AdSense Page Ads

Showing posts with label Internet. Show all posts
Showing posts with label Internet. Show all posts

Sunday, August 16, 2015

Elanto dan Internet: Hadiah Terbaik Dirgahayu Indonesia yang ke 70

Mungkin 'hadiah' paling berharga untuk Indonesia di ulang tahunnya yang ke-70 adalah penduduknya yang mulai 'melek' internet dan berani 'bersuara'. Setelah sekian lama kita cuma diam mengiyakan apa kata TVRI dan cuma bisa berspekulasi apakah ikan tangkapan pak Harto hanya trik biasa atau memang dia jago, sekarang ini kita bisa mengutarakan pikiran kita dengan lebih bebas. Yang mana munculnya Elanto-Elanto yang berani menghadang konvoi MoGe. Mampunya kita menekan polisi untuk mengusut tuntas kasus Angeline. Didengarnya suara rakyat yang menolak dana-dana tidak jelas DPR. Ini semua berkat internet dan psy-war pemilu 2014.

Pastinya para penggagas psy-war pemilu tahun lalu tidak menyangka efeknya akan sebesar ini. Atau sebelumnya, penggagas kampanye via internet yang sukses (seperti tim Jokowi-Ahok) pastinya tidak menyangka akan seperti ini. Attack, counter-attack, apapun dilakukan dan dihalalkan untuk menarik perhatian ke satu kubu dan mencoreng kubu lainnya, elegan atau tidak itu bukan masalah. Kubu tandingan tentunya tidak mau berdiam diri dan ikut dalam perang tersebut. Masyarakat jadi terbagi, terbelah. Saya sendiri sampai kehilangan teman gara-gara dukung-mendukung tersebut. Sampai sekarang, yang pemilu sudah selesai dari kapan tahu, masih saja ada sisa-sisa yang sibuk berantem sendiri di dunia maya. Walau kedengarannya sedih, namun sebenarnya ada silver lining/berkah yang timbul dari peperangan ini: kita jadi berani bersikap.

Dulu-dulu boro-boro. Gaya kita dulu mah, pemerintah urusan pemerintah, rakyat urusan rakyat. Nggak ada yang repot buka mulut karena tahu tidak ada yang membela, karena pikiran kebanyakan orang adalah “ngapain mati konyol”. Pemerintah mau apa juga kita cuma bisa ngelengos, seolah bukan urusan kita walau sebenarnya kita yang memilih mereka. Sekarang lain, dan adik-adik pengguna internet yang masih 20an tahun kebawah mungkin tidak ingat masa-masa itu. Bahkan teman-teman sejawat yang seumuran dengan saya (30an keatas) mungkin sudah lupa masa tanpa Facebook dan BBM dan media sosial lainnya, saking seringnya kita menggunakan internet: Masa dimana koran Kompas dan tabloid Tempo adalah andalan dalam mencari berita, masa dimana TV-TV masih belum berpihak tapi juga disensor sehingga pemerintah selalu terlihat baik, masa dimana saat frustasi menghadapi pemerintah cuma bisa disalurkan dengan ngomel-ngomel saat arisan atau di tempat kerja. Sekarang jangan ditanya, cukup buka media sosial pun kita sudah tahu berita hari ini (baik diinginkan atau tidak). Dunia dan pengetahuan benar-benar diujung jari kita, dan untuk beberapa tipe hape, diujung jempol kita.

Kemudahan untuk membagi apa yang kita percayai (i.e. berita) dan kemudahan untuk melihat seberapa banyak orang yang se-ide dengan kita membuat kita berani berdiri dan mengambil sikap. Ini bukan hal yang sepele lho. Pengetahuan bahwa ada sejumlah orang yang se-ide dengan kita membuat kita lebih yakin dengan apa yang kita percayai. Kalau sembilan dari sepuluh orang bilang mendengar meongan kucing sementara anda sendiri mendengar gonggongan anjing, pastinya anda pikir anda yang salah. Tapi kalau paling tidak tiga atau bahkan empat orang bilang mendengar gonggongan anjing, pastinya anda akan lebih pede dengan pengamatan anda, bukan? Walau bisa saja sebenarnya anda yang salah dengar. Konon katanya “ducks go together, eagle soar alone”, bebek perginya ramai-ramai tapi elang terbang sendiri. Tapi jangan lupa, terbang sendirian berarti lebih mudah ditembak jatuh pemburu, sementara kalau beramai-ramai walau mungkin ada satu-dua yang tertembak namun mayoritas bisa selamat. Inilah kemampuan internet yang sebenarnya.

Sayangnya kemampuan ini memiliki kelemahan fatal: Penggunaannya dan hasil akhirnya tergantung manusianya. Sebagaimana pisau, klewang, keris, senapan, atau senjata lainnya, tanpa manusia yang menggunakannya mereka hanya benda mati. Namun ditangan manusia mereka bisa jadi benda mematikan. Menggunakan internet sama seperti menggunakan sebilah pisau: anda bisa menggunakannya untuk membuat sesuatu yang bisa membantu orang lain, anda bisa menggunakannya untuk melukai orang lain, anda bisa menggunakannya untuk hal-hal sepele hingga tumpul. Berita-berita hoax atau yang penuh opini yang menggiring/bernada kemarahan dan memecah belah tidak bisa dihindari. Buat apa repot-repot bayar artis untuk kampanye/mengumpulkan pendukung kalau berita di Internet sudah cukup. Begitupula dengan pencari uang dari artikel bombastis tersebut, yang tidak segan menulis sedemikian rupa hanya demi jumlah rating atau like dan share. Masalah rakyat terpecah urusan belakangan, duit nomor satu. Tinggal kita sebagai pengguna internet yang harus mampu memilah mana  yang baik dan mana yang tidak. Masalahnya kita tidak selalu bisa. Ditambah dengan keanoniman internet, jadilah seringkali kita malah membuka buruknya kita sendiri. 

Tanpa kita sadari, berita yang kita share atau like itu mencerminkan siapa kita, apa yang kita baca dan apa yang kita percayai. Kalau dulu kita pikir-pikir sebelum buka mulut karena takut menyinggung orang lain, sekarang kita 'terlindungi' oleh keanoniman internet dan merasa banyak dukungan dari like dan share orang-orang. Pokoknya hak kita untuk bersuara, bersikap. Maju terus pantang mundur. Padahal orang-orang yang lebih pintar memperlakukan internet layaknya sang juara catur, tidak sembarangan mengambil sikap apalagi mencaci. Orang yang terlihat baik di Internet tidak selalu baik lho, tapi sayangnya orang yang dengan buas mencaci di internet biasanya memang lumayan 'bermasalah'. Sikap ini yang dipakai orang-orang pintar untuk memanfaatkan yang kurang pintar/seksama. Jadilah kita pion yang bisa diatur sekehendak hati demi profit dan kekuasaan, sementara kita sibuk percaya bahwa apa yang kita percayai benar adanya. Bukannya “Gajah bertempur Pelanduk mati ditengah-tengah”, tapi “Pelanduk bertempur gajah asik menonton”.

Ini tidak terjadi di Indonesia saja lho. Di Amerika sini juga seperti itu. Penggiringan opini dirasa lebih menguntungkan dan lebih mudah daripada harus mengakomodasi seluruh pihak. Kalau di kelas sejarah dulu disebutnya Divide et Empera, dan inilah yang terjadi saat ini. Media pun tidak bisa diminta pertanggungjawabannya karena mereka pun hanya badan bisnis: mereka akan memberitakan apa yang layak jual, apa yang akan laris. Dengan kata lain, kita selaku konsumen lah yang menentukan. Kalau anda tidak percaya, coba hitung seberapa banyak postingan ilmiah yang mampir ke lini masa medsos anda. Bandingkan dengan postingan yang edgy atau bombastis yang menyangkut seks atau SARA atau selebriti termasuk selebriti religi. Ilmiah itu berat bo', sulit dicerna. Walau tahu bahwa akan ada hujan meteor itu akan membantu pemahaman kita akan betapa indahnya dunia dan betapa kecilnya manusia, tapi tas Hermes Syahrini dan memaki tokoh politik lebih gampang dilakukan. Ketemu berita 'baik' seperti orang membantu orang lain biasanya kita cuma senyum kecil dan bilang, “Oh that's nice” atau “Ih keren ya”, tapi ketemu berita 'buruk' apalagi menyangkut apa yang kita percayai, dan langsung deh kita dengan emosinya komen dan share sembari meluapkan emosi jiwa. Media dibuat oleh manusia, oleh saya dan anda yang mau repot membaca. Isi beritanya juga anda yang memilih. Sejarah sudah membuktikan bahwa kebenaran tak bisa dibungkam, mau disensor seperti apa juga pasti yang benar akan keluar.

Kenapa penting buat kita bangsa Indonesia untuk mengerti ini? Karena sumber daya manusia kita yang amat sangat besar. Kita sudah masuk peringkat utama pengguna Facebook di dunia, padahal jaringan internet yang bisa diandalkan cuma di pulau-pulau besar saja dan itupun seringkali hanya terbatas di kota besar/kota utama. Dan itu dengan tanpa mengetahui bahwa Facebook itu pakai internet. Serius ini. Banyak pengguna Facebook di Indonesia yang bilang kalau mereka tidak pernah pakai internet, karena mereka tidak mengasosiasikan Facebook dengan Internet. Kebayang nggak kalau semua melek internet dan akses internet lancar jaya? Dan bukan cuma melek internet ya, namun juga mampu menggunakannya dengan maksimal dan objektif. Karakteristik orang Indonesia yang tahan banting itu aset banget di masa sekarang, dan dengan jumlah orang saja kita bisa memastikan suara kita didengar dunia. Jargon Indonesia macan Asia atau raksasa dunia buat saya amat sangat mungkin. Dari sekian negara di dunia mungkin cuma Indonesia yang paling terlatih soal menghargai perbedaan dan kesantunan yang didapat dari adat istiadat suku masing-masing, yang mana merupakan barang yang amat sangat langka di arena global masa sekarang. Tapi ya itu, bukan hanya kendala akses, kita juga masih terkendala kemauan dan kemampuan berpikir objektif. 

Apa kita harus menyerah? Tentu tidak. Saya tidak terbayang di jaman dulu bagaimana perasaan para pendahulu kita yang belajar di STOVIA: jauh dari keluarga, berbeda dari mahasiswa lainnya, namun penuh harapan dan ma(mp)u melihat secara keseluruhan dan bukan cuma tentang mereka saja. Anda dan saya adalah bagian dari Indonesia. Apapun yang terjadi, saat mentari bersinar besok kemungkinan besar anda dan saya masih tetap bagian dari Indonesia. Ini rumah kita, tanah air kita. Sudah saatnya kita  berpikir sebagai keseluruhan, bukan hanya kelompok saya dan kelompok anda. Sudah saatnya kita bersatu dan menjadi sapu lidi yang mambu membereskan dan membuang kotoran yang ada, dan bukan hanya menjadi batangan lidi yang dipatah-patahkan oleh anak kecil yang sudah bosan. Internet bisa memecah kita, namun internet juga bisa mempersatukan kita, dan memberikan kita suara yang sepantasnya didengar dunia. Bangkitlah Indonesia, doa kami besertamu!!!

Sunday, February 5, 2012

Facebook dan Tewasnya Keasyikan Kencan Pertama


Facebook kills. Seriously. Bukan membunuh yang ekstrim sih (tolong hilangkan gambaran pisau berdarah-darah dari pikiran anda), tapi membunuh kenikmatan kencan pertama. And it sucks.

Saya bertemu seorang pria disebuah acara kencan buta beberapa waktu yang lalu. Pada pertemuan pertama saya sangat excited dan benar-benar menikmati malam itu. Lalu saya meng-google dia, plus men-trace facebook dia. Pertemuan kedua saya entah kenapa kurang memuaskan, saya rasa karena saya sudah tahu sebagian tentang dirinya. No fun in guessing. Namun keingintahuan saya menang, dan tak lama setelah pertemuan kedua saya berhasil mendapatkan hampir semua riwayat hidupnya, mulai dari nama orangtua hingga pacar-pacarnya.

Orang bilang curiosity kills the cat, well it sure kills me. Membunuh selera saya sih, karena saya jadi lumayan malas bertemu dia lagi. I know all about him, he knows nothing about me. Yang sebenarnya ga tepat juga, karena kami baru bertemu 2x dan sms-an hanya beberapa kali. Saya ga tau sama sekali tentang orang ini, namun akses ke facebook nya membuat saya merasa saya sudah kenal dia semenjak sekolah.

Ada yang berpendapat knowledge is power. Jadi sah-sah saja nge-browse soal teman kencan untuk info lebih lanjut, sama halnya dengan nge-browse info tentang company tertentu sebelum wawancara kerja. You'll never know what you'll find. Saya pun selalu melakukan facebook+google screening ini untuk mengeliminasi orang-orang yang berbahaya (playboy, sexual predator, agen toko online). It works, but it's really not fun anymore.

Pembaca yang seangkatan dengan saya (usia 27-35 thn) pasti ingat bagaimana 'pendekatan' dilakukan sebelum era hape dan facebook. Dari pandangan pertama, usaha mendapatkan nomor telepon (rumah) nya, kencan pertama yang berusaha menebak apa kesukaannya (dan berharap tebakan anda soal makanan favoritnya benar), semua ini membuat jantung berdebar tidak karuan dan kencan menjadi sesuatu yang amat ditunggu. Sekarang yang perlu anda lakukan hanyalah melihat 'likes' pasangan anda untuk mengetahui restoran mana yang harus anda tuju dan topik apa yang harus anda bicarakan. Seperti memancing ikan dengan sonar dan GPS, ga seru.

Tentunya ini tidak berlaku untuk semua orang, ada orang-orang yang mungkin berterimakasih atas data-data Facebook. Orang yang pemalu misalnya, begitu pula stalker dan sexual predator, atau yang iseng, erm, ingin tahu seperti saya. Tapi seperti yang saya jelaskan, pengetahuan itu bisa berguna, tapi juga merusak keasyikan. Mungkin lebih baik bila saya tidak tahu, toh belum tentu yang orang tulis di Facebook benar. We'll see.

Ngomong-ngomong, timeline nya Facebook itu benar-benar ladang emas informasi untuk stalker lho, mudah dan cepat mencari informasi tentang diri anda dan teman-teman anda. Berhubung semua wall facebook akan otomatis menjadi timeline dalam waktu dekat ini, saya sarankan untuk segera menggganti ke timeline karena anda akan memiliki waktu 7hari untuk mengedit dan menghapus hal-hal sensitif. FYI dari timeline orang ini saya bisa mendapatkan tempat-tempat kerjanya, teman-teman (dekat?) nya, sampai saudara dan orang tua nya. Padahal saya bukan teman nya di facebook, hanya kebetulan memiliki mutual friend. Jadi hati-hati ya...

Tuesday, January 10, 2012

Saya Mundur, Roger!

Jakarta Lawyer Club via debat di TvOne kemarin (dan berbagai narasumber lainnya) menyatakan bahwa AAL tidak mencuri sandal jepit itu, si maling pisang memang tidak bersekolah, dan seterusnya.

Apakah hanya saya saja yang merasa tersesat dan tertipu disini?

Ini rentetan klasik banget: Saat sebuah berita sensasional (baca: buruk) hadir, maka pihak yang dituduh akan mengeluarkan klarifikasi (dalam hal ini pak Polisi), lalu pihak yang menuduh (dalam hal ini pembuat berita) akan mengeluarkan pernyataan yang memjustifikasi/membenarkan beritanya. Pertanyaannya adalah, dari mana kita tahu bahwa penulis berita memang menyatakan yang seharusnya (dan pembelaan si tertuduh i.e. pak polisi ini cuma "ngeles"); dari mana kita tahu penulis berita yang memang menyatakan hidup lebay? Jawabannya adalah: kita tidak tahu. Atau tepatnya, saya tidak tahu.

Jujur, lumayan muak melihat berita yang ada dan saya kehilangan orientasi akan mana yang benar dan yang salah. Begitu banyak jawaban dan jawaban dari jawaban sehingga hampir tak mungkin menentukan mana kepala dan mana ekor. I got lost. Sementara masalah utamanya yaitu kriminalitas tertutupi oleh sensasi yang menggelegar. Sorry, kalau si pencuri pisang ini cacat mental maka yang harusnya dikejar adalah tuntutan lebih berat bagi orang yang menyuruhnya, bukan malah demo agar ia dibebaskan. Mengambil hak orang adalah kejahatan, sekecil apapun itu. I think we need to realize this. In the meantime, saya memutuskan untuk tidak dekat-dekat dengan headline/berita menggelegar. Saya mundur, roger!

Wednesday, January 4, 2012

PERIKSA KEMBALI HEADLINE ANDA!

Untuk para jurnalis [resmi dan tak resmi] yang membaca ini:
TOLONG. PERIKSA. KEMBALI. HEADLINE. ANDA

Contoh Headline:


Contoh isi:


Kuatno (22), seorang pemuda yang menderita keterbelakangan mental menjadi tahanan kepolisian dan dititipkan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cilacap, Jawa Tengah hanya karena dirinya tertangkap basah mencuri pisang bersama temannya.

Adakah diantara para pembaca budiman yang bisa menemukan apa yang salah?
Ayo, perlahan-lahan kita bedah.

"Anak cacat mental ditangkap gara-gara pisang"
"Pemuda dengan keterbelakangan mental masuk tahanan karena mencuri pisang"


Saya membayangkan seorang anak yang benar-benar terbelakang tertangkap tangan dengan barang bukti 3 atau 4 buah pisang [yang terpaksa ia ambil untuk menyambung hidup, atau tak sengaja ia ambil karena tidak tahu]. Ada lagi yang membayangkan lain? Ada yang membayangkan bahwa yang ditangkap adalah pria berusia 20 tahunan yang mencuri 9 tandan pisang? Bahkan usia 17 tahun pun sudah tidak bisa lagi dianggap "bocah" ataupun "anak".

Bukan beberapa buah pisang untuk menyambung hidup atau karena ketidak tahuan seorang bocah cacat mental, namun 9 tandan pisang. SEMBILAN tandan pisang! Dengan berasumsi satu tandan berisi 7-10 sisir, dan satu sisir berharga 12 ribu rupiah, orang ini (bila berhasil) bisa mendapatkan hingga SATU JUTA DELAPAN PULUH RIBU RUPIAH!!!! Yang berarti hanya sekali sikat mereka mendapatkan uang senilai gaji seorang pegawai minimarket yang harus bekerja banting tulang selama 1 bulan penuh. Headline dan isi berita tersebut bukan hanya tidak adil namun juga bias/mempengaruhi opini masyarakat. Ini sebuah kasus kriminal murni yang ditulis seolah-olah terjadi ketidak adilan terhadap pelaku pencurian. Berita macam apa ini???

Maaf bila saya terdengar begitu emosi, namun saya percaya bahwa jurnalis (begitu pula profesi lainnya) memiliki tanggung jawab terhadap apa yang ia tulis/lakukan. Tentu saja, berita ketidakadilan polisi terhadap seorang bocah terbelakang menjual, saya tidak ragu ada berapa ratus ribu (mungkin juta) orang yang meng-klik dan membaca artikel tersebut. Tapi apa yang akan didapatkan para pembaca dari berita itu? Bahwa baik-baik saja mencuri dari orang yang "lebih" dari kita? Bahwa baik-baik saja melakukan tindakan kriminal karena anda cacat? Rekan-rekan terhormat, tindakan kriminal adalah tindakan kriminal! Tidak ada pembenaran untuk sebuah tindakan kriminal! Apalagi yang memang niatnya memperkaya diri dan bukan untuk menyambung hidup.

Tulislah sebuah berita dengan netral: apa fakta nya, apa yang sebenarnya terjadi, apa pandangan dari kedua belah pihak. Jangan hanya menulis sesuatu yang membuat opini, kecuali anda memang menulis sebuah kolom opini seperti blog ini. Dengan begitu seharusnya isi headlinenya adalah : Seorang pria yang diduga terbelakang mental tertangkap mencuri beberapa tandan pisang, atau seorang Pria tertangkap mencuri pisang. Ga menjual? Mungkin. Tapi setidaknya tidak menyalah artikan informasi tersebut. [UPDATE: Mabes Polri menyatakan bahwa pelaku pencurian TIDAK cacat mental dan ia mencuri hingga 15 tandan!)

Satu hal lagi, sudah saatnya kita membalik logika kita: dari "koruptor saja cuma kena 5 tahun, masa pencuri kecil-kecilan kenanya 5 tahun juga" menjadi "pencuri kecil-kecilan saja kenanya 5 tahun, masa koruptor kenanya 5 tahun juga". Bisa bedain kan? Kalau patokannya berdasarkan hukuman koruptor (yang memang tidak adil), bisa-bisa para maling dan pelaku kriminal lainnya kena hukuman minim sekali atau bahkan dibebaskan. Tidak peduli apa pandangan anda, saya jelas tidak mau jadi korban tindak kejahatan hanya karena pelakunya pede tidak dikejar/dihukum sepantasnya. Kecuali memang putusannya tak masuk akal tolong berhenti menuntut keringanan hukuman tindakan kriminal [kecil-kecilan], dan mulailah menuntut kenaikan hukuman bagi koruptor. Pena anda adalah pedang anda, gunakan dengan sebaiknya.

Monday, June 6, 2011

The Gombals, oh The Gombals

Telepon berdering, gadis itu mengangkatnya sambil mengerutkan kening.
"Sayang..." sapa suara pria di ujung sana mesra. Gadis itu tersenyum, "here we go again", batinnya.
"Hey... tumben telpon..." jawabnya manis sambil otomatis merendahkan suaranya.
"I miss you, baby." jawab pria itu, suara gadis itu yang rendah mendesah selalu membuatnya bersemangat.
"Sibuk ga? Punya waktu untukku?" tanya pria tersebut,
"Ah... selalu ada waktu untukmu lah...." jawab gadis itu mesra.

Dan seterusnya.... :)

Ada orang yang hobinya mancing, ada orang yang hobinya main remote control. Salah satu hobi saya adalah flirting. Biasanya saya flirting untuk tujuan baik, yaitu kesejahteraan pasangan saya. Kalau anda tahu caranya, ga akan habis teknik-teknik flirting untuk membuat girang pasangan anda. Saat saya lagi single and good-looking begini, ahem maksud saya single and looking, barulah saya bertemu The Gombals and The Unfaithfuls ;)

Di era FB/SMS/smartphone ini pasti pernah dong ketemu paling ga salah satu dari mereka? The Gombals akan menggombali anda sampai anda takluk, dan The Unfaithfuls bakal selingkuh dibelakang anda atau justru menjadikan anda selingkuhannya. Bisa diduga, The Gombals biasanya tergabung dalam The Unfaithfuls, dan The Unfaithfuls sudah pasti salah satu The Gombals. Kedua tipe ini benar-benar bisa bikin mangsa yang lengah kelabakan.



Don't get me wrong, biar hobi saya flirting (yeah, I'm with The Gombals) prinsip saya adalah "ga boleh pasangan orang". Karena saya ga mau saya digituin juga, karma itu ada lho. Namun tampaknya itu tidak menghentikan usaha-usaha The Gombals (yang ternyata juga The Unfaithfuls) untuk mendekati saya. Karena dasarnya saya juga ga peduli sama mereka (it's a game, that's all), saya ga peduli kalau belakangan tau mereka punya orang, palingan saya langsung kabur. Yang menyebalkan kalau tiba-tiba saya dilabrak. Let me see, saya pernah dilabrak sama mantan tunangan, sama istri orang, sama pacar/pasangan resmi, sama tunangan orang, macam-macam deh. Dan saya cuma bisa bilang dalam hati, "Duh Bu/dek/tante, pasangan mu itu lho yang kudu diiket, jangan ngaku-ngaku single kemana-mana...."

Seingat saya dulu flirting itu perlu usaha, perlu modal. Gimana nggak: telepon nyaris tidak ada, kalau mau pdkt harus dirumah/sekolah, persaingan jelas dan terang-terangan. Jadi hubungan pun akan dipertahankan sebisanya. Susah payah dapatnya, man! Kalau sekarang: pulsa SMS/telpon nyaris ga ada harganya, bisa juga ngerayu lewat FB/Twitter/BBM, mau gombal apa aja ga ada yang bisa membuktikan (teorinya). Wajar banget sekarang semua orang sibuk merayu kanan-kiri, jadian kanan-kiri, dan putus secepat kilat juga. Saya kadang jadi miris, apa nggak ada lagi ya namanya "Kesetiaan" di jaman sekarang? Dan jadi lebih bingung lagi, serius nih orang-orang pada percaya dengan semua cyber gombal itu??

Seperti adegan telepon panas diatas (mungkin karena nelponnya dekat kompor), kita ga pernah tahu apa yang sebenarnya dilakukan lawan bicara/chat kita. Apa iya semua kata manis di wall/inbox FB kita itu spesifik buat kita dan ga diulang ke cowok/cewek lain? Apa iya semua SMS mesra itu ga di copy-paste dan di forward ke beberapa orang sekaligus? Apa iya chatting hangat bertaburan kata cinta itu benar-benar chatting berdua aja, dan bukannya chatting dengan beberapa orang sekaligus? We'll never know. Ga percaya? Percayalah :). A little secret: saya bisa flirting di telepon dengan mesra sambil ngerjain worksheet produksi saya di kantor. Ga romantis? Sangat. Teman saya sampai meledek saya, "Mending buka 0809 aja say, laku berat deh dikau..."



Pelajaran yang bisa kita tarik: Jangan percaya sama rayuan orang, terutama yang cyber (FB/tweet/call/sms). Kalau anda ga akan mau didekati dan dirayu oleh seseorang yang anda tidak kenal di jalan, maka kenapa anda mau dirayu orang yang anda tak kenal di internet? Sama-sama bahaya toh. Ingat juga bahwa banyak orang yang menganggap internet itu memberikan kebebasan untuk mengatakan apa yang ia ingin katakan, dan ia tak harus bertanggung jawab karenanya. Jadi jangan juga berharap semua kata-kata indah itu akan bisa dipertanggungjawabkan.

Cara paling gampang untuk ngecek: pantau selalu FB/tweet line nya. Saya nangkap beberapa Unfaithfuls karena clue-clue di FB mereka. Ada yang main aman, tapi begitu post status "saya sakit" langsung 20an cewek nanggapin; ada yang sama sekali ga punya foto tapi temannya perempuan semua; ada yang ga punya teman/saya di blok untuk tau isi FB nya (kenapa oh kenapa mas??? xixixixi). Pastinya yang paling berbahaya adalah yang ngakunya ga punya FB/bentuk sosial media lainnya. Saya ga pernah percaya alasan, "aku ga ngerti pakai FB/sos-med". Kecuali anda berkencan dengan orang diatas 60 tahun, alasan ini sama sekali ga valid. Yang sering saya temukan adalah ngakunya ga punya, padahal punya dan komplit dengan info pacar aslinya. Whooops.....

Buat The Gombals, saya tahu flirting itu menyenangkan (I'm one of you, remember?). Tapi lakukan dengan bijak ya: jangan flirting sama orang yang anda tahu akan serius menanggapi flirting-an anda; jangan flirting demi mencari mangsa/menambah trophy (I got 5 girlfriends now! or something idiot like that); dan jelas jangan flirting sama pasangan orang/bukan dengan pasangan anda. Safety (or should I say wisely) can be fun kok :D

Photo from 123rf.com
Cartoon from http://weheartit.com:8080/entry/3383554

Monday, May 16, 2011

Perang (Komen) di Dunia Maya? Hare Gene...

Pernah ga balas-balasan komen sama orang yang anda ga kenal di twitter atau FB? Pasti pernah kan :)

Teman saya post status yang cukup mengundang untuk dikomentari. Ada yang pro, ada yang kontra (atau lebih tepatnya menganjurkan untuk tidak berpihak). Entah kenapa malah jadi panjang komen-komennya dan ketiga kubu (pro, kontra, tidak memihak)sibuk serang satu sama lain. Padahal yang komen (hampir) ga saling kenal sama sekali. Bingung? Oke, anggap anda teman kantor saya, anda pasti tidak kenal teman SMA saya, ataupun temannya pasangan saya. Tapi kalian semua berdebat (dengan komen) di status saya. Terdengar aneh kan?



Pasti ada beberapa yang bilang ini normal. Nggak juga sih, karena saya yakin kalau semua "teman" berkumpul, dan saya mengajukan pendapat yang, erm, provokatif, belum tentu "teman" saya akan berani menyatakan pendapatnya. Bukan ga mungkin, tapi lebih kecil kemungkinannya dan pasti akan dipikirkan dengan baik-baik daripada salah ngomong dan jadi ga enak akhirnya. Terus (sebenarnya) apa bedanya kalau menyatakan pendapat di internet?

Ini bukan hanya terjadi di status teman saya sih, saya juga pernah mendapat serangan dan cercaan di sebuah tweet saya yang cukup menusuk, walhasil saya dimaki-maki sama mbak-mbak yang saya ga kenal. Buat orang lain mungkin Internet dianggap "membebaskan" karena mereka jadi bebas menyatakan pendapat, buat saya it's plain chicken. Jangan pernah komen sesuatu yang ga akan sanggup anda katakan secara langsung/face to face.

Yang bikin saya jengah juga saling serangnya, kaya kenal aja. Pihak A terus menyatakan pendapatnya dan terang-terangan menuding pihak lain salah, pihak-pihak lainnya juga ikutan menuding dan seterusnya. Jadi perang deh. Jujur, saya sampai sempet menyesal ikutan komen. Kita kan sama-sama menyatakan pendapat, kenapa harus maksain bahwa pendapat mereka yang benar? "Benar" itu relatif lho, kalau ga percaya baca buku sejarah yang berubah tergantung siapa yang nulis. Cuma Tuhan yang tau benar atau salah yang mutlak. Lagipula, yang "benar" pun ga dapat hadiah kok, ga menang jalan-jalan keliling dunia, terdengar aneh untuk maksain hal itu :D.



Terkadang saya merasa pake Internet sucks karena saya harus dealing sama hal ini: Komen-komen atau status-status yang ga jelas dan belum tentu berani dipertanggungjawabkan. Postingan-postingan negatif yang belum tentu ada maknanya (jadi buat apa di share coba??). Bener lho, saat saya merayakan Nyepi dan saat saya kehabisan pulsa merupakan saat yang amat membebaskan buat saya, karena saya tidak perlu melihat komen/status/postingan yang berpotensi merusak hari saya (walau tidak ditujukan buat saya). Tapi 90% teman saya cuma bisa saya kontak di FB, so be it :'(

Bukankah menyenangkan ya kalau kita bisa pakai Internet sebagaimana di dunia nyata. Kita akan bisa berinteraksi dengan lebih aman (kalau kita ga mau diajak ngobrol 2-3 jam oleh orang ga dikenal di dunia nyata, kenapa kita mau melakukannya di chatting?); Kita akan bisa berinteraksi dengan lebih beradab (kalau kita ga akan menyebut seorang wanita JELEK di depannya langsung, kenapa kita bisa melakukan hal itu di FB?); Kita akan bisa berinteraksi dengan lebih nyata (kalau kita mau menoba membaca bahasa tubuh lawan debat kita agar mengerti apa yang ia bicarakan, kenapa harus membabibuta tak mau mendengar penjelasan di forum internet?)

Kayanya yang paling aman buat saya adalah saya ga usah ikutan komen/post/share apapun lagi kalau berpotensi bikin orang ga enak dan/atau ga berguna bagi yang membaca. Easier said than done sih, bahkan bila saya post announcement tentang playboy berbahaya pasti banyak orang yang tetap akan tersinggung (e.g. pacar-pacarnya atau keluarganya). Saya cuma bisa berpikir masak-masak sebelum saya menulis/share sesuatu di Internet, dan berpikir lagi dengan matang sebelum saya menekan tombol "sent/share/post" tersebut. Dunia mungkin tempat yang menyebalkan, tapi bukan berarti saya harus ikutan menyebalkan kan?

*berharap postingan ini pun tidak (terlalu banyak) menyinggung orang dan sepenuhnya bisa berguna.

NOTE: cartoon image from http://www.cartoonstock.com, girl image from http://www.rebelliousarabgirl.net/2008/04/16/silent-until-further-notice/

Search This Blog