AdSense Page Ads

Showing posts with label Muslim Indonesia. Show all posts
Showing posts with label Muslim Indonesia. Show all posts

Tuesday, February 17, 2015

Diskriminasi (Muslim) di Amerika: Tolong Riset Dulu Ya

Saya bangun jam 3 pagi hari ini membaca komentar di fesbuk saya tentang wanita berjilbab yang didiskriminasi di pesawat Delta Airlines. Pikiran langsung berputar merangkai kata-kata, mencoba menjelaskan pada dunia (baca: orang Indonesia) tentang kondisi yang sebenarnya di Amerika dan berusaha mengadvokasi tentang perbedaan antara diskriminasi dan free speech. Begitu suami saya bangun dan mulai bekerja di komputernya, saya pun bangun dan mulai mengetik artikel untuk blog ini. Alarm berbunyi sekali, menandakan sudah pukul lima pagi. Dua kali. Tiga kali. Sesudah alarm kertiga barulah saya tersentak sadar, saya belum memasak nasi untuk bekal suami ke kantor hari ini. Saya langsung mulai memasak nasi sementara suami saya bersiap untuk pergi ke kantor. Saat menunggu nasi matang saya menjadi emosi, merasa bersalah karena menelantarkan tugas saya sebagai istri hanya karena saya berusaha 'membetulkan dunia'. F*ck it. F*ck it all.

Buat saya, tujuan akhir manusia bukanlah surga sebagaimana yang ada dalam kitab suci yang selalu digambarkan sebagai tempat yang ajaib dan semuanya tersedia untuk manusia. Tujuan akhir manusia adalah kedamaian sejati. Kalau cuma surga sebenarnya sudah ada di dunia ini, tergantung kita bisa melihatnya atau tidak. Seseorang yang hatinya lapang dan damai selalu bisa melihat hal yang indah dari semua aspek yang ada di dunia ini, jadi buat dia ya dunia ini surga. Sebaliknya, yang sibuk parno dan penuh pikiran negatif pasti merasa dunia ini mengerikan seperti neraka. Inilah sebabnya di blog ini saya berusaha membuat para pembaca saya bisa melihat dan mengerti sisi lain dari berbagai permasalahan di dunia, karena pengertian adalah jalan untuk penerimaan, yang kemudian akan berujung pada kedamaian.

Tapi saya bisa bilang apa kalau begitu ada berita seperti diatas semua orang langsung me-like dan men-share tanpa repot-repot mengecek laporan yang lebih lengkap dari media Amerika, karena Youtube bukanlah sumber yang lengkap terpercaya. Di berita itu sendiri tidak ada kata-kata bahwa ia dipindah karena jilbabnya. Padahal cuma perlu semenit untuk meng-google cerita aslinya, dimana sebenarnya penumpang lain sudah protes akan tindakan pramugari tersebut dan banyak komentator yang juga setuju bahwa tindakan tersebut tidak benar. Padahal bila baca cerita aslinya kita akan ngeh bahwa ada ketidaksesuaian antara cerita versi Bahasa Indonesia dan versi Bahasa Inggris yang saya duga dikarenakan terjemahan yang salah. Misalnya saja di artikel Indonesia dikatakan "Itu benar-benar waktu yang sangat buruk. Aku merasa tidak ada persatuan di sana," sementara aslinya wanita ini berkata: “As bad as that moment was, I did feel a lot of unity,”

Diskriminasi adalah sesuatu yang bisa disembuhkan secara paksa. Setidaknya di Amerika sini. Walau seolah kaum minoritas tersiksa dan terinjak disini, sebenarnya hukum anti-diskriminasi di Amerika sangat ketat dan orang tidak bisa semena-mena mendiskriminasi atau mengharrassed/mengganggu orang lain. Kirim CV saja disini dianjurkan tidak memakai foto kok, agar tidak jadi sumber diskriminasi. Itu juga sebabnya orang diatas 40-50 tahun masih bisa melamar pekerjaan disini, padahal di Indonesia lowongan kerja di koran biasanya minta maksimal berumur 25 tahun untuk wanita. Dengan hukum dan penegakan hukum yang kuat, diskriminasi adalah penyakit sosial yang bisa dipaksa untuk disembuhkan. Sayangnya ignorance atau ketidakpedulian lain cerita.

Seperti saya bilang diatas, tidak perlu waktu lama untuk melacak cerita aslinya. Tapi orang Indonesia begitu baca judul yang bombastis (dan bahkan tidak repot-repot membaca isi ceritanya) langsung: "Saudara kita ditindas!!!" Konon katanya cuma orang Amerika yang ignorant, tapi ternyata orang Indonesia juga. Berita ini bahkan tidak masuk national news apapun di Amerika, yang berarti tindakan pramugari tersebut dianggap oke dan tidak ada diskriminasi yang terjadi. Saya tahu karena saya selalu memantau berita. I am a news junkie. Diskriminasi sekecil apapun selalu menjadi berita disini, dan kalau memang benar hal tersebut 'separah' yang diceritakan wanita ini, pastinya media nasional langsung menerkam berita ini karena menjual. Bukankah penembakan di Chapel Hill menjadi berita karena korbannya muslim yang berjilbab? Bila sampai tidak ada di national news berarti memang kejadiannya tidak sebombastis isi berita tersebut karena kantor berita disini tidak bisa sembarangan menerbitkan berita agar tidak dituduh mencemarkan nama baik.

Ketidakpedulian juga menyebabkan orang Indonesia menjadi makanan empuk untuk clickbait/penyebar berita bombastis begini. Pernahkah anda dengar soal acara Good Muslim and Bad Muslim? Tidak pernah kan, karena hal ini tidak menjual dan tambah lagi komediannya lumayan liberal. Padahal mereka mencoba menjernihkan nama Islam, dan cara mereka mungkin lebih baik daripada sekedar sharing berita dan bilang "Kita ditindas!!". Kalau memang anda khawatir, anda tinggal pantau terus berita dari Amerika kok. Pilih berita dari sumber yang terpercaya karena mereka harus menyajikan fakta, dan jangan malah mandek di artikel kecil-kecil yang mungkin tidak lengkap beritanya dan tidak ada cek dan riceknya. Tanya-tanya pada orang yang tinggal di luar negeri (baca: Amerika) apa iya muslim ditindas, segampang tanya ke orang yang tinggal di Bali apa iya dilarang pakai jilbab di Bali. Teman Indonesia saya yang berjilbab disini bisa mendapat gaji dua kali lipat daripada gaji saya lho, plus asuransi kesehatan dan berbagai hal menyenangkan lainnya karena dia memang kompeten. Kalau berjilbab sama dengan ditindas tentunya dia tidak bisa mendapatkan hal itu bukan? Riset sedikit tentang hukum diskriminasi di Amerika, dan coba mengerti bedanya di-diskriminasi, di-harrassed, dan tersinggung gara-gara orang lain menggunakan hak free speech mereka. Bedakan antara ditindas karena agama vs dianggap berbeda maka diperlakukan berbeda. Coba mengerti bahwa walau mungkin anda merasa anda berhak untuk memeluk agama anda, orang lain juga berhak untuk berpendapat berbeda.

Tapi itu semua butuh waktu. Lebih gampang untuk klik like dan share dan komen bahwa anda mendukung saudara seagama anda. Padahal wanita itu marah karena ia merasa tidak dianggap sebagai orang Amerika dengan jilbabnya, bukan karena ia dilarang memakai jilbab. Bukan karena "This is America, don't use your Hijab" tapi karena "You are not American because you are using a Hijab". Lebih gampang untuk marah dan berteriak "Diskriminasi!" daripada melihat kedalam diri kita sendiri yang mengernyit jijik saat melihat pelacur di malam hari atau abang-abang mikrolet yang tidur di dalam kendaraannya. Lebih gampang untuk menshare dan menginginkan dunia tahu bahwa telah terjadi ketidakadilan walaupun dengan tangan dan media sosial yang sama anda melakukan ketidakadilan dengan menshare himbauan untuk tidak terlibat dengan kaum kafir, yang notabene diskriminasi juga. Lebih gampang untuk melihat dunia dari mata seorang martir yang selalu dizholimi dan tertindas daripada berusaha melihat sisi lain dari sebuah masalah.

Mau bagaimana lagi? Ini pilihan anda. Anda bisa mencari tahu, mengerti, dan menerima (yang akan berujung pada kedamaian); tapi anda memilih untuk berkeras melihat yang buruk dan merasa tertindas. Selamat ya, hidup di neraka dunia.

FYI, semua manusia pada dasarnya tertindas. Semua manusia pada dasarnya merasa dirinya yang paling benar. Semua manusia pada dasarnya egois. Kuatnya payung hukum di Amerika membuka mata saya bahwa tiap orang berhak berpendapat dan pendapat mereka sama nilainya. Anda menganggap agama anda paling baik? Orang lain berhak berpendapat bahwa diet vegan gluten free adalah yang paling baik. Atau mengadopsi dan memiliki anjing peliharaan adalah yang paling baik. Setiap orang di Amerika berhak memiliki pendapatnya masing-masing, dan mereka sangat menghargai pendapat pribadi mereka. Anda boleh berpikir agama tidak bisa disamakan dengan jenis diet, tapi pencinta diet juga akan berpikir hal yang sama tentang agama anda walau dengan alasan yang berbeda. Blasphemy kata anda, penghinaan terhadap agama menurut anda, tapi fair is fair. Anda tentunya tidak berharap anda diistimewakan karena agama anda bukan? Karena bila ya, itu sebenarnya bentuk diskriminasi. Kalau anda melihat video wanita tersebut dan merasa marah dan berkata 'mereka tidak berhak melakukan itu terhadap wanita tersebut!', tolong diingat bahwa anda juga tidak berhak melakukan diskriminasi dengan menganggap anda lebih tinggi dari orang lain. Yang fair sajalah.

Monday, February 16, 2015

Penembakan di Chapel Hill: Mengapa ini Bukan Terorisme

Desember lalu saya membaca artikel yang ditulis seorang ibu yang berkeras bahwa teman sekolah anaknya tidak datang ke pesta ulang tahun anaknya karena anaknya autis. Tulisan itu dengan cepat menarik banyak komentator, yang hampir semuanya sinis terhadap ibu itu. Bukan apa-apa, seperti yang dikatakan berbagai komentator: anak mereka yang normal saja kadang-kadang tidak diundang atau tidak ada yang datang ke pesta mereka. Saya manggut-manggut setuju. Jangan sensi sendiri gitu deh. 

Di Amerika sini, perilaku 'Elu harus respect sama gue!' ini lumayan marak dan menyebalkan. Kasus Michael Brown misalnya, dimana anak muda kulit hitam ini ditembak mati polisi. Ini akhirnya menyebabkan kerusuhan di kota Ferguson dan demonstrasi besar-besaran di berbagai kota. Ceritanya menolak kekerasan yang dilakukan polisi, padahal si Mike Brown ini sebelumnya merampok toko lalu menyerang polisi. Begitu pula saat seorang remaja perempuan ditembak mati polisi, padahal dia mencuri mobil dan berusaha melindas polisi. Buat saya yang orang Indonesia dengan akal (lumayan) sehat, menyerang polisi yang punya pistol itu begonya ndalilah sekali, apalagi polisi disini sudah sangat stres dan parno karena hampir setiap orang disini punya pistol. Tapi para demonstrator disini nggak perduli, yang mereka perduli kaum mereka (kulit hitam, hispanik) terbunuh oleh polisi (kulit putih). Nggak masuk akal kan?

Saya setuju sekali dengan tulisan di fesbuk: Agama/keyakinan itu seperti penis, anda bisa punya satu dan saya tidak akan peduli, tapi akan jadi masalah kalau anda ngotot memaksakannya di depan muka saya. Masalahnya sekarang adalah victim mentality, yang ngerasa dibully dan dianiaya/dizholimi karena pilihan/kondisi hidup yang mereka punyai. Gay/transgender yang teriak-teriak tidak adil padahal mereka sendiri yang ganggu, kelompok minoritas yang koar-koar dizholimi padahal mereka yang berulah, dan ibu-ibu yang menuduh orang takut terhadap anak autis mereka padahal sudah biasa anak-anak saling cuek-cuekan. Mereka adalah contoh victim mentality, yang kalau disenggol dikit langsung: Oh ini pasti karena gue gay/lesbian/transeksual/kulit hitam/hispanik/anak dengan down syndrome/anak autis/etc. Padahal hidup memang penuh senggol menyenggol, dan anda tidak bisa mendapatkan 'free pass' bebas senggol hanya karena kepercayaan hidup anda.

Victim mentality ini terulang kembali dengan berita di soal penembakan di Chapel Hill. Hal yang paling pertama saya baca adalah postingan teman saya yang bilang "Kenapa ini tidak ada yang meliuput/tidak masuk berita??" Padahal penembakan ini masuk berita nasional di Amerika sini, dan anda bisa baca liputannya di NBC atau Yahoo misalnya. Berikutnya muncul postingan-postingan kenapa ini tidak dianggap perbuatan teroris, atau membandingkan penembakan ini dengan pembunuhan di kantor Charlie Hebdo dan menuduh media berat sebelah dan tidak melakukan pemberitaan yang adil terhadap kaum muslim. Bahkan kakak perempuan korban pun berkata bahwa media tidak seharusnya berusaha mengaburkan fakta dan bilang bahwa mereka dibunuh karena rebutan tempat parkir.

Sekarang saya minta kesabaran dan kelapangan pikiran anda untuk mencerna jawaban saya, untuk mengerti apa yang sebenarnya terjadi dari sudut pandang orang Amerika.

1. Gun violence/gun related-death di Amerika sangat-sangat tinggi. Tiap hari saya membaca setidaknya satu kasus baru di berita online yang berkaitan dengan senjata api. Seringkali tragis, seperti seorang ibu yang mati di supermarket karena anaknya yang berusia dua tahun merogoh tas ibunya dan tidak sengaja menembakkan pistol yang ada didalam tas tersebut. Seringkali konyol, seperti seorang wanita di Las Vegas yang terlibat pertengkaran di jalan raya dengan pengendara mobil lainnya, lalu ia ditembak oleh orang yang berantem dengannya. Saya selalu berasumsi semua orang punya pistol disini, dan saya tidak pernah merasa aman. Senjata api dan ketidakpedean/ insecurity bukanlah paduan yang baik, karena banyak orang yang jadi gatal ingin menembak orang lain tanpa alasan yang kuat hanya untuk membuktikan kalau "I'm the tough guy!". Jadi kalau dibilang pembunuhan Chapel Hill dikarenakan masalah dengan lahan parkir, saya percaya-percaya saja. Banyak pembunuhan disini dikarenakan masalah yang lebih sepele lagi kok. 

2. Kalau anda google, terorisme didefinisikan sebagai "The use of violence and intimidation in the pursuit of political aims". Penjelasan di Wikipedia dan website FBI juga menggarisbawahi satu hal penting dalam terorisme: aksi intimidasi untuk mengubah persepsi masyarakat. Klop dengan kata dasar dari terorisme, yaitu teror. Apakah pembunuh berseri seperti Robot Gedek teroris? Jelas tidak, karena dia tidak berusaha mengintimidasi masyarakat. Apakah penembak kantor Charlie Hebdo teroris? Iya karena ia/mereka memiliki agenda politik dibalik kekerasan yang mereka lakukan. Penembak di Copenhagen dianggap tersangka teroris karena mereka memiliki agenda politik. Tapi penembak di Sandy Hook yang menewaskan 26 orang (dan kebanyakan diantaranya anak kecil) tidak dianggap terorisme karena tidak memiliki agenda politik. Kalau penembak Chapel Hill nantinya terbukti bahwa ia melakukan hal tersebut karena memiliki agenda politik dan akan melakukan lebih banyak tindak kekerasan/teror di kemudian hari, ia pun bisa dan akan dianggap teroris. Saat ini tidak ada bukti bahwa ia melakukan penembakan tersebut karena ia memiliki agenda politik, dan tidak ada bukti ia akan meneruskan aksi teror tersebut, maka dari itu ia belum bisa dianggap teroris.

3. Seringkali yang jadi masalah adalah ketidaktahuan akan seseorang, dan bukan karena agama yang dianut. Saya sampai sekarang masih dapat pandangan merendahkan kalau saya mengungkapkan pandangan saya yang berbeda dengan mainstream orang Amerika pada umumnya, atau kalau saya kebetulan salah menggunakan tata bahasa saat berkomunikasi dengan Bahasa Inggris. Ibaratnya sedikit salah saja saya sudah dicap "Dasar imigran." Adilkah? Jelas tidak. Banyak orang Amerika lain yang juga berbeda pendapat kok, dan jelas lebih banyak lagi yang bahkan tidak becus mengeja kata-kata tanpa autocorrect. Tapi mau bagaimana lagi, saya memang berbeda dengan mereka. Mereka tidak nyaman dengan saya bukan karena agama atau ras saya, tapi karena saya berbeda dengan mereka. Pengalaman ini saya rasakan bukan cuma di Amerika ya. Waktu saya pindah dari Jakarta ke Bali saya pun merasa tidak masuk dengan orang-orang Bali, yang mana adalah suku saya sendiri. Saya tidak bisa berbahasa Bali dan tidak mengerti dengan jelas adat-istiadat dan aturan-aturan yang berlaku. Sampai saat ini pun saya masih merasa sebagai outsider saat pulang kampung. Muslim, apalagi yang terlihat jelas keturunan Arab dan/atau berjilbab pastinya mengalami diskriminasi di negara barat, tapi ini bukan karena agama/kepercayaan mereka, melainkan karena mereka berbeda dengan kebanyakan orang Amerika disini. Sebaliknya, suami saya yang kulit putih baik-baik saja saat berada di kawasan mayoritas kulit putih, tapi begitu di kawasan yang mayoritas kulit hitam langsung deg-degan nggak karuan. Beli sate di Indonesia pun dari yang biasanya Rp 15,000 bisa mendadak dicharge Rp 25,000 cuma karena kinclongnya. Kalau anda terlihat berbeda dari orang-orang disekitar anda, bersiaplah diperlakukan berbeda.


Bagi saya berita tentang penembakan di Chapel Hill tidak adil. Tidak adil karena headlinenya selalu menulis "Three Muslims". Ketiga korban ini bukan hanya korban pembunuhan, melainkan juga korban media. Begitu banyak kasus pembunuhan lainnya di Amerika namun kasus ini mendapat sorotan karena yang tewas adalah muslim dan mengenakan atribut muslim. Apakah kalau mereka bukan muslim maka kasus ini tidak akan diliput? Seolah semua kemanusiaan si korban hilang dan digantikan dengan label "Three Muslims". Cuma ini 'nilai' mereka di mata media, 'Three Muslims' karena ini yang menjual. Persetan Deah ingin pergi ke Syria untuk membantu pengungsi disana atau segenap perbuatan baik yang mereka lakukan, mereka telah direduksi menjadi hanya 'Three Muslims', dan kita di Indonesia turut mereduksi nilai mereka. 

Ada yang bilang kalau tidak adil bahwa saat ada aksi kekerasan yang mengatasnamakan Islam maka seluruh umat Islam harus meminta maaf dan berseru menentangnya, sementara saat ada kasus seperti ini langsung dianggap cuma orang gila. Sekali lagi, perbedaannya ada di agenda politik mereka. Yang membunuh/melakukan tindak kekerasan karena emosi dan ketidak sukaan pribadi tanpa didasari agenda kedepannya ya memang gila bukan? Kalau tidak mau bersuara (dan sebenarnya Indonesia juga lumayan diam) ya tidak apa-apa. Tapi jangan marah kalau Islam tetap dianggap buruk. Daripada sibuk bilang "ISIS bikinan Amerika" atau "Dunia tidak adil terhadap Islam", bagaimana kalau muslim Indonesia yang mayoritas menunjukkan betapa damai dan indahnya Islam tersebut. You can catch more flies with honey. Kalau masih merasa tidak adil, marahlah pada ISIS dan Boko Haram dan para pengebom di Pakistan atau Afghanistan dan bahkan FPI yang membuat nama Islam menjadi jelek. Stop this victim mentality.

Kalau sampai sejauh ini anda membaca namun masih berkeras bahwa dunia (baca: Amerika) berlaku tidak adil terhadap Muslim, tolong diingat bahwa di Indonesia setiap tahunnya beredar ajakan/himbauan untuk tidak mengucapkan selamat Natal atau Imlek, dan hal-hal yang berbau non-Islam seperti baju adat Bali dan atribut Santa Klaus dan sebangsanya dianggap berbahaya dan tidak pantas, bahkan pemakaian jilboobs pun dijadikan sorotan. Anda bilang itu tidak sesuai dengan agama anda, tapi dengan anda terus memposting dan bilang "Mereka kafir!!" apa iya orang yang membaca jadi tidak sakit hati? Bahkan seorang ustad terkenal pun berkata bahwa yang sakit hati kalau dibilang kafir sebenarnya tahu bahwa menjadi kafir itu salah. Padahal semua orang juga sakit hati kalau dianggap jelek (dan kafir konotasinya jelek) tanpa alasan yang jelas. Perlakuan ini sama seperti perlakuan orang Amerika sini terhadap imigran (termasuk keturunan Arab dan pemakai Jilbab) yang alasannya juga sama: "They are not us". Anda boleh bilang semua postingan anda sesuai dengan agama yang anda anut dan anda punya hak untuk menegakkan ajaran agama anda, orang sini pun bilang ketidaksukaan mereka terhadap Muslim (baca: pendatang/imigran) sesuai dengan kepercayaan mereka yang tidak suka hal-hal yang bukan Amerika dan mereka punya hak untuk mempertahankan ke-Amerika-an anda. Bedanya cuma fobia pendatang itu normal, apalagi kalau penampilannya beda sekali dengan orang lokal; sementara di Indonesia yang diajak berantem saudara sendiri: ras Cina dan non-muslim yang sudah ada di bumi Nusantara sebelum namanya Indonesia. Konyol kan?

Saturday, January 10, 2015

Charlie Hebdo dan Muslim Indonesia: Buka Mata, Buka Suara!

Saya baru pulang dari kencan bersama si Akang tercinta, kita habis menonton konser LA Philharmonic Orchestra. Kebetulan konser yang dibawakan adalah karya Beethoven, Missa Solemnis. Pasti anda berpikir kalau konser ini religius, musik Misa gitu lho. Kereligiusan yang saya lihat hanyalah dua Suster yang kebetulan duduk disamping kami, mereka pun bukan orang Amerika melainkan orang Korea. Saya tidak yakin para pemusik dan penyanyinya dari kalangan religius, karena mereka membawakan nomor lain juga dan kebetulan saja kali ini yang dibawakan nomor religius. Penontonnya jelas bukan kalangan religius, contoh nyata: suami saya jelas-jelas Ateis dan tidak percaya agama. Yang membawakan konser ada disitu untuk alasan pekerjaan, yang mendengarkan konser ada disitu untuk menikmati musik. Mungkin lain cerita kalau musik ini dibawakan saat misa yang sebenarnya di gereja, tapi malam ini di Walt Disney Concert Hall musik ini semata untuk menghibur dan tidak ada nilai religiusnya sama sekali. Setidaknya bagi saya.

Hal ini sama dengan kasus penyerangan kantor majalah Charlie Hebdo di Perancis. Yang menyerang mengaku Islam, tapi baik saya maupun anda para pembaca budiman tahu bahwa mereka tidak merepresentasikan Islam yang sebenarnya. Agama Islam dijadikan alasan untuk melakukan tindak kekerasan, yang kalau saya lihat dari kelakuan teman-teman saya yang Islam dan cihui-cihui sebenarnya merupakan tindakan yang amat sangat tidak Islami. Sayangnya timeline fesbuk saya yang dulu sempat meledak dengan hoax pelarangan jilbab dan pelarangan pemotongan hewan kurban (dan pelarangan pengucapan selamat natal dan kontar pemakaian atribut natal untuk umat Muslim) justru sepi seperti kuburan. Dari semua teman saya hanya beberapa yang mengangkat topik ini dengan tagar #JesuisCharlie, dan mereka semua yang memang terekspos budaya asing, dan hanya satu orang yang berani membuat status menyatakan bahwa itu bukan Islam. Yang lain sibuk mengangkat soal salahnya Charlie Hebdo melecehkan Nabi Muhamad, soal teori konspirasi bahwa para penyerang ini sebenarnya mau mendiskreditkan Islam, bahkan membandingkan antara serangan ke kantor Charlie Hebdo dengan umat Islam yang terbunuh di Palestina. Serius, apa susahnya sih buka mulut dan menyatakan dengan tegas bahwa penyerangan tersebut tidak mencerminkan Islam?

Ada komentar yang menarik dari postingan teman saya tentang penyerangan ini: "Kita yang mayoritas tidak tahu apa rasanya jadi minoritas". Referensinya adalah terhadap para umat Muslim yang kebetulan minoritas di negara lain. Umat Islam Indonesia yang mayoritas bisa tenang-tenang saja posting status negatif yang memperkeruh suasana, sementara yang minoritas di negara barat ketar-ketir karena jadi sasaran. Jangan salah, Islamophobia itu bukan karena Islam adalah ajaran yang buruk atau mengerikan, dan jelas bukan monopoli umat Kristen saja. Islamophobia terbentuk berkat media yang hobi menjual berita buruk karena laris (termasuk media di Indonesia) dan ketidaktahuan akan Islam yang sebenarnya, Yang tidak beragama pun jadi terbawa mengecap Islam sebagai sesuatu yang buruk. Apalagi kalau yang kebetulan Islam itu adalah pendatang, lengkap sudah penderitaan. Anda boleh bilang itu karena para Zionis ingin menghancurkan Islam (kok Hinduis tidak dituduh seperti itu huhuhu), tapi fakta yang sebenarnya adalah manusia pada dasarnya takut dan sulit menerima hal baru. Wajar kalau orang yang tidak tahu takut pada Islam, sama halnya dengan orang yang tidak pernah lihat pesawat parno saat disuruh naik pesawat; wajar kalau orang lokal benci para pendatang, sama seperti saat ada anak baru di kantor/sekolah anda yang anda anggap membahayakan posisi anda. Jangan tersinggung, ini fakta manusia.

Teman saya yang konservatif ngomel-ngomel di fesbuk soal dia terus ditanya: mana buktinya Islam cinta damai? Ada juga yang komen bilang jalankan Sunah dan Sabda Rasul serta taat Quran untuk membuktikan hebatnya Islam. Buat saya ini semua tidak cukup. Terkadang kita perlu buka mulut dan menyatakan sikap. Saya merasa beruntung, saya dikelilingi teman-teman beragama Islam yang baik-baik dan sangat menyenangkan. Buat saya Islam identik dengan teman-teman yang rajin shalat Dhuha, teman-teman yang kuat puasa tanpa harus menyentak saya "Jangan makan depan gue, gue puasa!", teman-teman yang selalu ada buat saya walaupun saya bukan Islam, teman-teman yang menerima saya apa adanya walaupun saya agak bengal dan kadang berangasan. FPI bukan Islam yang saya tahu, ISIS bukan Islam yang saya tahu, Al Qaeda dan Boko Haram bukan Islam yang saya tahu, Bali Bomber bukan Islam yang saya tahu. Tapi untuk orang-orang yang tidak memiliki kesempatan, maaf, menurut saya kehormatan untuk berakrab ria dengan orang-orang yang mencerminkan Islam yang sebenarnya, itulah Islam yang mereka ketahui. 

Indonesia memiliki jumlah penduduk Muslim terbanyak di dunia. Catat, di dunia! Kalau umat Islam di Indonesia bersatu dan bersuara, dunia pasti mendengarkan. Bila ada yang mampu 'membetulkan' persepsi dunia tentang Islam, itu pastilah umat Muslim Indonesia. Kegigihan orang Indonesia serta potensi sumber daya manusia Indonesia yang berlimpah menjadikan orang Indonesia bibit unggul di kancah dunia. Bila ada yang mampu melambungkan nama Islam, mengubah Islam dari cap agama teroris menjadi agama yang membawa kebaikan bagi dunia, itu pasti orang Indonesia. Dan sebagai 'raksasa', umat Islam di Indonesia memiliki kemampuan, bukan, kewajiban untuk melindungi umat Islam lainnya terutama di negara dimana mereka minoritas. Caranya ya itu tadi: terus kabarkan bahwa Islam menentang kekerasan, bahwa segala tindakan kekerasan yang dilakukan atas nama Islam sama sekali tidak mencerminkan Islam yang sebenarnya.

Jangankan anda yang umat Islam, saya yang bukan Islam atau Kristen saja sakit hati melihat kartunnya Charlie Hebdo tersebut. Membaca komentar di media massa yang bilang umat Islam itu bangsa onta juga bikin saya sakit hati. Islam itu baik, Islam itu damai, Islam itu - sama halnya dengan agama dan kepercayaan lain - tidak pantas dijadikan bahan olok-olokan. Tapi dengan mencoba melogiskan alasan tindakan para penyerang ini (karena Nabi Muhammad bahkan seharusnya tidak digambar), atau sibuk dengan teori konspirasi, atau malah membandingkan dengan perang di Palestina, anda mengirimkan sinyal yang jelas terhadap dunia: anda mengamini tindakan kekerasan yang dilakukan atas nama agama anda. Jangan berharap anda bisa membuat dunia mengerti tentang kebaikan Islam bila anda sibuk mengurusi hoax-hoax tidak penting di negara anda yang aman dan damai tapi menolak bersuara saat dunia seharusnya bisa mendengar anda. Jangan berkoar anda mendukung Palestina tapi menolak menyelamatkan umat Islam lain yang minoritas di negeri lain karena anda kekeh Islam tidak pernah salah. Islam memang tidak pernah salah, begitu pula dengan agama dan kepercayaan lain. Yang salah biasanya manusianya. Tagar #Illridewithyou dibuat oleh umat non-muslim yang mencoba menolong wanita muslim. Apakah anda tidak malu bahwa sumbangsih anda saat umat Islam di negara lain terancam disakiti sebagai pembalasan hanya teori konspirasi dan pembenaran terselubung akan tindakan para penyerang tersebut? Disaat kita bisa membuat #shameonyousby mendunia, disaat kita bisa membuat Jokowi naik daun dan jadi cover majalah Time, kita memilih diam seribu bahasa disaat suara kita bisa membantu umat Muslim lainnya yang sedang kesulitan. Kalau sekian banyak orang Indonesia yang punya fesbuk dan twitter membuat tagar #thisisnotIslam misalnya, saya yakin itu akan mendunia juga.

Ada istilah di dalam bahasa Inggris: Two wrong doesn't make a right. Majalah Charlie Hebdo bersalah dengan free speech mereka yang kebablasan, tapi tindakan para penyerang tesebut juga tidak bisa dibenarkan. Perdebatan antara siapa yang salah duluan ibaratnya seperti memperdebatkan mana yang lebih dulu, ayam atau telur; dan berdebatnya saat kandang ayam tersebut sedang kebakaran. Jelas tidak relevan dan sangat salah prioritasnya gitu lho. Umat Muslim minoritas di negara lain saat ini membutuhkan dukungan anda, membutuhkan suara anda untuk berkata dengan lantang: Islam tidak identik dengan kekerasan. Dunia perlu tahu bahwa para pelaku kekerasan hanyalah oknum dan bukan pelaku ajaran Islam yang sebenarnya, agar dunia bisa lebih ramah terhadap umat Islam secara keseluruhan. Bisakah, atau lebih tepatnya, maukah anda melaksanakan hal ini? Maukah anda menyiarkan dengan lantang bahwa Islam bukan agama kekerasan? Pilihan anda menentukan pandangan dunia terhadap Islam.

Search This Blog