AdSense Page Ads

Showing posts with label Indonesia bangkit. Show all posts
Showing posts with label Indonesia bangkit. Show all posts

Wednesday, September 7, 2016

Indonesian Woman, Jakarta Style

Nggak ada yang lebih seru daripada nyari makan di daerah tempat saya tinggal. Street food bo'. Jakarta style. Kalo kata teman saya yang pernah kesini, daerah saya cari makan itu seperti Pasar Kreneng di Denpasar. Atau pasar-pasar malam lainnya yang isinya PKL dan jualan dvd bajakan. Jangan harap bawa bule kesini. Saya baru ngeh saya beli makan sendiri harganya $1-2 lebih murah. Whoop whoop!

Jangan salah, daerah saya tinggal nggak kayak di film-film yang keren gitu deh. Daerah saya isinya imigran Latin Amerika semua, dan bahkan orang-orang Hispanik yang saya kenal pun kalau tahu saya tinggal dimana langsung geleng-geleng, "That place is not good". Tinggal saya yang nyengir. Kalau dibilang not good sih iya. Ibaratnya gini deh, kalau The Raid syutingnya di apartemen saya saya nggak akan heran. Nggak sehoror itu sih, tapi jelas bukan daerah biasa.

But it's home. Ini rumah. Semua orang baik sama saya. Saya merasa nyaman disini. Ternyata benar kata orang, kerasnya Jakarta mah beda. Standar hidup saya disini kurang lebih sama seperti standar hidup di Jakarta. Ukuran apartemen saya saja kurang lebih sama dengan ukuran kamar kos saya waktu kuliah di Jakarta. Ke kantor naik bus 2.5-3 jam. Makan juga sekelas Solaria, tapi seringan bawa sendiri dari rumah, yang masak sekali buat seminggu. Nggak beda ma Jakarta toh. Bedanya cuma saya sekarang punya oven dan slow cooker hehehe. Bathtub juga, tapi alat masak lebih penting. Hidup makan.

Orang asli sini mungkin sudah galau disuruh hidup seperti saya, padahal saya santai aja. Jakarta style. Orang sini diposisi saya yang mendadak cerai juga bisa stres ga jelas. Kebayang dong dimutasi dari tempat tinggal sekian ribu km jauhnya demi cinta, lalu bubar jalan gara2 lelaki gatal dan perempuan abg yang sama gatalnya. Yuk garuk lol. Mendadak sendiri di negeri orang itu nggak enak lho. Apalagi mendadak bayar pajak single yg lebih gede dari pajak married, bayar health insurance,  bayar apartemen tagihan etc sendiri. Gini deh, telp 2 line itu kena $60 per orang, telp 1line kenanya $105. Bukannya mau jadi lintah ya, tapi apa-apa kalau ditanggung berdua jelas lebih irit. Jadi saya seperti sudah jatuh tertimpa tangga diinjak pula. Percaya deh, kalau bukan hasil gemblengan Jakarta saya mungkin sudah balik bodi pulang kampung. Tapi saya anak Jakarta, jadi saya bangkit, berdiri, dan memberikan salam jari tengah. Dobel.

Dan bukan cuma gemblengan Jakarta sih. Buat saya semua orang Indonesia punya potensi ketangguhan tersendiri. Percaya deh, ngurus apa-apa disini jauh lebih gampang step by stepnya daripada di Indonesia. Kita yang biasa dengan ketidakbiasaan (bom, banjir, bini ngamuk) bisa dengan mudah beradaptasi dimana saja. Kendala mungkin cuma bahasa, tapi faktanya saya bisa tetap memesan makanan dengan benar walau saya tidak bisa bahasa Spanyol sedikitpun. Jadi ini pun sebenarnya bisa diatasi. Makanya kalau baca orang Indonesia komen "Dasar Indon!" atau memuja-muji bangsa lain saya sebel. Sori dori stroberi ya, kita jauh lebih tangguh daripada itu. Kita yang ditaruh dimana saja bisa hidup. Well mungkin nggak di Arctic. Dingin bo'.

Waktu saya berjalan pulang dengan tentengan makan malam saya, rasanya saya seperti Rocky yang berdarah-darah tapi mengangkat tangan dengan penuh kebanggaan di atas ring. I've been beaten, I've been broken, but here I am and I will be the winner. Orang lain, bahkan orang sini pun belum tentu bisa menghadapi cobaan ini dengan sukses dan waras. Saya merasa sangat bangga dengan diri saya sendiri. Ini achievement yang lumayan hebat lho. Gimana ya, Jakarta style dan Indonesian woman. We are bred and born to win. Iya ga sih??? 

#proudtobeIndonesian 
#JakartaStyle

Wednesday, August 24, 2016

Rokokmu Alasanmu


Paling sebel kalau baca soal kenaikan harga rokok alasan yang dipakai: "Kasihan buruhnya, nanti kerja dimana?" Oh jadi sekarang pada perduli nasib buruh? Mikirin ga soal harga-harga yang terus naik sementara gaji mereka pada tetap (baca: kestabilan ekonomi Indonesia)? Mikirin ga nasib anak-anak buruh yang sebenarnya orang tuanya nggak mampu punya anak tapi karena minimnya pengetahuan mbrojol terus (baca: penggalakan program KB)? Mikirin ga pendidikan para anak-anak buruh ini kedepannya gimana, apa iya besarnya cuma bisa jadi buruh aja (baca: kesetaraan pendidikan dan penjaminan kesempatan)?

Sori nggak sori sih, tapi faktanya "kehilangan lapangan pekerjaan" itu alasan klise dan sepihak banget. Saat kompleks Dolly ditutup berapa orang kehilangan lapangan pekerjaan. Saat pabrik miras dan narkoba digerebek juga orang-orang kehilangan lapangan pekerjaan. Belum lagi razia Ramadhan di beberapa tempat, yang 'dosa'nya cuma jual makanan saat bulan puasa (tapi jaringan fastfood tetap berjaya dong). Udah, ngaku aja. Kalau bukan karena rokok itu 'kebutuhan' anda, nggak akan anda repot-repot ingat dan memperjuangkan nasib buruh rokok. Main deh sekali ke Museum Sampoerna di Surabaya, disana anda bisa melihat para mbak-mbak pabrik rokok bekerja. Memburuh rokok itu pekerjaan yang sangat monoton, seperti robot. Dibayar sih dibayar, tapi ini bukan pekerjaan yang bisa meningkatkan kualitas hidup. Benefit seperti asuransi kesehatan dan jaminan hari tua juga nggak ada. Ini yang mau anda pertahankan?

Tapi, gubris anda penuh emosi, pelacuran dan miras itu dilarang agama dan buka saat bulan puasa juga menggoda umat. Oh ya? Seberapa banyak sih orang yang jadi/memakai perek yang anda kenal? Seberapa banyak sih orang yang ngobat dan hobi minum yang anda kenal? Seberapa banyak sih orang yang anda lihat foya-foya makan didepan umum saat bulan puasa? Justru karena di Indonesia normanya masih kuat, hal-hal seperti ini nggak banyak terjadi. Bahaya? Banget. Tapi karena tabu dilakukan di muka umum, pelakunya cuma bisa ngumpet-ngumpet. Dulu waktu mulai iseng coba-coba date sama bule (yang konotasinya seks bebas) saya yang sibuk parno, takut dilihat keluarga besar dan dituduh jadi ayam/cewek ga bener. Beli minuman keras di minimarket juga yang dilihat sinis, padahal tumben banget. Di Jakarta makan pas puasa pun harus ngumpet biar nggak ngeganggu yang puasa, ini kesadaran sendiri ya karena saya menghargai mereka. Kayanya nggak mungkin banget hal-hal begini jadi viral dan semua orang melakukannya, karena masih terpatri dalam masyarakat kita bahwa itu salah. Tapi yang begini yang diributin.

Rokok, dilain pihak, beredar luas dan dimaklumi. "Nggak cowok kalo nggak merokok," konon katanya. Kita pegangan tangan ditegur karena dianggap tidak senonoh, tapi semua orang ngerokok blas blas blas kita anggap biasa. Miras/narkoba/pelacuran bisa dibilang cuma ngerusak badan sendiri, tapi merokok itu merusak badan orang lain juga karena asapnya. Coba deh ngerasain terjebak di dalam bis saat hari hujan di tengah macetnya Jakarta, yang pengap dan sesak karena semua jendela ditutup daaaaan masih ada lho yang keukeuh ngerokok. Nggak usah yang standar Ibu hamil anak kecil lansia dan seterusnya, saya yang masih muda dan sehat pun (jyaaaahhh) kalau terus-terusan terpapar asap rokok ya megap-megap juga. Konsep "ruang merokok" atau daerah khusus rokok sih bagus ya, tapi kalau rokok dianggap barang wajar ya nggak terpakai bukan? Toh semua orang ngerokok, gitu argumennya.

Ini dari segi kesehatan, dari segi ekonomi juga nggak masuk akal. Sebungkus rokok itu Rp 12-15ribu. Itu setara dengan ayam ras ½ ekor/telur ayam ½ - 1 kg/beras setra 1 kg/jeruk medan 1 kg. Itu setara dengan 1 porsi nasi pecel ayam atau 2x makan di warteg (pakai sayur+telur). Sebulan dikumpul dapat setidaknya Rp 350ribu, cukup buat bayar ½ uang kos atau kontrakan, kalau bukan seluruhnya. Misalnya saja gaji perbulan anda Rp 3juta, maka perharinya anda mendapatkan Rp 100,000; yang kurang lebih 1/6 nya anda pakai untuk beli rokok. 1/6 gaji lho. Yang rajin ikut seminar keuangan pasti tahu aturan 50/20/30, 50% (3/6) dipakai untuk rumah dan kebutuhan pokok lainnya, 20% (sekitar 1/6) dipakai untuk tabungan dan investasi, 30% (sekitar 2/6) untuk gaya hidup seperti jjs, liburan, ke resto/cafe dan sebagainya. Jadi biaya rokok anda bisa jadi memakan alokasi tabungan anda, atau membuat anda jadi tidak bisa pergi ke cafĂ©/nge-date sesering yang anda mau. Ini kalau gaji anda 3 juta ya, kalau yang dibawah 3 juta sangat mungkin jatah rokok mengurangi jatah makan, yang mana sangat berabe bila orang tersebut sudah berkeluarga.

Bagi yang kebetulan belum bekerja (baca: pelajar dan mahasiswa), ujung-ujungnya orang tua yang harus menanggung biaya rokok ini. Padahal uang Rp 350ribu sebulan cukup untuk membayar kursus Bahasa Inggris atau Komputer yang lebih menjamin pekerjaan kedepannya. Rp 350ribu dikumpul selama 6 bulan juga cukup untuk membayar SPP kuliah, atau bahkan sekalian dengan SKS nya. Bayar cicilan motor juga bisa, bahkan bisa sekalian cari tambahan jajan sebagai sopir Gojek atau GrabBike. Rp 350ribu itu cukup buat beli buku-buku bermutu, baik novel maupun diktat kuliah. Nggak ngerokok sebulan bisa buat bayar bikin paspor. Nggak ngerokok 4 bulan bisa jalan-jalan backpacking agak beradab ke Bali (dari Jakarta). Intinya, biaya rokok anda bisa dialokasikan untuk memajukan taraf hidup anda.

Yang perlu anda ketahui adalah: rokok dan barang konsumtif lainnya memberikan manfaat hanya kepada pemilik industrinya. Di Amerika sini para penggiat anti rokok sukses menumbangkan industri rokok: rokok mahal, diregulasi sangat ketat (nggak boleh dijual eceran + ada batas umur), ruang merokok dibatasi, plus perokok harus bayar premi asuransi kesehatan lebih mahal. Tapi bukan berarti industri 'berbahaya' lainnya bisa tumbang begitu saja. Biarpun ada sekian banyak penembakan massal di sini, biarpun bisa setiap minggu ada cerita kecelakaan fatal akibat senjata api, tetap saja laris manis. Sebegitu kuatnya lobi (baca: cengkeraman) para pemilik industri senjata api di pemerintahan sini, sampai-sampai studi tentang senjata api pun dilarang, boro-boro aturannya diperketat. Inilah yang terjadi di Indonesia dengan industri rokok saat ini. Semua orang sampai yang dipelosok desa pun merokok, kebayang nggak profit yang didapatkan para pemilik perusahaan rokok ini? Kesibukan anda protes soal harga rokok ya sebenarnya corong mulut mereka juga. Harga rokok Rp 15rb dengan keuntungan Rp5rb tapi dibeli 1 juta orang lebih besar daripada harga rokok Rp 45rb dengan keuntungan Rp 40rb tapi yang beli hanya 10 ribu orang. Rela gitu anda jadi bidak caturnya pengusaha-pengusaha ini?

Sayangnya bagi anda-anda yang perokok, satu-satunya cara pasti untuk membatasi peredaran rokok ini adalah dengan menaikkan harganya. Kalau nggak kebeli ya nggak dibeli. Birokrasi kesehatan kita yang ndalilah masih tidak memungkinkan untuk 'memaksa' orang berhenti merokok dengan mengganjar premi tinggi. Pola pikir masyarakat yang masih menganggap merokok itu wajar juga membuat peredaran rokok semarak syalala. Boro-boro pelarangan adegan merokok di film TV/bioskop, wacana harga naik saja sudah ada hoax kanan kiri. Mau nggak mau ya harus dibuat mahal: instan dan ampuh.

Anda mungkin merasa hak anda sebagai perokok dirampas, namun ada sisi lain dari pemaksaan pembatasan rokok: orang lain (baca: generasi muda) memiliki pilihan untuk ikut kecanduan atau tidak. Saat ini rokok bisa dibilang merupakan bagian dari gaya hidup masyarakat Indonesia, apalagi yang lelaki. Waktu muda hasrat untuk 'fit in' alias diterima di kalangan teman-teman memaksa diri untuk mulai merokok, apalagi bila dilihat orang dewasa disekitarnya juga merokok; saat dewasa karena sudah kecanduan dan harga terjangkau ya sulit untuk berhenti. Di Amerika sini anak mudanya merokok juga kok, tapi karena harga yang cukup mahal plus sanksi sosial tidak banyak dari mereka yang lanjut merokok saat dewasa. Di Indonesia, ini yang terjadi dengan minuman keras. Seberapa banyak sih dari kita yang setelah mencoba bir/miras lalu lanjut tiap weekend minum? Ini yang sebenarnya diharapkan dari kenaikan harga rokok.

Kenaikan harga rokok, seperti juga kehadiran BPJS dan kawan-kawan, bukanlah semata pengerdilan hak seseorang, namun merupakan pertimbangan akan apa yang diharapkan kedepannya. Tentunya prosesnya tidak akan tanpa gejolak, namanya juga proses, tapi kita harus tetap berfokus pada hasil yang diharapkan. Semua hitung-hitungan diatas didasarkan dari konsumsi rokok 1 bungkus sehari, sementara kita tahu banyak dari golongan menengah kebawah yang mengkonsumsi lebih tiap harinya. Buruh pabrik rokok ada berapa banyak sih dibandingkan sekian juta rakyat Indonesia yang 'membakar' uang setiap harinya karena kecanduan nikotin? Hal ini tentunya semakin memperbesar jurang ekonomi yang saat ini saja sudah tidak masuk akal. Dari segi kesejahteraan hidup, kita seharusnya takut dan waspada akan ketergantungan nikotin sebagaimana kita takut dan waspada akan ketergantungan miras/narkoba/seks bebas. Ketergantungan apapun dapat menumpulkan akal kita dan melumpuhkan diri kita, dan mengingat betapa 'santai' dan permisifnya masyarakat kita pada rokok, sangatlah penting kita mengerti dan memastikan kecanduan ini tidak berlanjut di masyarakat kedepannya.

Ingat, golongan menengah kebawah seperti buruh pabrik rokok lah yang paling rentan kecanduan rokok/nikotin, dan yang paling terkena imbas saat sudah terlanjur kecanduan. Membiarkan kecanduan ini berakar dan berjaya di masyarakat berarti membiarkan yang miskin semakin miskin, membiarkan kemandekan ekonomi dan rendahnya taraf hidup di kalangan menengah kebawah. Yang masih pakai alasan soal buruh nanti kehilangan pekerjaan, gimana kalau energinya dipakai untuk memikirkan bagaimana membuka lapangan pekerjaan baru untuk buruh-buruh ini? Bagaimana agar mereka dan anak-anak mereka punya kesempatan untuk memperbaiki taraf hidup mereka? Bisa kan kita perduli dengan saudara sebangsa kita. Tolong, jangan jadikan mereka sekedar lipservice alasan anda untuk memenuhi ketergantungan anda.

Tabik!

Tuesday, August 16, 2016

Nasionalisme

#Nasionalisme

Gue mah masih berharap Indonesia bakal ngebolehin dwi-kewarganegaraan seperti Filipina dkk. Atau paling nggak ngasi visa yang lebih welas asih seperti Cina yang bisa 10 tahun visa turisnya, jadi orang-orang dari negara Cina disini santai aja pindah kewarganegaraan. Sori ya, pemegang paspor Amerika itu kaya punya pintu kemana saja, bisa kemana saja tanpa pusing visa etc. Waktu ke Singapur dulu gue boleh stay 30 hari, mantan laki gue dengan paspor Amriknya boleh stay 90 hari lho. Tetangga kita itu padahal!

Kalau ngomongin soal nasionalisme, apa iya tergantung paspor? Banyak orang yang nggak punya paspor Indonesia tapi cinta mati sama Indonesia. Banyak juga orang yang paspornya cuma Indonesia tapi dari ujung kaki sampai ujung rambut barang luar negeri semua. Biar kata tulisan di tag bajunya "Made in Indonesia" yang penting brand luar negeri. Males kan. Belom lagi yang riuh rendah mencemooh dan mengkritik (baca: misuh-misuh) begitu ada yang dirasa nggak nasionalis, tapi diem aja saat orang menjerit-jerit kalipah (bukan Kali Malang). Yang pura-pura bego saat sodara se-indonesia ditekan dan diinjak dan dizholimi. Jangan tanya kencangnya suara saat berasa dizholimi oleh hukum yang RESMI berlaku di Indonesia (colek simpatisan FPI). Sono ganti paspor.

Kehidupan sehari-hari juga begitu. Kemarin tumben dapat ngobrol sama mami muda disini, orang kedua yang ngeluh nggak bisa masuk ke kumpulan orang Indonesia di daerahnya. Gue pikir gue doang yang nggak gaul, ternyata komunitas "You can't sit with us" benar adanya. Yang kalau ada acara biasanya gue cengok lalala sendiri, atau datang ala SMP aja (sehabis makan pulang). Padahal disini gue temenan sama semua orang lho, sampai yang nemu di bis aja bisa jadi BFF. Dan ternyata gue nggak sendiri, banyak yang nasibnya sama kaya gini. Ini namanya nasionalisme? Sopir bis gue aja kayanya lebih heboh pas tahu gue orang Indonesia. Serius.

Apa iya nasionalisme itu mesti yang berkorban nggak jelas, yang harum namanya etc? Jelas nggak. Sekedar ngebantu sesama orang Indonesia ke kehidupan yang lebih baik itu juga nasionalisme. Sekedar baik dan beradab aja sama sesama orang Indonesia tanpa melihat ras dan agamanya itu udah nasionalisme. Sekedar say hi dan bikin dia ngerasa welcome dan ga jelek-jelek banget, entah dia orang baru di luar negeri atau office boy kantor anda, itu juga udah nasionalisme. Mendorong anak perempuan untuk belajar demi masa depannya itu udah nasionalisme. Mendorong anak lelaki untuk memperlakukan perempuan dengan penuh hormat itu udah nasionalisme. Kenapa? Karena masa depan bangsa ini ada di tangan mereka.

Nasionalisme nggak harus "siap berkorban demi bangsa dan negara". Kalau memang jalannya berkarya di luar negeri karena di dalam negeri tidak memungkinkan ya monggo lho. Kenapa tidak? Kalau elo pikir sumpah kewarganegaraan orang Amerika itu mengerikan, banyak kok kejadian yang orang amrik hasil naturalisasi seperti (mantan) pak menteri ujung-ujungnya jadi spy atau teroris. Banyak juga orang amrik yang ujung-ujungnya ngelepas kewarganegaraannya, apalagi yang kaya, karena di Amrik kekayaan yang didapat di negara lain pun tetep kena pajak. Ngehek kan jadi kena pajak berkali-kali.

FYI, saya sudah pernah disarankan untuk melakukan yang dilakukan pak (mantan) menteri. Ga akan ketauan, bisik si pembisik ini. Saya mah males ya. Bukan karena nasionalisme, tapi karena kalau ketauan berabe. Nggak penting juga, karena hak dan kewajiban pemegang green card kurang lebih sama dengan citize, cuma nggak bisa voting dan hal-hal yang berurusan dengan security clearance (jadi polisi etc). Tapi yang jelas dwi-kewarganegaraan petak umpet ini bukan barang baru.

Yang kita baru ngeh soal bendera tiap 17 agustus, sama seperti orang sini baru ngeh be kind and giving tiap mo natalan, apa iya itu nasionalis? Yang ngedukung tim badminton kita pas olimpiade aja, tapi cuek bebek kalo nggak (dan yang keturunan Cina habis kita maki-maki pada kesempatan lain), apa iya itu nasionalis? Yang tiap ngeliat artikel tentang rendang dan keindahan alam Indonesia langsung: I'm Proud to be Indonesian!!, apa iya itu nasionalis? Setau saya itu namanya latah.

Seperti cinta-cinta lainnya, it's true love if you love it as a whole. True love kalau kita menerima apa adanya, dan mau berusaha memajukan satu sama lain demi kehidupan dan masa depan yang lebih baik. Ini definisi Nasionalis, cinta tanah air dan bangsa. Mau paspornya apa kek nggak ngaruh. Security breach pastinya jadi pertimbangan kalau soal Pak (mantan) menteri, tapi itu sama sekali nggak bisa jadi patokan nasionalisme beliau. Mending doi daripada situ yang pede banget paspor Indonesianya dapet diperpanjang di luar negeri. Salam Merdeka!!!!

Tuesday, June 7, 2016

Kalori Kosong

Kalo baca status motivasional biasanya pada manggut-manggut dan merasa tercerahkan bagai minum krim pemutih. Padahal banyak lho status motivasional yang seperti Frappucinonya starbux, sedap dimulut dan penuh kalori tapi kalori kosong. Habis minum bukannya kenyang malah diabetes eh maksud saya masih lapar, atau malah jadi inguh/gelisah sendiri.

Jualan motivasi mah sama seperti jualan agama, modal kecil hasil maksimal. Pokoknya asal Salam Super atau jargon positif lainnya laris manis deh, biarpun itu tadi, cuma kalori kosong. Bagus kalo kalori kosongnya cuma cuapan sendiri, seringkali nyolong terang-terangan dari motivator lain yang juga nyolong. Walhasil satu foto/konten/postingan bisa nongol dari 3-4 orang lain secara serentak di timeline fesbuk, tanpa info siapa sebenarnya pemilik konten tersebut. Ceramahnya soal memperbaiki diri tapi nyolong jalan terus. Jyahhhh....

Gimana membedakan motivator yang asli dengan yang kalori kosong? Yang asli biasanya feelnya ada. Yang paling penting dari motivasi inspirasi etc itu adalah honesty, kejujuran. Orang yang sudah pernah merasakan hilangnya harta akibat boros pastinya bisa ceramah pengaturan keuangan dengan lebih menggebu daripada yang sekedar tahu dari bacaan. Pun mereka nggak mempromosikan sesuatu yang mereka nggak bisa jamin kebenarannya.

Misalnya saja: "Dengan mengubah pola pikir anda anda bisa sukses!". Ini sebenarnya nggak salah lho. Biar saya sampai bego berpikir saya pantas jadi Miss Universe nggak mungkin saya bisa jadi Miss Universe; tapi kalau saya mengubah pola pikir saya dan menggapai hal-hal yang memang keahlian saya tentunya saya bisa sukses juga dan tak perduli bahwa saya bukan Miss Universe. Sayangnya ini biasanya diselewengkan dan jadilah orang-orang berdasi lusuh berusaha menjajakan dagangan (mlm) nya sambil terus berharap dan bermimpi "Saya akan sukses!". Padahal sukses bukan cuma attitude dan mind set, sukses juga kudu punya skill.

Mau bagaimana lagi, yang dijual motivatornya juga bahan mentah, apa iya yang beli bisa dapat nutrisinya? Ibarat jual beras vs jual nasi, yang pintar dan bermodal (kompor, dandang, kayu bakar) pastinya bisa mendapat manfaat lebih dari beras mentah, tapi yang nggak punya/kurang cerdas dan/atau kurang modal lebih perlu nasi yang sudah jadi. Susahnya ya itu, kalau yang jualan juga sebenarnya nggak bermodal dan nggak berpikir. Lebih susah lagi kalau yang jualan juga cuma mikirin untungnya saja, peduli setan nasib yang beli.

Motivator dan agamawan itu harusnya orang-orang yang sangat mencintai sesamanya, makanya tujuan hidup mereka membuat hidup orang lain lebih baik via motivasi atau ajaran agama mereka. They believe in human, mereka percaya akan kekuatan manusia. Berasa lho bedanya dengar teman yang bilang "You can do it!" karena mereka benar-benar percaya sama kita dan ingin kita berhasil, vs yang basa-basi "Yeah loe pasti bisa kok" padahal nggak peduli. Motivator dan agamawan yang terbaik juga yang sudah pernah mencicip ajarannya sendiri. Ibarat koki, yang paling oke adalah yang sering masak dan berpengalaman, bukan newbie yang cuma modal sekian banyak buku memasak.

Tapi apa kita peduli? Nggak juga. Buktinya frappucino laku terus bukan? Kopi hitam di cafe terkenal juga dianggap lebih elit dari kopi hitam di warkop pinggiran, walau sebenarnya nggak bisa ngebedain rasanya. Kita suka yang bling-bling, yang wah, yang instan. Kita suka minuman manis yang bikin kita merasa super dengan instan walau isinya cuma kalori kosong.  Nggak apa-apa sih sebenarnya, asal jangan cuma itu saja asupan kalorinya. Bisa busung lapar otak dan hati nantinya.

Kenapa saya reseh? Mungkin karena saya cinta manusia, termasuk anda-anda yang membaca tulisan saya sampai sejauh ini. We can do better, you can do better daripada cuma jadi mangsa para motivator penjual kalori kosong ini. Enak bener mereka cuap-cuap tanpa mampu mempertanggungjawabkan jualannya. Tapi ya itu tadi, semua balik ke anda untuk beli frappucino atau beli es degan (yang paling nggak ada tape dan jeli nya), antara beli mi instan (baca: spagheti) merk luar negeri vs mie tek-tek abang-abang. Pilihlah menu yang menutrisi hati dan otak ya mas/mbak, dan yang disajikan dengan pengetahuan serta pengalaman yang memadai. Buat diri sendiri pastikan yang terbaik :)

Sunday, August 16, 2015

Elanto dan Internet: Hadiah Terbaik Dirgahayu Indonesia yang ke 70

Mungkin 'hadiah' paling berharga untuk Indonesia di ulang tahunnya yang ke-70 adalah penduduknya yang mulai 'melek' internet dan berani 'bersuara'. Setelah sekian lama kita cuma diam mengiyakan apa kata TVRI dan cuma bisa berspekulasi apakah ikan tangkapan pak Harto hanya trik biasa atau memang dia jago, sekarang ini kita bisa mengutarakan pikiran kita dengan lebih bebas. Yang mana munculnya Elanto-Elanto yang berani menghadang konvoi MoGe. Mampunya kita menekan polisi untuk mengusut tuntas kasus Angeline. Didengarnya suara rakyat yang menolak dana-dana tidak jelas DPR. Ini semua berkat internet dan psy-war pemilu 2014.

Pastinya para penggagas psy-war pemilu tahun lalu tidak menyangka efeknya akan sebesar ini. Atau sebelumnya, penggagas kampanye via internet yang sukses (seperti tim Jokowi-Ahok) pastinya tidak menyangka akan seperti ini. Attack, counter-attack, apapun dilakukan dan dihalalkan untuk menarik perhatian ke satu kubu dan mencoreng kubu lainnya, elegan atau tidak itu bukan masalah. Kubu tandingan tentunya tidak mau berdiam diri dan ikut dalam perang tersebut. Masyarakat jadi terbagi, terbelah. Saya sendiri sampai kehilangan teman gara-gara dukung-mendukung tersebut. Sampai sekarang, yang pemilu sudah selesai dari kapan tahu, masih saja ada sisa-sisa yang sibuk berantem sendiri di dunia maya. Walau kedengarannya sedih, namun sebenarnya ada silver lining/berkah yang timbul dari peperangan ini: kita jadi berani bersikap.

Dulu-dulu boro-boro. Gaya kita dulu mah, pemerintah urusan pemerintah, rakyat urusan rakyat. Nggak ada yang repot buka mulut karena tahu tidak ada yang membela, karena pikiran kebanyakan orang adalah “ngapain mati konyol”. Pemerintah mau apa juga kita cuma bisa ngelengos, seolah bukan urusan kita walau sebenarnya kita yang memilih mereka. Sekarang lain, dan adik-adik pengguna internet yang masih 20an tahun kebawah mungkin tidak ingat masa-masa itu. Bahkan teman-teman sejawat yang seumuran dengan saya (30an keatas) mungkin sudah lupa masa tanpa Facebook dan BBM dan media sosial lainnya, saking seringnya kita menggunakan internet: Masa dimana koran Kompas dan tabloid Tempo adalah andalan dalam mencari berita, masa dimana TV-TV masih belum berpihak tapi juga disensor sehingga pemerintah selalu terlihat baik, masa dimana saat frustasi menghadapi pemerintah cuma bisa disalurkan dengan ngomel-ngomel saat arisan atau di tempat kerja. Sekarang jangan ditanya, cukup buka media sosial pun kita sudah tahu berita hari ini (baik diinginkan atau tidak). Dunia dan pengetahuan benar-benar diujung jari kita, dan untuk beberapa tipe hape, diujung jempol kita.

Kemudahan untuk membagi apa yang kita percayai (i.e. berita) dan kemudahan untuk melihat seberapa banyak orang yang se-ide dengan kita membuat kita berani berdiri dan mengambil sikap. Ini bukan hal yang sepele lho. Pengetahuan bahwa ada sejumlah orang yang se-ide dengan kita membuat kita lebih yakin dengan apa yang kita percayai. Kalau sembilan dari sepuluh orang bilang mendengar meongan kucing sementara anda sendiri mendengar gonggongan anjing, pastinya anda pikir anda yang salah. Tapi kalau paling tidak tiga atau bahkan empat orang bilang mendengar gonggongan anjing, pastinya anda akan lebih pede dengan pengamatan anda, bukan? Walau bisa saja sebenarnya anda yang salah dengar. Konon katanya “ducks go together, eagle soar alone”, bebek perginya ramai-ramai tapi elang terbang sendiri. Tapi jangan lupa, terbang sendirian berarti lebih mudah ditembak jatuh pemburu, sementara kalau beramai-ramai walau mungkin ada satu-dua yang tertembak namun mayoritas bisa selamat. Inilah kemampuan internet yang sebenarnya.

Sayangnya kemampuan ini memiliki kelemahan fatal: Penggunaannya dan hasil akhirnya tergantung manusianya. Sebagaimana pisau, klewang, keris, senapan, atau senjata lainnya, tanpa manusia yang menggunakannya mereka hanya benda mati. Namun ditangan manusia mereka bisa jadi benda mematikan. Menggunakan internet sama seperti menggunakan sebilah pisau: anda bisa menggunakannya untuk membuat sesuatu yang bisa membantu orang lain, anda bisa menggunakannya untuk melukai orang lain, anda bisa menggunakannya untuk hal-hal sepele hingga tumpul. Berita-berita hoax atau yang penuh opini yang menggiring/bernada kemarahan dan memecah belah tidak bisa dihindari. Buat apa repot-repot bayar artis untuk kampanye/mengumpulkan pendukung kalau berita di Internet sudah cukup. Begitupula dengan pencari uang dari artikel bombastis tersebut, yang tidak segan menulis sedemikian rupa hanya demi jumlah rating atau like dan share. Masalah rakyat terpecah urusan belakangan, duit nomor satu. Tinggal kita sebagai pengguna internet yang harus mampu memilah mana  yang baik dan mana yang tidak. Masalahnya kita tidak selalu bisa. Ditambah dengan keanoniman internet, jadilah seringkali kita malah membuka buruknya kita sendiri. 

Tanpa kita sadari, berita yang kita share atau like itu mencerminkan siapa kita, apa yang kita baca dan apa yang kita percayai. Kalau dulu kita pikir-pikir sebelum buka mulut karena takut menyinggung orang lain, sekarang kita 'terlindungi' oleh keanoniman internet dan merasa banyak dukungan dari like dan share orang-orang. Pokoknya hak kita untuk bersuara, bersikap. Maju terus pantang mundur. Padahal orang-orang yang lebih pintar memperlakukan internet layaknya sang juara catur, tidak sembarangan mengambil sikap apalagi mencaci. Orang yang terlihat baik di Internet tidak selalu baik lho, tapi sayangnya orang yang dengan buas mencaci di internet biasanya memang lumayan 'bermasalah'. Sikap ini yang dipakai orang-orang pintar untuk memanfaatkan yang kurang pintar/seksama. Jadilah kita pion yang bisa diatur sekehendak hati demi profit dan kekuasaan, sementara kita sibuk percaya bahwa apa yang kita percayai benar adanya. Bukannya “Gajah bertempur Pelanduk mati ditengah-tengah”, tapi “Pelanduk bertempur gajah asik menonton”.

Ini tidak terjadi di Indonesia saja lho. Di Amerika sini juga seperti itu. Penggiringan opini dirasa lebih menguntungkan dan lebih mudah daripada harus mengakomodasi seluruh pihak. Kalau di kelas sejarah dulu disebutnya Divide et Empera, dan inilah yang terjadi saat ini. Media pun tidak bisa diminta pertanggungjawabannya karena mereka pun hanya badan bisnis: mereka akan memberitakan apa yang layak jual, apa yang akan laris. Dengan kata lain, kita selaku konsumen lah yang menentukan. Kalau anda tidak percaya, coba hitung seberapa banyak postingan ilmiah yang mampir ke lini masa medsos anda. Bandingkan dengan postingan yang edgy atau bombastis yang menyangkut seks atau SARA atau selebriti termasuk selebriti religi. Ilmiah itu berat bo', sulit dicerna. Walau tahu bahwa akan ada hujan meteor itu akan membantu pemahaman kita akan betapa indahnya dunia dan betapa kecilnya manusia, tapi tas Hermes Syahrini dan memaki tokoh politik lebih gampang dilakukan. Ketemu berita 'baik' seperti orang membantu orang lain biasanya kita cuma senyum kecil dan bilang, “Oh that's nice” atau “Ih keren ya”, tapi ketemu berita 'buruk' apalagi menyangkut apa yang kita percayai, dan langsung deh kita dengan emosinya komen dan share sembari meluapkan emosi jiwa. Media dibuat oleh manusia, oleh saya dan anda yang mau repot membaca. Isi beritanya juga anda yang memilih. Sejarah sudah membuktikan bahwa kebenaran tak bisa dibungkam, mau disensor seperti apa juga pasti yang benar akan keluar.

Kenapa penting buat kita bangsa Indonesia untuk mengerti ini? Karena sumber daya manusia kita yang amat sangat besar. Kita sudah masuk peringkat utama pengguna Facebook di dunia, padahal jaringan internet yang bisa diandalkan cuma di pulau-pulau besar saja dan itupun seringkali hanya terbatas di kota besar/kota utama. Dan itu dengan tanpa mengetahui bahwa Facebook itu pakai internet. Serius ini. Banyak pengguna Facebook di Indonesia yang bilang kalau mereka tidak pernah pakai internet, karena mereka tidak mengasosiasikan Facebook dengan Internet. Kebayang nggak kalau semua melek internet dan akses internet lancar jaya? Dan bukan cuma melek internet ya, namun juga mampu menggunakannya dengan maksimal dan objektif. Karakteristik orang Indonesia yang tahan banting itu aset banget di masa sekarang, dan dengan jumlah orang saja kita bisa memastikan suara kita didengar dunia. Jargon Indonesia macan Asia atau raksasa dunia buat saya amat sangat mungkin. Dari sekian negara di dunia mungkin cuma Indonesia yang paling terlatih soal menghargai perbedaan dan kesantunan yang didapat dari adat istiadat suku masing-masing, yang mana merupakan barang yang amat sangat langka di arena global masa sekarang. Tapi ya itu, bukan hanya kendala akses, kita juga masih terkendala kemauan dan kemampuan berpikir objektif. 

Apa kita harus menyerah? Tentu tidak. Saya tidak terbayang di jaman dulu bagaimana perasaan para pendahulu kita yang belajar di STOVIA: jauh dari keluarga, berbeda dari mahasiswa lainnya, namun penuh harapan dan ma(mp)u melihat secara keseluruhan dan bukan cuma tentang mereka saja. Anda dan saya adalah bagian dari Indonesia. Apapun yang terjadi, saat mentari bersinar besok kemungkinan besar anda dan saya masih tetap bagian dari Indonesia. Ini rumah kita, tanah air kita. Sudah saatnya kita  berpikir sebagai keseluruhan, bukan hanya kelompok saya dan kelompok anda. Sudah saatnya kita bersatu dan menjadi sapu lidi yang mambu membereskan dan membuang kotoran yang ada, dan bukan hanya menjadi batangan lidi yang dipatah-patahkan oleh anak kecil yang sudah bosan. Internet bisa memecah kita, namun internet juga bisa mempersatukan kita, dan memberikan kita suara yang sepantasnya didengar dunia. Bangkitlah Indonesia, doa kami besertamu!!!

Monday, June 8, 2015

Sebab Akibat dan Si Padi yang Merunduk

Barusan saya baca postingan temannya teman tentang kisruh PSSI, yang diakhiri dengan kalimat "Gara-gara masalah di 2 tim, menpora menghancurkan persepakbolaan satu negara." Lah, kok nyalahin menpora?

Saya nggak tau kisruh di PSSI, dan sama sekali nggak perduli dengan persepakbolaan manapun. Jadi saya nggak tahu siapa yang salah (dan seberapa kadar salahnya) atau siapa yang bener (dan seberapa kadar benarnya). Yang saya tahu sih kelakuan menyalahkan pemerintah/atasan/pembuat peraturan begini sudah jamak terjadi, walau sebenarnya seringkali salah sasaran. Terkadang ya, yang harus disalahkan dan dijitak ramai-ramai itu bukan pembuat peraturan, tapi orang yang membuat peraturan tersebut jadi ada.

Saya sebenarnya sudah lama ngeh soal ini, terutama saat saya termasuk pihak yang dirugikan. Misalnya saja waktu SMA peraturan harus pakai baju batik yang benar-benar batik, nyebelin dan bikin susah saja karena baju batik yang oke itu nggak murah . Tapi itu juga peraturan yang ada karena terlalu banyak murid (termasuk saya) yang malah pakai baju batik hawai, yang motif kembang sepatu/pohon kelapa ceria gitu deh. Atau saat kuliah yang saya sampe menangis dan membentak wakil dekan saya karena si ibu ini tidak mau memberikan keringanan jadwal kuliah demi pekerjaan saya, alasannya karena banyak mahasiswa minta keringanan dengan alasan kerja padahal sebenarnya tidak. Padahal saat itu saya memang kerja untuk menghidupi diri saya sendiri. Wakil dekan itu memang ngeselin, tapi yang paling saya benci adalah mahasiswa-mahasiswa yang bohong dan bikin hidup saya jadi susah.

Tentunya tidak selalu mudah untuk 'menelan' aturan dadakan seperti ini, apalagi kalau rasanya tidak adil buat kita. Misalnya saja saat perusahaan tempat saya kerja dulu menetapkan aturan dilarang mengirim barang ke kantor, karena salah satu freelancer kami menyalahgunakan kantor sebagai 'gudang' barang dagangan online nya. Saya yang butuh alamat aman untuk dikirimi berkas-berkas visa saya saat itu jelas merasa terzolimi. Walaupun saya tetap sebal sama si pelaku, namun buat saya aturan itu tidak tepat sasaran karena hanya satu orang yang berbuat. Lebay gitu deh. Tapi ya itu tadi, biasanya peraturan tidak akan dibuat kalau tidak ada yang duluan berbuat. Di Indonesia mungkin tidak terlalu terasa karena semua bisa 'diatur', tapi di Amerika sini terasa sekali karena sampai hal-hal kecil juga diatur berkat orang yang rajin nyari celah.

Di Amerika sini misalnya, pernah ada kasus dimana seorang anak wanita (saya lupa umurnya, 9 atau 11 tahun mungkin?) yang berjualan cupcake diharuskan memiliki izin bisnis karena omzetnya sudah omzet bisnis dan dikelola secara profesional. Yang kontra bilang tidak adil pemerintah mau memajak anak sekecil itu, dan maki-maki pemerintah sebagai rakus dan seterusnya. Yang pro bilang "rules are rules", aturan ya aturan; perijinan itu bukan cuma narikin pajak, tapi juga mengatur kebersihan dapurnya dan barang dagangannya agar pemerintah dan penjual terlindung dari tuntutan kalau ada yang sakit karena cupcake tersebut misalnya. Masuk akal juga kan kalau dipikir-pikir.

Apa ini penting? Jelas iya. Bisa berpikir jernih dan tahu siapa yang harus disalahin itu penting lho. Itu akan melatih kita belajar sebab akibat, jadi nggak main hantam dan dengan mudahnya menunjuk "Oh, itu dia yang salah!". Contoh nyata banjir di Jakarta. Pas penduduk bantaran sungai digusur, bilangnya tidak manusiawi. Pas banjir gede, bilangnya pemerintah nggak becus mengurus Jakarta. Repot kan? Mengerti soal sebab akibat ini juga penting buat kita agar kita tidak jadi orang reseh yang menyebabkan ketidaknyamanan bagi orang lain. Misalnya soal buang sampah. Kalau kita mau berpikir sebentar saja, itu sampah setelah kita buang kemana nasibnya, pasti kita jadi mikir sebelum buang sampah sembarangan. Sekarang kan ibaratnya out of sight out of mind, kalau nggak kelihatan nggak usah dipikirin. Padahal sampah kan nggak bisa bim salabim hilang bo'. Yang ada juga nyangkut entah kemana dan jadi masalah buat orang lain.

Mental menyalahkan orang lain tanpa berpikir panjang itu buat saya bukan budaya asli Indonesia. Kalau melihat budaya asli Indonesia, suku apapun terbiasa mendengar dan melaksanakan petunjuk dan petuah sang pemimpin/yang dituakan tanpa banyak cingcong. Iya sih, terkadang dibumbui mistis agar lebih tokcer begitu, tapi siapa sih yang berani berdebat dan mempertanyakannya? Budaya kita budaya manut dan menghormati pemimpin/tetua/Tuhan. Sayangnya keterbukaan teknologi dan kemudahan akses informasi semakin menggusur budaya ini. Kalau dulu orang yang lebih tua dianggap gudang ilmu, kalau sekarang dianggap nggak update, kalah sama mbah Google. Kalau dulu cuma orang tertentu bisa jadi dokter atau ahli agama, sekarang semua orang bisa jadi dokter/ahli agama online. Tinggal google dan copas saja kok, jadi deh kelihatan pintar/bijak, masalah benar nggaknya ya nggak masalah. It is on the internet, so it must be true.

Di bukunya Michael Crichton yang Jurrassic Park, ia menuliskan bahwa ilmu pengetahuan instan ini membuat manusia jadi sombong. Karena didapatnya instan dan tidak lewat perjuangan, jadi dipakai dengan semena-mena dan akhirnya manusia berlagak seperti dewa yang mahabisa dan mahatahu. Kalau dipikir-pikir sama seperti ilmu padi sih: makin penuh makin merunduk, sementara yang kosong mah mengacung dengan pedenya. Sayangnya kebodohan itu seperti hama yang meluas jauh lebih cepat daripada padi-padi yang bagus matang. Menginfeksi gitu lho. Apalagi di era keterbukaan informasi seperti sekarang, yang mudah sekali mencari info yang kita maui. Yang kita maui lho ya, bukan berarti dapatnya akan berimbang. Misalnya saja soal pengungsi Rohingiya, pencarian dengan keyword "kebiadaban umat buddha terhadap Rohingiya" dan "kebohongan Rohingiya" pasti menghasilkan dua hasil yang bertolak belakang satu sama lain. Padahal kalau mau pintar dan repot sedikit, tinggal cari "Konflik Rohingiya" dan memilah berita dari sumber yang resmi, jadi deh tahu jalan cerita yang berimbang.

Kebodohan ini juga seperti gangren/kebusukan yang kalau dibiarkan akan menyebabkan kelumpuhan. Di Amerika sini ketidakpercayaan akan aturan/penguasa itu sudah kronis sekali. Kebijakan apapun yang diambil oleh pemerintah, pasti ada saja yang protes. Apalagi kalau kebijakannya menyulitkan diri mereka. Saat ada orang yang mencoba taat aturan (seperti saya) malah dibilang "Kamu mau saja jadi budak sistem!". Lah, aturan kan ada untuk memudahkan hidup karena banyak orang yang mentalnya keledai, mesti dicambuk biar patuh. Kalau nggak ada aturan sementara mentalnya masih mental keledai yang suka-suka gue ya repot. Lihat saja jalanan Jakarta saat rush hour, yang macetnya benar-benar total karena semua tidak taat aturan dan menyerobot jalan. Inilah kenapa penting bagi kita untuk melihat lebih dekat, menganalisa secara subyektif keputusan atasan/pemerintah kita sebelum menyalahkan. Selain untuk mencegah ketidakpercayaan kronis yang akan melumpuhkan negara (seperti di Amerika sini), pemahaman sebab akibat juga membuat anda sebagai pribadi lebih maju. Dan bila rakyat maju, negara pun maju.

Ini bukan berarti anda tidak boleh mengkritisi atasan/pemerintah ya. Mereka juga cuma manusia, dan namanya politik titipannya banyak. Kalau anda merasa kebijakannya tidak tepat, silakan lho protes atau komplain, dengan catatan anda tahu cerita lengkapnya. Jangan tahu cuma satu versi lalu sibuk mencaci, misalnya saja soal pelarangan pemotongan hewan kurban di sekolah atau di tepi jalan. Kita diberikan Tuhan kemampuan untuk menganalisa, dan alat-alat yang diperlukan untuk menimbang dan mengukur (i.e internet). Pergunakanlah sebaiknya, seadilnya seperti Nabi Sulaiman. Jangan malah dipakai untuk memperbodoh diri sendiri dan memelihara kegelapan di dalam diri sendiri. Bersinarlah Indonesia!

Friday, April 3, 2015

Buka Hati, Buka Mata, Karena Knowledge is Power!

"StaN akan membuat lulusannya menggawangi system pajak yang jelas2 menyelisihi ajaran Islam."
Begitu komen yang saya baca pagi-pagi di sebuah artikel tentang sekolah-sekolah unggulan di Indonesia. Sibuklah saya mengelus-elus dada. Hari gini coba, hari gini.

Kata orang Amrik sini, "Knowledge is power". Ini benar lho dalam artian sesungguhnya, siapa yang punya ilmu/pengetahuan pasti akan punya kuasa. Makanya wikileaks dan kasus hack-menghack marak, makanya mata-mata sudah ada dari jaman baheula. Kalau kita tahu sesuatu yang berharga, otomatis nilai tukar/bargaining power kita juga bertambah. Anda yang jago Bahasa Inggris pasti bisa minta dibayar lebih oleh bos anda bukan? Begitupula anda yang jago akuntansi/komputer, bila dibandingkan dengan orang yang masih cuma mampu mengetik 11 jari (a.k.a 2 jari telunjuk). 

Punya banyak pengetahuan juga membantu otak anda berpikir dan melapangkan hati anda. Ibaratnya seperti merambah hutan dan membuka lahan pertanian baru. Seberapa banyak pengetahuan yang anda dapatkan tergantung dari seberapa jauh anda berani mencari pengetahuan. Sayangnya, di era keterbukaan informasi ini makin mudah juga terjebak dalam pengumpulan pengetahuan yang kita maui, jadi bukannya membuka diri malah justru menutup diri. Kalau tidak sesuai dengan paham kita maka kita anggap tidak benar. 

Misalnya saja anda membuat teori bahwa mawar merah itu bunga yang paling indah, tapi bukannya berusaha mengerti lebih lanjut tentang mawar merah itu sendiri (bagaimana warnanya bisa merah, jenis apa yang paling banyak ditemui, peran mawar merah dalam kehidupan manusia etc) anda malah cuma mengumpulkan data siapa-siapa saja yang setuju kalau mawar merah yang paling indah dan menganggap siapa yang tidak suka mawar merah sebagai musuh anda. Nggak berkembang kan jadinya?

Hal ini banyak terjadi terutama dalam pengamalan agama. Contohnya ya seperti diatas tadi. Padahal menurut Wikipedia semua negara di dunia ada pajaknya juga kok. Arab Saudi memakai sistem zakat, tapi wajar sekali bila negara-negara yang kaya tapi memiliki wilayah kecil dan penduduk minim mampu membiayai kehidupan penduduknya tanpa menarik pajak. Nggak perlu jauh-jauh, lihat saja sekeliling anda. Orang yang sosio-ekonominya rendah dengan jumlah anggota keluarga yang berlimpah pasti harus bekerja lebih giat untuk membantu keluarganya, tapi yang sosio-ekonomi tinggi dan jumlah keluarga minim bisa jjs dan pelesir karena anggota keluarga mereka tidak ada yang perlu dibantu. Pajak ya itu, usaha untuk membantu 'keluarga' anda.

Sayangnya logika sesederhana ini nggak akan bisa masuk atau dimengerti kalau kita menolak membuka diri. Apalagi kalau hubungannya dengan Tuhan, dengan agama, langsung deh kita jadi binatang buas yang siap menerkam siapapun yang berusaha menggoyahkan kedaulatan Tuhan kita. Sensitif gitu deh ceritanya. Saya sudah melihat orang dari berbagai agama melakukan hal ini, saya sendiri pernah kok. Pokoknya agama itu saklek, harus sesuai apa yang tertulis di kitab suci. Padahal kalau iya repot banget lho. Saya yang Hindu dari Bali misalnya, kalau disuruh sembahyang pakai Ghee dan susu seperti di India bisa bangkrut saya. Tapi walaupun ritual Hindu Bali sedikit berbeda dengan Hindu India, saat membaca Kitab Suci saya masih bisa menerapkan ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari. 

Idealnya, inilah yang harus terjadi. Agama itu adalah tuntunan hidup, bukan kerangkeng hidup. Pajak menyelisihi ajaran agama Islam dalam hal apa? Apajah bisa disiasati agar negara tetap berjalan tanpa pajak? Apakah dijaman dulu pun tidak ada pajak? Begitu banyak yang bisa dipertimbangkan dan bukannya sekedar bilang "Menurut kitab suci itu salah!" tanpa berusaha mengerti lebih dalam. Kitab suci harusnya dimasukkan kedalam hati dan menjadi nyawa dalam kehidupan keseharian kita, seperti layaknya software/perangkat lunak yang 'menjalankan' kita agar kita menjadi manusia yang lebih baik, menuju dunia yang lebih baik; dan bukan sebaliknya, kita yang berusaha memasukkan diri kita kedalam kitab suci dan hanya hidup disana.

Lagi-lagi kembali ke diri kita sendiri, seberapa jauh kita mau mencari pengetahuan dan seberapa lebar kita mau membuka diri. Saya baca postingan di Facebook yang bilang pendidikan di Indonesia jelek karena gurunya tidak menjelaskan kenapa pengetahuan itu berguna. Padahal di Amerika sini juga sama, banyak banget saya lihat postingan yang komplain bilang pelajaran yang mereka dapatkan tidak berguna di kehidupan nyata. Masalahnya nggak mungkin satu-persatu dijelaskan kenapa ini/itu berguna. Selain keterbatasan waktu manusia, juga ada faktor ke-ndableg-an manusia, alias sudah diinfo tapi masih tidak mau mengerti. Yang bisa kita lakukan adalah menganggap semua pengetahuan (dan orang) itu punya potensi untuk berguna, jadi kita lebih melapangkan diri untuk menerimanya. Mau dipakai atau tidak ya urusan nanti.

Mungkin banyak dari anda heran kenapa saya sibuk ngurusin agama orang. Saya tidak ngurusin agama orang, catet, saya ngurusin saudara sebangsa setanah air saya. Dari sebelum saya diboyong ke Amerika saya sudah percaya kalau Indonesia punya potensi besar. Sekarang saya di Amerika saya tambah yakin kalau Indonesia (dan orang-orangnya) bisa jadi jauh lebih besar dan lebih berjaya daripada negara lain. Dari segi jumlah manusianya saja, kita bisa dengan mudah melibas negara lain. Bagaimana tidak, Indonesia yang internetnya lelet dan jaringannya amat sangat terbatas bisa punya pengguna Facebook terbanyak nomor 4 di dunia. Padahal dari sebanyak itu mungkin cuma sepersekian yang mengerti bahwa untuk menggunakan Facebook mereka sebenarnya terhubung dengan internet. Nggak, saya nggak bercanda. Banyak pengguna Facebook di Indonesia yang disurvey bilangnya nggak pernah 'menyentuh' internet padahal mereka selalu online di Facebook BBM dan sebagainya. Bukan karena mereka bohong, tapi karena mereka memang tidak mengerti. Terbayang tidak kalau orang Indonesia bisa 'melek' internet dan sinyal internet di Indonesia lebih bagus dan merata? Belum lagi sifat dasar orang Indonesia yang dasarnya tidak manja dan pantang menyerah, dan kemampuan kita menyerap bahasa asing yang sangat cepat. Orang Indonesia itu pejuang tangguh banget deh. Makanya kalau dengar orang Indonesia yang berpikiran sempit rasanya gimana gitu.

Tapi terlepas untuk apa saya mengurusi orang lain, punya pengetahuan luas itu sangat menyenangkan lho. Yang paling 'berasa' sih saat saya bisa membandingkan kondisi saya dengan orang lain, dan merasa bersyukur karenanya. Kalau saya tidak repot-repot baca berita tentang negara lain atau berusaha mengerti orang lain, mungkin saya tidak tahu seberapa beruntungnya diri saya dibandingkan sekian banyak orang lain di dunia ini. Kalau saya tidak buka mata dan buka hati saat tinggal di Amerika sini, mungkin saya tidak tahu seberapa indah dan nyamannya sebenarnya Indonesia. Atau ya itu tadi, seberapa hebatnya orang Indonesia sebenarnya. Baca berita dan tahu tentang negara lain juga menumbuhkan empati dan simpati saya terhadap manusia keseluruhan. There are so many bad person in this world, but there are many good person as well; and we will never know which one's which without opening our mind and our heart. Di dunia ini ada begitu banyak orang yang tidak baik, namun ada begitu banyak orang baik juga; dan kita tidak akan tahu yang mana yang baik dan yang mana yang buruk kalau kita tidak mau membuka mata dan hati kita. Dunia itu indah lho. Sumpah.

Search This Blog