AdSense Page Ads

Wednesday, November 7, 2018

Kisah Jaka Sembung



Ceritanya saya komen di sebuah komik IG. Saya minta format satu page agar gampang disharing karena menurut saya komik itu bagus, tentang kisah si pengarang yang kena misuh-misuh bapak tua yang menganggap jilbab itu lebih penting dari pelajaran sains.  

Lalu ada yang menjawab komen saya, bahwa saya harus bangga dan berjuang menjadi perempuan yang baik tanpa jilbab atau dengan jilbab, bahwa hanya Tuhan yang tahu amal ibadah kita dan seterusnya. Bengong lah saya membacanya.

Pertama, komen saya tentang minta dibikinkan format satu page kalau memungkinkan, bukan tentang pemakaian jilbabnya. Kedua, ternyata dia seorang pria, yang agak dodol menurut saya kalau mencoba menasihati seorang wanita tentang jilbab. Dia aja nggak pake jilbab. Ketiga, saya Hindu.

Paling males kalau ada orang yang tetiba nimbrung jaka sembung. Kadang niatnya baik, tapi kadang (baca: seringkali) niatnya hanya ingin terlihat baik. Menerima 'masukan' seperti ini rasanya seperti ngemilin kembang tabur: wangi saja tapi nggak ada nutrisi dan jelas nggak enak.

Apalagi kalau orang tersebut jelas-jelas nggak ada kepentingannya, atau bahkan nggak perduli sama kita. Asal terlihat baik dan bijak pokoknya. Yay seleb Fesbuk dan IG! Seperti mas ini yang sama sekali nggak ngeh kalau dia melakukan persis seperti di komik yang kita komenin: memaksakan pendapatnya pada wanita.

Sekali lagi, para pembaca: wanita itu nggak hidup hanya untuk pria. Wanita itu ada di dunia atas kehendak Tuhan, bukan? Jadi yang perlu wanita pikirkan ya Sang Pencipta, bukan jenis kelamin tertentu. Hiduplah sesuai apa yang dikehendakiNya. Jadi orang baik, misalnya.

Banyak agama dan kebudayaan yang menempatkan pria sebagai pilar keluarga, sebagai pemuka dan pembimbing. Wajar. Secara fisik wanita biasanya lebih lemah, plus tugas kita yang terfokus pada mengurus keluarga. Tapi bukan berarti wanita lebih rendah.

Terlalu sering kita wanita mendengar omongan "Nanti nggak ada lelaki yang mau sama kamu". Yang hidup kita seolah berpusat pada bagaimana mendapatkan dan memuaskan pasangan. Nggak penting lah kita pintar, kita baik, kita hebat. Yang akan dinilai hanya kemampuan kita mendapatkan dan mempertahankan pasangan.

Makanya saya ekstra sensi saat jaka sembung di komen komik ini ternyata lelaki. Mas bagus, bukan wanita yang mesti diingatkan untuk tetap hebat dengan atau tanpa jilbab. Yang harus diingatkan rekan-rekan pria anda. 

Anda nggak ngerasain disinisin saat lepas jilbab. Anda nggak ngerasain dihakimi oleh teman dekat yang baru mulai pakai jilbab. Anda nggak ngerasain diteriakin teroris karena jilbab yang anda putuskan untuk dipakai. Anda nggak tahu rasanya jadi wanita.

Tapi anda bisa bersimpati dan berempati, bisa mencoba mengerti perjuangan para wanita. Sana, ceramahi para rekan pria anda. Beranikan diri membela wanita dengan lantang, dan bukan hanya yang secantik artis sinetron. Jangan takut pasang badan saat orang lain menganiaya wanita, baik secara fisik ataupun perkataan.

Sudah saatnya pria menjadi rekan setara bagi wanita, bukannya malah menjajah. Pria bisa lho tetap jadi pembimbing dan pengayom, tapi boleh dong kita wanita mencari yang memang sanggup dan bukan hanya karena dia kebetulan punya penis. Wanita dari tulang rusuk pria, bukan? Setara, seimbang.

Sekedar info saja, saya masih lho sangat menghormati pria. Makanya lelaki disini kadang klepek-klepek menghadapi saya. Kita yang didikan Indonesia masih sangat ngemong dan menghargai, barang langka kalau disini. Tapi ya saya pilih-pilih. Kalau nggak bisa menghargai saya balik ya ngapain juga diladenin.

Para wanita, jangan takut untuk berani memiliki preferensi dan untuk menghargai nilai diri kita sendiri. Wanita yang hebat itu berkah bagi dunia lho. Para lelaki, jangan nggak pede sama wanita hebat. Kalian harusnya merasa tertantang untuk mampu menjadi pasangan ideal mereka. Kita semua ingin menjadi manusia yang lebih baik, bukan?

Dan itu artinya nggak usah lagi sepik-sepik sok bijak di urusan yang mungkin anda nggak mengerti. Itu artinya berusaha berempati dan bersimpati, bukannya malah "Harusnya yah…" Jadilah teman, bukan penjajah. Bisa kan?

No comments:

Post a Comment

Search This Blog