"Loe mah enak, hidup loe ga pernah susah." kata teman saya jaman dulu. Hummm.... Gimana ya? Bukan nggak pernah susah, tapi nggak berasa susah?
5 tahun saya tinggal di Amerika, baru musim dingin kali ini saya baik-baik saja. 4 musim dingin sebelumnya parah, yang saya sakit-sakitan dan rasanya musim dingin panjang banget.
Tahun ini tiba-tiba sudah bulan Maret. Sebentar lagi April. Saya nggak sekalipun cuti sakit karena kena flu. Dingin pun nggak berasa. Mungkin karena saya sudah beradaptasi.
"Dan karena kamu ga depresi lagi," tukas teman saya. Saya bengong. Sumpah nggak berasa depresi lho. Hidup terlihat susah, tapi nggak separah itu rasanya.
Saat saya melihat kebelakang, teman saya benar. Saat itu saya depresi. Yang rasanya seperti berenang melawan arus dan setiap saat bisa tertarik dan tenggelam.
Saya beruntung. Saya dasarnya optimis dan pantang menyerah. Dan yang paling penting: saya nggak memiliki tendensi depresi secara klinis. Yang berarti saya bisa keluar dari depresi saya.
Yang saya ingat saat itu terus berjalan, satu kaki didepan kaki lainnya. Seperti saat saya ikut hiking ke Gunung Batur, nggak kelihatan seberapa jauh saya melangkah karena tertutup kabut. Tiba-tiba sudah di puncak saja.
Yang sangat membantu juga adalah kepercayaan saya akan sesuatu yang lebih besar dari saya dan kepasrahan saya. Saya nggak becus ritual agama, tapi saya percaya kuasaNya.
Pemikiran saya selalu: Tuhan nggak akan memberikan cobaan yang nggak bisa saya hadapi; dan kalau pun iya, pasti akan dibantu kok, nggak akan ditinggal begitu saja.
Walhasil seberat apapun cobaan, saya selalu yakin bisa menghadapinya. Dan kalau saya merengek minta bantuan tapi dicuekin, saya anggap itu berarti saya harusnya bisa menghadapinya sendiri.
Punya iman seperti ini lumayan susah untuk (merasa) depresi. Tapi bukan berarti tiap ada yang depresi lalu kita cap tidak beriman atau "Banyakin berdoa sana"
Depresi itu ibarat berada di lubang gelap yang nggak kelihatan jalan keluarnya. Dengan menyalahkan si penderita atau membuatnya merasa terkucil, kita semakin membuatnya terpuruk.
Memaksakan pendapat kita dengan "Loe harusnya..." hanya akan memperburuk keadaan. Belum tentu yang kita anggap "Cuma segitu saja..." juga mudah bagi orang lain.
Ini bukan masalah kuat tidaknya iman, atau kuat tidaknya seseorang. Cara kita menyikapi masalah berbeda tergantung dari kepribadian dan pengalaman hidup kita. Nggak bisa semua disamakan.
Seringkali yang kita perlukan hanya seseorang disamping kita. Nggak perlu ngasi saran. Nggak perlu menghakimi. Cukup diam saja disamping orang ini.
Kalau depresi seperti terpuruk dalam kegelapan, jadilah terang lilin yang menemaninya sampai ia siap untuk bangun dan berjalan mencari jalan keluar. Itu saja.
Karena kalau kita berpikir bahwa Tuhan akan memberikan jalan, kenapa bukan kita yang menjadi jalan Tuhan? Menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk menolong orang?
Di dunia yang penuh dengan "Saya", sulit untuk menempatkan diri di posisi orang lain. Nggak ada faedahnya. Menyusahkan. Ini orang juga paling lebay. Nggak penting.
Saya kasih tahu ya, keberadaan anda dan cahaya jiwa anda bisa jadi penentu akan hidup seseorang, penolongnya agar ia tak terjerumus lebih dalam. Kurang penting gimana?
Matahari bersinar lebih cerah setelah saya bebas dari depresi, dan itu karena sekian banyak orang yang menerangi saya di kegelapan hingga saya mampu menemukan jalan keluar.
Jangan putus harapan, dan jangan pula berpaling. Cahaya Tuhan ada disekitar kita, di dalam jiwa kita. Sudah saatnya kita membuatnya bersinar terang. Matahari kan bersinar, dan begitupula diri kita.
Salam terang dari Los Angeles.
No comments:
Post a Comment