AdSense Page Ads

Monday, December 30, 2019

The Long Road to Happiness



For me, the hardest thing to do right now is to acknowledge that I am happy. 

I told myself I don't need to advertise my happiness. There are exes out there who might not be as lucky as I am in love. There are friends out there who would think "Why aren't you this happy with us?" or felt abandoned. Of course, I am also a very territorial person so all of these could easily just be in my head.

Then I told myself that I don't need to tell the world because the world doesn't need to know. The feeling is mine and mine alone. My closest friends could see my happiness from the meager pictures I posted, or the ups and downs of me trying to not runaway because commitment scares me. That should be enough.

Yet I know why I didn't write about it. I know why I didn't write how happy I am. Of how I wish my readers know what to expect from a man. Of the lovely feeling he made me feel, and should be a standard for anyone, men or women, to receive.

You didn't get to read about that happiness because I am scared. I don't want to acknowledge I am happy because I am scared it won't last. I am scared the rug will be pulled from under me once more. I am scared of realizing that I am too broken to be loved.

Giving love is easy. There's such an abundance of it that you can give so much and you are still in excess. Accepting love is a different story. What if it's a trojan horse filled with sadness and grief. What if it's only temporarily. What if the person decided to take it back. What if you were never loved all along.

I don't want to admit I am happy because it leaves me vulnerable. I don't want to admit it because I could be wrong. I want to be silent about it so if the worst thing happened I don't have proof that I was happy, and I can shrugged and say, "Meh. It is no biggie."

But I am happy. I have someone whom I can be eager to go home to. I enjoy the embraces and the feeling that I am somebody's special. I love all the laugh and the adventures. No gaslighting, no manipulating, no walking on eggshell. No conditional "I love you if you…"

This year of 2020 my challenge is to embrace that woman standing shivering in front of the open door, who has been waiting for the hands to push her outside into the coldness of the night. I want to close the door gently and pull her to the warmth of the fireplace, where the bed is made and someone who wants her waiting her patiently. 

We're going to be fine, little queen. We're going to be fine.

Tuesday, December 3, 2019

Seks Bebas dan Ilusi Kita



Saya komen di FB kalau Amerika memisahkan agama dan negara, makanya pada akur karena diskriminasi dilarang. Dijawab Amerika ga bisa dijadikan contoh karena membiarkan seks bebas.

Takut banget sih sama seks. Who hurt you, man?

Dari jaman saya SD yang orang hamil di luar nikah itu sudah biasa. Jaman kuliah bertebaran teman yang anaknya 'lahir prematur'. Jaman kerja di kos campur? Ya sudahlah.

Tapi itu karena lingkungan saya buruk. Nggak ada hubungannya dengan pejabat dan petinggi yang hobi bobo-bobo siang. Atau yang hobi ngumpulin simpenan. Atau tukang sayur yang punya istri tiga. Atau cerita pembantu yang diperkosa, sampe dibikin film Inem.

Noooo. Indonesia itu bersih, suci, bebas dari semua kerusakan moral. Nggak ada itu seks bebas. 

Bullshit.

Saya nggak setuju seks bebas. Buat saya goblok aja perempuan yang mau ditipu dibilang "demi bukti cinta". Bukti cinta itu harusnya bukti deposito dan surat tanah/rumah plus mas kawin. Keperawanan kita cuma satu, girls. Jangan mau ditawar murah.

Tapi kalau memang hobi ya udah sih. Yang penting selalu main aman. Jangan sampai kita ketularan sesuatu yang ga penting. [Lirik tajam pada penghobi cewek kafe dan pencinta pijat happy ending].

Kita ga mau mengakui karena kita pikir seks bebas itu akhir dunia. Yang pas ketemu langsung main on the spot. Atau yang lagi kongkow bareng dan tiba-tiba jadi pesta seks. Udahan kali nonton bokepnya. Percaya deh, nyari threesome aja ga sesimple itu Ferguso.

Ini pemikiran kurang 'main' kata saya. Karena hasrat selalu ditahan jadi dipikir kalau nggak ada restriksi akan lebih menggila. Ya itu derita elu aja kali. Emang seberapa loe pikir loe bisa tempur dalam sehari? Tempur berkualitas ya, bukan ala masak p*pmie.

Lalu dikaitkanlah seks bebas dengan tidak beragama, tidak bermoral. Padahal orang yang paling baik sama anda bisa jadi yang hobinya nyobain lelaki. Anda tahu darimana seberapa banyak lelaki yang ditiduri? Atau dia tidur sama lelaki, perempuan, atau keduanya?

Nggak ada nilai lebih dari pernikahan kalau kita nggak mampu menjaga janji setia itu, kalau kita nggak mampu membangun keluarga sepantasnya, kalau kita menelantarkan anak istri. Apa artinya secarik kertas dan sebuah buku nikah?

Tapi nggak lho. Kita nggak fokus ke nilai luhur keluarga. Kita fokus ke seks bebas. Jangan sampai itu vagina mencari kenikmatan terlarang (walau kita akur tutup mata sama penis yang ibarat Dora si Petualang). Pondasi itu, pondasi!

Pondasi yang dibangun dari jaringan tipis pembuluh darah dan kearogansian lelaki. Sori lah kalau elu segitu ga ahlinya sampai butuh jadi yang pertama, karena jelas bukan yang terbaik.

Go suck a dick, dude. Seriusan asik lho. Highly recommended.

Friday, November 22, 2019

This Thanksgiving



So Thankgiving's coming up and you brace yourself for the slew of relatives that you can't be sure about.

You know the older loud-mouth Trumpsters love food, so you set aside a mountain of pies for them to put their thumb in and pulled out a plum and say "What a good boy am I".

You setup a chill corner at the end of your backyard filled with craft beers so the younger die-hard Democrats can sit and enjoy themselves with tales and plans to fix the world.

But what about Lisa and her new girlfriend Angelina? What about Janice that's now called James? What would Ron and Rupert's children say to the other children? Questions will be asked and awkward glances will be thrown. Oh dear oh dear oh dear.

And it is so not fair to expect us to 'just roll with it'. This is an era we don't quite understand. You can't think of how it would feel to exchange long kisses with same gender partner. Won't the boobs awkwardly touch each other? Or the penis? Oh lord.

We don't understand it the same way we don't understand the allure of Sriracha or turkey bacon. Our body shudders when we tasted the weird texture and flavor of Rosie's roast and was told it was fake meat. We don't get why everyone needs to show their asses and boobs in social media.

We were told it was good. We were told it was for the better future. We were told it was personal right and empowerment. We were told we are old and backwards for not understanding that. They are right. We don't understand that. This is not who we are.

That doesn't stop us from asking Lisa does Angelina prefer red or white wine. That doesn't stop us from offering James (who lives the furthest) our guest room to crash the day before as we always did. And we have a month before Christmas to sort out the angry questions about what Rupert and Ron's kids say about their dads because kids will be kids.

We will still flinch when we see Angelina and Lisa holding hand. We will still take a deep breath when Rupert and Ron's kids run from the playroom and called out, "Where's our Daddy and Papa??" We will keep mistaking Janice, I mean James', gender pronouns and heartbroken over the long luscious locks of her, I mean him, that was cut to military crew cut.

We will still do that and more. But we will also carefully deflect the conversation when we deemed someone was going to be mean on others. We will also engage those who are excluded to assist us in menial tasks to make them feel less alone. We will stand true to our guests, come what may.

Because even though we don't understand, that doesn't mean we love them less. We may need to adapt and learn to love the newly shared version just like we love the version we've known for years, but we will get there someday. We may miss and grieve for the version we've known for years, but we will overcome that eventually.

Thanksgiving is about being thankful, and we are hosting/ coming to the celebration because we are thankful for the friends and family we have. We are thankful or the sweet and wonderful people they are, even though the packaging might be new and unfamiliar. Here's to abundance to thank for. Here's to love.

 
* Dedicated to my ex-stepmother-in-law, who despite the shock of having this weird specimen in her conventional and conservative abode still gone the extra length to make my visit there welcomed and perfect. Love you lots, Linda.

Monday, November 18, 2019

Kawin Kosong



Teman saya bilang dia akan membiarkan calon istrinya mendekor apartemen baru mereka saat si mbak ini datang dari Meksiko. Pas mau kawin dulu saya juga dijanjikan hal yang sama. Nggak kejadian tapi hahaha.

Kalau inget itu suka sebal sendiri. Ya elu kan lelaki. Kalau mau cari yang bisa modal sendiri ya jangan cari mbak-mbak ga berduit dari negara terpencil. Terus kalau gue yang modal faedah loe apa?

Tapi mau argumen apapun, faktanya memang kita perempuan nggak boleh kawin kosong. Uang itu bargaining power banget. Kalau orang tua nggak mampu, kitanya yang mesti mampu.

Berapa dari kita yang disinisin keluarga calon karena finansial dibawah mereka? Ayo ngacung. Atau yang dianggap pekerjaannya kurang menjanjikan? Atau yang terus 'diingatkan': "Kamu jangan membebani suami".

Idealnya sih saling bantu. Suami mencari nafkah dan istri mengasuh anak. Jangan hitung-hitungan sama istri dan jangan cuek sama suami. Suami menopang keluarga dan istri memastikan rumah nyaman untuk suami. Idealnya.

Faktanya susu formula mahal cuy. Kontrakan juga ga murah. Belum lagi cicilan kartu kredit plus pinjaman lunak untuk biaya kawin gedong. Suami yang stres istri ga bisa bantu keuangan dan istri yang stres karena tangan terikat/ga mampu membantu.

Wanita yang mapan adalah wanita yang siap. Saat suami dipanggil, baik ke HadiratNya ataupun ke rumah perempuan lain, kesiapan finansial sang istri akan sangat berperan dalam menentukan ia hancur atau tegar.

Kita bisa lebih mudah pergi dari situasi yang menyakitkan saat kita tahu kita punya/mampu berdiri sendiri. Dan walau dunia serasa berakhir, tapi oh man steak ini enak banget dan baju baru gue juga keren abis.

Punya anak pun harus kita wanita yang siap membiayai kalau-kalau mendadak jadi yatim. Men are not a backup plan. Lelaki itu bukanlah rencana cadangan. Apalagi rencana utama.

Bahkan para istri karir pun harus cerdas mengelola uang. Walau sebagai istri karir yang kerjaannya mutlak menjadi istri/pacar/simpanan orang, tapi saat sudah nggak bisa berkarir lagi sebisa mungkin penghasilan tetap ada. Dari properti atau reksa dana misalnya.

Lalu setelah kita mapan nanti kita bisa beli lelaki. Hore!!! Ya nggaklah, dudul. Ngapain juga beli lelaki? Ada juga kita cari yang selevel. Rugi bandar turun derajat. Kasihan calon anak gue lah.

Ingat lho, pria yang mapan dan mampu menghargai wanita pasti mencari yang selevel, apalagi yang benar memikirkan yang terbaik untuk calon anaknya. [Lirikan maut pada Mark Zuckerberg dan Priscilla Chan].

Enak sih bilang "Atas nama cinta!" atau "Kita berjuang bersama, sayang!" tapi kenyataannya cinta nggak berpengaruh banyak saat kontrakan telat 2 bulan. Rasa benci dan muak pun semakin mengikis cinta itu. Life is hard when you are broke. Hidup itu susah saat elu bokek.

Ini bukan ajakan untuk jadi matre. Ini ajakan untuk memikirkan apa yang terbaik bagi diri kita wanita dan calon anak-anak kita. Kita wajib mapan bukan demi menjatuhkan patriarki, tapi mengamankan masa depan kita dan calon anak-anak kita.

Dan kalau si calon menganggap kita tidak menarik karena mapan dan berdikari, derita loe lah tong. Sana cari kerja yang benar. Jangan tarikan bajaj elu bandingin sama tarikan BMW.

Friday, November 8, 2019

Aku Disini Untukmu



Teman saya anak perempuannya besok akan menikah. Keduanya akan mengenakan gaun pengantin. Menurut cerita teman saya, anak perempuannya sebenarnya akan mengenakan tuxedo, tapi saat ia ikut pacarnya mencoba baju pengantin, ia pun ingin mengenakan gaun. 

Mereka berdua perempuan, kalau sampai sejauh ini anda nggak ngeh.

Sama dengan teman saya yang lain yang anak perempuannya transisi ke menjadi lelaki, mereka berdua termasuk generasi tua yang tidak mengerti soal begini. Walau demikian, mereka tetap menyayangi anak-anak mereka.

Buat saya menyebalkan saat mendengar orang: "Yah gue sih nggak kenapa selama bukan (anak) gue". Baik soal LGBTQ, soal poligami, soal apapun yang kontroversial, omongan begini justru nggak menunjukkan toleransi. Gpp selama bukan gue, kan?

Sebaliknya, saat teman saya yang anaknya akan kawin ini diserang dan dicap buruk karena menyatakan ia tidak setuju perkawinan sesama jenis disahkan saya juga marah. Hak dia dong berpendapat. Yang nggak boleh itu saat dia mendiskriminasi orang-orang yang nggak dia sukai.

Toleransi itu bukan berarti harus menerima buta. Bukan pula menerima tapi dengan catatan. Toleransi itu adalah walau kita nggak setuju, kita tetap menghargai pihak lain dan bukannya menyerang. Bahkan kalau, sori, apalagi kalau pihak lain itu kebetulan orang terdekat kita.

Susah sih. Bahkan imigran Indonesia yang sudah berapa dekade disini pun sering saya lihat bersikap takut atau jijik terhadap para LGBTQ. Orang asli sini yang di daerah desa juga begitu. Mitos-mitos seperti bahwa ini menular atau pelaku dengan aktif menularkan pun masih marak.

Faktanya nggak semua cowok gay itu melambai dan nggak semua cewek lesbian itu tomboy. Nggak juga yang gay itu bakal langsung mepetin anda yang lelaki dan yang lesbian cari mangsa perempuan. Mereka juga punya standar kaleee.

Apakah lingkungan berpengaruh? Jelas. Tapi nggak seperti yang anda pikir. Saya, misalnya, disini bisa lebih vokal mengapresiasi perempuan cantik karena nggak ada yang protes. Bukan berarti saat di Indonesia saya nggak mengapresiasi, saya cuma nggak bersuara.

Mungkin saya yang pemikirannya terlalu radikal dan terlalu cuek. Buat saya semua orang sama. Mau elu pelacur atau pendeta, mau elu suka sama siapa itu bukan masalah gue selama elu nggak ngincer pasangan gue. I don't share.

Buat saya orang yang selingkuh dan/atau nelantarin keluarganya apalagi anak-anaknya lebih berdosa. Buat saya yang korupsi/mencuri hak orang lain itu lebih berbahaya. Buat saya yang memperlakukan pembantu/bawahannya seperti budak itu lebih biadab.

Bukan berarti mas mbak bisa langsung pamer kemesraan depan umum ya. Yang beda jenis saja jadi gosip lolo. Aturan sosial kita masih ketat lho. Netijen yang ganas membicarakan seleb pakai bikini, misalnya. Atau sejuta grup Julid yang masih mencap Janda = gatal.

Saya nggak tahu banyak soal ayat agama atau apa maunya Tuhan. Saya masih belum bertemu dengan Beliau. Yang saya tahu sih nggak ada orang yang berhak dihina atau dicaci, atau dianggap najis dan nista karena siapa dirinya.

Yang saya tahu, kalau mereka main ayat disini saya nggak bisa kawin/pacaran sama bule kulit putih. Saya bahkan nggak boleh sharing air minum sama mereka. Dan ya, mereka berhak memperlakukan saya seperti warga kelas dua atau bahkan seperti binatang.

Saya nggak bisa memaksa yang nggak setuju jadi setuju. Itu hak anda untuk nggak setuju dan saya mengerti ketakutan anda. Sesuatu yang baru dan dirasa tidak seharusnya itu bukan hal yang mudah untuk diterima. Nggak kenapa kok. Yang penting ayo kita coba jangan menyerang atau mendiskriminasi.

Semua orang berhak dicintai dan mencintai. Saya nggak bisa merubah perasaan orang lain, saya nggak bisa membuat mereka menerima anda. Tapi saya bisa tetap ada untuk anda. Sebagaimana saya ada bagi sekian banyak orang yang butuh tempat bercerita tentang hubungan mereka.

Saya disini ya, mas mbak. Peluk hangat bagi yang tersembunyi. Kecup sayang bagi yang kesepian. Saya disini untuk kalian.

Monday, November 4, 2019

Si Madu



Apa rasanya jadi istri kedua? Saya nggak pernah merasakan jadi istri madu sih, tapi tiga hubungan serius saya adalah dimana saya menjadi pengganti seseorang. Itu butuh mental yang kuat lho.

Karena butuh mental yang kuat untuk melihat dinding rumah orangtuanya dipenuhi foto si pasangan dan mantan istrinya bersama anak mereka. Buat si kakek nenek foto cucu paling penting dong, jadi istri baru ya tinggal elus dada saja.

Karena butuh kulit badak untuk nggak emosi saat melihat pasangan lama sinis terhadap kita. Butuh kelegowoan juga untuk mengerti perasaan mereka dan turut sedih akan kekecewaan mereka. Siapa sih yang ingin dilupakan dan tergantikan?

Karena butuh kedewasaan untuk memilih diam di mobil saat pasangan menjemput si anak dirumah mamanya agar sang ibu tidak merasa terancam. Berat lho melepas anak untuk bersama si pengganti. Kenapa juga mesti kita perparah?

Karena butuh hati yang lapang untuk mampu menyayangi anak pasangan dari hubungan sebelumnya dan bukan malah cemburu buta. Untuk mampu menempatkan kebahagiaan mereka sebagai prioritas karena kan mereka nggak memilih kondisi keluarga begini.

Saya nggak tahu rasanya dimadu atau jadi madu karena saya harus selalu nomor satu. Tapi bukan berarti saya nggak perduli perasaan orang lain. Bahkan dengan pacar saya yang anaknya sudah kuliah saya masih bertanya: "anakmu nggak kenapa aku sama kamu terus?" "Mantan istrimu nggak kenapa aku datang ke acara kalian?"

Bukan karena saya nggak berhak. Saya berhak jadi wanita nomor satu dalam hidupnya. Tapi dia kan perannya paling utama sebagai seorang bapak. Dan saya yang baru sekian bulan bersamanya nggak berhak menyuruh dia melupakan seseorang yang dulu sekian tahun bersamanya.

Kita menaruh tekanan akan keridhoan istri tua, dan ruang diskusi seolah tentang kesiapan si wanita dimadu. Nggak banyak kita berdiskusi soal kesiapan istri muda membantu si istri tua, apalagi kesiapan si bapak memastikan kesejahteraan secara adil untuk semua anak dan istrinya.

Berapa banyak dari kita yang berani bilang, "Kalau abang mau kawinin saya, apa jaminannya anak dan (mantan) istri abang tetap ternafkahi?" Berapa banyak dari kita yang rela menjalin hubungan dengan resiko nafkah kita sedikit karena sadar nafkah utama adalah jatah keluarga pertama?

Seperti cerita teman saya yang menuntut mantan suaminya membayar biaya asuh anak mereka. Si mantan suami berargumen di pengadilan bahwa ia punya istri dan tanggungan baru, jadi biaya asuh harus dikurangi. Hakim menjawab: "Siapa suruh kamu menikah lagi?"

Bagi kebanyakan orang sini, mangkir dari menafkahi anak itu pertanda orang ini nggak benar. Jauh-jauhlah pokoknya. Ini standar yang saya harapkan ada di Indonesia. Kalau doyan bikinnya, nafkahinnya juga mesti getol dong?

Ini juga yang harusnya jadi standar untuk menjadi/memilih istri baru. Kalau si lelaki nggak perduli ada yang terluka karena kehadiran yang baru, apa iya anda bisa merasa aman menjalin kasih dengannya? Kalau si perempuan yang nggak perduli, apa ini orang yang anda inginkan menjadi ibu dari anak-anak anda?

Tapi kan kita nggak mikir sejauh itu ya. Karena percaya deh, kalau baik si lelaki maupun perempuan berpikir keras akan apa kewajiban dan sumbangsih istri/pacar muda/baru untuk menyejahterakan keluarga, jumlah orang yang punya/jadi istri/pacar muda/baru pasti berkurang drastis.

Belum terlambat untuk berpikir lho. Karena bukan yang lama saja yang mesti terima nasib. Kita yang baru pun harus bisa kuat dan welas asih. Kalau bukan kita yang wanita membantu sesama wanita, siapa lagi?

Thursday, October 24, 2019

Cita-cita: Jadi Menteri!



Salah satu yang bikin orang deg-deg ser adalah Nadiem Makarim yang diangkat jadi Menteri Pendidikan. 35 tahun. Awardsnya segambreng. Pendiri Gojek. Sekarang Menteri Pendidikan. Wih… Langsung semua orang bercita-cita pengen sehebat oom ganteng ini.

Tapi apa iya segampang itu? Doi lahir di Singapore bo'. Kita ke Singapore aja nyari tiket diskonan. [Kita?? Mungkin saya aja bahahhaha #missqueen ]. Kuliah di Singapore dan Amerika, MBA di Harvard. Loe pikir itu semua pake daun bayarnya? Dapat kerja di tempat elit dan startup gede juga butuh modal.

Makanya sekali lagi ya mbak tante ibu sekalian, para perempuan di luar sana. Sekali lagi saya ingatkan: jangan mau hidup susah. Kalau bukan demi diri anda sendiri, demi anak-anak anda yang berhak jadi Nadiem Makarim berikutnya. 

Karena pendidikan yang bagus itu perlu duit. Karena untuk bisa belajar dan berkembang maksimal anak butuh lingkungan yang maksimal juga. Semakin banyak tekanan atau faktor pengganggu, semakin sulit anak berkembang. Gimana mau fokus UMPTN kalau uang sekolah telat 4 bulan? Atau sudah sejak kapan hanya makan nasi sayur?

Ini juga kenapa kita perempuan harus berusaha mengejar pendidikan dan karir setinggi mungkin. Mengharapkan duit suami sih bisa ya, tapi bagaimana bila tetiba suami berpulang? Baik berpulang ke rahmat Ilahi maupun berpulang ke rumah orang lain? Anak tetap harus kita urus kan?

Bukan berarti kita nggak bisa mengharapkan suami. Justru wajib kita punya suami yang akan mampu menafkahi anak kita kedepannya. Cinta itu bagus, tapi bayar kontrakan nggak bisa pakai cinta aja. Masak tiap pemilik kontrakan mau dipacarin?

Satu-satunya cara dapat suami bermodal ya kitanya juga mesti bermodal. Coba lihat pasangan berkuasa seperti Melinda-Bill Gates, atau Hillary-Bill Clinton. Semakin tinggi posisi seseorang, mereka butuh pasangan yang mampu membantu mereka maju dan bukannya malah memberatkan. 

Kebayang nggak kita mau curhat soal bisnis sementara pasangan cuma bisa ngomongin soal drakor. Atau pas dibawa formal dinner yang keselek minum wine karena pahit dan asam. Pasangan kan sekaligus aksesoris kita. Mana yang bikin kita disenyumin di kondangan? Tas Coach atau sendal jepit sw@ll0w?

Ini kenapa penting banget bagi kita wanita untuk mengejar pendidikan dan karir. Ibaratnya gini deh, mau nyari sepatu Jimmy Choo kan nggak ada di ITC Mangga Dua, kecuali yang KW. Ya kita mesti sanggup berkibar di dunia horang kaya kalau mau dapat horang kaya. Kalo kebetulan nggak punya ortu yang sanggup ngemodalin ala Nia Ramadhani-Bakrie, kita sendiri yang mesti usaha.

Kalau para pria diluar sana menganggap ini nggak bener dan wanita nggak perlu sekolah dan karir tinggi-tinggi, nggak kenapa. Beneran nggak kenapa selama Kangmas sanggup sediain deposito atas nama si anak untuk memastikan si anak bisa mendapat pendidikan setinggi dan sebaik mungkin mulai dari pre-school sampai lulus kuliah. S1 aja deh, ga usah Harvard MBA ala Nadiem Makarim. 

Sori dori stroberi ya, buah Rahim saya berhak mendapat yang terbaik. Buah Rahim saya berhak mendapat kesempatan menjadi Nadiem Makarim berikutnya. Titipan Tuhan lho, kita wajib merawat sebaik mungkin. Kalo situ ga bisa mengusahakan, saya yang akan mengusahakan sendiri.

Benar kan bu ibu?

Monday, October 7, 2019

Affordability



It's ok to not afford things. Or choose to not afford certain things. 

I realized this when I went for my Disney weekend. Was it expensive? Terribly. I was only allowed to pay a portion of it and it is still not cheap. Yet even after the damage was done the numbers on my credit card statement hardly scares me.

Five years ago I would be miserable. I remember going to Knott's the day after I was married and I keep asking him, "Is it ok? Can we afford this?" I wasn't working then, but even after I was working I was still pinching pennies.

For what, you asked. I dunno. Maybe it's the partner I have then. It's a constant feeling of we don't have enough. That we could use the money somewhere else. It was bitterness all around. Fear and uncertainty, too. Lots of it.

The biggest victory for me was gaining my financial freedom. In a crumbling marriage, tinkering with my bank accounts provide me with the feeling of control I so desperately needed. I can't fix my marriage, but holy hell buying jewelry and adult toys feels good.

I made the conscious decision to not afford certain things. I stay in my miniscule apartment. I don't have a car. I eat the same meal for lunch for a full work week. I budget for things I want and if I can get it cheaper I squirrel away the rest.

It's a sad life of extremely long commute. Of Whole Foods dinner date and budgeted groceries. Of an apartment so small and messy that when I took a man home most of the time it's only because I already know I don't want to keep him.

Yet it's also signing off the receipt for your boyfriend's souvenir glass as he argued "I can pay for this" while you smirked and said "I can, too." Because words can't fully explain the gratitude for the way he choose to love you.

It's the ease of getting two opera tickets instead of one, albeit only in an affordable section. Or to finally get that new bedframe so it doesn't creak as much when I am being 'active'. Or just to go eat wherever I feel like to.

By choosing to not afford certain things, I give myself a chance to afford other things. By choosing to not sweat on things I can't get, the peace of mind I feel only gets sweeter. The freedom is mine.

Life is a game of choices. I am grateful for where my choices brought me.

Friday, September 13, 2019

Ceban Tiga



Ditolak karena nggak putih? Ya udah sih. Ntar kalau dia ketemu yang lebih bening diselingkuhin.

Ditolak karena nggak kurus? Ya udah sih. Ntar pas bersua yang lebih singset dia kabur.

Ditolak karena muka ngepas? Ya udah sih. Ntar pas dikedipin sama yang cakep dia menghilang.

Ditolak karena nggak kaya? Ya udah sih. Kita kan nyari pasangan, bukan piaraan. 

Intinya sih kalau dari awal kita dianggap 'kurang', sampai akhir pun akan selalu ada yang 'lebih'. Bagus sekarang mau setelah kita berusaha jadi seperti maunya, tapi gimana nanti saat dia ketemu yang 'lebih'?

Mungkin saya ratu pede yah. Kalau dengar cerita teman yang emosi memaki pasangannya karena cemburu, saya cuma bisa berpikir: "Repot banget sih. Cari aja yang baru."

Belagu banget, padahal saya nyari pacar disini juga setengah mati hahaha. Tapi kan loyalitas itu ga bisa dipaksakan. Kalau dia ga setia ya mau diapain lagi? Yang rugi kan elu kehilangan gue.

Bukan masalah cakep nggaknya sih, karena jelas-jelas saya ngepas. Saya disayang karena apa yang saya bisa berikan. Pokoknya bahagia sejahtera lah sama saya. Itukan hebatnya wanita? Kita yang mendukung pasangan dari belakang?

Bukan juga masalah tekanan lingkungan, walau itu ngefek banget. Dianggap perawan tua atau nggak laku itu sedih banget, tapi sedih mana berpasangan tapi dianggap keset?

Yang pada mau milih-milih pasangan ya monggo. Kita wanita juga harus berani pilih-pilih. Males kan kitanya hebat dapat lelaki yang bangsat? Ingat lho, ibu yang ga bahagia anak bisa ikut sengsara. Hayooo. 

Ini sih akhirnya kenapa dulu saya jadi sama bule. Udah kepepet. Kalau sama-sama brengsek mending sama yang bisa diajak ngomong kan? Atau yang nggak ngejudge walau mukanya sendiri ngepas bagai dompet akhir bulan.

Takut? Banget. Apa kata dunia. Seumur hidup nggak nikah karena dianggap bekas bule. Tapi daripada saya sama orang yang pas diajak ngomongin politik di Amrik plus dampaknya di Indonesia malah ngajak ngomongin Kangen Water yah gimana ya.

Kita tuh berharga. Jangan mau ditawar ceban tiga sama orang yang harganya goceng sekresek. Atau usaha bikin sesuai pesanan tapi pas klien nemu KW yang lebih mulus dihajar juga.

Kalau masih ngerasa ga berharga, yuk sana tingkatkan kualitas diri. Karir, hobi, pencapaian, self love, ini semua modal kita. Kalau elu ga doyan gue ya derita loe. I love myself toh.

Tuesday, September 10, 2019

Menggugat Kekuasaan




Siang ini dibuka dengan berita dari teman saya: "Livi Zheng mengadukan tiga media ke Media Pers" dan hati saya pun langsung mencelos. Saya teringat jaman Orde Baru, yang mengkritik pihak berkuasa bisa langsung di penjara, bagus nggak di-petrus sekalian. 

Oh iya, jaman orde baru itu jaman diktator, jaman tiran. Semua media asing menggambarkan Soeharto sebagai diktator. Ya itu ciri-cirinya, kita yang nggak bisa bersuara tanpa mendapat sanksi. Jokowi mah nggak ada apa-apanya. Baik banget si Bapak ini kalau dibandingkan Soeharto.

Apakah mbak Livi berhak marah? Pembunuhan Karakter? Yuk mari lho. Boleh banget mengadukan keberatan itu. Yang sangat saya takutkan adalah uang berkicau dan artikel-artikel itu ditiadakan, walau sebenarnya bisa dipertanggungjawabkan.

Saya kebetulan baca semua artikel di media yang diadukan Mbak Livi ini: Tirto, Asumsi, GeoTimes. Isinya memang mencengangkan tapi bukan berarti tidak bisa dibuktikan. Soal aliran sumber dananya, soal kevalidan klaim Livi, bahkan soal rumahnya itu semua bisa dicek dan dibuktikan dengan mudah.

Satu-satunya kemungkinan adalah para media ini dijegal karena mereka nggak memberikan hak jawab atau mengkonfirmasi kepada pihak Livi. Ya udah sekarang daripada main adu-aduan pihak Livi tinggal menunjukkan bantahan bahwa informasi itu tidak benar. Selesai.

Jadi sekarang kita tinggal menunggu. Menunggu apakah Dewan Pers bisa subyektif dan mengklarifikasi mana yang dilakukan pihak 3 media ini yang salah, dan apakah info mereka memang benar. Ataukah ketiga media ini akan dipaksa meminta maaf tanpa dijelaskan apa yang salah.

Karena kalau iya, berarti nggak ada gunanya membuat jurnalisme investigasi. Nggak ada gunanya membongkar cerita yang sebenarnya. Diam saja, daripada nanti kena masalah. Biar saja kita percaya semua yang disuapi pada kita, sama seperti jaman OrBa yang kita rindukan. 

Ini lebih horror dari film horror manapun sih, but ok. Mungkin kita memang suka sama yang model seperti ini, dan bukannya yang seperti Pengabdi Setan.

Wednesday, September 4, 2019

The Rule of The Game



#RuleofTheGame

"Hey ya, sorry I was pissed when we went to the movie. The guy I was sorta with was being an ass that day. Men, ugh."

First rule, people: let it be known that you are not available before going out with someone that might harbor interest in you. This stays true regardless of what everyone's gender involved.

You have a bed warmer? Tell your 'friend' that went on a one-on-one 'hangout' with you that. Especially if your bed warmer is never in the picture, thus there is no way they would know that. Or if you are not interested in them romantically.

There are ways to subtly do this. "That's great! My fucktoy hate scary movies, so having someone to go with is fun!" You don't have to go full frontal with "I have a partner" or "I don't swing that way."

Some will feel offended, of course. "Do you really think you are that attractive that I actually want you??" Some, and this is important, will be glad they don't have to waste their time on someone who is not ready to be with them.

"But it's just a fucktoy, nothing serious." Well don't get mad when people got hurt or accusing you of friendzone because you deliberately leading them. It is a kinda selfish thing to do. You can't have your Kate and Edith too.

I can't stress enough how important it is to care and considered about other people's feeling. It won't take that much from us.

Tuesday, August 6, 2019

Days Without Incident



Cooking some Indonesian instant noodle at 11 pm in my microwave. Watching the bowl in the microwave go round and round. Sipping lychee beer from the can. Shoving a mouthful of the sodium-laden noodle in my mouth. It tasted like sawdust. I shove some more in. Eat. Eat. Eat. The floor looked so inviting. Maybe it will be comfortable enough with some blanket? 

Can't even look at the door to my bedroom. I don't want to go. Ac was on, bed was made, and my lovely boyfriend was in there sleeping peacefully. It was the last place on earth I want to go to. I can see myself swaddle in blankets on the floor. It will be safe. It will be perfect. Boyfriend wouldn't notice. But if he does, he'll be heartbroken. It is not fair for him. I went to the bedroom and lay next to him, silently crying myself to sleep.

It wasn't even his fault. It was an accident. We were together and something he did triggers my trauma. I was gone in an instant, spiraling down the hole. Even as he hugged me close, all I can think of was running away. A part of me knew it was him and I am safe with him, another part of me saw the past and was eager to run into the night. 

It's the memory of all the nights of crying silently in my marriage. Of sexual intercourse that was done only so ex-husband will shut up. Of being blamed for his inability to perform, from not appetizing enough to how slutty and despicable I am. Of wanting to be loved so badly but was treated like a piece of meat. Of wanting to run away but I'm 8000 miles from home. Of trying to get help but no one wanted to help. After all, am I not the gold digger?

My boyfriend was so remorseful when I told him he accidentally hurt me. He couldn't have known. I didn't even know. I should have told him when it happened. My excuse was it is not fair for him. It was not his fault that I am batshit crazy. It was late and he need sleep. The reality is I am scared to ask for help and got rejected again. I am scared he'll attacked me instead like my ex-husband did before. He is not that kind of man, but once you got bitten by a dog even the friendliest bark sounds like Cerberus' howl.

I hate it. I thought I did so well. I am learning to love again. I am treated respectfully and lovingly. Yet my shield is still up. My trust is still low. I am still falling again to the state of despair and fear, drowning in my emotion. I am still sitting in the bus, thinking to myself: "Death sounds very comforting right now." 3+ years of struggling and here I am. Days without incident: 0.

Monday, July 29, 2019

The Lighthouse



You can't hide integrity and loyalty. There's so much fakeness around that your well-meaning and sincerity shine as bright as a lighthouse in a stormy night.

Even when you are standing against the crowd, as long as what you believe is not based on malice or to cater your selfish ego you will still shine.

It takes a lot to be courageous. It takes a lot to be nice in a world full of disdain. It takes a lot to stay true when the darkness prevails. It takes a lot to shine.

At the same time, it doesn't take a lot to see through selfishness. Maintaining the illusion of keeping yourself together is harder than it seems.

People know backstabbers. People know those who think they are better than others. Weak mind and jealousy are dreaded accessories that we often unknowingly wear.

We can't see it because we don't think we are donning them. We believe in our glory and thus people must've seen us majestically and not as the laughing stock.

Yet the fairest judge is ourselves and how we choose to see ourselves. Are we the "Better than all" type or are we the "All be better" type?

The humble eyes that love our self with all our flaws. The loving heart that cares for others. The conscious mind that wish happiness for all, even on our enemy. How beautiful we can be if we choose too.

You can't fake who you are. People can choose to be duped or overlook the blatant cover-up, but who you are will always shows. Are you comfortable enough to let it shine?

Monday, July 8, 2019

A Dream is a Wish Your Heart Make



"But what if it doesn't work?"

A part of me roll my eyes every time the question popped up in my head. Then we get a new dick to ride on, I would crudely answer. What's the big deal? It's not like LA has limited options. 

Broken heart and emptiness inside are easily fixed with the song of the city. LA is a delectable lover that never leave me lonely and sad. I will be fine even without a special someone.

Yet the question persisted. I would glance at him and feel like the world is all right, only to be replaced by the icy cold feeling that it will not last. Soon enough the spell will be broken.

He would grew tired of my insecurity. He would be bothered with my clumsiness. He would be annoyed with how I viewed life. He would be repulsed with my many self-centered hobbies. 

I am not pretty enough to make him stay. Not vivacious enough to be kept. Not rich enough to give him a pampered life. I can't even use the correct tenses and gender pronouns. 

I don't deserve this. I know I don't. He could very well be sending me on my way like I did to men before him, or I can send him off because I am too broken and stupid to know how to love.

And then death will come. Not a real death, but the emptiness in his heart where love no longer reside. The way his eyes will turn into dark abyss where the light can't reach. And then it will be over. Again.

I should stop thinking about it, because it is a self-fulfilling prophecy. And honestly, good dick is really not hard to find. I should just enjoy what I have now instead of fretting the future. Am I not one tough cookie?

Insecurity is an ugly monster that makes you feel and look worse than you really are. It's not sexy. It's disgusting. It also very conveniently drown you alive, suffocating you and preventing you from being, well, alive.

I am fighting it even though it seemed like a lost battle. There are too many times I want to call it off and run away. I didn't, though. Not yet. Good job, Ary. One step at a time. We can do this. We deserve this.

And one day maybe, just maybe... "A dream that you wish will come true..."

Wednesday, June 26, 2019

Mengejar Kebahagiaan




Kemarin si kangmas mengajak saya ke restoran rooftop untuk merayakan 6 tahun saya datang ke Amerika. Diantara lantunan merdu penyanyi jazz dan pemandangan Hollywood dan sekitarnya, saya seolah terpaku dengan pemandangan di depan saya, si kangmas yang terus tersenyum pada saya.  

Saya tuh banyak maunya, makanya setelah bercerai saya hampir nggak pernah punya pacar. Dua kali punya pacar nasibnya cuma 3-6 bulan. TTM juga masa pakainya segituan. Lewat 6 bulan saya sudah hilang sabarnya dan merasa tidak nyaman. Padahal mereka semua orang baik.

Tapi saya mau yang pintar, yang bisa diajak mengobrol sampai larut malam dan nggak malu-maluin saat dibawa ke kondangan. Saya mau yang tahan banting seperti saya, tapi sekaligus penyayang dan pengertian (juga seperti saya). Saya mau yang asyik tapi bertanggung jawab. Saya mau seseorang yang membuat saya nyaman dan pede lahir batin.

Padahal sudah bagus ada yang mau sama saya, iya nggak? Yang penting kan pria itu bertanggung jawab, lahir batin. Syukur-syukur baik dan nggak main tangan. Jadi perempuan kok banyak maunya? Emang elu secakep apa sih, nggak bersyukur banget jadi orang??

Susah sih. Kalau saya ternyata merasa orang ini bukan standar saya, selama saya bersama dia saya akan tersiksa. Bagus kalau cuma akhirnya berpisah, nah kalau malah selingkuh? Bagi orang ini pun, apa iya seumur hidup bersama orang yang tak sepenuhnya nyaman itu adil? Dia kan juga berhak dicintai dan merasa bahagia.

Logika begini tapi seringnya nggak masuk. Yang keluar adalah kita harus bersyukur kalau punya pasangan. Telan perasaan hampa itu. Fokus ke keluarga. Selama sandang pangan papan kita cukup, kita nggak berhak merasa kekurangan. Banyak orang lain yang lebih buruk nasibnya.

Sayangnya saya nggak peduli dengan orang lain. Saya ingin bahagia, titik. Saya tahu resikonya adalah saya akan sendiri untuk waktu lama, tapi itu lebih baik daripada bersama seseorang yang membuat saya tersiksa atau merasa lebih sendiri.

Pasangan itu idealnya bukan hanya melengkapi, namun juga membangun satu sama lain sampai tahap dimana kita berdua lebih joss daripada kita sendiri. Nggak ada salahnya mencari pasangan ideal ini, baik saat single ataupun berusaha agar pasangan mengerti apa yang kita butuhkan.

Tentunya kegagalan itu sangat mungkin, entah karena nggak hoki bertemu dengan orang yang kita idamkan, atau bila berpasangan si pasangan tidak mampu (atau tidak mau) mengerti apa yang kita butuhkan. Bila ini terjadi, kita bisa menerima keadaan atau terus berjuang. 

Tapi jangan pernah sekalipun berpikir bahwa kita tidak berhak bahagia. Bahwa kita harusnya bersyukur akan apa yang kita miliki dan kita tidak pantas mendapat lebih. Talak ukur bahagia seseorang itu berbeda-beda. Apa yang kita rasa 'benar' dan 'membahagiakan' belum tentu apa yang ia perlukan. 

Jangan menghakimi teman yang sedang mencari kebahagiaannya, namun bantulah ia mendapatkannya dengan cara yang baik. Dia butuh dukungan dan mungkin pengingat agar ia tidak menyakiti orang lain atau dirinya sendiri dalam pencariannya. Dia jelas tidak butuh dibuat merasa lebih tidak berharga,

Karena kita semua berhak bahagia. Harga yang kita bayar untuk kebahagiaan kita berbeda-beda, namun selama kita sanggup membayarnya, kenapa tidak? Jangan memaksakan diri untuk menerima standar orang lain bila itu tidak membuat kita bahagia. Saat terpuruk pun berbanggalah karena kita sudah berusaha membahagiakan orang yang paling penting dalam hidup kita: diri kita sendiri.

Hari semakin larut dan kami pun bergegas pulang, tangan saya digenggam erat olehnya. Saya tersenyum padanya dan ia pun tersenyum balik. Hati saya seolah meledak dalam kebahagiaan. Saya bahagia. Akhirnya.

Tuesday, May 28, 2019

Under The Green Grass


I am struggling to write pretty things for Memorial Day. Yet I can't find pretty things. Not for this.

Death is ugly. Forgotten death is worse. Being hated in death is the worst.

It's easy to forget where we were coming from. A safe and lush life, a place where lives are not numbered by days or even hours. It's easy to forget to whom we owe this peace.

It's easy to be angry to what seems to be an act of agression or violence, to assume it was done as a collective action where everyone is in agreement. It's easy to forget each has a face, each has a name.

To me, it's not that easy. Indonesia is only 73 years old. All I need to do is walk into one of the musty war museums to cry myself over the pictures and the dioramas. Over the pictures and depictions of the dead soldiers.

They were dead. Their opponents are dead. Songs are sung about their leaders and the surviving leaders easily nabbed a place in the government. But the dead stays dead, and for most, forgotten.

It is not my right to judge these people, for I know nothing about their motives. I know nothing about why the soldiers march to wars, why they choose to be a part of it. I know nothing about them.

What I do know is the grass is green in the cemetery, and the body beneath it nourished the land. What I do know is I choose to recognize what they have fought for and not taking it for granted.

War never ends. Different backstory, same result. It is a game of throne played by different players and utilizing different factors. Yet the dead stays dead. And more, inevitably, is coming.

Let me sat here next to you in your forgotten headstone, covered in rust and hidden beneath the weed. Let me kneel in respect for you in the forgotten battleground, forever lost from human memory.

Thank you for your sacrifices. Thank you for the life you have given, in exchange to ours. Thank you for marching in that battlefield. Thank you, fallen soldiers. May you find peace that you deserves.

Thursday, May 16, 2019

The Mad Queen



I had a very misogynistic discussion with a guy who was committed in saying how terrible Dany is and how great Jon Snow is. It was bad. It was the whole manner of "You don't know any better!" and the seething anger towards women. I didn't even start it, he just come at me out of the blue.

The analogy was also clear. I am Dany and he's Jon Snow. I used to see him for a brief moment a long time ago and I am now in a serious relationship. And they say we women are extra.

My ex-husband did the same thing merely days ago. He kept trying to make me feel worthless and asserted his ownership on me. When I listed the reason why he sucks, he brushed it off and saying I only say that because I am in the midst of moving to a new apartment i.e. not in my best mind.

This is why Dany matters. At least to me.

It's unpleasant to have something choked down our throat when we don't give consent to it. It's unpleasant to have our thoughts questioned because we're women. It is unpleasant to be put down or told to accept things just because of our gender.

It's being blamed for our insanity when we were driven, nay, herded to it and no one bother to stop or save us. It's being accused as a bad person when we choose to stand up and not taking the abuse any longer. It's being called crazy when we finally had enough with the abuse and neglect and just flipped out.

Just like Dany, we women will pay for it. The worst we can do is key someone's car and the worst men can do is killing us, but we're the cuckoo ones. One moment of insubordination and we will pay for it as long as we live. Because being broken is unaesthetic. Because bitch be crazy.

Each one of us women probably have experienced that moment, where Dany was on the back of her dragon with an anguish look in her face. It was a fight or flight moment, where she could have just fly out in peace or throw herself in the fiery flame that will destroy everyone even the innocents.

Sometimes we can have the strength and the logic to take flight instead. Sometimes we choose to indulge and torched everything down, knowing fully well we'll be burned as well. Whatever we choose and regardless of the consequences, it doesn't negate our feeling or why we choose that path. 

Let the dragons fly again. Let us be feared if they won't learn to love. Let the ashes fall like snow.

Thursday, May 9, 2019

Raden dan Ratna




Lelaki muda itu menunduk pasrah. Dia yang parasnya begitu menawan, yang membuat para wanita histeris hanya dengan kehadirannya, kali ini berharap ia tak setampan itu.

Ruang tamu itu hening, walau kedua orang tuanya duduk di sofa berhadapan dengannya. Isak tangis ibunya sesekali terdengar, yang walaupun lirih terasa seperti dentuman meriam di telinganya.

"Pah..." Ia memberanikan diri membuka percakapan. Ayahnya hanya diam, dengan pandangan mata yang menusuk. "Pah, Raden bisa jelaskan..."

"Apa yang mau kamu jelaskan?" Tukas ayahnya. Ibunya menangis lebih keras.

"Ini tidak seperti yang Papa pikir."

"Memang kamu tahu Papa pikir apa?"

Ia menunduk kelu dan menyumpahi dirinya yang terlahir rupawan. Ia menelan ludah. 

"Aku tidak meniduri Melati." katanya dengan tegas, bersyukur bahwa ia tidak membasahi celananya.

Ibunya terisak makin tidak terkendali. Ayahnya masih menatapnya dengan amarah yang tak tertutupi.

"Tiga orang, Raden. Tiga orang yang melihat kamu telanjang di tempat tidur bersama Melati," bisik ayahnya. Ia pun panik.

"Pah, itu teman Melati semua! Raden bahkan tidak pernah sekamar dengan Melati!!"

"Diam kamu!!" Suara tamparan bergema kencang di ruang tamu. 

"Kamu membuat malu keluarga!" Suara tamparan lagi.

"Beraninya kamu meniduri seorang wanita tanpa menikah! Binatang apa kamu?" Suara tamparan lagi, kali ini berulang kali.

"Cukup, Pah," seru ibunya tegas. "Bila berbekas, semakin buruk kita di mata tetangga."

Suara nafasnya yang menahan tangis dan sakit memenuhi ruangan, sebuah melodi tragis yang bercampur dengan suara nafas ayahnya yang menahan amarah.

"Raden," panggil ibunya dingin, "Kamu tahu kamu itu apa?"

Ia tidak sanggup menjawab diantara kesakitan yang ia rasakan. "Saya laki-laki, Mah," ujarnya lirih.

"Laki-laki. Kamu laki-laki. Sumbangsihmu pada dunia hanya membuahi dan menafkahi."

Ia menangis pilu. Ia tahu apa yang akan ibunya katakan.

"Papa Mama membesarkanmu agar kamu bisa menjadi pasangan bagi wanita yang baik, yang mampu melahirkan dan membesarkan anak-anak yang baik pula."

Airmatanya makin tak terbendung. Ia telah gagal sebagai anak.

"Kami menyekolahkanmu agar kamu bisa cukup pantas menjadi seorang suami, yang mampu menafkahi dan merawat keluargamu. Kamu hanya harus menjaga kehormatanmu, kehormatan keluargamu, dengan tidak berlaku seperti binatang."

"Mah, Melati bohong!!" Teriaknya.

"Diam kamu! Beraninya kamu berteriak pada saya, ibumu!!!" Jerit ibunya.

"Kamu hanya harus mempertahankan kehormatanmu, karena hanya itu yang bisa kamu persembahkan sebagai bukti harkatmu dihadapan calon pasanganmu!"

"Mah, Melati bohong!!!!!"

"Dan kamu gagal!!!! Kamu gagal!!!!!!"

Mereka berdua terisak. Sang Ibu dalam amarah, ia dalam kepahitan.

"Sekarang semua akan berpikir Papa Mama tidak sanggup mendidik anak. Anjing saja bisa diajar untuk tidak makan yang bukan haknya, kamu bahkan tidak bisa menahan nafsumu."

Ia terisak. Kekecewaan ibunya begitu dalam ia merasa lebih terluka daripada terkena tamparan keras ayahnya.

"Cuci mukamu dengan air dingin," perintah ibunya. "Kamu akan naik pelaminan bersama Melati akhir minggu ini. Jangan sampai merahnya membekas."

"Mah, jangan!!" serunya panik, "Mama nggak bisa begini sama Raden!! Raden mohon, Mah!!"

"Raden sudah menjaga kehormatan Raden demi Ratna. Kami sudah berencana menikah! Raden mohon Mah, jangan paksa Raden menikahi Melati!!"

Ibunya hanya berdiri diam tanpa ekspresi.

"Pah, tolong Pah. Tolong Raden!! Melati bohong!! Melati sengaja menyebarkan berita ini karena tahu Ratna lah yang Raden cintai. Tolong Raden, Pah!!!"

Ayahnya melihatnya dengan sedih.

"Kalaupun benar seperti yang kamu bilang," kata ayahnya, "tidak ada bedanya. Semua orang sudah mencapmu kotor dan tidak ada harganya."

"Tapi Ratna... Ratna tidak akan melihat Raden seperti itu. Ratna akan mengerti apa yang terjadi."

"Dan kamu pikir keluarga Ratna mau menerima kamu yang ternoda begini?" Tawa ibunya histeris. "Kalaupun Ratna mau menerima, kamu rela dia dicibir dan digunjingkan seumur hidup karena menerima barang bekas?"

Ia terdiam. Terdiam. Lalu ia menjerit frustrasi. Terus. Terus. Terus.

Ibunya beranjak pergi tanpa menoleh pada anak satu-satunya yang sekarang meringkuk di lantai, yang luka hatinya lebih menyakitkan daripada bibirnya yang berdarah dan pipinya yang penuh bekas tamparan.

Namun ayahnya tetap duduk di sofa, menunggu hingga teriakan dan isak tangis anaknya mereda sebelum beringsut duduk di lantai, membelai punggung dan kepala anak tercintanya.

"Nak," katanya pelan, "ini nasib kita sebagai lelaki. Kamu mungkin tidak mencintai Melati, tapi ini satu-satunya kesempatanmu untuk setidaknya hidup terhormat.

Papa tidak ingin kamu dikucilkan, dilecehkan, walau Papa yakin kamu berkata yang sebenarnya. Ini lebih baik daripada hidup sebagai pariah, sebagai orang buangan."

Ia terus terisak. "Ratna..." Bisiknya. "Ratna..."

Ayahnya mengusap airmatanya yang juga mengalir.

"Sabar ya nak. Alihkan cinta kasihmu yang tak sampai pada anak yang nanti akan kamu miliki bersama Melati. Inilah tugas mulia kita sebagai lelaki, menjaga dan merawat keluarga kita."

"Papa minta maaf," tambah sang ayah dengan suara tercekat, "Papa minta maaf karena tak mampu menjagamu dari dunia yang tak adil ini. Papa tak mampu memastikan kebahagiaan yang patut kamu dapatkan. Papa minta maaf, Raden. Maafkan papamu yang lemah ini."

Ia mengangkat kepalanya dan melihat ayahnya yang berurai air mata. Ia memeluk ayahnya dengan erat, dan mereka pun menangis berdua.

Friday, May 3, 2019

Rasa Indonesia



Seorang teman bercerita tentang gebetannya yang kabur setelah beberapa kali mengajak 'ngamar'. "Padahal dia ngomong seolah gue segalanya," keluh teman saya. Saya manggut-manggut. "Emang okeh banget mainnya sampai elu repeat performance?" tanya saya. "Umm… Kategori oke banget itu gimana?" Wattt?????

Saya sih nyaman banget dengan bodi saya yang rada bulat ini. Tetep cantik dan menarik, kata saya. Namun orang-orang seperti lelaki ini yang bikin saya ingin punya bodi seperti Megan Fox: biar saya bisa merayu lelaki, memakainya semalam, lalu meninggalkan mereka dengan patah hati.

"Ha!" kata para lelaki. "Kayak bisa aja loe!" Gimana yaaaa…. Elu cuma dapet pasangan yang mau saja dibohongi, yang bahkan ga tahu orgasme itu seperti apa. Sementara partner-partner gue yang punya banyak pilihan dan mereka tetap kembali pada rasa Indonesia. Gimana tadi soal jago-jagoan?

Satu hal positif yang bisa saya lihat dari hubungan bebas di Amerika adalah: orang tahu mereka bakal diomongin. Lelaki disini lebih tahu diri karena a) kalau mainnya jelek bisa diumbar ke seluruh dunia oleh pasangan mainnya, dan b) pasangan main punya perbandingan jadi memang benar tahu mana yang okeh dan mana yang nggak. Nah.

Ini mungkin kenapa ego lelaki di Asia cenderung lebih besar, karena seks dianggap tabu dan mereka sendiri nggak punya perbandingan. Jadilah punya timun local berasa punya timun suri. La la la. Atau cuma bisa bikin telor ceplok tapi berasa chef. Malu gitu sama yang bisa bikin quiche ato shakshuka.

Buat para mas mas dan oom oom ini yang pikir kalian itu hotshot dan super keren: You're not. Nggak banget. Nggak ada kerennya menipu orang demi seks dengan bujuk rayu tanpa niat untuk menjalin hubungan. Ngebayar pasangan untuk seks juga kok elu kasian banget? Pribadi loe seberapa nggak bangetnya sih sampe untuk seks mesti bayar atau menipu orang?

Saya nggak bisa bilang jangan terbuai bujuk rayu. Gimana dong kalau memang terdengar begitu indah? Kita kan ingin disayang, ingin dianggap spesial. Saya saja bisa kok dengan gobloknya mau pindah ke Amerika walau semua tanda bahaya dan sirene menyala kencang. 

Saya nggak bisa bilang jangan terbuai, tapi saya bisa bilang kita lebih berharga dari itu. Kita lebih berharga dari sekedar penghangat kasur. Kasur butut saja bisa bertahun-tahun dipakai karena mahal dan susah belinya. Masa kita rela dipakai sebentaran saja lalu dicampakkan.

Kalau ada diantara anda yang memang hobi seperti saya, ya monggo lho. Nggak kenapa iseng-iseng nyobain, asal aman. Dan kalau si lelaki marah karena merasa terinjak harga dirinya (baca: rayuannya nggak mempan), yuk toss dulu ahhh. Nanti kalo ke LA bilang yak, I'll buy you a drink hahaha.

Apakah saya wanita yang tidak baik? Gimana ya… semua mantan dan ttm saya sih bilang saya wanita yang sangat perhatian dan merasa mereka sangat dihargai, termasuk urusan ranjang walau libido saya diatas rata-rata. Nilai wanita kan bukan cuma sekedar lubang diantara kedua paha kami.

Jadi kalau kalian mengandalkan bujuk rayu bahwa anda terbaik di dunia, atau bila anda mendapat bujuk rayu bahwa si lelaki yang terbaik di dunia, yeah, maybe not hahaha. Karena yang terbaik untuk kita nggak akan melukai kita. Karena yang terbaik untuk kita akan memikirkan yang terbaik untuk kita. 

So yeah. Please jangan bikin saya pengen diet dan rajin olahraga biar bisa ngejitak kalian yang ngaku buaya tapi nggak jelas. Terlalu banyak juga abang ganteng model T-Rex di Los Angeles yang bisa saya cicip, males banget ga sih sama tokek ngaku buaya. Yuk ah saya kencan dulu. Byeeeee…..

Wednesday, May 1, 2019

Make The Fiddle Sing



Sometimes you just need to play the fiddle right, to make it sing passionately and take your breath away.

I would say this is not uncommon, that moment when you see the person you were with before doing something that he/she refused to do before. 

Suddenly they are swing dancing so happily, but they refuse to take lessons back in the day. Suddenly they are baking like a chef, but they won't even cook instant noodle before. Suddenly they are the ultimate sex-bomb, but they were so prude before a nun would look sinful compared to them.

Some changed, of course. Separation brings the best or the worst of people. It leads us to such extreme that we often find ourselves in the "Fuck it let's do it" moment, and somehow the experience got stuck with us and become a part of our personality.

Some, however, found someone to coax that side of them. 

They were probably already good with the beat but you keep finding fault with them. They probably wanted to try to cook but what they prefer was not what you prefer. They probably were closeted nymphos but you didn't feel safe for them. And then this person, or these people, came along. Suddenly what doesn't feel right when they were with you feels just perfect when they are with these people. 

A lot of it is chemistry and compatibility. We all need to be in a certain comfort level to try and/or keep doing things that are new to us. Some of it are also our own doing, the way we treat our partners and the way we made them feel. Some of it is just how the dice rolls, circumstances and conditions that are not allowing either of us to be happy together. 

It hurts like hell to see someone we (used to) love doing things that they won't do with us. If you feel this way, remember that stories have character developments. They grow into what they are now, and that is okay. Vice versa, if you think you hate something or a person make you feel like you can't do it, the right person will swing you that way if that's truly what your heart desire.

Make that fiddle sing. You know you want to hear it sing. You know you want to sing.

Tuesday, April 30, 2019

Mari Bicara



Seorang calon tentara Amerika yang belum lama memeluk Islam ditangkap karena merencanakan terror bom besar di Los Angeles untuk membalas si penembak massal di Christchurch, Selandia Baru.

Jadi… Kita di Indonesia sudah siap belum membicarakan ini?

Islam bukanlah agama terror. Islam jadi identik dengan terorisme karena orang-orang seperti ini yang menyerang orang lain dengan alasan membela Islam, menjalankan perintah Tuhan. Apa iya Islam seperti ini? Atau mereka saja yang mencari pembenaran akan kebiadaban mereka?

Jawabannya sudah jelas. Kalau anda baca artikel yang saya link dibawah atau anda gugel ceritanya, orang ini diberhentikan sebelum lulus jadi tentara resmi karena melanggar aturan. Jeng jeng jeng. Buat saya kedengarannya dia bakal jadi militan dan buas untuk alasan apapun, kebetulan saja nyangkut di Islam.

Tapi yang orang lihat kan bukan psycho nya dia, melainkan lagi-lagi Islam dikaitkan dengan terror. Sampai kapan? Mau menyalahkan orang (baca: media barat) pun sebenarnya kita harus berkaca dulu. Pengebom Sri Lanka siapa? 

Kekejaman terjadi dimana-mana, tapi disaat targetnya global, berskala tinggi, dan high publicity impact yang mana dilakukan atas dasar ideologi tertentu, jelas ideologinya yang jadi terlihat buruk. Walau sebenarnya mungkin hanya dihijack/dibajak orang tidak bertanggung jawab.

Dengan diam, kita memberi sumbangsih akan kesalahpahaman ini. Dengan menutup mata akan ketidakadilan terhadap umat beragama lain di Indonesia, atau memalingkan wajah saat umat beragama lain diserang atau diancam, kita berperan dalam kesalahpahaman ini. Karena kita memafhumi kekerasan atas nama Islam.

Kita takut apa sih untuk berani bilang "Jangan begitu dong!" Takut dibilang bukan umat Islam yang baik? Tapi kalau yang dijual kebencian dan amarah, apa iya itu cerminan Islam? Apa nggak pilu hati melihat Islam yang damai dan menyejukkan dihancurkan seperti itu?

Tiga puluh tahun lebih hidup di Indonesia, Islam yang saya tahu adalah Islam yang damai. Adalah satu dua teman yang membuat saya berkata "Apaan sih loe?!" tapi lebih banyak yang membuat saya damai. Itulah kenapa penting bagi saya dunia tahu Islam itu damai.

Kekerasan, kejahatan, kemampuan untuk menyakiti seseorang bukanlah sesuatu yang naluriah ada dalam diri manusia. Kenapa kita percaya kitab suci wahyu Tuhan dan Tuhan sendiri mengajak kita berbuat kejam? Tuhan kita yang sebegitu sayangnya sama mahluk ciptaannya.

Kita bisa terus pura-pura nggak lihat. Ya udahlah, daripada bertengkar di grup Watsap. Ya udahlah, daripada panjang pas lagi sowan. Ya udahlah, toh gue nggak. Dengan setiap 'Ya Udahlah' bibit 'Oh jadi nggak kenapa gue menyakiti orang' itu bertumbuh besar. Ga kenapa, toh orang cuek. 

Dan kekerasan demi kekerasan pun terjadi, sebuah simfoni bengis yang semakin memupuk ketidakpercayaan orang akan Islam, dengan gelegar membahana memastikan bahwa orang mengingat Islam, walau bukan untuk alasan yang baik.

Kita nggak bisa mendapatkan hormat dengan menebar kebencian. Kita hanya bisa mendapatkan hormat dengan menabur cinta dan kasih sayang. Kalau anda merasa Islam dibenci dan jadi bulan-bulanan, mungkin sudah saatnya kita tidak lagi memalingkan wajah akan kekerasan yang dilakukan dalam nama Islam.

https://www.yahoo.com/news/apnewsbreak-bomb-plot-suspect-kicked-army-183057893.html

Search This Blog