Teman saya anak perempuannya besok akan menikah. Keduanya akan mengenakan gaun pengantin. Menurut cerita teman saya, anak perempuannya sebenarnya akan mengenakan tuxedo, tapi saat ia ikut pacarnya mencoba baju pengantin, ia pun ingin mengenakan gaun.
Mereka berdua perempuan, kalau sampai sejauh ini anda nggak ngeh.
Sama dengan teman saya yang lain yang anak perempuannya transisi ke menjadi lelaki, mereka berdua termasuk generasi tua yang tidak mengerti soal begini. Walau demikian, mereka tetap menyayangi anak-anak mereka.
Buat saya menyebalkan saat mendengar orang: "Yah gue sih nggak kenapa selama bukan (anak) gue". Baik soal LGBTQ, soal poligami, soal apapun yang kontroversial, omongan begini justru nggak menunjukkan toleransi. Gpp selama bukan gue, kan?
Sebaliknya, saat teman saya yang anaknya akan kawin ini diserang dan dicap buruk karena menyatakan ia tidak setuju perkawinan sesama jenis disahkan saya juga marah. Hak dia dong berpendapat. Yang nggak boleh itu saat dia mendiskriminasi orang-orang yang nggak dia sukai.
Toleransi itu bukan berarti harus menerima buta. Bukan pula menerima tapi dengan catatan. Toleransi itu adalah walau kita nggak setuju, kita tetap menghargai pihak lain dan bukannya menyerang. Bahkan kalau, sori, apalagi kalau pihak lain itu kebetulan orang terdekat kita.
Susah sih. Bahkan imigran Indonesia yang sudah berapa dekade disini pun sering saya lihat bersikap takut atau jijik terhadap para LGBTQ. Orang asli sini yang di daerah desa juga begitu. Mitos-mitos seperti bahwa ini menular atau pelaku dengan aktif menularkan pun masih marak.
Faktanya nggak semua cowok gay itu melambai dan nggak semua cewek lesbian itu tomboy. Nggak juga yang gay itu bakal langsung mepetin anda yang lelaki dan yang lesbian cari mangsa perempuan. Mereka juga punya standar kaleee.
Apakah lingkungan berpengaruh? Jelas. Tapi nggak seperti yang anda pikir. Saya, misalnya, disini bisa lebih vokal mengapresiasi perempuan cantik karena nggak ada yang protes. Bukan berarti saat di Indonesia saya nggak mengapresiasi, saya cuma nggak bersuara.
Mungkin saya yang pemikirannya terlalu radikal dan terlalu cuek. Buat saya semua orang sama. Mau elu pelacur atau pendeta, mau elu suka sama siapa itu bukan masalah gue selama elu nggak ngincer pasangan gue. I don't share.
Buat saya orang yang selingkuh dan/atau nelantarin keluarganya apalagi anak-anaknya lebih berdosa. Buat saya yang korupsi/mencuri hak orang lain itu lebih berbahaya. Buat saya yang memperlakukan pembantu/bawahannya seperti budak itu lebih biadab.
Bukan berarti mas mbak bisa langsung pamer kemesraan depan umum ya. Yang beda jenis saja jadi gosip lolo. Aturan sosial kita masih ketat lho. Netijen yang ganas membicarakan seleb pakai bikini, misalnya. Atau sejuta grup Julid yang masih mencap Janda = gatal.
Saya nggak tahu banyak soal ayat agama atau apa maunya Tuhan. Saya masih belum bertemu dengan Beliau. Yang saya tahu sih nggak ada orang yang berhak dihina atau dicaci, atau dianggap najis dan nista karena siapa dirinya.
Yang saya tahu, kalau mereka main ayat disini saya nggak bisa kawin/pacaran sama bule kulit putih. Saya bahkan nggak boleh sharing air minum sama mereka. Dan ya, mereka berhak memperlakukan saya seperti warga kelas dua atau bahkan seperti binatang.
Saya nggak bisa memaksa yang nggak setuju jadi setuju. Itu hak anda untuk nggak setuju dan saya mengerti ketakutan anda. Sesuatu yang baru dan dirasa tidak seharusnya itu bukan hal yang mudah untuk diterima. Nggak kenapa kok. Yang penting ayo kita coba jangan menyerang atau mendiskriminasi.
Semua orang berhak dicintai dan mencintai. Saya nggak bisa merubah perasaan orang lain, saya nggak bisa membuat mereka menerima anda. Tapi saya bisa tetap ada untuk anda. Sebagaimana saya ada bagi sekian banyak orang yang butuh tempat bercerita tentang hubungan mereka.
Saya disini ya, mas mbak. Peluk hangat bagi yang tersembunyi. Kecup sayang bagi yang kesepian. Saya disini untuk kalian.
No comments:
Post a Comment