"StaN akan membuat lulusannya menggawangi system pajak yang jelas2 menyelisihi ajaran Islam."
Begitu komen yang saya baca pagi-pagi di sebuah artikel tentang sekolah-sekolah unggulan di Indonesia. Sibuklah saya mengelus-elus dada. Hari gini coba, hari gini.
Kata orang Amrik sini, "Knowledge is power". Ini benar lho dalam artian sesungguhnya, siapa yang punya ilmu/pengetahuan pasti akan punya kuasa. Makanya wikileaks dan kasus hack-menghack marak, makanya mata-mata sudah ada dari jaman baheula. Kalau kita tahu sesuatu yang berharga, otomatis nilai tukar/bargaining power kita juga bertambah. Anda yang jago Bahasa Inggris pasti bisa minta dibayar lebih oleh bos anda bukan? Begitupula anda yang jago akuntansi/komputer, bila dibandingkan dengan orang yang masih cuma mampu mengetik 11 jari (a.k.a 2 jari telunjuk).
Punya banyak pengetahuan juga membantu otak anda berpikir dan melapangkan hati anda. Ibaratnya seperti merambah hutan dan membuka lahan pertanian baru. Seberapa banyak pengetahuan yang anda dapatkan tergantung dari seberapa jauh anda berani mencari pengetahuan. Sayangnya, di era keterbukaan informasi ini makin mudah juga terjebak dalam pengumpulan pengetahuan yang kita maui, jadi bukannya membuka diri malah justru menutup diri. Kalau tidak sesuai dengan paham kita maka kita anggap tidak benar.
Misalnya saja anda membuat teori bahwa mawar merah itu bunga yang paling indah, tapi bukannya berusaha mengerti lebih lanjut tentang mawar merah itu sendiri (bagaimana warnanya bisa merah, jenis apa yang paling banyak ditemui, peran mawar merah dalam kehidupan manusia etc) anda malah cuma mengumpulkan data siapa-siapa saja yang setuju kalau mawar merah yang paling indah dan menganggap siapa yang tidak suka mawar merah sebagai musuh anda. Nggak berkembang kan jadinya?
Hal ini banyak terjadi terutama dalam pengamalan agama. Contohnya ya seperti diatas tadi. Padahal menurut Wikipedia semua negara di dunia ada pajaknya juga kok. Arab Saudi memakai sistem zakat, tapi wajar sekali bila negara-negara yang kaya tapi memiliki wilayah kecil dan penduduk minim mampu membiayai kehidupan penduduknya tanpa menarik pajak. Nggak perlu jauh-jauh, lihat saja sekeliling anda. Orang yang sosio-ekonominya rendah dengan jumlah anggota keluarga yang berlimpah pasti harus bekerja lebih giat untuk membantu keluarganya, tapi yang sosio-ekonomi tinggi dan jumlah keluarga minim bisa jjs dan pelesir karena anggota keluarga mereka tidak ada yang perlu dibantu. Pajak ya itu, usaha untuk membantu 'keluarga' anda.
Sayangnya logika sesederhana ini nggak akan bisa masuk atau dimengerti kalau kita menolak membuka diri. Apalagi kalau hubungannya dengan Tuhan, dengan agama, langsung deh kita jadi binatang buas yang siap menerkam siapapun yang berusaha menggoyahkan kedaulatan Tuhan kita. Sensitif gitu deh ceritanya. Saya sudah melihat orang dari berbagai agama melakukan hal ini, saya sendiri pernah kok. Pokoknya agama itu saklek, harus sesuai apa yang tertulis di kitab suci. Padahal kalau iya repot banget lho. Saya yang Hindu dari Bali misalnya, kalau disuruh sembahyang pakai Ghee dan susu seperti di India bisa bangkrut saya. Tapi walaupun ritual Hindu Bali sedikit berbeda dengan Hindu India, saat membaca Kitab Suci saya masih bisa menerapkan ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Idealnya, inilah yang harus terjadi. Agama itu adalah tuntunan hidup, bukan kerangkeng hidup. Pajak menyelisihi ajaran agama Islam dalam hal apa? Apajah bisa disiasati agar negara tetap berjalan tanpa pajak? Apakah dijaman dulu pun tidak ada pajak? Begitu banyak yang bisa dipertimbangkan dan bukannya sekedar bilang "Menurut kitab suci itu salah!" tanpa berusaha mengerti lebih dalam. Kitab suci harusnya dimasukkan kedalam hati dan menjadi nyawa dalam kehidupan keseharian kita, seperti layaknya software/perangkat lunak yang 'menjalankan' kita agar kita menjadi manusia yang lebih baik, menuju dunia yang lebih baik; dan bukan sebaliknya, kita yang berusaha memasukkan diri kita kedalam kitab suci dan hanya hidup disana.
Lagi-lagi kembali ke diri kita sendiri, seberapa jauh kita mau mencari pengetahuan dan seberapa lebar kita mau membuka diri. Saya baca postingan di Facebook yang bilang pendidikan di Indonesia jelek karena gurunya tidak menjelaskan kenapa pengetahuan itu berguna. Padahal di Amerika sini juga sama, banyak banget saya lihat postingan yang komplain bilang pelajaran yang mereka dapatkan tidak berguna di kehidupan nyata. Masalahnya nggak mungkin satu-persatu dijelaskan kenapa ini/itu berguna. Selain keterbatasan waktu manusia, juga ada faktor ke-ndableg-an manusia, alias sudah diinfo tapi masih tidak mau mengerti. Yang bisa kita lakukan adalah menganggap semua pengetahuan (dan orang) itu punya potensi untuk berguna, jadi kita lebih melapangkan diri untuk menerimanya. Mau dipakai atau tidak ya urusan nanti.
Mungkin banyak dari anda heran kenapa saya sibuk ngurusin agama orang. Saya tidak ngurusin agama orang, catet, saya ngurusin saudara sebangsa setanah air saya. Dari sebelum saya diboyong ke Amerika saya sudah percaya kalau Indonesia punya potensi besar. Sekarang saya di Amerika saya tambah yakin kalau Indonesia (dan orang-orangnya) bisa jadi jauh lebih besar dan lebih berjaya daripada negara lain. Dari segi jumlah manusianya saja, kita bisa dengan mudah melibas negara lain. Bagaimana tidak, Indonesia yang internetnya lelet dan jaringannya amat sangat terbatas bisa punya pengguna Facebook terbanyak nomor 4 di dunia. Padahal dari sebanyak itu mungkin cuma sepersekian yang mengerti bahwa untuk menggunakan Facebook mereka sebenarnya terhubung dengan internet. Nggak, saya nggak bercanda. Banyak pengguna Facebook di Indonesia yang disurvey bilangnya nggak pernah 'menyentuh' internet padahal mereka selalu online di Facebook BBM dan sebagainya. Bukan karena mereka bohong, tapi karena mereka memang tidak mengerti. Terbayang tidak kalau orang Indonesia bisa 'melek' internet dan sinyal internet di Indonesia lebih bagus dan merata? Belum lagi sifat dasar orang Indonesia yang dasarnya tidak manja dan pantang menyerah, dan kemampuan kita menyerap bahasa asing yang sangat cepat. Orang Indonesia itu pejuang tangguh banget deh. Makanya kalau dengar orang Indonesia yang berpikiran sempit rasanya gimana gitu.
Tapi terlepas untuk apa saya mengurusi orang lain, punya pengetahuan luas itu sangat menyenangkan lho. Yang paling 'berasa' sih saat saya bisa membandingkan kondisi saya dengan orang lain, dan merasa bersyukur karenanya. Kalau saya tidak repot-repot baca berita tentang negara lain atau berusaha mengerti orang lain, mungkin saya tidak tahu seberapa beruntungnya diri saya dibandingkan sekian banyak orang lain di dunia ini. Kalau saya tidak buka mata dan buka hati saat tinggal di Amerika sini, mungkin saya tidak tahu seberapa indah dan nyamannya sebenarnya Indonesia. Atau ya itu tadi, seberapa hebatnya orang Indonesia sebenarnya. Baca berita dan tahu tentang negara lain juga menumbuhkan empati dan simpati saya terhadap manusia keseluruhan. There are so many bad person in this world, but there are many good person as well; and we will never know which one's which without opening our mind and our heart. Di dunia ini ada begitu banyak orang yang tidak baik, namun ada begitu banyak orang baik juga; dan kita tidak akan tahu yang mana yang baik dan yang mana yang buruk kalau kita tidak mau membuka mata dan hati kita. Dunia itu indah lho. Sumpah.
No comments:
Post a Comment