"Jagalah hati, jangan kau kotori/Jagalah hati, lentera hidup ini..."
Siapa yang masih ingat dengan lagu ini? Seiring waktu sudah banyak versi yang beredar, tapi buat saya versi Bimbo [kalau nggak salah, yang versi paling pertama muncul] tetap yang paling menyejukkan. Adem gitu lho. Biasanya lagu ini akan marak/baru ketemu di bulan Ramadan/bulan puasa, padahal menurut saya liriknya valid banget untuk kehidupan sehari-hari. Menjaga hati kan tidak hanya saat bulan puasa saja toh? Sama saja seperti di Amrik sini yang baru heboh menyiarkan damai Natal saat bulan Desember. Itu pun kalah dengan yang menyiarkan diskon akhir tahun. Waduh.
Balik lagi soal menjaga hati, di era sekarang ini kayaknya susah banget ya. Setiap harinya kita dibombardir dengan informasi dan tergantung kitanya yang menyisir dan memilah yang mana yang harus kita simpan. Kalau dulu lebih gampang, cuma tahu berita dari koran [Kompas] atau televisi, dan pilihannya hanya TVRI dan RCTI/SCTV saja. Itu pun beritanya masih yang propaganda. Saya masih ingat berita Pak Harto memancing ikan di laut dan selalu dapat ikan yang guede, dan kami sekeluarga berspekulasi kalau ada penyelam di bawah perahu yang mengaitkan ikan tersebut ke pancingan Pak Harto. Padahal sudah cuma itu-itu saja sumber beritanya tapi teteup nggak percayaan hahaha. Terbayang dong apa rasanya sekarang ini, dimana kita tiap hari, tiap detik dihujani dengan informasi yang sayangnya tanpa filter: dari fesbuk/medsos, dari aplikasi berita yang kita ikuti, sampai via SMS/BBM. Mau berita benar atau salah urusan sekian, pokoknya kalau 'seru' kita paling pertama yang mengklik like/share, atau mengklik tautan/link karena judulnya sangat bombastis. Gimana mau menjaga hati kalau begini caranya?
Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi, semakin sulit menentukan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Jujur, buat saya dunia ini sekarang tampaknya terbuat dari kebohongan yang berlapis-lapis dan kesalahpahaman yang diulang-ulang. Masih ingat kan soal Aga, yang berita hoaxnya bilang ia bunuh diri karena dipukuli orang tuanya? Atau berbagai kasus anak hilang seperti di Gandaria City dan lainnya? Baru-baru ini di fesbuk saya beredar kabar kalau ada seorang pria yang dibilang pedofil di Bali dan orang-orang harus waspada. Memang gampang sih nge-share untuk mengingatkan, tapi saya teringat seorang teman yang ceritanya difitnah oleh rekan kerja dan mantan istrinya sampai harus memberi klarifikasi kepada saya bahwa ia bukan gay. Padahal dia gay pun saya nggak perduli, tapi buat dia saat itu penting sekali saya tidak menjauhi dia karena percaya dengan kabar tersebut. Sedih saya mengingatnya.
Kalau anda pikir ini masalah cuma di Indonesia saja, anda salah besar. Di Amrik sini ada orang yang sampai mencuri identitas orang lain untuk eksis di media sosial. Ada juga orang-orang yang menebar cerita sedih soal dia kena kanker/penyakit lainnya demi mendapatkan respon/perhatian pembacanya. Ini mungkin sudah masuk ranah sakit jiwa sih ya. Dan jangan ditanya soal info-info hoax nggak jelas seperti mentega itu sebenarnya margarin yang dikasi pengawet dan pewarna. Intinya itu ya, membuat berita hoax demi mendapat perhatian, demi mendapatkan 'pengikut', atau bahkan demi balas dendam/menyakiti orang lain. Pemain berita besar pun tidak luput dari kesalahan ini. Baik media Amerika maupun Indonesia bisa dibilang sama, sama-sama 'pesanan'. Saat meliput berita, apalagi berita kontroversial, biasanya yang diliput dari sisi yang menjualnya saja atau yang sesuai dengan platform mereka. FoxNews misalnya sangat anti Obama, jadi apapun yang ditulis cuma soal salahnya Obama. Pembacanya juga jelas orang-orang yang anti Obama. Masalah isi beritanya akurat atau tidak bukan masalah, yang penting laris ris ris. Berapa banyak media Indonesia yang juga melakukan hal ini?
Celakanya, ketidaktahuan ini seringkali berjalan bersamaan dengan ketidakpedulian dan kemalasan. Klop deh. Padahal google sedikit saja setidaknya bisa tahu sisi lain ceritanya, tapi siapa sih yang repot-repot nge-google sekarang ini? Kalaupun nge-google, biasanya yang dicari versi yang ingin dilihat. "Kebiadaban umat Buddha terhadap Rohingiya" vs "Kasus Rohingiya" hasilnya bakalan beda lho. Sudah begitu, kalau di kepala sudah terbentuk opini yang dipercaya setengah mati, kalaupun ditegur atau diberikan fakta yang berbeda tetap keras kepala membenarkan apa yang dipercayainya. Seperti contoh mbak dibawah ini yang kekeuh mempertahankan haknya untuk mengshare foto jenazah Angeline, walau sudah diigatkan untuk tidak melakukannya demi menghormati almarhumah. Karena majunya informasi, kita lupa bahwa sekedar aksi klik dan share dengan jempol kita tetap akan membawa konsekuensi. Dan karena luasnya dunia maya kita tidak tahu [atau tidak mau tahu] seberapa besar dampak dan implikasi yang terjadi dari tindakan kita mengklik like dan share berita yang tidak bisa dipertanggung jawabkan, padahal kita masih akan harus mempertanggung-jawabkannya terhadap yang diatas nantinya.
Mungkin buat banyak orang konsep menjaga hati demi mempertanggung-jawabkannya ke Tuhan agak terlalu jauh ya, nggak masuk logika gitu lho. Sekarang ya sekarang, urusan Tuhan mah entaran. Apalagi dalil soal internet tidak ada [secara gamblang] di kitab suci agama manapun jadi tidak ada pengingat. Tambah lagi kalau kebetulan yang dipakai sebagai alasan adalah soal agama. Seperti si Mbak dibawah ini yang kekeuh bilang kalau media liberal Indonesia kafir dan jangan dipercaya [Foto diambil dari artikel menarik ini]. Nggak apa-apa sih, tapi apa iya komen seperti ini membantu citra dirinya sendiri? Kesan yang saya tangkap di mbak diatas yang menshare foto jenazah adalah Sadis. Kesan yang saya tangkap di mbak dibawah ini adalah Rasis dan picik. Mungkin di Indonesia persona online masih belum penting ya, tapi di Amerika sini apa yang kita tulis di medsos bisa dipakai untuk melawan kita. Sudah banyak cerita bagaimana orang sini dipecat karena postingan mereka di media sosial.
Sebagai pribadi pun apa iya anda nyaman berada bersama orang yang sibuk mengumbar kemarahan dan kebencian? Tiap kali nongol yang seperti ini di fesbuk saya, saya biasanya mengubah settingan orang tersebut menjadi 'unfollow' agar berita yang ia sampaikan tidak ada lagi di fesbuk saya, atau sekalian saya unfriend kalau saya anggap sudah tidak terselamatkan. "Baguslah!" pikir beberapa orang, "Buat apa juga temanan sama orang yang tidak satu ide??!". Salah besar. Dunia ini luas lho Mas/Mbak. Memilih untuk bergaul hanya dengan teman yang seide berarti membatasi pengetahuan kita sendiri. Secara profesional pun ini bisa menjadi masalah, karena kita tidak akan bisa beradaptasi dengan lingkungan kerja kita. Banyak hal yang bisa kita pelajari dari orang lain, dan banyak hal yang bisa kita dapatkan dari orang lain. You'll never know what you can find in the next person, anda tidak akan tahu apa yang bisa anda temukan di orang lain. Bukan berarti anda tidak boleh beropini lho, tapi tatalah opini anda agar menyejukkan dan (syukur-syukur) membuat orang justru jadi mempertimbangkan opini anda tersebut. Jangan istilahnya memercik air di dulang terpercik muka sendiri.
Sepertinya berat ya kalau harus selalu waspada, kalau harus selalu mengecek dan menimbang sebelum melakukan tindakan. Padahal like share dan komen itu cuma sejempol saja jaraknya. Tapi inilah konsekuensi menjaga hati di era teknologi informasi, dimana tidak ada lagi hukuman sosial dan maraknya godaan pengakuan instan dari follower yang bahkan tidak anda kenal. Konon katanya ini jaman edan, jaman Kaliyuga, jaman sebelum kiamat. Tergantung kitanya mau seperti apa, ingin ikutan gila atau tetap kokoh dengan mencoba menjaga hati kita. Seperti lirik lagu "Jagalah Hati", harusnya jawabannya sudah jelas:
"Bila hati kian bersih
Pikiranpun akan jernih
Semangat hidup nan gigih
Prestasi mudah diraih
Namun bila hati keruh
Batin selalu gemuruh
Seakan di kejar musuh
Dengan Allah kian jauh"
Sekarang, yang mana yang akan anda pilih? Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang merayakan. Saya harap anda sekalian (yang puasa maupun yang tidak) akan memilih yang terbaik untuk anda :)
No comments:
Post a Comment