AdSense Page Ads

Thursday, March 1, 2018

Melangkah Maju



6 tahun yang lalu saya nekat pergi ke Jakarta untuk bertemu dengan seorang pria yang saya kenal lewat internet. Menggapai mimpi, ceritanya. Cuma ingin jadi Cinderella sekali saja.

6 tahun kemudian, saya hidup sendiri di Los Angeles. Pertemuan saya dengan pria itu membuka jalan saya untuk bisa menjadi penduduk resmi Amerika, dengan segala drama diantaranya.

Apa yang saya kejar 6 tahun yang lalu? Jawabannya receh banget: cinta. Nggak kebayang saat itu akan berakhir hidup disini, saat itu saya hanya ingin bertemu dengan pria yang tampaknya mau menerima saya apa adanya. 

Sama seperti Upik Abu, saya nggak berharap yang muluk-muluk. Saya hanya ingin bersama seseorang yang tampak bahagia sekali SMS-an sama saya, walau hanya semalam dua. Ingin sekali saja menjadi bagaikan putri dimata seseorang.

Tapi kami jatuh cinta. Cerita berikutnya adalah cerita cinta yang sedemikian dahsyatnya sampai saya bisa menulis buku essay tentang kami. Disusul dengan perpisahan yang sedemikian pahitnya sampai menjadi artikel viral dan buku terbitan Grasindo.

Seorang teman saya berujar, "Gue masih sakit melihat foto-foto lama kalian di fesbuk. Kalian terlihat begitu mencintai satu sama lain. Kok bisa sih?" Saya cuma bisa tersenyum pahit. Saya juga nggak tahu kenapa bisa begini akhirnya.

Kalau dipikir baik-baik, saya sebenarnya tahu kenapa. Saya saja yang menolak melihat adanya ketidakcocokan diantara kami dan memilih berharap semua akan menjadi lebih baik. Tapi sekedar tahu sebabnya nggak membuat melupakan dia lebih gampang.

"Hal yang terbaik yang bisa kamu lakukan untuk pasanganmu berikutnya adalah melupakan mantanmu," ujar teman baik saya. Saya melihatnya dengan marah bercampur malu. Dia tahu saya sudah, dan masih, mencoba.

Saya hapal buku "Dear, Mantan Tersayang" itu luar dalam, namanya juga saya yang menulis. Bagaimana move on dari mantan dengan melihat kondisi yang ada secara obyektif. Melihat daftar teman, gebetan, dan acara social saya yang padat, tampaknya saya sudah sukses move on.

Tapi ada masa dimana saya kembali terpuruk, dimana tiap saya membuka mulut saya sibuk membicarakan hal buruk yang ia lakukan pada saya. Masa dimana saya seperti orang gila, terpekur mengingat masa lalu dengan pahit.

Kalau sudah seperti itu, biasanya saya hanya bisa bersembunyi di balik selimut, menunggu segala ledakan emosional itu reda. Setelahnya saya akan merasa begitu lemah, begitu kotor karena ternyata ia masih mengontrol pikiran saya.

Lalu saya akan menyibukkan diri dengan berbagai hal, berkeras menutup mulut saya seolah saya dan dia tak pernah terjadi. Dan saya akan lupa. Saya akan bahagia. Sampai ada sesuatu yang mengingatkan saya padanya dan badai emosi itu datang kembali.

Menyebalkan ya? Nggak ada habisnya. Sudah gitu. Sampai kapan begini terus? Sayangnya walau saya punya seribu alasan untuk membencinya, saya punya sepuluh ribu alasan untuk tidak membencinya. Masih lho berpikir: "Dia ga sejelek itu kok."

Padahal bukan masalah jelek atau baik. Saya harus move on bukan karena kisah kami selesai, tapi karena dia bukan karakter yang saya perlukan dalam cerita saya yang sekarang. Ibarat kepingan jigsaw, bukan dia yang saya perlukan untuk melengkapi jigsaw saya.

Bagaimanapun saya mencoba, saya nggak bisa membayangkan, bahkan sebagai teman sekalipun, dia di dalam kehidupan saya yang sekarang. Benar-benar lain dunia. Kami sudah mencoba lho, tapi akhirnya kami hanya bertukar berita lama dan lalu bertengkar hebat. Lagi.

Kadang-kadang logika ini masuk, dan kadang-kadang saya sibuk mewek/menangis sendirian. Move on itu sulit, apalagi move on dari sesuatu yang sangat berharga bagi kita, sesuatu yang penuh kenangan indah. Kita nggak rela untuk pergi.

Tapi dengan setiap kenangan baru yang saya buat, dengan setiap gelak tawa dan kebahagiaan yang saya temukan, selangkah demi selangkah saya berjalan pergi. Saya yang sekarang lebih baik dari saya 2 tahun lalu, saat masalah kami dimulai. Saya di masa depan pasti akan lebih baik lagi.

Dan suatu saat saya akan bisa menjawab pertanyaan tentang mantan saya dengan tawa lepas, "Ah gilingan, itu kacau banget! Untung sudah lewat hahaha", tanpa perlu bercerita 3 jam nonstop tentang bagaimana saya terluka.

Perlu sekian lama saya bisa melupakan pacar pertama saya, dan akan butuh waktu yang lebih lama lagi untuk melupakan suami pertama saya. Mau bagaimana lagi? Perasaan kan nggak bisa dipaksa. Saya harus terus melangkah maju, walau selambat siput.

Hari ini fesbuk mengingatkan saya akan foto-foto saya bersamanya. Nggak seperti tahun lalu yang membuat saya banjir air mata, kali ini saya hanya tersenyum sedih dan lanjut dengan kehidupan saya. Suatu saat nanti ya, mantan, saya akan sepenuhnya lepas dari mu. Pasti kok. Pasti.

1 comment:

Search This Blog