AdSense Page Ads

Wednesday, August 24, 2016

Rokokmu Alasanmu


Paling sebel kalau baca soal kenaikan harga rokok alasan yang dipakai: "Kasihan buruhnya, nanti kerja dimana?" Oh jadi sekarang pada perduli nasib buruh? Mikirin ga soal harga-harga yang terus naik sementara gaji mereka pada tetap (baca: kestabilan ekonomi Indonesia)? Mikirin ga nasib anak-anak buruh yang sebenarnya orang tuanya nggak mampu punya anak tapi karena minimnya pengetahuan mbrojol terus (baca: penggalakan program KB)? Mikirin ga pendidikan para anak-anak buruh ini kedepannya gimana, apa iya besarnya cuma bisa jadi buruh aja (baca: kesetaraan pendidikan dan penjaminan kesempatan)?

Sori nggak sori sih, tapi faktanya "kehilangan lapangan pekerjaan" itu alasan klise dan sepihak banget. Saat kompleks Dolly ditutup berapa orang kehilangan lapangan pekerjaan. Saat pabrik miras dan narkoba digerebek juga orang-orang kehilangan lapangan pekerjaan. Belum lagi razia Ramadhan di beberapa tempat, yang 'dosa'nya cuma jual makanan saat bulan puasa (tapi jaringan fastfood tetap berjaya dong). Udah, ngaku aja. Kalau bukan karena rokok itu 'kebutuhan' anda, nggak akan anda repot-repot ingat dan memperjuangkan nasib buruh rokok. Main deh sekali ke Museum Sampoerna di Surabaya, disana anda bisa melihat para mbak-mbak pabrik rokok bekerja. Memburuh rokok itu pekerjaan yang sangat monoton, seperti robot. Dibayar sih dibayar, tapi ini bukan pekerjaan yang bisa meningkatkan kualitas hidup. Benefit seperti asuransi kesehatan dan jaminan hari tua juga nggak ada. Ini yang mau anda pertahankan?

Tapi, gubris anda penuh emosi, pelacuran dan miras itu dilarang agama dan buka saat bulan puasa juga menggoda umat. Oh ya? Seberapa banyak sih orang yang jadi/memakai perek yang anda kenal? Seberapa banyak sih orang yang ngobat dan hobi minum yang anda kenal? Seberapa banyak sih orang yang anda lihat foya-foya makan didepan umum saat bulan puasa? Justru karena di Indonesia normanya masih kuat, hal-hal seperti ini nggak banyak terjadi. Bahaya? Banget. Tapi karena tabu dilakukan di muka umum, pelakunya cuma bisa ngumpet-ngumpet. Dulu waktu mulai iseng coba-coba date sama bule (yang konotasinya seks bebas) saya yang sibuk parno, takut dilihat keluarga besar dan dituduh jadi ayam/cewek ga bener. Beli minuman keras di minimarket juga yang dilihat sinis, padahal tumben banget. Di Jakarta makan pas puasa pun harus ngumpet biar nggak ngeganggu yang puasa, ini kesadaran sendiri ya karena saya menghargai mereka. Kayanya nggak mungkin banget hal-hal begini jadi viral dan semua orang melakukannya, karena masih terpatri dalam masyarakat kita bahwa itu salah. Tapi yang begini yang diributin.

Rokok, dilain pihak, beredar luas dan dimaklumi. "Nggak cowok kalo nggak merokok," konon katanya. Kita pegangan tangan ditegur karena dianggap tidak senonoh, tapi semua orang ngerokok blas blas blas kita anggap biasa. Miras/narkoba/pelacuran bisa dibilang cuma ngerusak badan sendiri, tapi merokok itu merusak badan orang lain juga karena asapnya. Coba deh ngerasain terjebak di dalam bis saat hari hujan di tengah macetnya Jakarta, yang pengap dan sesak karena semua jendela ditutup daaaaan masih ada lho yang keukeuh ngerokok. Nggak usah yang standar Ibu hamil anak kecil lansia dan seterusnya, saya yang masih muda dan sehat pun (jyaaaahhh) kalau terus-terusan terpapar asap rokok ya megap-megap juga. Konsep "ruang merokok" atau daerah khusus rokok sih bagus ya, tapi kalau rokok dianggap barang wajar ya nggak terpakai bukan? Toh semua orang ngerokok, gitu argumennya.

Ini dari segi kesehatan, dari segi ekonomi juga nggak masuk akal. Sebungkus rokok itu Rp 12-15ribu. Itu setara dengan ayam ras ½ ekor/telur ayam ½ - 1 kg/beras setra 1 kg/jeruk medan 1 kg. Itu setara dengan 1 porsi nasi pecel ayam atau 2x makan di warteg (pakai sayur+telur). Sebulan dikumpul dapat setidaknya Rp 350ribu, cukup buat bayar ½ uang kos atau kontrakan, kalau bukan seluruhnya. Misalnya saja gaji perbulan anda Rp 3juta, maka perharinya anda mendapatkan Rp 100,000; yang kurang lebih 1/6 nya anda pakai untuk beli rokok. 1/6 gaji lho. Yang rajin ikut seminar keuangan pasti tahu aturan 50/20/30, 50% (3/6) dipakai untuk rumah dan kebutuhan pokok lainnya, 20% (sekitar 1/6) dipakai untuk tabungan dan investasi, 30% (sekitar 2/6) untuk gaya hidup seperti jjs, liburan, ke resto/cafe dan sebagainya. Jadi biaya rokok anda bisa jadi memakan alokasi tabungan anda, atau membuat anda jadi tidak bisa pergi ke cafĂ©/nge-date sesering yang anda mau. Ini kalau gaji anda 3 juta ya, kalau yang dibawah 3 juta sangat mungkin jatah rokok mengurangi jatah makan, yang mana sangat berabe bila orang tersebut sudah berkeluarga.

Bagi yang kebetulan belum bekerja (baca: pelajar dan mahasiswa), ujung-ujungnya orang tua yang harus menanggung biaya rokok ini. Padahal uang Rp 350ribu sebulan cukup untuk membayar kursus Bahasa Inggris atau Komputer yang lebih menjamin pekerjaan kedepannya. Rp 350ribu dikumpul selama 6 bulan juga cukup untuk membayar SPP kuliah, atau bahkan sekalian dengan SKS nya. Bayar cicilan motor juga bisa, bahkan bisa sekalian cari tambahan jajan sebagai sopir Gojek atau GrabBike. Rp 350ribu itu cukup buat beli buku-buku bermutu, baik novel maupun diktat kuliah. Nggak ngerokok sebulan bisa buat bayar bikin paspor. Nggak ngerokok 4 bulan bisa jalan-jalan backpacking agak beradab ke Bali (dari Jakarta). Intinya, biaya rokok anda bisa dialokasikan untuk memajukan taraf hidup anda.

Yang perlu anda ketahui adalah: rokok dan barang konsumtif lainnya memberikan manfaat hanya kepada pemilik industrinya. Di Amerika sini para penggiat anti rokok sukses menumbangkan industri rokok: rokok mahal, diregulasi sangat ketat (nggak boleh dijual eceran + ada batas umur), ruang merokok dibatasi, plus perokok harus bayar premi asuransi kesehatan lebih mahal. Tapi bukan berarti industri 'berbahaya' lainnya bisa tumbang begitu saja. Biarpun ada sekian banyak penembakan massal di sini, biarpun bisa setiap minggu ada cerita kecelakaan fatal akibat senjata api, tetap saja laris manis. Sebegitu kuatnya lobi (baca: cengkeraman) para pemilik industri senjata api di pemerintahan sini, sampai-sampai studi tentang senjata api pun dilarang, boro-boro aturannya diperketat. Inilah yang terjadi di Indonesia dengan industri rokok saat ini. Semua orang sampai yang dipelosok desa pun merokok, kebayang nggak profit yang didapatkan para pemilik perusahaan rokok ini? Kesibukan anda protes soal harga rokok ya sebenarnya corong mulut mereka juga. Harga rokok Rp 15rb dengan keuntungan Rp5rb tapi dibeli 1 juta orang lebih besar daripada harga rokok Rp 45rb dengan keuntungan Rp 40rb tapi yang beli hanya 10 ribu orang. Rela gitu anda jadi bidak caturnya pengusaha-pengusaha ini?

Sayangnya bagi anda-anda yang perokok, satu-satunya cara pasti untuk membatasi peredaran rokok ini adalah dengan menaikkan harganya. Kalau nggak kebeli ya nggak dibeli. Birokrasi kesehatan kita yang ndalilah masih tidak memungkinkan untuk 'memaksa' orang berhenti merokok dengan mengganjar premi tinggi. Pola pikir masyarakat yang masih menganggap merokok itu wajar juga membuat peredaran rokok semarak syalala. Boro-boro pelarangan adegan merokok di film TV/bioskop, wacana harga naik saja sudah ada hoax kanan kiri. Mau nggak mau ya harus dibuat mahal: instan dan ampuh.

Anda mungkin merasa hak anda sebagai perokok dirampas, namun ada sisi lain dari pemaksaan pembatasan rokok: orang lain (baca: generasi muda) memiliki pilihan untuk ikut kecanduan atau tidak. Saat ini rokok bisa dibilang merupakan bagian dari gaya hidup masyarakat Indonesia, apalagi yang lelaki. Waktu muda hasrat untuk 'fit in' alias diterima di kalangan teman-teman memaksa diri untuk mulai merokok, apalagi bila dilihat orang dewasa disekitarnya juga merokok; saat dewasa karena sudah kecanduan dan harga terjangkau ya sulit untuk berhenti. Di Amerika sini anak mudanya merokok juga kok, tapi karena harga yang cukup mahal plus sanksi sosial tidak banyak dari mereka yang lanjut merokok saat dewasa. Di Indonesia, ini yang terjadi dengan minuman keras. Seberapa banyak sih dari kita yang setelah mencoba bir/miras lalu lanjut tiap weekend minum? Ini yang sebenarnya diharapkan dari kenaikan harga rokok.

Kenaikan harga rokok, seperti juga kehadiran BPJS dan kawan-kawan, bukanlah semata pengerdilan hak seseorang, namun merupakan pertimbangan akan apa yang diharapkan kedepannya. Tentunya prosesnya tidak akan tanpa gejolak, namanya juga proses, tapi kita harus tetap berfokus pada hasil yang diharapkan. Semua hitung-hitungan diatas didasarkan dari konsumsi rokok 1 bungkus sehari, sementara kita tahu banyak dari golongan menengah kebawah yang mengkonsumsi lebih tiap harinya. Buruh pabrik rokok ada berapa banyak sih dibandingkan sekian juta rakyat Indonesia yang 'membakar' uang setiap harinya karena kecanduan nikotin? Hal ini tentunya semakin memperbesar jurang ekonomi yang saat ini saja sudah tidak masuk akal. Dari segi kesejahteraan hidup, kita seharusnya takut dan waspada akan ketergantungan nikotin sebagaimana kita takut dan waspada akan ketergantungan miras/narkoba/seks bebas. Ketergantungan apapun dapat menumpulkan akal kita dan melumpuhkan diri kita, dan mengingat betapa 'santai' dan permisifnya masyarakat kita pada rokok, sangatlah penting kita mengerti dan memastikan kecanduan ini tidak berlanjut di masyarakat kedepannya.

Ingat, golongan menengah kebawah seperti buruh pabrik rokok lah yang paling rentan kecanduan rokok/nikotin, dan yang paling terkena imbas saat sudah terlanjur kecanduan. Membiarkan kecanduan ini berakar dan berjaya di masyarakat berarti membiarkan yang miskin semakin miskin, membiarkan kemandekan ekonomi dan rendahnya taraf hidup di kalangan menengah kebawah. Yang masih pakai alasan soal buruh nanti kehilangan pekerjaan, gimana kalau energinya dipakai untuk memikirkan bagaimana membuka lapangan pekerjaan baru untuk buruh-buruh ini? Bagaimana agar mereka dan anak-anak mereka punya kesempatan untuk memperbaiki taraf hidup mereka? Bisa kan kita perduli dengan saudara sebangsa kita. Tolong, jangan jadikan mereka sekedar lipservice alasan anda untuk memenuhi ketergantungan anda.

Tabik!

No comments:

Post a Comment

Search This Blog