Mungkin 'hadiah' paling berharga untuk Indonesia di ulang tahunnya yang ke-70 adalah penduduknya yang mulai 'melek' internet dan berani 'bersuara'. Setelah sekian lama kita cuma diam mengiyakan apa kata TVRI dan cuma bisa berspekulasi apakah ikan tangkapan pak Harto hanya trik biasa atau memang dia jago, sekarang ini kita bisa mengutarakan pikiran kita dengan lebih bebas. Yang mana munculnya Elanto-Elanto yang berani menghadang konvoi MoGe. Mampunya kita menekan polisi untuk mengusut tuntas kasus Angeline. Didengarnya suara rakyat yang menolak dana-dana tidak jelas DPR. Ini semua berkat internet dan psy-war pemilu 2014.
Pastinya para penggagas psy-war pemilu tahun lalu tidak menyangka efeknya akan sebesar ini. Atau sebelumnya, penggagas kampanye via internet yang sukses (seperti tim Jokowi-Ahok) pastinya tidak menyangka akan seperti ini. Attack, counter-attack, apapun dilakukan dan dihalalkan untuk menarik perhatian ke satu kubu dan mencoreng kubu lainnya, elegan atau tidak itu bukan masalah. Kubu tandingan tentunya tidak mau berdiam diri dan ikut dalam perang tersebut. Masyarakat jadi terbagi, terbelah. Saya sendiri sampai kehilangan teman gara-gara dukung-mendukung tersebut. Sampai sekarang, yang pemilu sudah selesai dari kapan tahu, masih saja ada sisa-sisa yang sibuk berantem sendiri di dunia maya. Walau kedengarannya sedih, namun sebenarnya ada silver lining/berkah yang timbul dari peperangan ini: kita jadi berani bersikap.
Dulu-dulu boro-boro. Gaya kita dulu mah, pemerintah urusan pemerintah, rakyat urusan rakyat. Nggak ada yang repot buka mulut karena tahu tidak ada yang membela, karena pikiran kebanyakan orang adalah “ngapain mati konyol”. Pemerintah mau apa juga kita cuma bisa ngelengos, seolah bukan urusan kita walau sebenarnya kita yang memilih mereka. Sekarang lain, dan adik-adik pengguna internet yang masih 20an tahun kebawah mungkin tidak ingat masa-masa itu. Bahkan teman-teman sejawat yang seumuran dengan saya (30an keatas) mungkin sudah lupa masa tanpa Facebook dan BBM dan media sosial lainnya, saking seringnya kita menggunakan internet: Masa dimana koran Kompas dan tabloid Tempo adalah andalan dalam mencari berita, masa dimana TV-TV masih belum berpihak tapi juga disensor sehingga pemerintah selalu terlihat baik, masa dimana saat frustasi menghadapi pemerintah cuma bisa disalurkan dengan ngomel-ngomel saat arisan atau di tempat kerja. Sekarang jangan ditanya, cukup buka media sosial pun kita sudah tahu berita hari ini (baik diinginkan atau tidak). Dunia dan pengetahuan benar-benar diujung jari kita, dan untuk beberapa tipe hape, diujung jempol kita.
Kemudahan untuk membagi apa yang kita percayai (i.e. berita) dan kemudahan untuk melihat seberapa banyak orang yang se-ide dengan kita membuat kita berani berdiri dan mengambil sikap. Ini bukan hal yang sepele lho. Pengetahuan bahwa ada sejumlah orang yang se-ide dengan kita membuat kita lebih yakin dengan apa yang kita percayai. Kalau sembilan dari sepuluh orang bilang mendengar meongan kucing sementara anda sendiri mendengar gonggongan anjing, pastinya anda pikir anda yang salah. Tapi kalau paling tidak tiga atau bahkan empat orang bilang mendengar gonggongan anjing, pastinya anda akan lebih pede dengan pengamatan anda, bukan? Walau bisa saja sebenarnya anda yang salah dengar. Konon katanya “ducks go together, eagle soar alone”, bebek perginya ramai-ramai tapi elang terbang sendiri. Tapi jangan lupa, terbang sendirian berarti lebih mudah ditembak jatuh pemburu, sementara kalau beramai-ramai walau mungkin ada satu-dua yang tertembak namun mayoritas bisa selamat. Inilah kemampuan internet yang sebenarnya.
Sayangnya kemampuan ini memiliki kelemahan fatal: Penggunaannya dan hasil akhirnya tergantung manusianya. Sebagaimana pisau, klewang, keris, senapan, atau senjata lainnya, tanpa manusia yang menggunakannya mereka hanya benda mati. Namun ditangan manusia mereka bisa jadi benda mematikan. Menggunakan internet sama seperti menggunakan sebilah pisau: anda bisa menggunakannya untuk membuat sesuatu yang bisa membantu orang lain, anda bisa menggunakannya untuk melukai orang lain, anda bisa menggunakannya untuk hal-hal sepele hingga tumpul. Berita-berita hoax atau yang penuh opini yang menggiring/bernada kemarahan dan memecah belah tidak bisa dihindari. Buat apa repot-repot bayar artis untuk kampanye/mengumpulkan pendukung kalau berita di Internet sudah cukup. Begitupula dengan pencari uang dari artikel bombastis tersebut, yang tidak segan menulis sedemikian rupa hanya demi jumlah rating atau like dan share. Masalah rakyat terpecah urusan belakangan, duit nomor satu. Tinggal kita sebagai pengguna internet yang harus mampu memilah mana yang baik dan mana yang tidak. Masalahnya kita tidak selalu bisa. Ditambah dengan keanoniman internet, jadilah seringkali kita malah membuka buruknya kita sendiri.
Tanpa kita sadari, berita yang kita share atau like itu mencerminkan siapa kita, apa yang kita baca dan apa yang kita percayai. Kalau dulu kita pikir-pikir sebelum buka mulut karena takut menyinggung orang lain, sekarang kita 'terlindungi' oleh keanoniman internet dan merasa banyak dukungan dari like dan share orang-orang. Pokoknya hak kita untuk bersuara, bersikap. Maju terus pantang mundur. Padahal orang-orang yang lebih pintar memperlakukan internet layaknya sang juara catur, tidak sembarangan mengambil sikap apalagi mencaci. Orang yang terlihat baik di Internet tidak selalu baik lho, tapi sayangnya orang yang dengan buas mencaci di internet biasanya memang lumayan 'bermasalah'. Sikap ini yang dipakai orang-orang pintar untuk memanfaatkan yang kurang pintar/seksama. Jadilah kita pion yang bisa diatur sekehendak hati demi profit dan kekuasaan, sementara kita sibuk percaya bahwa apa yang kita percayai benar adanya. Bukannya “Gajah bertempur Pelanduk mati ditengah-tengah”, tapi “Pelanduk bertempur gajah asik menonton”.
Ini tidak terjadi di Indonesia saja lho. Di Amerika sini juga seperti itu. Penggiringan opini dirasa lebih menguntungkan dan lebih mudah daripada harus mengakomodasi seluruh pihak. Kalau di kelas sejarah dulu disebutnya Divide et Empera, dan inilah yang terjadi saat ini. Media pun tidak bisa diminta pertanggungjawabannya karena mereka pun hanya badan bisnis: mereka akan memberitakan apa yang layak jual, apa yang akan laris. Dengan kata lain, kita selaku konsumen lah yang menentukan. Kalau anda tidak percaya, coba hitung seberapa banyak postingan ilmiah yang mampir ke lini masa medsos anda. Bandingkan dengan postingan yang edgy atau bombastis yang menyangkut seks atau SARA atau selebriti termasuk selebriti religi. Ilmiah itu berat bo', sulit dicerna. Walau tahu bahwa akan ada hujan meteor itu akan membantu pemahaman kita akan betapa indahnya dunia dan betapa kecilnya manusia, tapi tas Hermes Syahrini dan memaki tokoh politik lebih gampang dilakukan. Ketemu berita 'baik' seperti orang membantu orang lain biasanya kita cuma senyum kecil dan bilang, “Oh that's nice” atau “Ih keren ya”, tapi ketemu berita 'buruk' apalagi menyangkut apa yang kita percayai, dan langsung deh kita dengan emosinya komen dan share sembari meluapkan emosi jiwa. Media dibuat oleh manusia, oleh saya dan anda yang mau repot membaca. Isi beritanya juga anda yang memilih. Sejarah sudah membuktikan bahwa kebenaran tak bisa dibungkam, mau disensor seperti apa juga pasti yang benar akan keluar.
Kenapa penting buat kita bangsa Indonesia untuk mengerti ini? Karena sumber daya manusia kita yang amat sangat besar. Kita sudah masuk peringkat utama pengguna Facebook di dunia, padahal jaringan internet yang bisa diandalkan cuma di pulau-pulau besar saja dan itupun seringkali hanya terbatas di kota besar/kota utama. Dan itu dengan tanpa mengetahui bahwa Facebook itu pakai internet. Serius ini. Banyak pengguna Facebook di Indonesia yang bilang kalau mereka tidak pernah pakai internet, karena mereka tidak mengasosiasikan Facebook dengan Internet. Kebayang nggak kalau semua melek internet dan akses internet lancar jaya? Dan bukan cuma melek internet ya, namun juga mampu menggunakannya dengan maksimal dan objektif. Karakteristik orang Indonesia yang tahan banting itu aset banget di masa sekarang, dan dengan jumlah orang saja kita bisa memastikan suara kita didengar dunia. Jargon Indonesia macan Asia atau raksasa dunia buat saya amat sangat mungkin. Dari sekian negara di dunia mungkin cuma Indonesia yang paling terlatih soal menghargai perbedaan dan kesantunan yang didapat dari adat istiadat suku masing-masing, yang mana merupakan barang yang amat sangat langka di arena global masa sekarang. Tapi ya itu, bukan hanya kendala akses, kita juga masih terkendala kemauan dan kemampuan berpikir objektif.
Apa kita harus menyerah? Tentu tidak. Saya tidak terbayang di jaman dulu bagaimana perasaan para pendahulu kita yang belajar di STOVIA: jauh dari keluarga, berbeda dari mahasiswa lainnya, namun penuh harapan dan ma(mp)u melihat secara keseluruhan dan bukan cuma tentang mereka saja. Anda dan saya adalah bagian dari Indonesia. Apapun yang terjadi, saat mentari bersinar besok kemungkinan besar anda dan saya masih tetap bagian dari Indonesia. Ini rumah kita, tanah air kita. Sudah saatnya kita berpikir sebagai keseluruhan, bukan hanya kelompok saya dan kelompok anda. Sudah saatnya kita bersatu dan menjadi sapu lidi yang mambu membereskan dan membuang kotoran yang ada, dan bukan hanya menjadi batangan lidi yang dipatah-patahkan oleh anak kecil yang sudah bosan. Internet bisa memecah kita, namun internet juga bisa mempersatukan kita, dan memberikan kita suara yang sepantasnya didengar dunia. Bangkitlah Indonesia, doa kami besertamu!!!
No comments:
Post a Comment