Nggak tahu ini sudah berapa kali saya mengetik ulang dan ulang tulisan ini karena saya terus 'nyangkut'. Sudah berbagai segi saya coba, namun tidak ada yang saya rasa cocok. Ini bukan topik yang menarik. Ini cerita saya yang lebay. Ini ga penting.
Pada kenyataannya, saya takut. Saya takut berbicara akan kekerasan yang saya alami karena saya takut saya akan 'dihukum' karenanya.
Saya tahu saya akan dihukum secara sosial. Ngapain saya masih ngomong sama suami orang. Apa iya saya benar tersiksa kalau saya masih berkomunikasi dengan orang ini. Baru dimaki sebegini saja saya sudah stress, padahal banyak yang lebih kejam lagi diperlakukan oleh (mantan) pasangannya.
Saya juga bisa 'dihukum' oleh si pelaku. Dia bisa menjadikan segala sesuatu yang saya tulis sebagai bukti baru ke pengadilan dan kita bisa memulai ronde 2. Sayapun harus duduk di pengadilan (lagi) dan mendengar ia mendiskreditkan saya. Bahwa saya emosinya nggak stabil. Bahwa saya kelakuannya sangat seksual jadi wajar diperlakukan seperti ini. Bahwa saya orang yang culas dan manipulatif.
Membangun kasus saya dan mengumpulkan bukti untuk ke pengadilan agar ia berhenti mengganggu saya adalah sesuatu yang sangat traumatis. Saya harus menjalani semua cercaan dan pelecehan yang ia lakukan terus dan terus di pikiran saya hingga saya bisa mendapatkan cukup fakta sebagai bukti. Saya nyaris gila karenanya dan banyak kali saya ingin berhenti.
Sudahlah, batin saya. Biarkan saja ia terus mengganggu. Toh tinggal di delete saja komennya di social media. Blok. Blok. Blok. Nggak ada gunanya saya jadi stress lahir batin. Bukankah saya sekarang sudah bahagia? Harusnya apapun yang ia katakan tidak lagi ada artinya bagi saya.
Tapi bukan berarti ia bisa terus melecehkan dan mencerca saya. Bukan berarti saya yang harus hidup dalam kekhawatiran apa 'pesan manis' yang akan ia kirimkan bila yang saya posting secara publik tidak sesuai dengan mood yang mulia. Bukan saya yang harus memblok dan mensensor kanan kiri. Bukankah saya terus dibilang sebagai seseorang yang rendah dan tak berharga? Jadi ngapain masih mengikuti saya di social media?
Saya tahu bagi banyak orang apa yang ia tulis bukanlah sesuatu yang menyakitkan. Tapi menyakitkan bagi saya. Dan apa yang saya rasakan valid, walau orang lain tidak merasakan hal yang sama. Hal yang sama terjadi pada seorang teman yang merasa mengalami pelecehan di tempat kerja. Saya dan dia setuju bahwa apa yang ia alami sudah termasuk pelecehan seksual dan membuatnya merasa tidak aman; walau bagi orang lain terlihat 'biasa saja'.
Ya sudahlah kalau kita dibilang bitchy dan nggak asik. Seperti postingan IG SalingJaga.ID: sexual harasser always play victim. Bukan cuma sexual harasser sih, semua abuser akan main victim. Mereka akan berusaha mendiskreditkan si korban agar testimoninya tak lagi dianggap valid. Nggak heran kalau korban seperti saya dan teman saya, atau bahkan di kasus video terduga artis, justru malah disinisin atau dianggap bitchy. Dianggap lebay.
Tapi bukan tanggung jawab saya, teman saya, atau korban apapun untuk tetap 'asik'. Taruhlah kami memang bitchy dan lebay dan nggak asik, apa sih susahnya si pelaku jauh-jauh dari kami? Apa sih susahnya si pelaku stop saat kami memintanya untuk berhenti? Atau lebih jauh lagi, apa sih susahnya si pelaku nggak melakukan apa-apa yang membuat kami merasa tidak nyaman?
Jawabannya adalah kontrol. Abuser apapun akan berusaha memiliki kontrol akan diri korbannya. Orang yang tahu ia membuat orang lain merasa tidak nyaman biasanya akan langsung mundur saat diberitahu. Orang yang merasa ia berhak akan orang lain, diberitahu pun akan terus maju pantang mundur. Ini bukan soal cinta atau soal hubungan pertemanan. Ini soal kontrol.
Jadilah kita si korban yang, bila memutuskan untuk bersuara, harus membuktikan bahwa terjadi kekerasan/pelecehan. Kita juga yang harus tetap mempertahankan integritas kita dan berusaha tampil apik agar orang percaya kita. Dan ini bukanlah hal yang mudah saat si pelaku membantah kita bukan dengan fakta, melainkan dengan mendiskreditkan kita. Kita bisa dengan cepat jadi sibuk membantah cerita miringnya dan bukannya berfokus akan kekerasan/pelecehan yang ia lakukan.
Cerita saya untungnya berakhir dengan (agak) bahagia. Walau berkas saya 'menyedihkan' (maklum pertama kali ke pengadilan di Amerika dan tanpa pengacara), setelah mendengar argument saya dan si pelaku hakim memutuskan bahwa saya berhak mendapat perlindungan dan si pelaku tidak boleh mengganggu saya lagi.
Saya hanya bisa sujud syukur kehadapan Tuhan bahwa saya dikarunia mama papa yang mampu mendidik saya dengan baik sehingga saya mampu mempertahankan diri saya sendiri bahkan di negeri orang. Tapi orang lain mungkin tidak seberuntung saya. Tidak di Indonesia, tidak di Amerika. Mereka mungkin tidak memiliki support network yang saya miliki.
Makanya, please banget jangan menjudge saat ada orang yang tidak mau menceritakan kekerasan/pelecehan yang ia alami, atau baru bercerita setelah sekian lama. Jangan langsung menghakimi bahwa itu pasti karena korban juga ada andil, atau bahkan sebenarnya menikmati interaksi tersebut.
Dengan bercerita, korban harus mengulang lagi hal buruk yang ia alami. Korban juga harus siap didiskreditkan dan justru menjadi orang jahat/tak berharga dimata masyarakat. Dan itupun kalau dia dipercaya, yang mana sangat mungkin ia dianggap lebay saja. Tidak heran pelecehan dan kekerasan terus merajalela.
Apakah terlalu 'banyak' bila saya meminta, memohon, kita lebih punya hati untuk korban pelecehan dan/atau kekerasan? Bahwa kita jangan berharap menjadi hakim yang maha tahu dan maha berkuasa, melainkan menjadi gubuk mungil nan nyaman diaman korban bisa merasa sedikit terlindungi? Karena kita semua berharga. Tidak ada satupun dari kita yang 'lebih' dari orang lain.
Kalau bukan kita yang saling menjaga satu sama lain, siapa lagi?
PS: