Buat saya, orang-orang yang sibuk mempermasalahkan soal warung makan yang buka saat Ramadan/bulan puasa dan terutama yang mati-matian ngotot dan ga bisa 'move on' dari kata 'menghormati' kemungkinan besar pengertian Bahasa Indonesianya kurang. Atau paling nggak pas tes pemahaman bacaan nilainya jeblok. Menurut saya lho ya. Jangan marah, kan menuduh ga jelas lagi trending hohoho. Tapi tidak ah, tidak baik membuka artikel dengan bikin marah orang. Maaf ya yang merasa tersinggung, tapi monggo lho ikut saya mencoba menelaah soal buku/tutup warung ini.
Masalah utama dengan bahasa adalah kita cuma bisa melihat satu sisi, satu fakta yang tersaji diantara kata-kata yang terjalin dalam kalimat, tanpa mengetahui kondisi sebenarnya. Misalnya saja, "Amir terlambat datang ke sekolah". Yang heboh ga jelas sibuk nge-judge "Dasar Amir anak malas!", yang membela kebebasan (konon katanya), "Terus kenapa??". Padahal bisa saja Amir sudah datang tepat waktu, tapi sekolah dimajukan (lho?!). Bisa saja Amir terlambat karena ia berjiwa sosial dan menolong rombongan nenek-nenek menyeberang jalan. Bisa juga karena Amir menonton bola semalam suntuk dan ketiduran. Banyak versinya gitu lho. Fakta yang kita pakai (dan mungkin yang dipakai guru Amir) adalah ia terlambat. Titik. Tidak ada toleransinya, salah ya salah, terlambat ya terlambat. Begitu pula dengan kata 'menghormati' yang dipakai Menteri Agama soal buka/tutup warung di bulan Ramadan. Banyak orang menghujat dan memaki, bilang pak Menteri tidak Islami. Saya juga jujur ikutan menyesalkan, soalnya kata 'menghormati' itu menyesatkan.
Kalau dibilang warung makan boleh buka untuk menghormati orang yang tidak puasa, memang rasanya gimana gitu. Siapa juga pasti emosi, ibaratnya karena satu orang tamu undangan kebetulan tidak bisa makan daging/vegetarian, semua hidangan yang tersaji di pesta/resepsi menu vegetarian semua. Ada juga si vegetarian ini yang mengalah dan tahu diri, toh kue-kue dan buah pencuci mulut juga nggak pakai daging. Sama saja, memangnya yang puasa nggak bisa bekal makanan dari rumah gitu? Stok Popmie buat lunch sebulan apa susahnya sih? Orang Indonesia itu hampir 90% muslim, jelas lebih banyak yang puasa (baca: beragama Islam) daripada yang nggak, bahkan setelah dihitung para Muslimah yang kebetulan sedang datang bulan atau orang lansia/sakit yang memang tidak bisa berpuasa. Nggak masuk akal kan kalau sekian banyak warung makan itu boleh buka untuk mengakomodir sekian sedikit orang? Bukan masalah yang kecil/sedikit harus tahu diri, tapi nggak efektif gitu lho. Menghormati boleh jalan terus, tapi mbok ya yang masuk akal.
Nah tapi bagaimana kalau warung makannya buka bukan karena menghormati yang tidak puasa, tapi karena memang harus buka demi pemasukan? Mama saya punya usaha toko fotokopi di Bali, dan tiap kali libur panjang atau libur hari raya Hindu Bali berurutan Mama bakalan pusing tujuh keliling. Pas libur begitu nggak ada yang datang fotokopi/belanja, jadi biasanya Mama akhirnya tutup toko sampai hari raya/liburnya lewat, dan terkadang bisa sampai seminggu/dua. Gaji pegawai tetap harus dibayar full, listrik dan sewa toko juga tidak didiskon, dan pengeluaran sehari-hari plus cicilan dan sebagainya juga tetap ada. Tambah puyeng saat hari raya Hindu Bali karena pengeluaran untuk upacara juga tidak sedikit. Kebayang tidak perasaan pemilik/pekerja warung makan yang dipaksa tutup saat bulan puasa? Buka saja sudah ngap-ngapan, turun drastis pemasukan karena makin sedikit orang yang makan; tapi kalau tidak buka bunuh diri namanya apalagi Lebaran menjelang. Buka menjelang buka puasa agar orang-orang bisa beli makanan berbuka mungkin bisa jadi solusi, tapi yang saya tahu banyak tempat makan yang gantian jualannya: yang dagang berbeda pagi dan sore. Bentrok lagi dong jadinya. Yang tega mungkin akan dengan tenangnya merumahkan pegawainya, tapi itu cuma memindahkan masalahnya ke pegawai. Kebayang nggak kalau anda nggak kerja, nggak punya penghasilan, dan Lebaran sudah didepan mata? Panik nggak sih?
Poin lain adalah, kenapa cuma warung makan yang disuruh tutup? Yang fair/adil dong ah. Harusnya semua tutup dong, termasuk di mal yang wangi dan mahal. Gerai-gerai kopi, restoran fastfood, segala macam yang jual makanan dan minuman kecuali toko bahan makanan/supermarket harus ditutup. Masa cuma yang rakyat kecil saja yang disuruh tutup, yang mentereng dan perlente juga harus ikutan dong. Termasuk restoran di hotel bintang lima yang harga seporsi menunya cukup untuk beli tajil satu RT. Makanan via room service pun nggak boleh ada. Pokoknya kalau belum berbuka, semua juga jangan buka. Nah lho, jadi tambah banyak kan orang yang repot? Bukan cuma pemiliknya, pelayan dan petugas kebersihan, sampai supplier pun pastinya jadi tertohok karena jam kerja/pesanan yang menurun. Toko-toko lain di Mal yang nggak jual makanan pun jadi kena imbasnya. Siapa sih yang mau pergi belanja/jjs ke tempat yang seperti kota hantu? Di Mal itu yang dagang makanan buanyak banget lho. Kalau sudah begini, orang juga jadi malas untuk buka toko makanan di mal. Gerai-gerai besar seperti Starbucks pasti pikir-pikir untuk ekspansi kesini, rugi dong cuma bisa buka 11 bulan dalam setahun. Kalaupun masih nekat buka toko makanan, pastinya harga dinaikkan karena harus mengcover satu bulan yang tidak bisa jualan sementara sewa toko etc harus full dibayar satu tahun (plus thr pegawai yang lebaran ya). Mati banget kan?
Karena di Indonesia hampir 90% Muslim, yang repot ya mayoritas yang Muslim juga. Warung-warung tegal dan rumah makan kecil lainnya yang tidak bisa berbisnis, pegawai-pegawai warung yang dirumahkan, pekerja kasar yang tidak bisa mendapatkan asupan yang mereka butuhkan, dan jelas, Muslimin/Muslimah yang tidak bisa berpuasa karena berhalangan atau sakit atau faktor usia. Tidak semua umat Islam di Indonesia keren dan berdasi, bekerja di kantor ber-AC dan melewatkan waktu dengan mendengarkan khotbah ustad kondang di smartphone mereka. Masih banyak umat Islam Indonesia yang bekerja kasar, yang sekian hari harus berpuasa bukan karena kewajiban tapi karena memang tidak bisa membeli makan. Tidak semua umat Islam di Indonesia punya pekerjaan tetap dan stabil, masih banyak yang takut menghadapi pagi hari karena bisa jadi di hari itu mereka dipecat atau usaha mereka harus tutup. Merekalah yang dihormati, dibantu dengan kebijakan membolehkan buka warung makan saat bulan puasa. Bukan untuk yang non-Islam, namun untuk umat Islam sendiri. Apa iya anda mau merampas hak mencari penghasilan orang lain? Bisa saja sih, tapi siapkan solusinya dong; jangan cuma bisa melarang saja. Kalau mau bawa ayat agama juga silakan, tapi siapa anda mau (dan berhak) nge-judge? Percaya deh, kalau anda percaya Tuhan segitu maha kuasanya dan segitu bencinya sama para penista (baca: orang yang menggoda orang lain saat puasa dengan makanan etc), apa nggak Tuhan sendiri yang bakal turun tangan. Anda nggak perlu ikutan rempong/repot juga Tuhan yang bakal 'menyelesaikan' kok.
Selama seperempat abad lebih saya tinggal di Jakarta (jiahhhh bahasanya...) saya nggak pernah mengalami kesusahan mencari makan saat bulan puasa. Warung makan buka walau ditutup dengan gorden, intinya saling menghormati lah. Saat SMA saya bahkan pernah ditegur teman saya karena saya heboh banget ngumpetnya untuk makan saat bulan puasa, dia bilang: "Biasa aja kali." Makanya saya heran kok sekarang jadi polemik berkepanjangan. Di fesbuk banyak komentar yang memuji dan bilang kalau Menteri Agama sekarang Pancasilais dan melindungi semua umat beragama di Indonesia. Kalau kata saya yang dilindungi Menteri Agama bukan non-muslim, tapi perekonomian dan kestabilan Indonesia. Repot dong kalau harus ngurus negara yang ormasnya bisa menekan sesama warga negara dan mendikte jalannya pemerintahan (baca: FPI dan acara 'menggerebek' mereka). Semua warga negara Indonesia berhak mendapatkan perlindungan hak hidup mereka dari pemerintah Indonesia, dan hak mencari penghasilan dengan cara halal jelas salah satu diantaranya. Hak ini, sekali lagi, hak ini yang dihormati dengan membolehkan mereka membuka usaha warung makan mereka saat bulan puasa. Apa ini menguntungkan umat non-Islam? Jelas. Enak toh kalau tahu urusan perut lancar (walau dibalik korden). Apa ini menguntungkan umat Islam? Apalagi. 90% Islam bo'! Kalau ada 100 warteg di Jakarta dengan masing-masing 5 pegawai, berarti setidaknya sudah 450 orang yang paling tidak bisa Lebaran dengan tenang karena tahu usaha mereka masih bisa jalan saat bulan puasa. Kalau usaha makanan di Jakarta sekitar 50% dari total jenis pekerjaan di Jakarta, maka dari sekitar 10 juta jiwa di Jakarta, 4.5 juta jiwa terbantu dengan dibolehkannya usaha makanan buka saat puasa. That's a lot lho. Itu banyak bo'.
Buat yang masih stuck/mandeg soal 'menghormati', mari lho saya ingatkan sekali lagi kalau hak buka/tutup warung makan saat bulan puasa itu bukan untuk menghormati yang non-Islam, tapi menghormati hajat hidup/hak hidup seseorang untuk mendapat penghasilan. Gak papa kalau anda kekeh menyebut para umat Islam yang nekat buka warung saat puasa itu kafir/pendosa etc. Hak anda juga menjudge orang, walau benar tidaknya tudingan anda itu urusan Tuhan hehehe. Sebelum anda menuding, tolong diingat bahwa berbagai orang di seluruh dunia berpuasa dengan kondisi yang berbeda. Di Los Angeles sini misalnya, jam 4 kurang sudah terang dan baru gelap lagi lewat jam malam. Kebayang nggak berpuasa seperti itu? Apa Tuhan yang salah, nggak kasihan sama umatnya di LA sini karena memaksa mereka puasa jauh lebih lama dari rekan-rekan mereka di negara lain? Restoran juga buka seperti biasa, begitu pula para wanita dengan baju seksi mereka (berhubung ini summer/musim panas). Apa mereka semua berdosa karena menjalankan aktivitas mereka seperti biasa tanpa mengindahkan orang yang berpuasa? Kalau iya, berarti semua restoran etc yang buka saat anda puasa Senin-Kamis atau (bagi yang wanita) membayar hutang puasa juga berdosa dong. Peduli amat mereka nggak tahu kalau anda puasa, salah ya salah. Seperti si Amir yang terlambat di atas. Apalagi kalau dilakukan saat tahu anda puasa. Setan, penggoda, iblis, (menurut anda) itulah mereka semua, masuk neraka mereka semua!!! Waduh, serem amat ya jadi anda. Puasa itu setahu saya menekan/mengontrol hawa nafsu, percuma kan puasa menahan lapar dan haus tapi pikirannya emosi jiwa dan sibuk mencaci dan menuduh. Kata saya lho.
Mungkin saya salah, mungkin saya benar. Buat saya Lebaran selalu bahagia, selalu identik dengan keceriaan dan rasa syukur yang amat sangat. Buat saya setiap orang berhak merayakan hari raya (baca: Lebaran) dengan perasaan bahagia dan berkecukupan. Kalaupun anda masih gagal move on dari 'menghormati', setidaknya pikirkan dan bayangkan hal ini di kepala anda tiap kali anda melihat warung makan yang buka di bulan puasa: kebahagiaan para pemilik dan pegawainya saat Lebaran tiba, saat mereka mampu merayakan hari suci tersebut selayaknya dan membagikan kebahagiaan mereka ke orang lain juga. Itu saja sudah cukup kok. Selamat menunaikan ibadah puasa :).
No comments:
Post a Comment