Pelajaran paling berharga dari mengikuti berita politik di Indonesia dan Amerika adalah menyadari kalau haters gonna hate. Orang kalau sudah tidak suka ada saja alasannya untuk melihat apa yang salah dari kita, kalau perlu pakai ilmu cucoklogi yang nyambung nggak nyambung harus nyambung.
Dulu saya nggak pedean karena saya terbilang montok dan muka saya tradisional sekali. Nggak jelek, cuma beda saja. Disaat teman-teman SMA saya terlihat begitu manis dan rapuh, saya kayanya sudah solid luar dalam. Gimana mau punya pacar coba. Akhirnya saya masuk ke persona cool sexy grunge. Yah, paling nggak saya mencoba sih. Walau persona itu lumayan berhasil, tapi saya tetap saja tidak pede. Masuk kuliah tidak pedenya malah makin nambah karena tahu diri tidak punya uang lebih untuk jjs ke mall atau beli baju baru yang modis sering-sering. Tambah lagi nggak becus pake makeup. Klop sudah penderitaan. Persona nya jadi agak berubah, kali ini menjadi sexy cuek. Sengaja memanfaatkan kemontokan badan saya untuk menarik perhatian lawan jenis, juga untuk membungkam pendapat yang tidak diundang, "Kalau loe kurusan pasti tambah cantik deh!". Saya sebal sekali dengan orang-orang yang komentar seperti itu. Memangnya ada yang salah ya kalau badan dan penampilan saya begini? Nggak bisa ya liat siapa saya dari dalam dan bukan dari luarnya saja?
Jawabannya ya seperti apa yang bisa anda duga: nggak bisa. Saya melewati masa kuliah tanpa ada satu cowok pun menembak saya. Saya punya pacar, tapi saya selalu berpikir kalau saya harus jadi wanita super untuk menutupi kekurangan saya di bidang fisik. Padahal saya tahu saya nggak jelek-jelek amat, tapi saya juga percaya sebagian besar orang tidak menganggap saya menarik. Waktu saya pindah ke Bali keyakinan ini makin kuat. Mana dasarnya saya sudah seperti bebek di kandang ayam, kelihatan sekali bedanya. Gaya dan pola pikir saya tidak seperti orang Bali pada umumnya, dan saya pun tidak bisa bahasa Bali. Seribu satu nasehat diberikan kepada saya, termasuk (lagi-lagi) kurangi berat badan, pakai makeup, dan jangan terlihat terlalu pintar. Rasanya tidak ada satupun yang benar dari saya.
Ini yang bikin saya akhirnya menyerah dan mencoba peruntungan di kencan online. Masalahnya saya yakin sekali dengan diri saya di bidang pekerjaan, dan saya tidak rela harus 'merunduk' demi seseorang yang lebih jeblok daripada saya dan tidak bisa/mau menghormati saya sebagai manusia seutuhnya. Kalau sudah basah, mandi sekalian saja. Padahal saya nggak suka kencan model begitu. Saya lebih nyaman dengan sesuatu yang solid dan bukannya sibuk bermanis-manja dengan beberapa orang sekaligus. Capek lho berpura-pura seperti itu. Untungnya kondisi ini tidak berlangsung lama. Belum genap 2 bulan saya ikut online dating saya sudah ketemu akang saya, dan disinilah saya sekarang.
Balik lagi ke berita politik tadi, akhirnya saya sadar kalau haters gonna hate dan saya nggak bisa menyenangkan semua orang. Ya itu tadi, tahunya dari berita-berita dan komentar-komentar sinis tentang Jokowi dan (kalaudi Amrik sini) Obama. Ibaratnya kalau besok hujan salju di Jakarta pun pasti salah Jokowi, atau kalau hujan kodok di LA sini pasti salah Obama. Yang semua detail kehidupannya dikaitkan dengan kemampuannya memimpin negara, terlepas benar atau nggaknya. Yang apapun yang dilakukan akan selalu salah di mata hatersnya. Hidup ya memang begitu adanya.
Sewaktu saya beranjak dewasa (baca: akhir umur 20an) saya akhirnya menyadari kalau saya nggak perlu berusaha jadi orang yang diinginkan orang lain. Saya nggak perlu mengubah diri saya hanya agar diterima orang lain. Tapi saya tidak bisa menjelaskan kenapa. Baru belakangan inilah, setelah saya pindah jauh dan bersama orang yang mencintai saya apa adanya (taelah..) plus rajin mengikuti berita politik, akhirnya saya mengerti dan bisa berdamai dengan diri saya sendiri. Entah berapa banyak cerita-cerita motivational yang saya baca (dan tulis) yang bilang "have faith in yourself" atau "you are beautiful the way you are", tapi tetap saja di hati kecil saya terselip "Tapi bagaimana kalau saya yang salah? Bagaimana kalau mereka benar dan saya harus berubah?". Sekarang saya mengerti. Saya tidak bisa berubah untuk memuaskan orang lain karena bila mereka tidak bisa menerima saya apa adanya mereka pun tidak akan puas dengan apapun yang saya lakukan. Seperti mencoba mengeringkan lautan, nggak ada habisnya.
Mungkin saya baru ngeh soal ini karena saya (akhirnya) siap dan cukup matang untuk menerimanya. Tapi terbayang tidak kalau saya menyadari hal ini jauh sebelumnya? Kepercayaan diri saya pastinya meningkat yang justru akan meningkatkan keatraktifan saya, karena percaya diri itu sangat menarik lho. Hidup saya pastinya tidak sesulit yang saya alami. Manusia itu lucu ya, kita tertarik dengan orang yang tidak perduli (amat) dengan keberadaan kita; semakin kita bersikap EGP (Emangnya Gue Pikirin) justru semakin tertantang orang untuk membuat kita memikirkan mereka. Tapi ilmu/pengetahuan ini juga harus dipakai dengan bijak. Kita harus bisa membedakan mana masukan yang memang bertujuan membantu kita (alasan kesehatan misalnya), dan mana yang diutarakan hanya agar kita bisa fit/masuk ke kondisi ideal yang ia inginkan. Repot? Banget. Tapi ini demi kedamaian dalam diri anda.
Pagi ini saya melihat diri saya di cermin. Masih banyak ini-itu yang saya tahu masih bisa saya perbaiki, tapi setidaknya saya bahagia melihat siapa saya di dalam cermin tersebut. Dulu saya pernah merasakan kebahagiaan ini, waktu saya merasa diterima oleh si Akang ganteng saya. Sekarang saya merasakan kebahagiaan ini, karena saya merasa diterima oleh diri saya sendiri. Perang saya sudah usai. Akan ada pertarungan-pertarungan kecil lainnya dimana saya merasa sebal dan tidak suka dengan diri saya sendiri karena, yah, begitulah sifat manusia; tapi perang saya sudah usai. Saya sudah berdamai dengan si Mbak di dalam cermin. Dan anda tahu, dia lumayan menyenangkan lho :).
No comments:
Post a Comment