Apa rasanya jadi wanita mandiri? Rasanya menyenangkan.
Duduk manis di stasiun bus menunggu bus datang sambil menyesap kopi susu buatan kedai kopi lokal (yang jauh lebih enak dari Cetarbak), dengan headphone menutup telinga dan menikmati keriuhan disekitar dalam diam.
Malam hari menyempatkan diri berbelanja sayur dan daging di supermarket, bersantai melihat berbagai barang yang dijual dan keramaian orang-orang. Memilih menu siap saji sesuka hati, termasuk berbagai coklat dan kue dan jajanan lain.
Hidup kurang bahagia gimana, coba? Dan ini belum termasuk berbagai kegiatan yang bisa saya lakukan di saat senggang: menonton opera dan teater, pergi ke konser, berdansa sepanjang malam, main board game nonstop, atau jjs sendirian.
Jangan salah, saya pernah jadi istri idaman dan itu menyenangkan juga. 3 tahun saya menikah adalah salah satu masa paling bahagia dalam hidup saya. Bangun pagi disamping suami tercinta, bersama anak-anak yang saya sayangi, nggak ada yang bisa menandingi rasa itu.
Tapi mandiri bukanlah tentang punya pasangan atau tidak. Mandiri berarti mampu berdiri sendiri. Mampu kemana-mana sendiri. Mampu beraktifitas sendiri. Mampu menafkahi diri sendiri. Mampu hidup tanpa bergantung pada orang lain. Punya pasangan pun kita harus tetap mandiri.
Kenapa? Karena mandiri itu memberikan kebebasan. Mandiri itu memberikan kepercayaan diri. Mandiri itu memberikan kekuatan. Gimana nggak? Kalau tahu diri sendiri mampu, mau badai seperti apapun kita pasti akan sanggup menghadapinya.
Sayangnya, kemandirian ini sering disalah-artikan dengan 'membangkang terhadap lelaki', padahal nggak. Saat saya terlihat lebih mapan secara finansial ataupun emosional daripada para pria yang saya kencani, nggak berarti saya jadi arogan dan kasar. Tetap kok saya ngempu dan ngemong. Tetap saya memperlakukan mereka dengan hormat.
Masalahnya adalah terkadang ego pria yang nggak bisa menerima wanita yang 'lebih'. Saat saya diposisi yang kuat, saya pun punya pilihan untuk melawan bila diperlakukan tidak baik. Ini juga salah satu alasan kenapa 'mandiri' terdengar sama dengan 'membangkang', padahal wanita hanya ingin diperlakukan sepantasnya.
Padahal mandiri itu penting. Para pria yang fokusnya keluarga harusnya mencari wanita yang mandiri sebagai ibu dari anak-anaknya, atau sebagai teman hidupnya. Kalau si pria mendadak tidak ada, lalu siapa yang akan mengurus anak-anaknya, atau merawat orang tuanya yang semakin menua?
Begitu pula bila ada cobaan dalam hidup. Saat di-PHK atau tidak bisa bekerja lagi, apa jadinya bila pasangan hidup tidak mandiri dan malah sibuk merengek? Atau lebih parah, mendadak bye bye mencari kestabilan di tempat lain?
Tapi kita kan nggak bisa mengubah manusia ya. Biarpun anda para wanita memaksa para pria membaca ini, tetap nggak akan bisa mengubah persepsi mereka kalau mereka nggak mau berubah. Apalagi bila lingkungannya masih melihat wanita sebagai barang.
Yang harus dipikirkan adalah, apa yang kita para wanita inginkan? Buat saya jawabannya adalah hidup tanpa rasa takut. Hidup tanpa harus bergantung pada orang lain. Hidup tenang karena tahu saya akan mampu menolong orang yang saya sayangi saat tiba saatnya. Hidup mandiri.
Dan semuanya akan ikut lho. Anak-anak kita, generasi berikutnya, akan melihat bahwa wanita bisa mandiri. Alih-alih menganggap itu ancaman atau aneh, mereka akan menganggap itu biasa atau bahkan diharapkan. Semua orang, baik wanita ataupun pria, harus mandiri.
Karena bukankah wanita seorang ratu dirumahnya sendiri? Apa yang ratu lakukan? Ya berkuasa. Memastikan kerajaannya aman damai tentram dan masyarakat makmur. Kita para wanita adalah para ratu atau calon ratu. Tunjukkan pada dunia bagaimana seorang ratu bersikap.
Duduk sendiri di restoran mahal atau bercanda dengan bartender di bar dekat rumah. Tertawa mesra dengan pacar saya atau tidur sendiri dengan boneka kesayangan di rumah. Ini hidup saya. Ini kemandirian saya. Rasanya sungguh menyenangkan, rasanya sungguh bebas. Ayo, kembangkan sayap anda dan terbang bebas.
No comments:
Post a Comment