AdSense Page Ads

Wednesday, April 8, 2015

Menerima vs Memaafkan: Kisah Luapan Emosi

Satu-satunya hal yang berkesan buat saya dari film Cinderella 2013 adalah waktu si Cinderella menoleh ke ibu tirinya dan berkata, "I forgive you!". Perasaan saya rasanya campur aduk haru biru gitu deh, karena bimbang antara rasa ingin melempar sandal baru yang saya pakai ke layar dan rasa tidak ingin kehilangan sandal baru saya.

Pesimis? Mungkin ya. Saya belajar dalam hidup bahwa kata-kata "I forgive you!" itu nggak penting-penting amat. Lucunya, ini yang selalu digembar-gemborkan dalam setiap saran atau motivational quote dan bahkan di film macam Cinderella itu. Terus kalau udah forgive/memaafkan mau apa? Ceritanya happy ending gitu? Jadi orang baik gitu? Buat saya ada kata-kata yang lebih tepat: "I accept [that]". Bukannya terima dizholimi orang lain ya, tapi menerima bahwa things are shitty at times, kadang-kadang hidup (dan orang) itu bikin sakit hati. Nrimo itu berarti sadar bahwa 'luka' kita itu tidak berarti apa-apa buat diri kita yang super (nyontek dari motivational speaker terkenal nih istilahnya), dan orang yang yang melukai kita pun tidak berarti apa-apa buat kita. Nrimo itu berarti kita sudah siap menjalani hidup kita dan peduli setan dengan orang lain. Bukannya maksain diri untuk berkata "Saya maafin" padahal masih dongkol, tapi justru sampai di titik dimana kita bisa benar-benar tidak terluka lagi.

Cerita model Cinderella begitu banyak lho sebenarnya, yang ceritanya dizholimi lalu bangkit dengan agungnya dan berkata "Saya maafkan kamu karena kamu tidak tahu apa-apa." Jangan lupa adegan finale/klimaks nya pake lampu sorot gold dan asap dry ice ya biar lebih joss. Saya suka bingung kalau nemu yang seperti itu, yang dibilang "Sudah maafkan saja, buat apa kamu marah terus." Lah, kok nggak boleh marah? Kalau ada seseorang yang melukai anda reaksi normal anda adalah marah bukan? Ini insting mempertahankan diri lho, karena dasarnya siapa juga nggak mau disakiti. Atau yang bilang "Ngapain juga kamu nangis, toh nggak ngubah keadaan." Emang ga boleh ya berekspresi diri, meluapkan emosi yang terpendam dan membara dalam hati bagaikan lava di perut Gunung Bromo (taelah....)..

Konon katanya ada 5 tahap grief/kesedihan: Denial (penyangkalan), Anger (Marah), Bargaining (Tawar-menawar), Depression (Sedih), dan Acceptance (Penerimaan). Aslinya sih 5 tahap Kubler Ross Model ini untuk menjelaskan tahapan yang dialami seseorang saat kehilangan orang yang dicintainya, tapi buat saya ini cocok dipakai dimana saja. Dicampakkan pacar misalnya, pertama pasti kita yang sibuk "Ah ga mungkin! Bercanda kan dia!" alias denial. Lanjut ke "Dasar brengsek! Emang dipikir siapa dia!" alias anger. Berikutnya sibuk menelepon minta balik dan janji-janji akan berubah alias bargaining. Setelahnya tahapan dimana nggak mandi seminggu dan ibu kos sampe ngumpetin baygon karena takut disalahgunakan alias depression. Sampai terakhir akhirnya bisa melihat kebelakang dan bilang, "Ah biarin amat." alias acceptance.

Contohnya yang dalam waktu singkat adalah saat kita dikatain jelek misalnya. Kurang lebih di otak orang normal seperti ini: 
1. "Sialan, buta apa tu orang gue dibilang jelek!" (Denial) 
2. "Kurang ajar banget sih, dasar mulut comberan!" (Anger)
3. "Padahal gue kan hari ini udah modis banget, kinclong habis dari spa." (Bargaining)
4. "Pantas aja gw masih jomblo terus ya." (Depression)
5. "Sudahlah, ngapain dengerin orang lewat." (Acceptance)
Ini kadang kejadiannya di otak itu kurang dari semenit lho. Kadang juga bisa berhari-hari, tergantung seberapa sensi orangnya

Kalau anda perhatikan, ada sekian banyak emosi yang terlibat untuk bisa mencapai tahap acceptance. Dan itu nggak sekali jadi lho. Kalau anda sedih/terluka karena orang yang anda anggap penting misalnya, pastinya tahapan 1-4 itu terulang kembali dan kembali dan kembali. Mungkin beberapa kali nyampe di nomer 5 (Acceptance), tapi karena nggak nrimo secara penuh ya tetap saja tahapannya berulang kembali. Sampai kapan? Sampai anda benar-benar bisa 'tutup buku'. Sampai anda benar-benar tidak perduli dengan sakit hati anda itu. Ibarat koreng, lukanya sudah kering dan sembuh dan sudah ada kulit baru. 

Makanya, kadang saya bingung kalau ada orang sedih terus temannya ngasi saran "Cup cup cup, jangan nangis ya..." Atau "Udah, ngapain sih marah-marah?" Buat saya mah semua teman saya bisa bebas nangis, ngedumel, ngomel-ngomel, teriak-teriak, pokoknya terserah mereka lah mau melampiaskan emosi mereka gimana. Pengecualian untuk yang repeat offender alias memang hobi merasa sengsara ya, itu saya nggak mau ikut-ikutan. Tapi untuk yang lainnya, monggo silakan kalau mau stress ria, karena peluapan emosi itu memang dibutuhkan untuk sampai ke tahap acceptance itu. Ada orang yang memang dari sononya bisa begitu damai dan bebas konflik sehingga tidak terluka akan apapun, misalnya orang-orang suci yang bisa menerima semua manusia apa adanya. Tapi pastinya tidak banyak orang yang yang seperti itu karena kita masih hobi saling bacok dan perang sama sesama manusia lain. Kalau anda belum selevel itu, belum sedamai dan senrimo itu, nggak papa lho. Pelan-pelan. Alon-alon asal kelakon. 

Forgiveness alias memaafkan itu nggak sama dengan Acceptance alias penerimaan. Anda bisa saja memaafkan tapi tetap tidak menerima keadaan, sebaliknya kalau anda menerima anda sebenarnya tidak perlu lagi merasa memaafkan. Sudah beres urusannya toh, karena kalimat "I don't care" menunjukkan bahwa kita sudah di level lain. Tapi harus jujur sama diri sendiri ya, jangan di mulut "I don't care" tapi malam-malam sesenggukan sendiri sama bantal kesayangan. Nggak papa mau marah, nggak papa mau emosi, nggak papa mau sedih, itu semua proses menuju penerimaan dan pendewasaan diri kok. Yang nggak boleh kalau emosinya terus-terusan dan ga terkontrol. Cara paling sederhana: bayangkan apa jadinya anda tanpa emosi tersebut, apakah anda bisa berfungsi dengan baik? Sekarang anda marah misalnya, coba bayangkan apa seminggu lagi anda masih mau marah. Atau saat sedih, apa iya setelah tiga bulan anda masih ingin menangis tiap malam? Bayangkan juga apakah hal yang membuat kita merasa sedemikian tersakitinya itu akan masih relevan kedepannya? Ini bukan berarti kita membenarkan orang menyakiti kita ya, tapi berarti [sekali lagi] kita lebih dewasa dan mau melepaskan beban duniawi tersebut (aseeek....)

Satu-satunya saat dimana "I forgive you" itu valid dan benar-benar berguna adalah disaat orang lain yang minta maaf sama kita. Ibaratnya gini, si adik kecil tidak sengaja melempar anda pakai sandal dan dia pun sambil berlinang airmata meminta maaf karena dia benar-benar tidak sengaja dan tidak ingin anda marah padanya. Pastinya anda akan bilang "Iya nggak papa" atau versi lain dari "I forgive you" kan? Walaupun sebenarnya di dalam hati anda Five Steps of Grief akan rusaknya tatanan rambut anda atau kemeja mahal anda masih berkecamuk. Terkadang kita yang harus berbesar hati dan memberikan 'ending' atau 'closure' untuk orang yang memang menyatakan penyesalannya dengan sepenuh hati. Kita yang harus berani bilang "I forgive you" kalau memang mereka meminta maaf dengan setulusnya. Tapi kalau untuk diri anda sendiri, silakan beremosi dan capailah "I don't care" alias penerimaan. Salam!

No comments:

Post a Comment

Search This Blog