AdSense Page Ads

Monday, November 4, 2019

Si Madu



Apa rasanya jadi istri kedua? Saya nggak pernah merasakan jadi istri madu sih, tapi tiga hubungan serius saya adalah dimana saya menjadi pengganti seseorang. Itu butuh mental yang kuat lho.

Karena butuh mental yang kuat untuk melihat dinding rumah orangtuanya dipenuhi foto si pasangan dan mantan istrinya bersama anak mereka. Buat si kakek nenek foto cucu paling penting dong, jadi istri baru ya tinggal elus dada saja.

Karena butuh kulit badak untuk nggak emosi saat melihat pasangan lama sinis terhadap kita. Butuh kelegowoan juga untuk mengerti perasaan mereka dan turut sedih akan kekecewaan mereka. Siapa sih yang ingin dilupakan dan tergantikan?

Karena butuh kedewasaan untuk memilih diam di mobil saat pasangan menjemput si anak dirumah mamanya agar sang ibu tidak merasa terancam. Berat lho melepas anak untuk bersama si pengganti. Kenapa juga mesti kita perparah?

Karena butuh hati yang lapang untuk mampu menyayangi anak pasangan dari hubungan sebelumnya dan bukan malah cemburu buta. Untuk mampu menempatkan kebahagiaan mereka sebagai prioritas karena kan mereka nggak memilih kondisi keluarga begini.

Saya nggak tahu rasanya dimadu atau jadi madu karena saya harus selalu nomor satu. Tapi bukan berarti saya nggak perduli perasaan orang lain. Bahkan dengan pacar saya yang anaknya sudah kuliah saya masih bertanya: "anakmu nggak kenapa aku sama kamu terus?" "Mantan istrimu nggak kenapa aku datang ke acara kalian?"

Bukan karena saya nggak berhak. Saya berhak jadi wanita nomor satu dalam hidupnya. Tapi dia kan perannya paling utama sebagai seorang bapak. Dan saya yang baru sekian bulan bersamanya nggak berhak menyuruh dia melupakan seseorang yang dulu sekian tahun bersamanya.

Kita menaruh tekanan akan keridhoan istri tua, dan ruang diskusi seolah tentang kesiapan si wanita dimadu. Nggak banyak kita berdiskusi soal kesiapan istri muda membantu si istri tua, apalagi kesiapan si bapak memastikan kesejahteraan secara adil untuk semua anak dan istrinya.

Berapa banyak dari kita yang berani bilang, "Kalau abang mau kawinin saya, apa jaminannya anak dan (mantan) istri abang tetap ternafkahi?" Berapa banyak dari kita yang rela menjalin hubungan dengan resiko nafkah kita sedikit karena sadar nafkah utama adalah jatah keluarga pertama?

Seperti cerita teman saya yang menuntut mantan suaminya membayar biaya asuh anak mereka. Si mantan suami berargumen di pengadilan bahwa ia punya istri dan tanggungan baru, jadi biaya asuh harus dikurangi. Hakim menjawab: "Siapa suruh kamu menikah lagi?"

Bagi kebanyakan orang sini, mangkir dari menafkahi anak itu pertanda orang ini nggak benar. Jauh-jauhlah pokoknya. Ini standar yang saya harapkan ada di Indonesia. Kalau doyan bikinnya, nafkahinnya juga mesti getol dong?

Ini juga yang harusnya jadi standar untuk menjadi/memilih istri baru. Kalau si lelaki nggak perduli ada yang terluka karena kehadiran yang baru, apa iya anda bisa merasa aman menjalin kasih dengannya? Kalau si perempuan yang nggak perduli, apa ini orang yang anda inginkan menjadi ibu dari anak-anak anda?

Tapi kan kita nggak mikir sejauh itu ya. Karena percaya deh, kalau baik si lelaki maupun perempuan berpikir keras akan apa kewajiban dan sumbangsih istri/pacar muda/baru untuk menyejahterakan keluarga, jumlah orang yang punya/jadi istri/pacar muda/baru pasti berkurang drastis.

Belum terlambat untuk berpikir lho. Karena bukan yang lama saja yang mesti terima nasib. Kita yang baru pun harus bisa kuat dan welas asih. Kalau bukan kita yang wanita membantu sesama wanita, siapa lagi?

No comments:

Post a Comment

Search This Blog