Barusan saya baca postingan temannya teman tentang kisruh PSSI, yang diakhiri dengan kalimat "Gara-gara masalah di 2 tim, menpora menghancurkan persepakbolaan satu negara." Lah, kok nyalahin menpora?
Saya nggak tau kisruh di PSSI, dan sama sekali nggak perduli dengan persepakbolaan manapun. Jadi saya nggak tahu siapa yang salah (dan seberapa kadar salahnya) atau siapa yang bener (dan seberapa kadar benarnya). Yang saya tahu sih kelakuan menyalahkan pemerintah/atasan/pembuat peraturan begini sudah jamak terjadi, walau sebenarnya seringkali salah sasaran. Terkadang ya, yang harus disalahkan dan dijitak ramai-ramai itu bukan pembuat peraturan, tapi orang yang membuat peraturan tersebut jadi ada.
Saya sebenarnya sudah lama ngeh soal ini, terutama saat saya termasuk pihak yang dirugikan. Misalnya saja waktu SMA peraturan harus pakai baju batik yang benar-benar batik, nyebelin dan bikin susah saja karena baju batik yang oke itu nggak murah . Tapi itu juga peraturan yang ada karena terlalu banyak murid (termasuk saya) yang malah pakai baju batik hawai, yang motif kembang sepatu/pohon kelapa ceria gitu deh. Atau saat kuliah yang saya sampe menangis dan membentak wakil dekan saya karena si ibu ini tidak mau memberikan keringanan jadwal kuliah demi pekerjaan saya, alasannya karena banyak mahasiswa minta keringanan dengan alasan kerja padahal sebenarnya tidak. Padahal saat itu saya memang kerja untuk menghidupi diri saya sendiri. Wakil dekan itu memang ngeselin, tapi yang paling saya benci adalah mahasiswa-mahasiswa yang bohong dan bikin hidup saya jadi susah.
Tentunya tidak selalu mudah untuk 'menelan' aturan dadakan seperti ini, apalagi kalau rasanya tidak adil buat kita. Misalnya saja saat perusahaan tempat saya kerja dulu menetapkan aturan dilarang mengirim barang ke kantor, karena salah satu freelancer kami menyalahgunakan kantor sebagai 'gudang' barang dagangan online nya. Saya yang butuh alamat aman untuk dikirimi berkas-berkas visa saya saat itu jelas merasa terzolimi. Walaupun saya tetap sebal sama si pelaku, namun buat saya aturan itu tidak tepat sasaran karena hanya satu orang yang berbuat. Lebay gitu deh. Tapi ya itu tadi, biasanya peraturan tidak akan dibuat kalau tidak ada yang duluan berbuat. Di Indonesia mungkin tidak terlalu terasa karena semua bisa 'diatur', tapi di Amerika sini terasa sekali karena sampai hal-hal kecil juga diatur berkat orang yang rajin nyari celah.
Di Amerika sini misalnya, pernah ada kasus dimana seorang anak wanita (saya lupa umurnya, 9 atau 11 tahun mungkin?) yang berjualan cupcake diharuskan memiliki izin bisnis karena omzetnya sudah omzet bisnis dan dikelola secara profesional. Yang kontra bilang tidak adil pemerintah mau memajak anak sekecil itu, dan maki-maki pemerintah sebagai rakus dan seterusnya. Yang pro bilang "rules are rules", aturan ya aturan; perijinan itu bukan cuma narikin pajak, tapi juga mengatur kebersihan dapurnya dan barang dagangannya agar pemerintah dan penjual terlindung dari tuntutan kalau ada yang sakit karena cupcake tersebut misalnya. Masuk akal juga kan kalau dipikir-pikir.
Apa ini penting? Jelas iya. Bisa berpikir jernih dan tahu siapa yang harus disalahin itu penting lho. Itu akan melatih kita belajar sebab akibat, jadi nggak main hantam dan dengan mudahnya menunjuk "Oh, itu dia yang salah!". Contoh nyata banjir di Jakarta. Pas penduduk bantaran sungai digusur, bilangnya tidak manusiawi. Pas banjir gede, bilangnya pemerintah nggak becus mengurus Jakarta. Repot kan? Mengerti soal sebab akibat ini juga penting buat kita agar kita tidak jadi orang reseh yang menyebabkan ketidaknyamanan bagi orang lain. Misalnya soal buang sampah. Kalau kita mau berpikir sebentar saja, itu sampah setelah kita buang kemana nasibnya, pasti kita jadi mikir sebelum buang sampah sembarangan. Sekarang kan ibaratnya out of sight out of mind, kalau nggak kelihatan nggak usah dipikirin. Padahal sampah kan nggak bisa bim salabim hilang bo'. Yang ada juga nyangkut entah kemana dan jadi masalah buat orang lain.
Mental menyalahkan orang lain tanpa berpikir panjang itu buat saya bukan budaya asli Indonesia. Kalau melihat budaya asli Indonesia, suku apapun terbiasa mendengar dan melaksanakan petunjuk dan petuah sang pemimpin/yang dituakan tanpa banyak cingcong. Iya sih, terkadang dibumbui mistis agar lebih tokcer begitu, tapi siapa sih yang berani berdebat dan mempertanyakannya? Budaya kita budaya manut dan menghormati pemimpin/tetua/Tuhan. Sayangnya keterbukaan teknologi dan kemudahan akses informasi semakin menggusur budaya ini. Kalau dulu orang yang lebih tua dianggap gudang ilmu, kalau sekarang dianggap nggak update, kalah sama mbah Google. Kalau dulu cuma orang tertentu bisa jadi dokter atau ahli agama, sekarang semua orang bisa jadi dokter/ahli agama online. Tinggal google dan copas saja kok, jadi deh kelihatan pintar/bijak, masalah benar nggaknya ya nggak masalah. It is on the internet, so it must be true.
Di bukunya Michael Crichton yang Jurrassic Park, ia menuliskan bahwa ilmu pengetahuan instan ini membuat manusia jadi sombong. Karena didapatnya instan dan tidak lewat perjuangan, jadi dipakai dengan semena-mena dan akhirnya manusia berlagak seperti dewa yang mahabisa dan mahatahu. Kalau dipikir-pikir sama seperti ilmu padi sih: makin penuh makin merunduk, sementara yang kosong mah mengacung dengan pedenya. Sayangnya kebodohan itu seperti hama yang meluas jauh lebih cepat daripada padi-padi yang bagus matang. Menginfeksi gitu lho. Apalagi di era keterbukaan informasi seperti sekarang, yang mudah sekali mencari info yang kita maui. Yang kita maui lho ya, bukan berarti dapatnya akan berimbang. Misalnya saja soal pengungsi Rohingiya, pencarian dengan keyword "kebiadaban umat buddha terhadap Rohingiya" dan "kebohongan Rohingiya" pasti menghasilkan dua hasil yang bertolak belakang satu sama lain. Padahal kalau mau pintar dan repot sedikit, tinggal cari "Konflik Rohingiya" dan memilah berita dari sumber yang resmi, jadi deh tahu jalan cerita yang berimbang.
Kebodohan ini juga seperti gangren/kebusukan yang kalau dibiarkan akan menyebabkan kelumpuhan. Di Amerika sini ketidakpercayaan akan aturan/penguasa itu sudah kronis sekali. Kebijakan apapun yang diambil oleh pemerintah, pasti ada saja yang protes. Apalagi kalau kebijakannya menyulitkan diri mereka. Saat ada orang yang mencoba taat aturan (seperti saya) malah dibilang "Kamu mau saja jadi budak sistem!". Lah, aturan kan ada untuk memudahkan hidup karena banyak orang yang mentalnya keledai, mesti dicambuk biar patuh. Kalau nggak ada aturan sementara mentalnya masih mental keledai yang suka-suka gue ya repot. Lihat saja jalanan Jakarta saat rush hour, yang macetnya benar-benar total karena semua tidak taat aturan dan menyerobot jalan. Inilah kenapa penting bagi kita untuk melihat lebih dekat, menganalisa secara subyektif keputusan atasan/pemerintah kita sebelum menyalahkan. Selain untuk mencegah ketidakpercayaan kronis yang akan melumpuhkan negara (seperti di Amerika sini), pemahaman sebab akibat juga membuat anda sebagai pribadi lebih maju. Dan bila rakyat maju, negara pun maju.
Ini bukan berarti anda tidak boleh mengkritisi atasan/pemerintah ya. Mereka juga cuma manusia, dan namanya politik titipannya banyak. Kalau anda merasa kebijakannya tidak tepat, silakan lho protes atau komplain, dengan catatan anda tahu cerita lengkapnya. Jangan tahu cuma satu versi lalu sibuk mencaci, misalnya saja soal pelarangan pemotongan hewan kurban di sekolah atau di tepi jalan. Kita diberikan Tuhan kemampuan untuk menganalisa, dan alat-alat yang diperlukan untuk menimbang dan mengukur (i.e internet). Pergunakanlah sebaiknya, seadilnya seperti Nabi Sulaiman. Jangan malah dipakai untuk memperbodoh diri sendiri dan memelihara kegelapan di dalam diri sendiri. Bersinarlah Indonesia!
makasih infonya,,
ReplyDeletemantap