Kemarin saya dan suami tidak enak badan/discomfort setelah makan di sebuah restoran Vietnam. Kepala rasanya melayang, perut kembung, deg-degan, pokoknya tidak nyaman deh. Awalnya kami menduga kami overdosis garam, apalagi seharian kami makan makanan yang asin. Namun setelah saya browsing internet kemungkinan kami kebanyakan MSG. Tebakan saya ini diperkuat oleh mbak-mbak dari Poison Control yang ditelepon oleh suami saya. Poison control adalah hotline yang khusus menangani kasus keracunan. Asik kan. Balik lagi, si mbak-mbak di Poison Control ini juga langsung menebak bahwa kami kebanyakan MSG dan memberitahu kami kalau gejalanya akan pelan-pelan hilang dalam sejam-dua, jadi kami tidak perlu panik. Saya yang sudah biasa kebanyakan MSG di Indonesia jelas santai. Badan saya memang tidak nyaman/discomfort, tapi saya tahu badai pasti berlalu (taelah); sayangnya si Akang tetap panik dan pergilah kita ke Urgent Care, dan disinilah cerita defensive medicine ini dimulai.
Sampai di Rumah Sakit, kami langsung ditangani oleh seorang suster. Dia mengecek kondisi vital si Akang, lalu memutuskan bahwa karena kondisi si Akang stabil maka ia bisa ditangani dokter Urgent Care dan tidak perlu ke Emergency Care. Syukur deh, batin saya, soalnya Emergency Care itu mahal bo'. Sebenarnya si Akang sudah membaik keadaannya, tapi karena sudah terlanjur disitu ya sudahlah kita menunggu dokternya. Begitu diperiksa oleh dokter (yang cuma dites flushing/kemerahan di wajah dan didengar nafasnya) pak dokter ini langsung dengan final bilang "Kamu alergi. Untung kamu cepat datang." Saya sampai bengong. Saya tanya-tanya ke dokternya (dan setelahnya ke susternya) kenapa bisa didiagnosa alergi. Makanan yang kami makan hari itu dan hari sebelumnya kurang lebih makanan rutin kami, dan tidak pernah ada reaksi sebelumnya. Baik dokter maupun susternya bilang kalau reaksi alergi nggak harus langsung, bisa jadi karena makanan/paparan 72 jam sebelumnya; dan kadang kita bisa tiba-tiba alergi dengan makanan yang biasa kita makan.
Singkat cerita, akhirnya kami menurut saat si Akang diberikan suntikan Prednisone untuk meredakan inflamasi akibat (konon) alerginya. Sebelum disuntik itu kami sudah bertanya dengan gigih apakah ada efek samping seandainya dia tidak alergi tapi mendapat suntikan ini, dan susternya bilang tidak. Sayangnya setelah kami menebus obat di apotik (Prednisone oral plus Ranitidine untuk mengurangi efek samping Prednisone) barulah kami tahu bahwa Prednisone bisa menyebabkan sulit tidur dan disarankan untuk tidak minum Prednisone ini setelah pukul 6 sore. Walhasil si Akang saya (yang memang punya riwayat insomnia) baru bisa tidur jam 2-3 subuh, itu pun sudah dibantu dengan obat penenang. Ngelus dada dong saya jadinya.
Kalau di Indonesia, si Akang pasti langsung disuruh pulang dan paling dibekali pereda sakit. Cuma kebanyakan MSG gitu lho. Itu juga via makanan dengan jumlah yang masih masuk akal, bukan karena iseng nenggak sebungkus besar ajinomoto. Tapi disini karena prevalensi/kemungkinan alergi di Amrik sini lumayan tinggi, maka mereka langsung memvonis alergi. Sama halnya dengan nyeri dada/chest pain yang langsung ditangani seperti kasus serangan jantung oleh tenaga medis disini karena tingginya tingkat serangan jantung. Si Akang yang misuh-misuh karena menganggap dokternya 'miring' juga coba saya tenangkan dan jelaskan seperti itu: Kalau ternyata dia memang benar alergi dan tidak ditangani maka dokternya nanti bisa dituntut kelalaian, jadi lebih baik alerginya diobati karena toh sebenarnya kebanyakan MSG tidak perlu penanganan apa-apa. Dalam hati sih saya tetap merasa tidak masuk akal. Saya dan si Akang gejalanya sama kok bisa cuma dia yang alergi, saya tetap berpikir bahwa kami cuma kebanyakan MSG. Tapi ya itulah defensive medicine, lebih baik mengobati ekstra (selama tanpa efek samping) daripada lalai mengobati.
Orang-orang yang cerdas pastinya khawatir dengan kriminalisasi dokter di Indonesia yang topiknya lagi naik daun belakangan ini. Kalau dipikir-pikir nggak masuk akal malah. Mana pernah anda mendengar orang di Indonesia menuntut kalau barang yang direparasi tidak bisa dibetulkan atau malah jadi tambah rusak, padahal itu bisa dengan gampang diteliti yang salah siapa. Ini dokter yang mencoba membetulkan badan orang yang jauh lebih kompleks dari mesin manapun kok bisa dengan cepatnya divonis. Bukan berarti di Amerika sini dokter nggak bisa dituntut ya, mereka juga bisa dituntut malpraktek kok. Tapi ya itu tadi, pembuktiannya harus benar-benar kuat lengkap dengan saksi-saksi ahli yang bisa menunjukkan bahwa si dokter ini memang menyalahi prosedur. Apa saya bisa menuntut dokter saya yang memvonis si Akang alergi? Jelas bisa, tapi saya harus siap membuktikan kalau si Akang memang benar tidak alergi dan pengobatan yang diberikan dokter ini secara signifikan merugikan saya.
Iya tahu kok, banyak dokter di Indonesia yang memang tidak becus dan nakal. Sama saja, di tiap profesi apapun pasti ada yang model begini. Jaman saya kuliah dulu saya sampai harus bertengkar dengan wakil dekan saya yang tidak mau memberikan keringanan karena menurut beliau alasan saya kerja untuk untuk membayar kuliah itu cerita lama. Saya sampai membentak beliau dengan menangis saking kesalnya "Apa ibu perlu bukti??". Saya nggak tahu siapa yang pakai alasan itu sebelumnya, tapi mereka jelas kampret banget karena kalau mereka memang benar kerja pastinya wakil dekan tersebut tidak malah jadi mencemooh dan patah arang mendengar alasan tersebut. Contek-mencontek dan jual-beli soal ujian juga sudah biasa. Kebayang kan, kalau untuk lulus kuliah saja sudah menghalalkan segala cara, bagaimana ceritanya kalau sudah pegang pasien. Kalau dengar soal malpraktek mau tidak mau ingatan saya melayang ke orang-orang ini yang hobinya bolos dan kelihatan sekali tidak niat kuliah. Tapi tidak semua dokter seperti itu.
Dokter, sebagaimana profesi lainnya, adalah panggilan hidup. Pastinya ada orang yang nilai kuliah manajemennya jeblok dan jarang masuk kuliah, tapi saat kerja dia adalah manajer paling top karena dia 'mengerti' orang. Sama dengan dokter. Hafal mati semua materi kuliah jelas membantu, tapi di lapangan yang diperlukan bukan cuma knowledge, di lapangan yang juga diperlukan adalah art/seni. Seperti layaknya seorang lulusan sarjana kesenian yang mungkin tahu seluruh teori lukisan (style warna etc) namun belum tentu bisa menghasilkan adikarya. Yang lebih runyam, tubuh manusia itu berbeda satu dengan yang lainnya; itulah kenapa orang-orang di kota besar di Indonesia kadang suka 'belanja dokter'. Menurut Ibu X kalau pergi ke dokter A ternyata lebih cepat sembuh daripada kalau pergi ke dokter B, sementara Bapak Y lebih suka ke dokter C karena lebih nyaman daripada ke dokter D. Bisa jadi karena racikan (baca: analisa) dokter favorit mereka mengenai badan mereka lebih 'pas' (seperti rasa bakso langganan), bisa jadi karena dokter favorit mereka lebih simpatik pada mereka; ada berbagai faktor kenapa kita bisa sembuh dengan satu dokter dan tidak dengan dokter lainnya walaupun obat yang diberikan kurang lebih sama.
Sebagai konsumen, pastinya kita berhak mendapatkan barang atau jasa sesuai dengan apa yang kita bayarkan dong. Apalagi jasa yang kita perlukan berkaitan dengan tubuh kita, wajar kalau kita sangat sensitif dan berharap 'direparasi' sebaik mungkin. Tuntutan/vonis kriminal terhadap dokter sangatlah ampuh untuk mengingatkan dokter di Indonesia agar tidak semena-mena dan tidak asal-asalan mengobati pasien. Tapi kita juga harus ingat bahwa ada harga yang harus dibayar untuk ini. Seperti cerita saya diatas, dokter jadi punya kecenderungan untuk over mengobati selama tidak membahayakan pasien. Otomatis biaya jadi naik dong. Dokter di Amrik sini juga punya occupation insurance untuk memproteksi diri mereka kalau-kalau mereka dituntut, yang mana menaikkan biaya dokter juga. Yang paling dirugikan sebenarnya ya orang kecil. Dokter (apalagi yang di tempat terpencil) tidak bisa mengobati dengan cepat karena harus melakukan berbagai prosedur (yang mungkin tidak terlalu diperlukan) untuk memproteksi diri mereka, dan tarif mereka pun sangat mungkin jadi tidak terjangkau oleh masyarakat miskin. Apa ini yang benar-benar kita inginkan? Nggak apa-apa sih, cuma nanti jangan mengeluh kalau biaya kesehatan muahal dan tidak terjangkau dan tindakan/pengobatan tidak bisa segera.
Apa ini berarti kita tidak boleh sakit? Apa ini berarti dokter itu dewa yang maha benar adanya? Nggak jugalah. Kalau berasa dokternya nggak beres dan nggak perduli sama anda, monggo silakan anda walkout gitu lho. Kalau memang terbukti dokternya salah (jarum operasi ketinggalan misalnya), ya silakan dituntut biar mereka lebih awas. Yang nggak boleh itu kalau memaksakan segala hal buruk yang terjadi pada pasien adalah salah dokter, tanpa repot-repot melihat secara obyektif apakah dokter tersebut sudah melakukan pemeriksaan sesuai SOP (standard operation procedure). Dokter itu cuma manusia biasa lho, bukan Tuhan.
Yang berat adalah tingginya persepsi masyarakat kalau dokter itu, seperti yang saya bilang tadi, maha kuasa. Seolah kalau dibawa ke dokter maka semua orang harusnya sembuh. Belum lagi orang-orang yang dengan kupretnya bilang, "Kalau mau cari duit jangan jadi dokter!". Yah, emang bisa hidup dari doa dan terimakasih doang? Bisa sih, tapi anda-anda sekalian harus mau investasi dan membuat profesi dokter sebagai profesi resmi negara, jadi dari kuliah sampe pensiun semua biaya hidup plus kuliah ditanggung negara. Kalau begitu bisa banget dokter nggak minta bayaran. Lagipula, kalau mau dipikir seperti itu semua profesi juga harusnya mulia dan berpihak pada kebaikan orang banyak. Sampai sales kartu kredit atau debt collector juga harus berpikir gimana caranya mereka bisa meningkatkan kualitas hidup klien mereka, dengan memberikan saran/pencerahan bagaimana menabung yang baik agar bisa keluar dari hutang misalnya. Saya nggak bercanda lho. Nggak adil dong kalau hanya profesi tertentu seperti dokter dan guru saja yang selalu dituntut bersikap mulia. Bukankah itu 'hasil akhir' yang disarankan setiap agama di dunia?
Salam!