AdSense Page Ads

Showing posts with label Bali. Show all posts
Showing posts with label Bali. Show all posts

Friday, August 15, 2014

Hypermart Bali melarang Jilbab? Ini Ceritanya...

Sudah mendengar kabar bahwa Hypermart Bali melarang karyawannya berjilbab? Yuk mari kita cermati sama-sama :)

1. HYPERMART BALI MELARANG KARYAWATINYA MENGGUNAKAN JILBAB! INI PERAMPASAN HAK HIDUP BERAGAMA!!! 


Sabar, sabar... Silakan dibaca surat edaran diatas dengan baik dan benar. Disana tercantum kata-kata "...keberatan pemakaian busana muslim (kerudung dan peci nasional) bagi kasir Hypermart Mall Bali Galeria..." dan "...kami telah menghentikan pemakaian kerudung dan peci..."

Nggak ada soal pelarangan pemakaian jilbab toh? Kerudung dan Peci memang identik dengan busana muslim, namun yang diamanatkan dalam Al Quran setahu saya adalah jilbab yang menutup aurat, dan kerudung jelas tidak sama dengan jilbab. Ini berarti tidak ada pelanggaran atau pemaksaan terhadap seseorang untuk tidak mengikuti ajaran agama yang dianutnya.

Memang ada kata-kata 'penghentian pemakaian', tapi buat saya ini indikasinya pihak Hypermart sempat mengeluarkan instruksi bagi kasir Hypermart (baik muslim maupun non-muslim) untuk mengenakan kerudung dan peci saat bulan Ramadhan. Ini bukanlah hal aneh, karena setahu saya di Jakarta biasanya para front-liner dan CSO 'kompak' berkerudung dan berpeci di bulan Ramadhan, lagi-lagi terlepas apakah mereka muslim atau bukan.

Di Bali hal ini menjadi sorotan karena mayoritas penduduk Bali bukanlah penganut Muslim, dan terlebih lagi kerudung dan peci bukanlah budaya Bali. Wajar saja bila penduduk Bali merasa risih dan terganggu dengan pemaksaan 'budaya asing' tersebut. Kasus ini bukanlah hal baru, dan sebelum kasus Hypermart ini masyarakat Bali sudah terlebih dahulu memprotes peraturan dimana petugas jalan tol Bali juga diharuskan mengenakan kerudung dan peci saat bulan Ramadhan tiba, terlepas dari agama yang mereka anut.

2. MUNAFIK KAMU! BUKTINYA BANYAK KARYAWAN/KARYAWATI NON-HINDU DIPAKSA MENGGUNAKAN PAKAIAN BALI SAAT HARI RAYA HINDU!! APA ITU KALAU BUKAN PEMAKSAAN?!!
Ibu-ibu kondangan.... 
FYI tidak ada satupun diantara teman saya yang ikut sembahyang,
kecuali saya yang memang harus mengikuti persembahyangan karena acara keluarga saya

Wah, mungkin anda perlu buka-buka lagi buku SD anda tentang pakaian adat tiap propinsi hehehe... Pakaian adat ya pakaian adat. Di Bali pakaian adatnya (kebaya, kain, selendang untuk wanita serta kemeja dan kain untuk pria) memang dipakai untuk sembahyang ke Pura, namun bukan spesial untuk sembahyang saja. Pakaian adat Bali bukan seperti mukena yang wajib dipakai saat sholat, atau jilbab yang tercantum di kitab suci, dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama Hindu. Anda bisa memakai pakaian adat Bali untuk mengunjungi acara sosial seperti Ngaben, Potong Gigi, Perkawinan, dan sebagainya; beberapa gereja di Bali bahkan mengadakan misa dengan pemeluk agamanya datang berpakaian adat Bali. Logikanya, kriteria pemakaian baju adat adalah apakah orang yang memakai berasal atau tinggal di daerah yang bersangkutan dan bukan agama apa yang dianut orang tersebut.

Kebaya sendiri bukanlah pakaian asli Bali, melainkan 'produk impor' dari Jawa yang kemudian diadaptasi oleh orang Bali. Bisa dibilang kebaya bahkan merupakan budaya nasional, karena bukankah kebaya bahkan sudah sering diadaptasi menjadi pakaian pengantin, bahkan bagi kaum Muslim? Seragam resmi pramugari Garuda Indonesia pun diadaptasi dari kebaya, begitu pula saat pemilihan Abang None Jakarta yang menggunakan Kebaya Encim. Sekali lagi, tidak ada korelasi antara agama dan pakaian adat Bali. Sebaliknya, tidak ada salahnya mencoba menghormati adat-istiadat yang berlaku di daerah yang anda kunjungi/tinggali. Waktu saya dan si akang ke Makassar dan Pare-pare dia berkeras bahwa saya harus pakai baju yang sopan untuk menghormati penduduk disana yang mayoritas Muslim. Akang saya dari Mamarika eh Amerika lho. Tapi tanpa dibilang pun saya pastinya akan berbaju tertutup, lagi-lagi demi menghormati adat istiadat setempat. 

Bali termasuk unik karena memiliki peraturan yang cukup ketat demi melanggengkan kebudayaan Bali, misalnya saja ketentuan bahwa setiap bangunan harus memiliki sentuhan Bali (yang sayangnya sudah tidak diacuhkan) dan tidak boleh melebihi ketinggian pohon kelapa (yang untungnya masih diterapkan). Peraturan pemakaian busana adat Bali bermanfaat karena menghormati dan melestarikan budaya asli Bali serta menambah nilai jual, karena turis asing tentunya lebih tertarik dengan tampakan kebaya Bali daripada seragam sales biasa. Namun peraturan pemakaian baju adat ini pun tidaklah baku melainkan terserah masing-masing perusahaan. Selama saya tinggal di Bali saya belum pernah melihat pegawai rumah makan Warung Steak atau rumah makan Ayam Bakar Wong Solo yang memakai busana adat Bali walau di hari raya sekalipun. Ada hotel-hotel yang seragamnya terinspirasi busana adat bali (semi kebaya, selendang, rok), tapi ada juga yang tetap casual (kaus putih dan celana panjang). Jadi bila anda bekerja di Bali belum tentu anda harus mengenakan pakaian adat Bali.

3. BACOT! BACOT! KAMU TIDAK BISA MEMUNGKIRI BAHWA BANYAK DISKRIMINASI TERHADAP KAUM MUSLIM DI BALI!!!
Menurut KBBI, diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
Saat saya dan akang naik angkot di Bogor kami harus membayar lebih mahal dari penumpang lainnya karena akang saya Bule. Discrimination detected!

Oh, saya tidak akan repot-repot mengingkari kok. Diskriminasi itu banyak dan bukan hanya di Bali, dan bukan hanya terhadap kaum Muslim. Seorang teman saya yang bekerja di LSM yang bertujuan mengentaskan kemiskinan memberitahu saya bahwa mereka menemukan beberapa kasus di Bali dimana aparat desanya mempersulit pembuatan surat keterangan miskin bagi warga Islam disana. Pertanyaannya adalah, apakah mereka melakukan itu karena membenci Islam atau karena mereka membenci pendatang (yang kebetulan beragama Islam)? 

Saya orang Bali yang menganut ajaran Hindu, dalam kitab suci dan naskah suci kami tidak ada himbauan atau ajakan untuk membenci agama lain, apalagi untuk 'menjajah' dan 'menguasai'. Serius deh, ngurusin upacara dan banten/sesaji kami sendiri saja sudah luar biasa repot dan makan waktu kok. Tapi saya juga tahu rasanya jadi pendatang dan didiskriminasi kanan kiri, mulai dari dijutekin sampai dikasi harga berbeda dengan orang yang medok Balinya. Padahal saya asli Bali, tapi saya tetap didiskriminasi karena dianggap cuma pendatang/orang Jakarta berhubung logat dan gaya Jakarta saya sangat kental. 

Lagi-lagi, ini bukan masalah agama/kepercayaan ya. Ini cuma masalah insecurity, ketidak-pede an. Sama seperti Tiffie tercinta yang main ngeblokir internet kanan kiri karena takut masyarakat Indonesia terpengaruh 'liarnya' budaya barat. Pendatang pasti akan membuat tatanan sosial masyarakat berubah, dan belum tentu semua warga masyarakat mau dan bisa menerima perubahan tersebut. Belum lagi bila pendatang yang dimaksud berkeras membawa dan menerapkan adat istiadat mereka sendiri dan bukannya berasimilasi terhadap kearifan lokal. Siapa sih yang mau tanah kelahiran mereka, daerah yang mereka cintai jadi berubah total atau bahkan hancur? Sekedar gambaran, umat Bali yang bertransmigrasi ke Lampung pun banyak 'diserang' oleh penduduk lokal. Ini bukan masalah agama, ini masalah insecurity dan kemampuan bertenggang rasa plus saling menghormati.

Balik lagi soal diskriminasi, yang mungkin ada yang bilang kalau mereka ditolak lamaran kerjanya di Bali karena mereka berjilbab. Saya pribadi sih percaya. Tapi lagi-lagi itu bukan kasus yang jamak dan sangat tergantung kebijakan perusahaan. Ini Indonesia bung, diskriminasi terjadi di berbagai sektor dan karena berbagai alasan. Kemungkinan anda ditolak karena memakai jilbab sama besarnya dengan kemungkinan saya ditolak karena tidak memakai jilbab di perusahaan lain. Tolak-menolak ini bukan hanya di Bali lho, tapi merata di seluruh Indonesia karena lemah atau bahkan tidak adanya hukum anti diskriminasi. Anda bisa mencantumkan kriteria apa saja untuk karyawan anda, dan tidak akan ada yang perduli atau teriak: "Tidak adil!!!!"

Coba anda iseng baca iklan di koran, banyak iklan lowongan kerja yang dengan jelas mencantumkan batasan umur, status pernikahan, dan bahkan agama. Sudahlah kalau agama ya, karena bisa jadi ini berkaitan dengan visi misi perusahaan. Soal umur pun masih bisa dimaklumi karena pegawai yang lebih tua biasanya kurang sigap. Tapi soal status pernikahan, siapa pula anda mempertanyakan status saya? Bagaimana kalau saya single tapi lebih rempong/repot dari orang yang menikah, atau sudah menikah tapi suami saya jauh jadi saya 'seperti' single? Apalagi bila di iklan itu tertera kata-kata 'Berpenampilan menarik'. Buat saya lebih sakit hati dan lebih tidak manusiawi kalau saya ditolak bekerja karena saya kurang menarik menurut perusahaan. Bukan karena mungkin visi dan misi saya berbeda dengan perusahaan, bukan karena saya tidak becus, namun karena saya kurang menarik yang notabene bawaan lahir dan tidak bisa saya ubah. Sakit hati ga sih kalau dipikir-pikir? 

4. TAPI KAMU MEMANG MAU MENGHANCURKAN ISLAM!! BUKTINYA KAMU MENOLAK SYARIAH!! 

Jelaslah masyarakat Bali menolak syariah, orang bukan budaya aslinya kok. Seperti yang saya bilang tadi, anda tidak mungkin ujug-ujug ke tanah orang dan memaksakan budaya/adat-istiadat anda sendiri. Apa mungkin anda yang WNI ke Singapura dan kekeh berdebat dengan polisi sana bahwa anda merasa hak anda sebagai manusia terampas dengan pelarangan permen karet di negara Singapura? Saya tinggal di Amerika eneg seeneg-enegnya dengan kelakuan orang sini yang asal buka mulut tanpa mempedulikan perasaan orang lain karena mereka tahu kebebasan berbicara mereka dilindungi pemerintah. Serius, eneg. Sudah ngebacot dan bikin sakit hati, tapi pas dibantah dan disuruh bertanggungjawab sama ucapannya langsung cari pengacara dan malah mengadukan 'perbuatan tidak menyenangkan'. Buat saya yang benar ya seperti di Indonesia, yang kalau buka mulut mikir-mikir perasaan orang karena hak bicara disini tidak dilindungi, dan walhasil kedamaian lebih terjaga karena orang selalu harus bisa mempertanggungjawabkan perkataannya. Mana yang lebih masuk akal? Pandangan saya toh? Tapi biar sampai berbusa pun saya tidak bisa memaksakan orang sini berubah jadi mengikuti cara pandang saya, yang bisa saya lakukan cuma menjalankan apa yang saya percayai.

Saya pribadi merasa tidak mungkin syariah Islam bisa dipaksakan untuk dijalankan di Bali, jadi spanduk diatas menurut saya nonsense. Bagi para umat Hindu bukan berarti saya tidak percaya ada 'usaha-usaha' ya, saya masih ingat waktu kuliah dulu setidaknya satu orang mahasiswa Hindu dikampus saya berpindah agama dengan suksesnya. Sebaliknya saya percaya dengan para umat Hindu sendiri, yang pastinya masih berpegang teguh dan menghargai ajaran asli leluhur dan agama yang kita anut. Mungkin saja akhirnya memang umat Hindu Bali tersapu bersih, tapi tidak dalam waktu dekat ini dan kita masih bisa mempertahankan ajaran agama dan adat-istiadat yang merupakan bagian dari diri kita. Jadi jangan terpancing dengan isu-isu 'syariah Islam' atau 'Islamisasi Bali', dan tetap fokus dengan kepercayaan kita sendiri. Tidak ada yang bisa menghancurkan Bali kecuali orang Bali sendiri, mari kita jaga agar generasi-generasi seterusnya bisa tetap mencintai dan menghargai budaya dan agama kita.

Buat teman-teman Muslim yang masih kekeuh bilang orang Bali mau menghancurkan Muslim atau ada agenda-agenda 'penghancuran' dan/atau 'pelaknatan' muslim di Indonesia, coba dibaca paragraf diatas. Itu bisa diterapkan di agama anda juga kok. Saya suka bingung bin ajaib kalau membaca posting di FB yang menyatakan "Islam Indonesia digoyang!". Siapa pula yang ngegoyang, pikir saya? Inul kah? DePe kah? Serius, coba pikir deh. Indonesia adalah negara dengan umat muslim terbanyak di dunia. Bukan di Asia tenggara saja atau di Asia keseluruhan, tapi di dunia. Bagaimana caranya kami yang kaum minoritas mau menggoyang anda-anda yang juuuuauh lebih banyak daripada kami? Posisi-posisi penting di pemerintahan pun semuanya diduduki oleh umat Muslim. Coba saja cek kabinet SBY, berapa banyak diantara para menteri tersebut yang beragama non-muslim? Ahok si wagub Jakarta memang bukan muslim, tapi mayoritas bawahannya pun Muslim dan dia bisa dengan mudah digoyang bila melakukan hal-hal yang merugikan umat muslim: membatalkan bulan puasa misalnya, atau melarang sholat Idul Fitri. Jadi bagaimana kami yang minoritas mau menghancurkan anda? Dan apapula faedahnya? Saya jelas tidak mau perang rebutan tanah seperti di Palestina. Apakah itu yang anda pikir akan terjadi? Pede dikit lah bro dengan agama anda sendiri.

5. TAHU DIRI KAMU! JANGAN KURANG AJAR! SUDAH BAGUS KAMI YANG MAYORITAS MAU TENGGANG RASA SAMA KAMU! JANGAN NGELUNJAK!!!!
Si Akang bersama teman-teman barunya di Sulawesi. 
Tidak ada pertanyaan "Agama anda apa mister??" ataupun "Tahu diri ya di tanah orang mister!!" 
Terus kenapa kita yang sesama orang Indonesia malah saling baku hantam?

Waduh, tapi saya di Indonesia ini kan juga punya hak yang sama dengan anda. Kami yang minoritas bukan ujug-ujug pindah ke Indonesia setelah Indonesia merdeka, namun sudah ada disini bahkan sebelum terbentuknya Republik Indonesia. Dulu pas perang kemerdekaan tidak ada yang protes, "Oh loe jangan ikut-ikutan kita perang ngelawan Belanda ya. Loe lain agama/suku sama kita soalnya. Biar kita mati pun jangan ikut-ikut bantuin ya, pokoknya ini eksklusif perang agama/suku gue aja." Saya tahu tidak ada yang seperti itu karena di buku sejarah ceritanya seluruh rakyat Indonesia bersatu melawan penjajah. Seperti cerita sapu lidi itu lho, bersatu kita teguh bercerai kita runtuh, dan dengan bersatu kita semua (termasuk pejuang-pejuang minoritas) sukses menyapu bersih penjajah. 

Anda boleh saja mencoba main diskon dan bilang "Tapi agama saya mayoritas, jadi jasa saya lebih bermakna", tapi apa anda bisa yakin 100% bahwa Indonesia ini bisa merdeka dan menjadi sebesar ini tanpa sedikitpun bantuan dari umat non-muslim? Silakan anda cari dengan baik dan benar negara mana di dunia ini yang bisa bertahan tanpa bantuan sedikitpun dari negara (dan agama) lain. Kita manusia hidup sendiri saja nggak bisa kok, apalagi suatu negara. Coba anda hidup 100% dari produk buatan penganut agama anda, bisa tidak? Ini berarti semua kebutuhan hidup harus anda penuhi sendiri dan tidak membeli produk pabrik atau buatan orang lain sedikitpun (karena bisa jadi 'tercemar' tangan pekerja beragama lain dalam pembuatan/pendistribusiannya), dan jelas tidak bisa mengakses internet ataupun telekomunikasi lainnya. Bahkan untuk merpati pos pun anda harus pikir-pikir, karena bagaimana bila burung itu tidak sengaja makan/minum di kebun orang yang lain agama. Untuk jalan kaki pun harus waspada, karena bisa jadi jalan yang anda lewati itu dibangun oleh pekerja yang lain agama. Repot tenan kan? Oh tidak, anda jangan curang dan pakai dalil 'bisa memakai bila tidak ada pengganti yang lebih baik' sebagaimana jawaban banyak orang saat disindir kenapa menyiarkan anti Yahudi via FB yang jelas dimiliki Yahudi. Kalau anda mau protes dan membenci umat agama lain yang konsisten dong.

Anda masih berkeras bahwa anda 'lebih benar' dari saya karena ajaran agama yang anda anut? Hmm... Gimana ya...? Perasaan anda bagaimana saat mendengar umat Islam yang minoritas di negara-negara Barat diperlakukan tidak adil? Kesal dan marah kan? Kalau prinsip saya yang minoritas ga boleh belagu dan harus berterimakasih anda yang mayoritas mau 'tenggang rasa' sama saya, maka anda nggak boleh protes kalau umat Muslim di negara lain yang jadi kaum minoritas diinjak-injak juga. Itupun kalau benar masalahnya soal agama dan bukan karena mereka pendatang/imigran. Nah kebayang kan perasaan kami yang sudah tinggal disini bersama anda selama berabad-abad, mungkin bahkan dari jaman prasejarah, lalu tiba-tiba disuruh 'terimakasih' karena anda sudah 'tenggang rasa'. Siapa elu gitu... Saya disini ga cuma ngontrak/nyewa tanah anda bang. 

6. SAYA TIDAK PERCAYA KAMU!! SAYA TIDAK PERCAYA!! DASAR PEMBENCI ISLAM!!
We love the blue of Indonesia... It's our kind of blue...
(and we believe it's yours too hehe)

Yo wis kalau tidak percaya. Anda mau baca sampai sejauh ini saja saya sudah beryukur kok :) . Apalagi kalau anda bisa membuka mata anda dan mau mencoba mencerna apa yang saya coba uraikan, makasiiiiih banget lho. Kalau anda malah marah dan bersumpah berjihad melawan saya (duh ekstrim banget deh), mari saya tekankan sekali lagi: saya tidak membenci apalagi melawan Islam. Saya hanya mencoba meluruskan berita-berita yang beredar di masyarakat karena kapasitas saya yang mengetahui kondisi yang sebenarnya di Bali. Saya juga mencoba menekankan 'common sense' karena sangatlah penting bagi bangsa Indonesia untuk bersatu dan tidak terpecah-belah. Saya benar-benar tidak melihat bagaimana Islam yang sudah ratusan, bahkan ribuan tahun di Nusantara ini bisa 'terkhianati' bila umatnya harus hidup rukun dengan umat beragama lain. Benar kan? Kita sudah hidup rukun sejahtera selama berabad-abad, kok kayanya konyol yang sekarang malah sibuk curiga tidak karuan. Ini mengingatkan saya dengan politik Divide et Empera nya Belanda, yang mana Belanda berhasil menguasai Indonesia dengan memecah belah. Bukankah itu yang terjadi sekarang? Selalu antara 'saya dan kamu' atau 'kami dan kalian' (baca muslim dan non-muslim), dan bukannya kita dan mereka (Indonesia dan negara lain). Yang menang ya yang memegang kekuasaan atas kedua kelompok ini, dan belum tentu dilakukan demi kebesaran (atau keruntuhan) agama tersebut. Lebih mungkin demi profit dan kekuasaan, maklum namanya juga manusia.

Ada alasannya kenapa para pencipta kawalpemilu.org itu merupakan orang Indonesia yang berasal dari luar negeri: mereka melihat dan mengerti bahwa Indonesia bisa sama atau bahkan lebih hebat dari negara adidaya. Saya tinggal di Amerika baru setahun, tapi saya sudah bisa membayangkan betapa hebat Indonesia bila kita mau bersatu dan mengesampingkan perbedaan. Disini orang cacat mental maupun fisik bisa hidup normal, bisa mencari pekerjaan dan bahkan mencapai pendidikan tinggi. Diskriminasi pun bisa ditekan, dan masyarakatnya bisa merasa aman dalam lindungan hukum. Kriminal, baik yang kerah putih maupun yang preman, tetap banyak; begitu pula dengan orang-orang egois yang mau mengorbankan orang lain demi kepentingan pribadinya. Tapi setidaknya ada harapan yang lebih baik bagi generasi muda kita bila kita mau bersatu dan bekerja sama demi Indonesia, dan ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama apa yang anda anut. Indonesia hanya butuh dedikasi anda dan kepercayaan anda terhadap rekan sebangsa dan setanah air. Itu saja. Apakah anda siap untuk tantangan ini?

Monday, January 20, 2014

Stop Poverty Porn!!!



This Guinness commercial is above par. Period.

Why is a beer commercial that portrays a group of poor man who played dress up be something remarkable? Because it managed to successfully destroyed the said description.

I really, really hate poverty porn; the way people emphasize poverty on media (video, writing, pictures, etc) that tug the heart string of the viewers and made them go: "Oh poor, poor, poor thing...!!!". And with this the transaction would swiftly commenced as follow: some money would be given in exchange for the self-satisfied feeling ("oh I am such a good person") of the donor/giver. It's the old "buy and sell" kind of thing, just that. And it's not just poverty. I've seen commercials for pet adoption with the same theme, where the pets look so miserable and sad and lonely and somehow whoever made the commercial thinks that it would drove the people to adopt. I mean like, fuck you. If I am thinking about adopting a pet I'd want to see some lively action on the advertisements: jumping, barking, clawing, mischievous even. There is no way I'd want to give donation and/or adopt a pet who'd look like it'll be dead soon, or having more emotional issue than I do (and that says a lot!). Sounds cruel? Probably. But I am willing to bet that the vast majority of people think like I do, that we ain't got time for some sappy sadness in our life. Nobody does, to be exact.

That is why this Guinness commercial is so awesome. Instead of the regular "I'm poor but I want to be something" routine (which put the Sapeur into the 'unfortunate dreamer' role), they kicked it up by making a video where the Sapeurs are proud with what they are. There are just enough scene to show that these men don't have a lot of money, but the video maker did not highlight their poverty; it instead become a subtle background for the whole video. The video maker give these Sapeur a sense of pride and dignity; which we so often see robbed from other poverty-related advertisement and video. And they are not the only one, this commercial that highlight the water-distribution in a poor village in India also done the deed. It was not about how poor the subjects in the video were, but it was about themselves as a whole. And thus, their pride and dignity remain intact.



I worked with a non-profit NGO once in Bali. They exploit how poor the people they wanted to help to get more donation, and the announcement for their 'graduates' was down right disturbing: sprinkled with the word 'disadvantage' as if these people were from a lower quality of life than the wealthy donors. Think about it, how sick is it if you want to help people because you feel you can, because you feel you have the power to do so? I know there are a lot, and I mean A LOT of people out there who helped others just because they feel that it was the right thing to do; but sitting there in the fancy restaurant with other fine diners that dressed top-notched and hear the chairwoman said that they have successfully gathered this amount of money for this poor boy etc etc etc made me questioned their motifs. The reason these poverty porn exists is to feed on this emotion, this demand, to feel that the donors are somewhat better off than the poor guy because they can help the poor guy. It is sick and ugly, and it needed to stop.

As a citizen of not-so-developed country, I can say that there are a lot of people who is interested in making this poverty porn, one way or the other. It is time to stop. It is time to stop allowing ourselves as Indonesian to be portrayed as poor, uneducated fools with low quality of life just for a handful of dollars. It is time to stop for the filmmakers or charity organization to stop relying on poverty porn to make that handful of dollars. Quality of life, just as quality of a person, does not lie on how educated they are or the amount of money they have. I have been told for so many time how "lucky" I am to be in US, which I found offensive because I think I have a better and more fulfilling life back in Indonesia than I am in US with all its amenities and perks. That poor boy in shabby clothes that had to walk miles to school in the rain and have little (or no food) is probably happier and have a more in-depth grasp of the world than the little rich girl with her drivers and walk-in closet and iPhones and such.

Remember: Just because someone has less than you it doesn't mean he/she is a loser, a poor person that deserves your help. Instead, congratulate him/her for being a survivor. Help him/her if you like, and I think you should, because what better way to spend your money etc than to bet on a winner? If these people with 'disadvantages' could live a somewhat normal day-to-day life with their already limited resources, imagine what they could do with your help? This should be the approach for any charity/filmmakers, to give the subject their pride and dignity instead of putting that big humiliating stamp of "poor people" by focusing on their poverty only. Stop poverty porn. Enough is enough.

Thursday, December 19, 2013

Manifesto Brahmana Bali



Om Swastyastu,

Saya Ida Ayu. Dari semenjak lahir dan selama kurang-lebih 16 tahun saya hidup 'Ida Ayu' itu cuma sekedar nama buat saya, nama yang disingkat 'Dayu'. Nama yang mengundang kekonyolan karena kakak dan adik saya juga bernama Dayu, dan pada satu periode dalam hidup saya tiap kali kami menerima telepon yang mencari Dayu kami harus bertanya: "Dayu yang mana? Yang SMA, SMP, atau SD?". Atau saat ospek seorang teman saya, yang kebetulan bernama Bayu, menjawab dengan semangat: "Siap kak! Saya sudah makan!". Senior saya menjawab dengan judes: "Saya bertanya pada Dayu, bukan Bayu! Pakai kupingmu!". Ini di Jakarta, bukan di Bali. Disana Dayu bukanlah sebuah gelar berarti. Itu cuma sebuah nama.

Saya pertama kali sadar 'Dayu' lebih dari sekedar nama saat saya kelas 2 SMA. Guru sosiologi kami mengajarkan tentang suku-suku di Indonesia, dan saat menjelaskan tentang suku Bali beliau berkomentar (dengan guyon): "Namun baru pertama kalinya saya melihat Dayu yang urakan seperti disini. Biasanya Dayu yang saya tahu lemah lembut dan kalem.". Saya memang urakan: bolos sekolah untuk menonton slank, pakai sandal gunung plus kaus kaki hitam ke sekolah, atau paduan tas hijau neon dengan kaus kaki merah dan sepatu kuning-hijau. Sebaliknya, teman saya yang juga Hindu Bali namun bukan Brahmana benar-benar masuk stereotip itu: dia pintar, bertutur kata halus, kesayangan guru. Saat itu saya berpikir, apa rasanya menjadi dia. Pelajaran sosiologi itu diajarkan ke seluruh murid kelas 2 SMA kami, berarti semua angkatan kami tahu bahwa di Bali (ceritanya) saya lebih tinggi derajatnya dari teman saya ini. Cuma karena saya kebetulan lahir sebagai Dayu. Dia memiliki lebih banyak karakteristik sebagai 'Dayu' yang ideal daripada saya, namun saya yang mendapat segala penghormatan. Disitu saya sadar, dibalik nama 'Dayu' ada tanggung jawab yang besar.

Saat saya duduk di bangku kuliah dan aktif di Kerohanian Hindu kampus saya dibekali berbagai wejangan dari ibu saya, mengingat ini pertamakalinya saya berinteraksi dengan banyak penganut Hindu Bali. Walau saya berusaha, namun pada akhirnya hampir semua saya langgar. 
- "Jangan berbagi makanan/minuman dengan orang lain", saya pikir kenapa tidak? Di SMA saya biasa berbagi minuman satu sedotan dengan teman-teman, kenapa tidak boleh dengan teman Hindu Bali? 
- "Jangan duduk sembarangan." Lagi lagi kenapa tidak? Saya biasa jongkok dimana-mana saat nongkrong dengan teman SMA, apa bedanya dengan sekarang? 
- "Harus cari pasangan Ida Bagus." Setelah capek berburu Ida Bagus dan melihat sendiri para Ida Bagus yang saya tahu bisa bebas memilih pasangan walau bukan Ida Ayu (dan beberapa yang punya dobel: Ida Ayu dan non-Ida Ayu) saya memutuskan ini tidak adil. 
Saat kuliah juga saya merasakan keganasan beberapa orang terhadap gelar saya. Saat orientasi pertama saya di kerohanian Hindu seorang senior naik keatas meja dan berkata: "Jangan berani pakai gelar disini. Disini ga berlaku gelar kalian. Jangan belagu!!". Saya cuma bisa melihat dengan aneh dan berpikir, "Siapa pula mau pamer gelar disini? Bukan pilihan gue lahir jadi Dayu.". Disitu saya sadar: jadi 'Dayu' itu banyak aturannya dan punya potensi di benci orang (walau lagi-lagi bukan pilihan saya lahir jadi 'Dayu').

Tak lama setelah saya pindah ke Bali saya memutuskan menghilangkan nama saya. Saya bukan lagi 'Dayu Ary', tapi hanya 'Ary'. Saya sudah pernah mencoba ini di Jakarta saat saya berpasangan dengan pria non-Ida Bagus, saya pikir saya harus melepas gelar saya karena saya menikah di luar kasta. Saat itu seorang cenayang bisa menebak bahwa saya 'Dayu', dan menasehati saya agar tidak membuang siapa saya. Namun di Bali lagi-lagi saya merasa muak dengan ke'Dayu'an saya. Saya tidak bisa bicara bahasa Bali (saya punya alasan pribadi), tidak bisa membuat banten, dan sangat kikuk saat harus menaruh banten atau mebakti. Karena itu saya dicap 'Dayu karbitan'. Saya mencoba pedekate dengan Ida Bagus di Facebook, dan biasanya saya ditolak mentah-mentah karena mereka memiliki lebih banyak pilihan. Semua orang mau punya suami Ida Bagus, namun tidak semua Ida Bagus peduli istrinya Dayu atau bukan. Beberapa yang tertarik hanya sebatas berusaha mengajak saya tidur, dan hampir semua sudah memilki istri/pasangan. Saya melihat beberapa Brahmana yang saya kenal memperlakukan braya/pengikutnya seperti pembantu, tanpa respek sedikitpun dan justru merasa mereka harus dilayani; dan sebaliknya, saya melihat banyak orang menjadi sangar begitu tahu saya Brahmana karena merasa saya akan semena-mena terhadap mereka. Saya capek ditolak, saya capek ditipu, saya capek berusaha menjalankan aturan yang berlaku sementara para orang-orang ini semena-mena melanggarnya. Buat apa saya mempertahankan nama saya? Apa artinya nama saya bila aturan hanya dijalankan sepihak, bila saya di-judge hanya dari luarnya saja? Bukankan Brahmana sepatutnya lebih bijak dan lebih santun?

Namun saat ini saya masih seorang Dayu. Ibu saya, yang bukan Dayu, mengajarkan saya apa artinya menjadi 'Dayu', menjadi keluarga Brahmana, menjadi penghuni Grya. Beliau membuat dan menghaturkan banten tanpa mengeluh, dan secara aktif belajar memperdalam pengetahuannya mengenai Banten dengan alasan: kita keluarga Brahmana, kita harus tahu. Ayah saya seringkali dipanggil untuk 'muput' atau melaksanakan upacara, dan ibu saya akan siap sedia disamping beliau walau upacaranya kadang berlangsung tengah malam atau pagi buta. Beliau hangat dan menghargai para Bibi/braya yang datang membantu kami saat menjelang upacara besar, dan beliau selalu mengingatkan saya: tanpa mereka kita tidak ada artinya. Dan akhirnya saya menemukan kunci keberadaan saya: sebagai Brahmana saya ada di muka bumi ini bukan untuk diri saya. Saya disini untuk umat. Saya disini untuk Tuhan. Tapi apa yang bisa saya lakukan bila saya bahkan tidak bisa menjait/membuat canang dengan baik dan benar? Apa yang bisa saya lakukan bila saya tidak lolos kualifikasi sebagai 'Dayu' ideal, bila saya masih suka jalan malam dan menikmati segelas alkohol dan sebatang rokok bersama teman? Jawabannya: Banyak. Yang pertama dan paling utama: saya bisa mulai dengan membetulkan diri saya sendiri, menghilangkan (atau setidaknya menekan) sifat-sifat buruk dan berusaha meperbanyak sifat baik seperti toleransi dan pengertian. Saya bisa melakukan berbagai kebaikan, menolong orang dan membuat orang lain nyaman dan bahagia; dan ini berlaku untuk semua orang yang kebetulan saya temui dan bukan hanya penganut Hindu Bali. Saya bisa melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan seorang Brahmana, seperti Pengobatan, Agama, Sastra dan memodifikasinya supaya sesuai dengan apa yang saya bisa. Sebelumnya saya mengambil jalan Pengobatan dengan kuliah kedokteran, namun akhirnya saya memilih jalan Sastra dan menulis blog ini. Blog ini saya tulis untuk memotivasi para pembaca saya, dan membuat hidup mereka lebih baik. Blog ini saya tulis untuk mengingatkan pembaca saya agar lebih toleran dan mau melangkah maju. Bukankah ini juga sastra? Bukankah ini juga melayani umat?

Lahir dengan nama 'Dayu' bukanlah sebuah pilihan, namun menjadi 'Dayu' adalah sebuah pilihan. Akan ada banyak yang berkomentar bahwa saya bukanlah contoh yang baik, bahwa saya tidak pantas menjadi seorang Dayu, sebagaimana saya melihat orang-orang Brahmana yang menyindir dan nyinyir terhadap seorang famili saya yang berpasangan dengan bule. Saya cuma bisa menjawab dengan salam jari tengah, sebagaimana saya menjawab aturan sepihak yang memberatkan 'Dayu' sebagai wanita. Hanya Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang berhak dan bisa menilai apakah saya sudah menjalankan yang Beliau harapkan dari saya sebagai Dayu, dan bukan manusia lain. Sampai saat pengadilan terakhir itu tiba, yang saya bisa lakukan hanya berusaha sebaiknya melayani umat dengan cara saya sendiri. Ini tugas saya sebagai seorang Brahmana yang saya bawa sejak lahir hingga meninggal nanti. Bahkan kaum Brahmana yang masih muda sekalipun memiliki tugas berat ini, dan disitulah letak penghormatan yang sebenarnya. Kita tidak bisa berkata "Oh nanti akan saya lakukan bila sudah tiba saatnya", karena 'saatnya' adalah saat ini, bukan nanti nanti setelah anda bosan dengan hidup. Menjadi Brahmana bukanlah harga mati, anda masih bisa menikmati hidup selama masih berpegang pada Dharma dan anda berhak melayani umat sebisa anda dan dengan cara anda sendiri. Ingat: Umat bukan ada disini untuk kita, namun kita ada disini untuk Umat. Ini tugas kita, ini tanggung jawab kita. 

Om Santi Santi Santi Om

Search This Blog