Bromo, 16 Mei 2014
Matahari sudah menghilang dari langit, dan hawa dingin semakin menggigit. Gunung Bromo dan Gunung Batok beserta gunung-gunung lain yang tadinya kami nikmati dari kejauhan sudah hampir tak terlihat, ditelan gelapnya malam. Kami pun berjalan kembali ke penginapan untuk tidur cepat, karena esok pagi kami harus berangkat mengejar matahari terbit sedari pukul 3.30 pagi. Terdengar suara nyaring anak-anak kecil membaca ayat dalam bahasa Jawa. Yah, pikir saya, namanya juga Jawa. Namun saya menangkap kata-kata yang saya kenal, dan saya tersentak:
Sang Hyang Widhi Gustiku, Tri Kaya Parisudha lakuku
Saya menyeringai lebar dan memberitahu Kangmas kalau ternyata mereka bukanlah membaca ayat Quran, namun ajaran agama Hindu. Saya jelaskan kalau suku Tengger di daerah Bromo memang pemeluk Hindu dan bahkan beberapa homestay yang ada masih mendirikan penunggu karang didepan rumah mereka, namun saya tetap terkejut mendengar mereka membaca ajaran agama Hindu via speaker, sesuatu yang tak pernah saya dengar di Bali sekalipun.
Keesokan harinya kami meluncur menuju Gunung Penanjakan. Di tengah lautan pasir, di dalam kegelapan malam, saya melihat pelinggih/Penunggu Karang berdiri sendirian. Saya terpesona melihatnya, buat saya itu tampak sebagai relik dari masa lalu saat Hindu masih berjaya di tanah Jawa. Sepanjang jalan berliku tajam menuju sunrise view point saya melihat beberapa lagi tugu penunggu karang, dan saya merasakan betapa besarnya Hindu dahulu di tanah Jawa ini. Tapi ternyata saya salah. Saat kami turun dari Gunung Penanjakan tugu-tugu tersebut sudah terisi canang/banten sederhana. Mereka bukanlah relik belaka, mereka masih bagian dari masyarakat disana. Bukan "dahulu", tapi "saat ini".
Selesainya saya dan kangmas sembahyang di Pura Luhur Poten (yang menyediakan bunga persembahyangan yang sangat segar), bapak driver kami menawarkan membawa kami ke Goa Widodaren yang merupakan tempat suci (tempat nunas tirta) masyarakat Hindu Tengger. Ia menjelaskan kalau ia juga pemeluk Hindu dan dengan senang hati menemani kami sembahyang disana. Sepanjang jalan ia bercerita tentang dirinya, dan saya mendapatkan banyak pelajaran berharga:
Kalau Nyepi disini ya tutup mbak, sehari saja tidak apa-apa. Cari duit bisa setiap hari kok, tidak apa-apa libur sehari untuk agama.
Oh iya, saya Galungan juga libur. Nanti selasa besok saya sudah libur. Demi agama mbak, ga boleh hitung-hitungan. Cari nafkah bisa kapan saja.
Siapapun yang pernah merayakan Nyepi di Bali pastinya ingat kalau situasi sebelum Nyepi seperti besoknya mau kiamat, semua sibuk memborong habis barang-barang di supermarket seolah takut tak bisa bertahan hidup 24 jam saja di rumah sendiri. Begitupula dengan Galungan, saat semua orang sibuk mengeluh cuti mereka terpotong dan biaya banten yang membengkak. Seringkali saya bertanya pada diri saya, agama itu apa sih sebenarnya? Di Bromo saya mendapatkan jawabannya.
Agama itu adalah kepercayaan. Bukan sesuatu yang kita umbar laksana baju, namun setitik cahaya dalam diri kita yang kita pegang teguh. Bapak driver saya dan orang-orang di Bromo tidak perlu memproklamirkan mereka Hindu, namun mereka menjalani agama mereka dengan taat sebagaimana yang sudah mereka lakukan beratus tahun lamanya. Tidak perlu pengakuan atau "salah/benar", mereka hanya menjalankan apa yang mereka percayai. Seperti yang dinyanyikan oleh anak-anak kecil itu, "Tri Kaya Parisudha lakuku", berapa banyak dari kita yang mengajarkan anak-anak kita prinsip dasar Agama Hindu dan bukan hanya banten apa yang harus dibawa ke Pura? Berapa banyak dari kita si orang dewasa yang belajar dan mampu menerapkan ajaran agama Hindu dalam keseharian? Sebaliknya, berapa banyak dari kita yang berpaling dari Hindu Bali dan memilih menjalankan Hindu India karena "lebih murni"? Agama, sekali lagi, adalah kepercayaan; Agama adalah suatu kesatuan antara budaya asli kita dan ajaran untuk memudahkan dan meningkatkan kualitas hidup kita.
Saya teringat kaus Omkara yang dahulu marak dijual kerohanian Hindu kampus-kampus, atau berbagai stiker Omkara dan/atau ayat-ayat kerohanian yang marak diperjualbelikan sebagai hiasan. Setelah bertemu si Bapak saya tak bisa berhenti berpikir betapa memalukannya saya dulu yang selalu berkoar menegaskan: saya Hindu! So what gitu lho? Saya pikir si Bapak muslim, namun ternyata ia penganut Hindu juga. Tapi fakta apa agama yang dipeluk beliau tidak mempengaruhi harga (karena sudah diatur paguyuban/serikat) mereka, ataupun service/pelayanannya. Jadi buat apa berstatement "Saya Hindu", apalagi kalau belum sanggup melakukan ajaran agama Hindu sehari-hari? Paling sederhana deh, siapa yang yakin sudah bisa melakukan Tri Kaya Parisudha? Atau Tat Twam Asi?
Sudah saatnya kita mengevaluasi ulang apa makna menjadi seorang Hindu. Bukan hanya statemen atau banten belaka, bukan pula (bagi Hindu Bali) ayat belaka tanpa adat. Sudah saatnya kita melihat api kecil di dalam diri kita tersebut, menganalisanya dan membuatnya menyala terang sebagai pedoman hidup kita. Sudah saatnya kita menjadi seorang Hindu yang sebenarnya.
No comments:
Post a Comment