AdSense Page Ads

Monday, April 9, 2018

Panjat Pinang Senegara



Ini berita tahun 2015, dimana seorang remaja Muslim keturunan Afrika lolos seleksi masuk 8 universitas paling bergengsi di Amerika. 8 lho para pembaca. Plus segala penghargaan lainnya.

Minoritas ganda dari kalangan yang terkenal kurang mampu, dan tetap bisa bersinar. Pertanyaan saya di tahun 2015 dan 3 tahun kemudian sayangnya tetap sama: Indonesia apa kabarnya?

Masalahnya adalah kita tega dengan bangsa sendiri. Kita nggak membiarkan sesama kita berkembang. Dan yang lebih parah, kita pamrih. Kita mau baik kalau ada maunya, kalau berfaedah bagi kita.

Kita yang meremehkan orang nggak punya. Kita yang menggunjingkan para janda. Kita yang berbisik soal anak korban perceraian. Kita yang menganggap hal yang dilakukan orang kita 'biasa'.

Tentunya sebelum diakui orang luar. Kalau sudah diakui orang luar atau yang kita anggap keren, lain cerita. Langsung deh "Oh mai gottt, gue bangetttt!". Tapi waktu belum tenar, "Ngapain gue peduli??"

Sedih. Karena saat berhadapan dengan orang tenar/status sosial dianggap tinggi banyak dari kita yang "Silakan Pak/Bu, mau saya jadi keset juga nggak apa-apa", biar dianggap best pren. Bohong kalo nggak pernah lihat begini.

Atau fenomena bule beken di Indonesia. Sacha Stevenson yang lumayan solid saja, kalau orang Indonesia asli yang bikin parodi begitu pasti (lebih) habis dihujat dan dikejar-kejar. Bagus nggak dibui.

Bule ojek online, contoh lain. Dia bercerita bahwa pelanggannya dengan bangga bilang anaknya mau jadi supir ojol saat besar nanti biar seperti dia. Sama supir ojol lokal ada juga kita yang buang muka.

Atau yang tenar karena berbahasa lokal (Jawa/Bali/Indonesia/etc). Serius loe? Coba deh dengar videonya tanpa melihat wajah si bule, apa iya kita yang orang lokal nggak meringis?

Dan kenapa saat yang lokal berbahasa Inggris yang berantakan malah kita hina dina? Sama-sama baru belajar, kan? Atau yang bernyanyi dengan suara ngepas kita bully? Sementara kalau itu bule yuk mari?

Saat kriteria kita masih berdasarkan status sosial dan ketenaran orang, masih berdasarkan "kata orang..." atau siapa koneksinya, selama itu juga kita nggak maju karena nggak akan ada kesempatan untuk orang 'biasa'.

Tidak mudah untuk melihat secara objektif, untuk menerima atau bahkan mengagumi seseorang dari apa pencapaian pribadinya, dan bukan dari apa yang ia miliki dari awal. Tapi kita harus belajar.

Mau ganti presiden berapa kali pun, kita nggak akan maju bila kita masih begini, bila kita masih menepikan orang-orang yang butuh dukungan kita untuk maju namun kita tepis karena kurang keren.

Tiap manusia ada lebihnya dan ada kurangnya. Miskin, status sosial kurang, keluarga berantakan, itu bukan kekurangan. Sebaliknya, kaya, kewarganegaraan, keluarga terpandang, itu bukan kelebihan.

Untuk kamu yang berusaha menorehkan jejak di bidangmu namun terasa percuma karena bibit, bebet, bobotmu dibilang kurang jadi kamu nggak dianggap, you can do it. Kamu bisa. Teruslah berkarya.

Untuk yang lain, lihat sekitar anda dan cari orang yang butuh dukungan anda. Tanyakan pada diri anda: "Gue bisa nggak mencapai seperti yang dia capai?" Kalau jawabannya "Nggak", silakan lho dukung dia.

Hidup bernegara ibarat lomba panjat pinang. Nggak mungkin menang kalau manjat sendirian. Tapi kalau ramai-ramai dan saling mendukung, nah ini baru seru. Iya nggak sih? Salam Senin malam dari Los Angeles.

No comments:

Post a Comment

Search This Blog