Thank you for being here for me. For wiping my tears, For sharing my burden, For loving my family and things that matter most for me.
Thank you for keep on reminding me i'm not that awful, Thank you for making sure i didn't get that awful, Thank you for seeing me as worthy, Thank you for not thinking me as a liability.
Thank you for seeing me and accepting me for who i am, Cherished my virtue and (trying to) understand my flaws, And thank you for always commiting in that decision all the way.
Accomplishment is not always in title or medal or wealth, Accomplishment is when you succeed making someone feel human. Like you did for me.
Thank you love, For making me feel precious, For making me feel happy, For making me taste the glory of love. I love you.
Buat yang masih berdebat mana yang salah mana yang benar dalam cerita SMA 6 vs Wartawan, biarkan saya mengatakan 2 kata: Temporary Blindness. Kebutaan Sementara.
One of the really interesting facts about police work is that an officer behaves much better—makes better decisions, fires his gun less frequently, has fewer complaints filed against him—when he is by himself than when he is paired with a partner. Officers on their own are far more cautious. - Blink by Malcolm Gladwell
Salah satu fakta yang sangat menarik tentang pekerjaan polisi adalah bahwa seorang petugas berperilaku jauh lebih baik (membuat keputusan yang lebih baik, menembakkan senjatanya lebih jarang; memiliki lebih sedikit total keluhan yang diajukan terhadap dirinya) ketika ia bertugas sendiri daripada ketika dia dipasangkan dengan orang lain. Petugas yang bekerja sendiri jauh lebih berhati-hati. - Blink oleh Malcolm Gladwell
Blink adalah sebuah buku tentang snap decision, pengambilan keputusan secara cepat/sekejap. Di buku ini dijelaskan bahwa ada faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi pengambilan keputusan kita. Ada sebuah contoh di buku itu dimana seorang terduga pelaku kejahatan (Rodney King) mati dipukuli polisi setelah pengejaran berkecepatan tinggi di jalan raya. Hari berikutnya ada kerusuhan di LA karena masyarakat menganggap polisi rasis (Rodney is black). Buku ini menjelaskan bahwa bukan masalah rasisme, namun para polisi ini tak mampu berpikir jernih karena terbawa arus adrenalin mereka. Mereka mengalami kebutaan sesaat, judgement akal sehat mereka tidak beroperasi dan seolah digantikan oleh insting dasar mereka untuk memburu mangsa (we're human, we have that instinct). Dan bila saat pengejaran hanya ada 1 polisi terlibat maka sudah pasti Rodney King tidak mati.
Gantilah pelaku cerita diatas dengan anak SMA 6 sebagai Rodney King dan Wartawan sebagai Polisi yang terlibat, atau sebaliknya. Gantilah pelaku cerita diatas dengan Mahasiswa pendemo tahun 98 sebagai Rodney King dan Tentara sebagai polisi. Masuk kan? Kalau saja hanya ada 1 anak SMA 6 atau 1 saja wartawan, ga akan ada kerusuhan riang gembira di SMA 6. Saya berharap semua orang berhenti ikutan main sinetron dan menyadari bahwa tidak ada yang salah, itu cuma reaksi normal saat adrenalin terpacu dan memiliki, ahem, teman banyak di sekeliling kita. Mau hal ini tidak terjadi lagi? Jangan datang ramai ramai, jangan berkumpul rama-ramai. Kita memiliki keberanian semu saat bergerombol, dan bila ditambah dengan adrenalin yang terpacu hasilnya bisa fatal.
Satu hal lagi: bad news is good news in media. Kalau kebetulan bad news nya tentang sesuatu yang tersohor, it's even better. Harusnya tidak ada yang heran dengan banyaknya wartawan yang meliput tawuran di SMA 6, karena setelah terjadi keributan dengan wartawan tiap kali saya buka linimasa/timeline twitter saya ceritanya melulu tentang SMA 6. Ini berita yang bisa dijual. Tawuran (sekolah) di daerah ga terkenal jelas tidak bisa dijual walau secara rutin menewaskan pelajar/masyarakat sekitar, paling cuma ditayangkan sekali lalu selesai. Mau tidak diliput? Boikot media, paksa mereka meminimalisir bad (but juicy) news, tolak eksposure-eksposure pihak-pihak yang nebeng beken (entah kenapa KPAI tidak pernah kelihatan aktif melawan tawuran di tempat lain, padahal anak-anak yang tidak ikut tawuran tapi jadi korban juga berhak dilindungi hak-haknya), tolak membaca/meretweet/mengekspose bad news. Sudah saatnya kita belajar jadi lebih beradab.
Hari ini saya mendapat kebahagiaan (yup, anda tidak salah baca. KEBAHAGIAAN.) untuk mengunjungi Grya Sangket di Singaraja. It's awesome and inspiring.
Buat yang belum familiar, Grya adalah istilah rumah keluarga di Bali yang biasanya secara spesifik digunakan untuk menyebut rumah tinggal Pedanda (Pendeta di Bali). Seorang kenalan saya (yang Grya nya ternyata hanya 3rumah dari tempat yang saya kunjungi) pernah bercerita tentang Grya nya: luas, lengang, terpencil. Ok, mungkin bukan kata-kata itu yang ia pakai, namun itulah yang ada dalam benak saya: rumah kuno dengan tanah yang luas, hamparan debu dan pepohonan/ rerumputan tak terawat. Saya. Salah. Besar. (Atau to be fair, kenalan saya 'mungkin' menjelaskan kurang akurat. Yeah, saya ngeles).
Dalam buku Blink Malcolm Gladwell menceritakan tentang kurator seni yang mengandalkan kesan pertama (atau tepatnya kata pertama) yang ia rasakan saat melihat sebuah karya seni. Kata pertama saya saat tiba di sana dan melihat kori/gapuranya adalah: Majestic. Megah. Luas, benar; namun juga indah dan unik, bahkan cenderung antik. Saat acara berlangsung (kami menghadiri upacara pernikahan) saya malah sibuk melihat kanan kiri, menikmati suasana yang demikian berbeda. Pada awalnya saya tidak tahu apa yang membuat Grya ini berbeda, namun saya menyadari tata letak rumah-rumah dan kamar-kamar berbeda dari tempat lain yang saya pernah kunjungi. Tampak kuno, tapi tidak setua arca-arca dan candi-candi; namun juga tidak terlalu modern seperti bangunan masa kini. Langit-langit ruangan yang saya lihat tampak rendah, mengingatkan saya pada bangunan kuno jaman Belanda, dan memang menurut kabar Grya-grya di Sukasada termasuk grya kuno. Bukan hanya dari segi arsitektur, namun juga dari segi suasana. Saya sangat bersemangat, seolah suara masa lalu menyapa saya.
Saya tahu mengelola tempat seluas itu tidaklah mudah, apalagi sambil mengayomi umat (God knows how many 'sacred' events Balinese have!). Tapi saya jatuh cinta dengan tempat ini, dengan ke'antik'an dan pesona masa lalunya. Mungkin orang berpendapat masa lalu itu tidak cihui, tidak keren. Buat saya masa lalu itu penting, bukan untuk dikenang ga jelas namun untuk lebih mengerti diri kita, dan bila kita bisa memahami diri kita sendiri kita akan bisa maju lebih baik.
Apalagi yang bisa diceritakan dari tempat semacam ini, yang berhasil mempertahankan keasliannya justru karena terisolasi dari dunia luar? Kisah perjuangan penjajahan, atau bahkan lebih tua dari itu? Berbagai studi telah dilakukan mengenai istana/kerajaan di Bali, sementara tidak ada (setahu saya) tentang Grya di seluruh Bali. Mungkinkah karena jumlahnya yang terlalu banyak? Padahal menurut pandangan saya Grya selaku tempat tinggal pemuka agama memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, bahkan politik (konon kakek saya dibuang berkali-kali oleh Belanda karena mereka takut akan banyaknya umat beliau). Saya rasa banyak (atau mungkin semua) jawaban dari masalah yang ada di Bali saat ini terletak pada suara masa lalu. Kegalauan kasta (lakukan tugasmu sebelum menuntut hakmu ya mas/mbak); kehilangan jati diri; sampai pengrusakan Bali. Bila kita bisa mengerti bagaimana tatanan dulu dan evolusinya hingga kini saya yakin kita akan mampu bertindak lebih bijak di masa depan.
Saya yakin besok saya akan sulit berkonsentrasi di kantor. Yang ingin saya lakukan hanyalah berkendara saat senja melewati lebatnya hutan bedugul, dengan kabut yang perlahan turun sementara semburat mentari bermain laksana api dibalik perbukitan bagaikan adegan film Lord of The Ring. Saya ingin menuju sebuah oase masa lalu, menyandarkan punggung saya yang lelah di bangunannya. Dan mungkin, mungkin bila diijinkan, saya ingin mengeluarkan recorder saya dan meminta seorang tetua bercerita: tentang asal usul, tentang kejayaan masa lalu, tentang hikayat dan nasehat. Punyakah anda sebuah oase masa lalu, terutama dalam bentuk Grya di Bali? Bila ya, sudilah membagi cerita anda pada saya. Saya tersihir suara masa lalu.
Saya baru saja menghadiri sebuah acara lamaran. Semua berlangsung baik sampai saya melihat pengantin wanitanya yang putih menawan. Saya iri, saya marah, saya merasa didiskriminasikan. Apa iya (batin saya) kalau tidak sesuai standar sekarang yang "putih bening" maka tidak masuk kategori bisa dinikahi? Bagaimana nasib yang tidak sesuai kriteria seperti saya, montok-gelap-tidak cantik?
Saya bisa menulis berbagai alasan yang menghujat orang yang melihat/menilai dari luarnya saja. Tapi apa iya saya lebih baik dari mereka? Bukankah saya begitu cepat terpikat oleh pria-pria berkaki panjang; oleh pria lokal (batak dan bali favorit saya) berkulit gelap yang tampak kuat dan gagah; oleh pria dengan tatapan tajam namun senyumannya ramah? Sama saja toh. Para pria mengejar gadis Po*d's, saya mengincar Indiana Jones. Idem ditto, sama-sama melihat dari luar saja.
Kalau anda mengartikan tulisan saya bahwa "tidak atraktif" adalah jalan buntu, saya rasa itu tidak tepat. Tidak ada yang salah dengan menjadi berbeda. Sure, it sucks. Terkadang saya pun ingin menjadi sama, ingin menjadi "atraktif". Yang tidak atraktif memang tampaknya hanya bisa menunggu sampai orang yang tepat menemukan "nilai" mereka yang sebenarnya Namun seperti halnya barang unik apapun, seorang penggemar yang jatuh hati pada keunikannya dan mampu menakar nilainya akan menyimpan, merawat, dan menghargainya selamanya. Mungkin ia akan datang besok, atau lusa, atau entah kapan, sementara rasanya kita berdebu di rak menunggunya. Tapi ia akan datang, ia pasti datang. Sementara menunggu, jalanilah hidup semaksimal mungkin. Itulah yang membuat anda unik, bukan?
Pagi ini rasanya hitam sehitam-hitamnya. Saya marah, saya sedih, saya putus asa. Rasanya saya tersapu dan tenggelam dalam emosi negatif. Lebay? Nggak juga, saya cuma benar-benar terluka oleh suatu hal.
Orang-orang memiliki mekanisme sendiri dalam menghadapi keterpurukan. Ada yang bengong ga karuan, ada yang mengunci diri di kamar dan menangis seharian, ada yang berusaha memblok rasa sakit itu dengan melakukan kegiatan yang berguna (jarang) ataupun tidak berguna (lebih mungkin). Saya? Rasanya pagi itu saya ingin dance seharian dengan music R&B dan Hiphopfavorit saya bersama teman-teman yang asyik, lengkap dengan minuman dan keriangan; atau bahkan lap dancing dengan orang yang saya sukai. Karena masih jam kantor, saya mendengarkan music sekencang-kencangnya melalui earphone, bertepuk tangan dan berdansa dengan kertas-kertas kerja saya. Bos saya (bless his soul) lewat dengan cangkir kopinya,mengangkat alis, dan berlalu sambil pura-pura tidak melihat (I love you boss). Walau hanya sebentar, saya cuma ingin melupakan masalah saya.
Pemakaian alkohol atau obat hanya karena “keren” jelas sebuah kebodohan, namun saya bisa mengerti kenapa orang lari ke obat-obatan atau minuman keras saat terpuruk. Ataupun melakukan tindakan-tindakan yang konyol. Mereka mengalihkan rasa sakit kita, membuat kita tak mampu merasakannya walau hanya sebentar. Dan bila masalah yang anda hadapi benar-benar berat, ketenangan “sebentar” yang ditawarkan oleh kebodohan sesa(a)t itu benar-benar terasa seperti suatu anugrah. Seperti kata Dr. Taub dalam serial House, M.D: “You got your Vicodin [pil penenang] to block your pain, I got my affairs.”
Tapi apa benar kita cuma sekedar mencari ketenangan sesaat, melarikan diri dari masalah? Saya rasa lebih dari itu. Saya selalu berpikir bahwa tindakan-tindakan bodoh yang saya (hendak) lakukan saat terpuruk bukan hanya sebuah pelarian,namun juga pencarian. Pencarian perhatian. Pada dasarnya kita semua adalah kanak-kanak:kita butuh ditenangkan, butuh dipeluk dan diyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja, butuh sesuatu untuk berpegang. Saya pribadi akan dengan senang hati menukar kegilaan (impian) saya diatas dengan pelukan hangat dan tangan yang membelai lembut rambut saya, dan kata-kata: “It’s okay Yoges… I’m here…”. Saya rasa bahkan teroris tersangar pun sebenarnya butuh hal ini, mereka hanya terlalu terluka dan terlalu “rusak” untuk menyadarinya.
Walau hanya sementara, jauh lebih mudah untuk menghilangkan sakit kita dengan melakukan hal-hal yang negatif dan bodoh. Saat kita terbawa dalam emosi yang negatif, ada suatu perasaan suicidal/ingin bunuh diri, ingin melakukan hal-hal yang merusak, dan pikiran-pikiran menantang: “Terus kenapa?? Toh tidak ada artinya lagi!! Suka-suka saya dong!!”. Padahal sebenarnya bukan hidup anda yang ingin anda rusak, bukan hidup anda yang ingin anda tantang, melainkan masalah anda. Yang amat mungkin terjadi berikutnya adalah hal-hal buruk berkat kebodohan eh petualangan anda, lalu anda akan terpuruk lebih dalam, lalu anda akan melakukan hal-hal yang lebih bodoh lagi, dan lingkaran setan ini terus berputar.
Bandingkan dengan bila anda menahan diri: saat saya marah saya memaksa diri saya diam di rumah dan bermain Harvest Moon atau membaca buku petualangan favorit saya, pokoknya mencegah saya melakukan tindakan bodoh atau melampiaskan kekesalan saya pada orang lain. Rasanya menyebalkan dan membuat frustasi, seperti dipaksa berpuasa atau makan sayuran mentah selama berminggu-minggu. Sehari, dua hari, tak terasa anda sudah bisa bersikap cuek terhadap masalah anda karena masalah selalu ada, dan anda sudah belajar untuk menghadapi (atau bahkan menyelesaikan) masalah anda. Perbandingannya seperti main game dengan cheat (yang mudah tapi entah kenapa tidak tamat-tamat) atau main game tanpa cheat. Adu ketahanan ini jauh lebih mudah bila anda memiliki sesuatu atau seseorang yang berarti buat anda. Seperti pendapat saya diatas: bukan hanya mencari pelarian namun juga mencari perhatian. Itulah kenapa saya sibuk “mengganggu orang” saat saya terpuruk, hanya mendengar suara mereka di telepon atau membaca komen di dunia maya membuat saya yakin Tuhan tidak meninggalkan saya, Ia berbicara melalui teman-teman saya. Teman saya berfokus pada latihan silatnya, yang lain pada tulisannya. Apapun itu, ada cara yang lebih baik dan lebih permanen (dan bukannya singkat tapi temporer) untuk menghadapi masalah anda.
Tak terasa jam makan siang pun tiba. Mama saya tiba-tiba menelepon untuk makan siang. Teman saya dari Jakarta meng-SMS saya. Kenalan dari Surabaya menelepon saya. Tuhan sudah mengirimkan malaikat-malaikatNya. Sorry guys, no lap dancing today. I’m saved.
Teman saya, seorang pembaca non-fiksi, mengernyitkan kening saat mendengar tipe buku yang saya baca. Saya rasa wajar saja sih, tidak umum seseorang yang hampir memasuki usia kepala tiga masih membaca segmen buku young adult alias dewasa muda. Dan bukan hanya itu, saya spesifik membaca segala sesuatu yang berhubungan dengan magic dan buku-buku fantasi lainnya; walau saya tetap menyukai buku klasik seperti Little Princess, Secret Garden, dan semacamnya.
Apa yang saya lihat dalam buku-buku itu? Saya melihat keberanian untuk memulai petualangan, saya melihat gairah dan semangat hidup, suatu kepercayaan terhadap diri sendiri dan masa depan. Saya melihat dari mata kanak-kanak. Dan mengapa tidak? Kanak-kanak memiliki pola pandang yang amat positif terhadap hidup, mereka tidak takut mencoba dan tidak takut terluka, dan kemampuan mereka untuk bangkit lagi/recovery sangat cepat. Saat mereka merasa nyaman dengan seseorang atau sesuatu, mereka akan terikat; tanpa banyak pertimbangan apakah orang tersebut akan berfaedah bagi mereka dikemudian hari atau apa kata teman-teman yang lain mengenai keterikatan mereka. Kalau mereka bermusuhan, tak akan lama sebelum mereka bermain bersama tanpa dendam sedikitpun. They get to do whatever they want to do, and be confident with it.
Saya yakin pasti diantara pembaca ada yang nyeletuk: “Itu sih karena mereka naïf, belum tahu apa-apa…”; Mungkin benar, namun saya tetap penasaran apa yang bisa kita capai dengan menggabungkan kenaifan dan kepercayaan diri seorang kanak-kanak dengan pertimbangan seorang dewasa. Bayangkan, kemampuan untuk get excited/menjadi bersemangat akan berbagai hal , kemampuan untuk melihat dunia dari segi yang positif, digabungkan dengan kekuatan tekad seorang dewasa dan kematangan berpikir. Bayangkan apa yang bisa kita raih.
Saya tidak belajar untuk bersikap positif dari buku-buku MLM, saya belajar hal itu dari Roald Dahl. Saya tidak belajar etika dan bersikap baik dari buku-buku etiket di pasaran, saya belajar hal itu dari Enid Blyton. Saya tidak belajar tentang menghargai bumi dari website Greenpeace, saya belajar tentang itu dari Eoin Colfer. Saya tidak belajar tentang trik politik di kantor dari majalah “In The Office” (atau semacamnya), saya belajar dari Jonathan Stroud. Dan semua itu berfungsi dengan baik, amat baik.
Tiap orang memiliki selera berbeda. Mungkin anda benar, bahwa saya bisa saja terkena Peter Pan syndrome yang menolak beranjak dewasa. Namun cobalah bersantai sejenak, cobalah lupakan bahwa anda adalah seorang dewasa dengan beribu beban dan tanggung jawab, dan lihatlah dunia dari mata seorang kanak-kanak: Dunia itu begitu besar, dunia ini begitu indah, dunia ini begitu menjanjikan.
Catatan tambahan:
Buat para calon orangtua/orangtua/kakak/paman/bibi dan sebagainya yang ingin memberikan hadiah terbaik untuk si kecil, saya sangat menyarankan sesi membaca bersama buku-buku Enid Blyton dan Roald Dahl, atau cerita-cerita Disney era sebelum Mulan dan cerita Bobo keluaran tahun 80-an dan sebelumnya. Sampai saat ini saya masih tidak bisa membuang sampah sembarangan, masih tidak bisa tidak mengatakan “Terimakasih” pada orang yang membantu saya seberapapun sebalnya saya pada orang tersebut, dan masih percaya bahwa niat baik kita akan diganjar sepantasnya. Bisa dibilang saya masih si anak baik yang pertama kali di brain-wash oleh buku-buku tersebut di kala SD. Sangat recommended J
There was something that night at La Lucciola. I would've dearly blame glasses of wine I drank or other quite classy excuses, but alas I only drank a bottle of bear, clearly not enough to make me "influenced".
I was never the one to hit such fancy places for dining. My trade is local joints where I can relax and get loose of my self, or fast-food kind of place where I can grab a meal and run like crazy to my latest appointment (which can range from meeting with clients to sunset seclusion over the beach). The idea of dining in a place where rules apply is somewhat frightening for a carefree beast such myself, but alas, the promise of delightful delicacies and a new dining experience won me over, and off I went with the media team and AirAsia HSBC team after their delightful bike tour.
We have come there in the magical sunset hour, the lights and candles are newly lit but the last remnants of sun light still painted the sky with beautiful orange colors. The wooden bridge in which we use to pass to the restaurant creaks delightfully as we pass. As we sat in our table, the view of neatly manicured lawn which ends in small stretching mound greet us, and afar you can see the ocean waves crashing. Not too near that we were bothered with the wind and sounds of waves, but no too distanced that we can't see a thing. It was perfect. And all a while the soft fragrance of tuberose which placed neatly in our napkins and around the candles on the table (which were protectively covered by banana trunk, thinly sliced and shaped into a cylinder) tantalize our olfactory sense; and the music played tantalize our auditory sense.
For some, this restaurant might not attract them. Yet for a sensualist like me, it was a very pleasurable experience. All my senses were invoked, triggered. The candle lighting leaves everything warm and hazy, the ocean breeze makes its perfect companion; the tuberose fragrance muddled with my brain, and when the food came their aroma overpowered me as well; and the food was perfectly made: such creamy mashed potato with delicious pork tenderloin and currant sauce, and with garlic cooked whole which add a burst of flavor in my mouth, deliciously sweet and only a bit garlicky; the music plays ever so cozy; all the while with the waiter move silently to fill in our glasses and assist us. I lean a little bit closer than I should to the man next to me, listening intently to his lengthy explanation about travel writing (I am indeed interested, but in normal condition certainly I can do it in a more civilized way. Or at least I think so. Okay, I hope so. Happy?) When we walk out of the restaurant and await our car, the spell broke.
People may have other opinion about dining here (or places like this), but for me it was a really delightful experience. If you wish to dine here, apart from choosing the right clothes (as it was quite a well-known place) and preparing a hefty budget (as it was definitely not cheap), I'd recommend to carefully choose who you're dining with. As one reviewer wrote in BaliEats: Just be careful who you take as your guest, or you may finish up by proposing marriage over coffee. But then again if that is your actually intention, by all means go get 'em tiger.
Acknowledgement: - Tons of thanks to Triski Nurani for allowing me use her beautiful photos! - Also for everyone at the dinner, for not professing undying love to each other over dinner. That would be awkward. - Most importantly, to the team of AirAsia HSBC for the treat. Such a delightful event indeed!!
Excitement was mounting. I gaze warily to Kuta Bex parking lot, where numbers of bike are parked neatly, ready to be used by AirAsia HSBC bike tour. Cameras were flashing, we grin and smile and took turns to capture our each other in camera and videos, and not a glimpse of anxiousness to be seen though deep down I was rather nervous. After a short warm ups, we were told to get the bicycle we feel comfortable with. Fingers were brushing against the bikes, hands firmly set upon the handles as we’re trying to make ourselves comfortable with the saddle. And what seems to be just a fraction of a second later our guides give orders, and off we go!
When I was contacted by AirAsia HSBC to join their bike tour, I was ecstatic. The promise of seeing to all-too-well-known Kuta, Legian, and Seminyak in different point of view (i.e. bike) leaves me so excited I can barely work straight days before the event. It was when seeing all those bikes that realization suddenly hit me: It’s been years since I took a full blown bicycle ride, and I’m not talking about 4 or 5 years, the last one I took was approximately in my elementary school. Of course, being a motorcycle driver for the last 3 years help with my balance, but even so I’m still having difficulties in navigating through the traffic. Luckily it only lasted a while. A tour companion drove past me gracefully, videoing us while he’s still on bike (a feat that if done on motorcycles and/or cars will earn you some well-deserve shouts and regal middle-finger salutes, not to mention some heavy bruises if you happen to hit other vehicles while doing this stunt; where as on bike, people will just smile and the only thing that might get heavily damaged if accident happen is your ego and self-esteem); the traffic congestion dissolve at certain point of our route (5 minutes later to be exact); and the best of the area began to unravel. I broke a smile. This is gonna be fun.
As promised in their tagline (Experience Bali Like No Other), the tour provides us with satisfying view and ample surprises when we discover the unknown area along the route. The first area was the beach in front of Padma Hotel and even my companions, the seasoned-tourists that claimed they had seen enough of Kuta-Legian-Seminyak, was surprised to see such well-kept pedestrian along the Padma hotel and beyond, stretching all the way till the Double Six Street. It was in fact, close for public and only opened upon request for the tour and during the last 2 Kuta Karnival (but it’s covered with booths and people, so even though I know the road exist I had no idea how gorgeous it is during the day). Cheers and laughter was heavy on the crowd when we pass this area, as it was the first time most of them ever saw the famous night club area during the day (party on fellas;)). But on we continue our journey to the Champlung Tanduk beach (though some of us seriously considered to take a break at Cocoon… Just kidding :D). During our few minutes break there we take group shots, and several journalists that joins us takes loads of shots because the location was just so good. Pillows mounting for a nearby beach bar, also a small stage and neatly rows of chairs and tables for their crowds. Hawker sells beautiful beads and small Balinese kites (and other knick-knack you could think of). And throughout the break time my fellow journalist, a contributor for Jakarta Post, keeps saying: “I don’t know Kuta has this kind of beach!”
Leisurely strolling on the beach with our bikes was definitely a refreshing experience, but to stroll along the cool yet quiet Seminyak was another thing altogether. The route through Drupadi Street that we took on our way to Kayu Aya Street was filled with nice shops and restaurant and quiet villas, but without the vivid display. This is where you go if you want to spend some cool and quiet shopping time. Trees and ivy on the wall poking out and pleases our eyes, and also some patches of rice fields. People might not notice how beautifully quiet the area is, but on bike, we can almost smell the sweet frangipani fragrance en route, and can see the details in the leaves and flowers. The quietness was almost magical, I got into semi-shock when we hit Kayu Aya Street where it was filled with cars and motorcycles. Here the display was more edgy and tantalizing, and I spend some precious second absorbing the details of a certain white lace dress from the window display (which I can never did on motorcycles), and spend some precious minutes reminding myself to not de-tour to the shop and purchase the said dress (hey, I get to park wherever I want or even carried my bicycle in front of the shop’s door instead of trying to park through the jungle of vehicles, a true advantage indeed!). I was already filled with all the beautiful and unique details of the shops and restaurants (which some considered finest in Bali) when we stop at Seminyak Square for refreshment and shopping time. The media team sat together at Aviary Restaurant, sipping our cold drinks while getting to know each other; needless to say I am saved from shopping madness though I have to confess they kinda wrestled me out from Periplus afterwards. No worries, I already got my copy of Bartimaeus by Jonathan Stroud by then.
I did hear snippets that AirAsia HSBC will do more bike tours like this in another area. If it’s near your area, by all means join it. Cycling is really an excellent way to view things differently, and if you’re already a seasoned biker, getting to know more people is quite fun actually ;). Now all I wish is that iPhone 4… (joking, I already got AirAsia voucher during quiz time at Champlung Tanduk Beach, so I shouldn’t grudge over the iPhone LOL). All I wish is travel organizers starts to think and arrange more bike tours in the future. Us city dwellers really enjoy the trip, and with more bikes and less motored vehicle we can minimize the traffic congestion and the pollution as well. Besides, everyone wave cheery hands during our pass, so it is fun for everyone. In Bali right now? Go bug your travel organizer to arrange a bike tour through Kuta-Legian-Seminyak. Have fun!
Note: - Many thanks to Lukman Simbah from HiFatLoBrain Travel Institute for allowing me embed their fun video! - Another great story (and more photos) of the event can be found at Triski Nurani's blog - And yeah, thanks to AirAsia HSBC for the invitation and the doorprize. I'll fly away soon!!!
My best friend was married last week. And I’m so happy forher. I envy her too, but that’s another story.
We went to the same college and attend almost the same classas well, but it takes us 3-4 years to get acquainted with each other. I thinkshe’s a vicious “It Girl” that uses her looks to manipulate people; she thinksI’m the thoughtless beast that stamps on people for my pleasure. How wrong we bothare. Over the days and months to follow, our “acquaintance” turns into a much closerrelationships. Secrets are being told, sleepovers become a regular, and laughterand tears comes on daily basis. It doesn’t take long to realize how dependent Iam to her, how delightful it is to have her near me.
Due to her quiet nature, countless of times I wonder whethershe really cares about me. But on times where I need her most, she was alwaysthere for me. She wasn’t the one to calm you up or run to the rescue, in factonce when I was crying over my boyfriend she began to cry too and said shehates to see me broke down like that, that I’m a much better person than that.I stop crying instantly. A selfish girl? Not at all, that’s how she shows heraffection to me. No unnecessary kind words which we don’t believe, no falsehope that we both loath, we speak with each other with utter bluntness, and werejoice in that.
If you see her, you would think she’s an innocent littlegirl, dying to be rescued and protected. She’s not. To me she is always thelittle girl, though crying bitterly with her every step along the harsh andtreacherous road she needs to gothrough, still walks along that damned road and will eventually get there tothe end. And it takes strength to do all that. Me? I’ll simply run through thatdamn road, better bled to death quickly than enduring a slow agonizing ordealsuch that. That’s why even though both our college life is hellish and both ourlove relationship is somewhat “tragedy-certified”, she’s the only one of usthat become both a doctor and a Mrs. to somebody she loved dearly. I couldn’tbe more proud of her.
I envy her for her strength to endure such ordeal, for thefeat that she accomplished. That is why I sincerely grateful that to news of herwedding come to me at such a perfect time, when I was all flushed out withexcitement after a surprise rafting trip. If I receive it on the peak of myboredom and utter worries of being single and almost 30, no doubt I’d be a morethan little suicidal. But that’s her life, that’s her feat, and I’m so happyfor her. Though long and difficult the road winds, I believe she will make it.She’s living the life that I wish years ago, a picture of happily marrieddoctor, a life that I will never have. What’s left for me is living the best ofthe life that she’ll never had: a carefree and adventurous life, with allpossible pleasure life gets to offer. We both gonna make it really good. Congratulationsdearest, I love you J.