlah," berikut segala spekulasi kenapa si lelaki nggak mau serius, yang mana sebagian besar akan menyalahkan saya. Fakta bahwa cowok ini ganteng jelas nggak menolong saya. "Ngaca ga sih tuh perempuan??"

Kekepoan kita ini sangat mendarah daging, sampai kemarin mau daftar pemilu online ada pilihan status pernikahan. Sama dengan kolom agama, faedahnya apa? Apa yang saya pilih nggak akan terpengaruh dari status pernikahan atau agama saya, bukan? 

Masalahnya dengan kekepoan adalah, korban utamanya perempuan. Seberapa heboh sih kita mengkepokan lelaki? Biasanya yang kita kepoin perempuan disekitar lelaki itu. Nggak ada, misalnya, yang mengkepokan betapa brengseknya Ahmad Dhani. Semua sibuk resehin Mulan Jameela.

Seperti cerita patah hati saya. Teman-teman saya disini yang sibuk "Kebiasaan deh, lelaki" "Gue bangga loe bisa mengambil sikap," "Elu berhak dapat yang lebih baik!" Karena memang bukan salah saya dia nggak mau serius. Itu juga bukan urusan orang untuk menduga atau menghakimi saya.

Kekepoan kita dan penghakiman kita terjadi saat kita melihat sesuatu hanya dari luarnya saja, hanya dari kriteria yang timbul dalam kesempitan pikiran kita, dari proyeksi insekuritas/rasa tidak percaya diri kita. Akhirnya yang keluar/terujar pun hanyalah kenegatifan belaka.

Dan ini akhirnya menjadi lingkaran setan. Sekian banyak orang (dan saya sendiri!) bercerita alangkah tidak nyamannya menjadi bahan kepoan dan penghakiman orang lain. Kita yang negatif menjadi sebal dan membalas dengan mengkepokan dan menghakimi orang lain. Semua ini terus berlanjut.

Terlalu mudah, sekali lagi, terlalu mudah untuk melihat rendah orang lain. Sebaliknya, terlalu mudah juga mendewakan seseorang yang masyarakat pikir hebat dan keren. Yang sangat sulit adalah melihat tinggi, atau setidaknya mengakui seseorang yang 'biasa'.

Kenapa? Karena mengakui kemampuan dan kelebihan orang lain yang terlihat 'biasa' berarti mengakui bahwa kita yang 'biasa' pun sebenarnya 'luar biasa'. Kita harus meruntuhkan ego dan insekuritas kita untuk melakukan ini. Banyak yang nggak siap untuk melangkah kesitu.

Caranya sih dengan banyak latihan ya hahaha. Lihat orang sekeliling anda dan pikirkan apa hal baik yang anda bisa lihat darinya. Manusia itu ibarat berlian, ada banyak sisinya. Sinar yang dipendarkan/keluar pun tergantung sinar apa yang masuk. Jadi jangan langsung menuduh orang lain jelek bila anda tidak tahu ceritanya, atau belum melihat secara keseluruhan.

Nggak menarik ya bacaan Senin sore/Selasa pagi ini? Ahahaha. Saya sih bisa lho menulis mendayu-dayu tentang cinta dan kasih sayang, tapi cinta dan kasih sayang paling utama yang saya rasakan adalah dari orang-orang yang menerima saya apa adanya.

Bukan Ary Yogeswary yang gemuk, nggak dandan, kulit tidak terawat, kebanyakan omong, kere, nggak keren; tapi Ary Yogeswary yang menikmati dunia, yang penuh senyum dan tawa, yang siap menolong temannya, yang pantas mendapat hal-hal yang baik dalam hidupnya.

Enak lho berpikir positif. Coba deh. Awas ketagihan tapi. Bisa-bisa dunia menjadi tempat yang lebih baik, lebih nyaman, dan lebih indah kalau semua orang mau dan mampu berpikir positif. Eh.

Search This Blog